Kesetaraan dan ketidaksetaraan
adalah fenomena yang muncul di tengah ragam masyarakat. Dalam struktur masyarakat,
terdapat berbagai macam kelompok yang muncul disebabkan berbagai faktor yang
beragam seperti ras, budaya, tingkat ekonomi, maupun paternalisme[1].
Adanya kelompok tersebut pada akhirnya memunculkan sekat kehidupan dalam
berinteraksi dan berkomunikasi. Fenomena ini terjadi tidak hanya pada era ini
namun juga terjadi pada masa al-Qur’an diwahyukan, sehingga tentunya al-Qur’an
turut memberikan respon atas fenomena ini.
Al-Qur’an sebagai wahyu ilahi telah
melakukan peranya berupa kritik sosial. Kritik tersebut menjadi respon dalam
lingkup kehidupan bangsa Arab yang saat itu diliputi banyak perseteruan antar
ras, kabilah, suku dan kelompoknya masing-masing yang mengakibatkan
diskriminasi. Respon yang diberikan al-Qur’an tersebut menunjukan adanya konsep
egaliter yang dibangun di dalamnya.
Egaliter (equality) yang
mengusung ajaran tentang “kesadaran akan kesetaraan manusia” tanpa melihat
latar belakang ideologi, gender, kultur, ras, atau kelas ekonomi maupun kelas
sosialnya adalah sebuah istilah yang muncul dalam menanggapi berbagai isu
diskriminasi sosial dalam kehidupan masyarakat, namun ternyata egaliter pun
masih menuai pro dan kontra karena dianggap bertentangan dengan fitroh manusia
yang pada hakikatnya ialah berbeda.
Egaliter dalam perjalanan sejarah
juga pernah menjadi faham tertentu (Isme=egalitarianism) yang mengusung ide
bahwa manusia memiliki hak yang sama, istilah ini lahir di Perancis yang
kemudian diadopsi di Ingggris (Equal) tahun 1960-an M[2]
dalam menyuarakan ketidakadilan pendidikan yang saat itu hanya bisa dirasakan
oleh para anak bangsawan sedangkan anak jelata tidak memiliki kesempatan
pendidikan.
Munculnya faham egaliter sangat
difaktori oleh adanya stratifikasi sosial. Ignas Kladen dan Loekman Soetrisno
menyatakan bahwa “konflik yang terjadi baru akan terjadi jika ada suatu
dominasi suatu suku atas suku yang lain”.[3]
Dominasi ini pada akhirnya melahirkan asumsi superioritas dan inferioritas golongan dan saat itulah terjadi Strata
Sosial.[4]
Strata sosial yang menjadi isu kesetaraan
muncul baik pada masa pewahyuan al-Qur’an maupun pada masa kekinian. Pada masa
pewahyuan, telah terjadi problem tentang kesetaraan sebagaimana perseteruan di
antara pemuka shohabat berebut posisi untuk meletakan hajar aswad,
selain peristiwa itu, beberapa pemuka kelompok pada awal-awal diberlakukanya sholat
jamaah merasa risau tentang tidak dibedakanya posisi shof mereka dengan
rakyat yang mereka anggap jelata, Bilal bin Rabbah yang dianggap tidak layak dalam
mengisi posisi terhormat sebagai seorang mu’az|in yang berdiri di atas ka’bah, selain
peristiwa tersebut juga berbagai peristiwa lainya yang banyak mewarnai turunya
wahyu.
Berbeda dengan masa pewahyuan, pada abad
modern, sekitar abad ke-18, berawal dari revolusi industri di Perancis tahun
1789[5] Isu
kesetaraan menjadi isu yang lebih komplek mengingat pada era modern, masyarakat
dari ragam identitas, ras, dan budaya melebur dalam suatu lingkup sosial dipertemukan
oleh kebutuhan hidup dan persaingan ekonomi serta politik.
