Friday, May 17, 2013

Fenomena-Fenomena Kesetaraan



Kesetaraan dan ketidaksetaraan adalah fenomena yang muncul di tengah  ragam masyarakat. Dalam struktur masyarakat, terdapat berbagai macam kelompok yang muncul disebabkan berbagai faktor yang beragam seperti ras, budaya, tingkat ekonomi, maupun paternalisme[1]. Adanya kelompok tersebut pada akhirnya memunculkan sekat kehidupan dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Fenomena ini terjadi tidak hanya pada era ini namun juga terjadi pada masa al-Qur’an diwahyukan, sehingga tentunya al-Qur’an turut memberikan respon atas fenomena ini.
Al-Qur’an sebagai wahyu ilahi telah melakukan peranya berupa kritik sosial. Kritik tersebut menjadi respon dalam lingkup kehidupan bangsa Arab yang saat itu diliputi banyak perseteruan antar ras, kabilah, suku dan kelompoknya masing-masing yang mengakibatkan diskriminasi. Respon yang diberikan al-Qur’an tersebut menunjukan adanya konsep egaliter yang dibangun di dalamnya.
Egaliter (equality) yang mengusung ajaran tentang “kesadaran akan kesetaraan manusia” tanpa melihat latar belakang ideologi, gender, kultur, ras, atau kelas ekonomi maupun kelas sosialnya adalah sebuah istilah yang muncul dalam menanggapi berbagai isu diskriminasi sosial dalam kehidupan masyarakat, namun ternyata egaliter pun masih menuai pro dan kontra karena dianggap bertentangan dengan fitroh manusia yang pada hakikatnya ialah berbeda.
Egaliter dalam perjalanan sejarah juga pernah menjadi faham tertentu (Isme=egalitarianism) yang mengusung ide bahwa manusia memiliki hak yang sama, istilah ini lahir di Perancis yang kemudian diadopsi di Ingggris (Equal) tahun 1960-an M[2] dalam menyuarakan ketidakadilan pendidikan yang saat itu hanya bisa dirasakan oleh para anak bangsawan sedangkan anak jelata tidak memiliki kesempatan pendidikan.
Munculnya faham egaliter sangat difaktori oleh adanya stratifikasi sosial. Ignas Kladen dan Loekman Soetrisno menyatakan bahwa “konflik yang terjadi baru akan terjadi jika ada suatu dominasi suatu suku atas suku yang lain”.[3] Dominasi ini pada akhirnya melahirkan asumsi superioritas dan inferioritas  golongan dan saat itulah terjadi Strata Sosial.[4]
Strata sosial yang menjadi isu kesetaraan muncul baik pada masa pewahyuan al-Qur’an maupun pada masa kekinian. Pada masa pewahyuan, telah terjadi problem tentang kesetaraan sebagaimana perseteruan di antara pemuka shohabat berebut posisi untuk meletakan hajar aswad, selain peristiwa itu, beberapa pemuka kelompok pada awal-awal diberlakukanya sholat jamaah merasa risau tentang tidak dibedakanya posisi shof mereka dengan rakyat yang mereka anggap jelata, Bilal bin Rabbah yang dianggap tidak layak dalam mengisi posisi terhormat sebagai seorang mu’az|in yang berdiri di atas ka’bah, selain peristiwa tersebut juga berbagai peristiwa lainya yang banyak mewarnai turunya wahyu.
 Berbeda dengan masa pewahyuan, pada abad modern, sekitar abad ke-18, berawal dari revolusi industri di Perancis tahun 1789[5] Isu kesetaraan menjadi isu yang lebih komplek mengingat pada era modern, masyarakat dari ragam identitas, ras, dan budaya melebur dalam suatu lingkup sosial dipertemukan oleh kebutuhan hidup dan persaingan ekonomi serta politik.
Kebutuhan hidup dan Persaingan yang terjadi pada era modern sering kali dimanfaatkan oleh golongan dalam menunggangi golongan lainya dalam meraih tujuan, dari sini muncul berbagai diskriminasi sosial. Selain itu, di Jerman muncul gerakan anti Semitisme, di Amerika terdapat istilah Color Line tentang pembedaan Warna Kulit, di Afrika Selatan juga muncul istilah politik Apartheid, di India sistem kasta (Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra), beralih dari sistem hindu yang bersifat simbiosis mutualisme menjadi stratifikasi sosial[6] Sadar akan kondisi ini, Karl Marx (1818-1883)[7] berupaya menentang sistem kapital pembatasan antara kaum Borjuis sebagai pemegang keuntungan berlebih (Surplus Value) dan Proletar dari golongan buruh, sebagai upayanya dalam menghapus perbudakan.
Problem di atas, baik yang terjadi pada masa pewahyuan maupun yang terjadi pada masa modern, telah direspon dan dikritisi oleh al-Qur’an, untuk itu penelitian tentang ayat-ayat yang memberi respon atas permasalahan-permasalahan tersebut kiranya perlu dilakukan, di antara ayat-ayat yang memberi respon terhadap permasalahan egaliter dan strata sosial adalah:
a.        An-Nisa> (4): 135 yang turun berkenaan dengan pembelaan Rosul terhadap orang miskin yang berkonflik dengan orang kaya, beliau lebih membela orang yang miskin karena menganggap orang miskin tidak mungkin bisa menciderai orang kaya.[8] ayat ini menggambarkan adanya konflik kesetaraan berdasarkan status ekonomi.
b.      Al-Hujura> t (49): 13 yang turun berkenaan dengan Bilal bin Rabbah seorang yang berkulit hitam yang dianggap oleh pemuka Quraisy tidak layak sebagai mu’az|in di atas ka’bah karena statusnya sebagai mantan budak.[9] Ayat ini menggambarkan adanya fenomena paternalisme.
c.       ‘Abasa (10): 1-10 yang turun berkenaan dengan Abdullah bin Ummi Maktum yang menemui Rasulullah yang sedang sibuk melakukan pertemuan dengan pemuka Quraisy.[10] Ayat ini menggambarkan adanya  kesenjangan antara paternalisme. 
Selain ayat-ayat di atas, akan dikaji lagi ayat-ayat lain yang mengulas berbagai permasalahan isu kesetaraan guna mencari benang merah titik temu yang bersifat solutif dalam menanggapi berbagai kesenjangan yang terjadi dalam kehidupan sosial berakar dari perbedaan strata sosial meliputi perbedaan ras, kelas ekonomi, maupun adanya faham paternalisme.