Kebutuhan hidup dan Persaingan yang
terjadi pada era modern sering kali dimanfaatkan oleh golongan dalam
menunggangi golongan lainya dalam meraih tujuan, dari sini muncul berbagai
diskriminasi sosial. Selain itu, di Jerman muncul gerakan anti Semitisme, di
Amerika terdapat istilah Color Line tentang pembedaan Warna Kulit, di
Afrika Selatan juga muncul istilah politik Apartheid, di India sistem
kasta (Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra), beralih dari sistem hindu yang
bersifat simbiosis mutualisme menjadi stratifikasi sosial[6] Sadar
akan kondisi ini, Karl Marx (1818-1883)[7]
berupaya menentang sistem kapital pembatasan antara kaum Borjuis sebagai
pemegang keuntungan berlebih (Surplus Value) dan Proletar dari golongan
buruh, sebagai upayanya dalam menghapus perbudakan.
Problem di atas, baik yang terjadi
pada masa pewahyuan maupun yang terjadi pada masa modern, telah direspon dan
dikritisi oleh al-Qur’an, untuk itu penelitian tentang ayat-ayat yang memberi
respon atas permasalahan-permasalahan tersebut kiranya perlu dilakukan, di
antara ayat-ayat yang memberi respon terhadap permasalahan egaliter dan strata
sosial adalah:
a.
An-Nisa>’ (4): 135 yang turun berkenaan dengan
pembelaan Rosul terhadap orang miskin yang berkonflik dengan orang kaya, beliau
lebih membela orang yang miskin karena menganggap orang miskin tidak mungkin
bisa menciderai orang kaya.[8]
ayat ini menggambarkan adanya konflik kesetaraan berdasarkan status ekonomi.
b.
Al-Hujura> t (49): 13 yang turun berkenaan dengan Bilal bin Rabbah seorang yang
berkulit hitam yang dianggap oleh pemuka Quraisy tidak layak sebagai mu’az|in di atas ka’bah karena statusnya sebagai mantan budak.[9]
Ayat ini menggambarkan adanya fenomena paternalisme.
c.
‘Abasa (10): 1-10 yang turun berkenaan dengan Abdullah bin Ummi Maktum
yang menemui Rasulullah yang sedang sibuk melakukan pertemuan dengan pemuka
Quraisy.[10]
Ayat ini menggambarkan adanya kesenjangan antara paternalisme.
Selain ayat-ayat di atas, akan
dikaji lagi ayat-ayat lain yang mengulas berbagai permasalahan isu kesetaraan
guna mencari benang merah titik temu yang bersifat solutif dalam menanggapi
berbagai kesenjangan yang terjadi dalam kehidupan sosial berakar dari perbedaan
strata sosial meliputi perbedaan ras, kelas ekonomi, maupun adanya faham
paternalisme.
[1] Berbeda dengan
patronase (patron-client relation) yang menempatkan hubungan antara dua pihak bawahan dan atasan
dalam hubungan saling melengkapi dan perlindungan atasan, paternalism
lebih merupakan sebuah faham tentang adanya atasan dan bawahan dalam kekuasaan dan
monopoli terutama dalam perpolitikan yang hubunganya dengan penguasa dan
kekuasaan. Lihat Nicholas Abercrombie dkk., Kamus Sosiologi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), Hlm. 188.
[2]
William
outhwaite (ed.), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern (terj.) Tri
Wibowo (Jakarta: Putra Grafika, 2008), hlm. 274.
[3] Agus Salim, Stratifikasi
Etnik (Semarang: Tiara Wacana, 2006), Hlm. 2.
[4]Lihat John
Scott, Teori Sosial: Maslah-Masalah Pokok dalam Sosiologi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 128. Mengenai proses munculnya Strata Sosial
dijelaskan pula dalam Agus Salim, Stratifikasi Etnik (Semarang: Tiara
Wacana, 2006), Hlm. 5.
[5] Harun Nasution,
Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan
Bintang, 2003), hlm. 21.
[6] Agus Salim, Stratifikasi
Etnik (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 45.
[7]
Nicholas
Abercrombie dkk., Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
Hlm. 330.
[8] H. A. A.
Dahlan dan Zaka al-Farisi (ed.), Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis
Turunya al-Qur’an (Bandung: Diponegoro, 2000), hlm. 176.
[9]
H. A. A. Dahlan
dan Zaka al-Farisi (ed.), Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunya
al-Qur’an (Bandung: Diponegoro, 2000), hlm. 518.
[10] H. A. A. Dahlan
dan Zaka al-Farisi (ed.), Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunya
al-Qur’an (Bandung: Diponegoro, 2000), hlm. 628.
No comments:
Post a Comment