[1] Berbeda dengan patronase (patron-client relation) yang menempatkan  hubungan antara dua pihak bawahan dan atasan dalam hubungan saling melengkapi dan perlindungan atasan, paternalism lebih merupakan sebuah faham tentang adanya atasan dan bawahan dalam kekuasaan dan monopoli terutama dalam perpolitikan yang hubunganya dengan penguasa dan kekuasaan. Lihat Nicholas Abercrombie dkk., Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Hlm. 188.
[2] William outhwaite (ed.), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern (terj.) Tri Wibowo (Jakarta: Putra Grafika, 2008), hlm. 274.
[3] Agus Salim, Stratifikasi Etnik (Semarang: Tiara Wacana, 2006), Hlm. 2.
[4]Lihat John Scott, Teori Sosial: Maslah-Masalah Pokok dalam Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 128. Mengenai proses munculnya Strata Sosial dijelaskan pula dalam Agus Salim, Stratifikasi Etnik (Semarang: Tiara Wacana, 2006), Hlm. 5.
[5] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hlm. 21.
[6] Agus Salim, Stratifikasi Etnik (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 45.
[7] Nicholas Abercrombie dkk., Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Hlm. 330.
[8] H. A. A. Dahlan dan Zaka al-Farisi (ed.), Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunya al-Qur’an (Bandung: Diponegoro, 2000), hlm. 176.
[9] H. A. A. Dahlan dan Zaka al-Farisi (ed.), Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunya al-Qur’an (Bandung: Diponegoro, 2000), hlm. 518.
[10] H. A. A. Dahlan dan Zaka al-Farisi (ed.), Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunya al-Qur’an (Bandung: Diponegoro, 2000), hlm. 628.

No comments:

Post a Comment