Dari ar-Razi sampai Muhammad Abduh
Oleh: Muhammad Barir
A. Tafsir Sebagai Kerancuan
Seiring dengan semakin banyaknya persoalan
yang perlu untuk dijawab, sedangkan ayat al-Qur’an masih mengandung nilai yang
tersimpan, maka tafsir menjadi alat dalam melakukan eksplorasi makna yang
tersimpan tersebut yang dinanti kehadiranya seiring prmasalahan yang merebak
tak kunjung usai menunggu untuk dipecahkan.
Permasalahan pun timbul, dimana ketika Abduh seorang yang dianggap
mujaddid dari mesir mengkritisi berbagai corak tafsir sebelumnya.. dengan tajam
ia menyatakan:
هذا لا ينبغى أن يسمى تفسيرا وإنما هو ضرب من التمرين فى الفنون كالنحو و
المعاني و غير هما
“ini tidak layak disebut
tafsir, melainkan ini hanyalah bagian dari latihan seni dalam nahwu seperti
ilmu ma’ani dan lainya”
Maksud dari pernyataan
Abduh ialah bahwa pada masa aterdahulu tafsir difahami sebagai penjelasan makna
al-Qur’an yang sering kali diwarnai perdebatan tentang makna kata yang tak
kunjung usai sehingga mufassir klasik dianggap terjebak pada proses sehingga
hasil penafsiran seringkali tidak menyinggung nilai kontribusi sosial, para
mufassir brlomba-lomba untuk memamerkan keilmuannya sehingga tujuan utama dari
tafsir terabaikan.
Paling tidak ada tiga
aspek dalam tafsir klasik yang dikritisi Abduh:
1.
Tafsir klasik terkesan
atomistik, dalam arti terpecah-pecah dimana seorang mufassir menafsiri al-Qur’an
berdasarkan urutan ayat al-Qur’an, padahal dalam satu surat al-Qur’an terkadang
memiliki tema yang tidak urut dijelaskan dalam ayat. Dengan gambaran suatu ayat
yang membahas suatu aspek akan diikuti dengan ayat berikutnya yang membahas
aspek lainya yang tidak ada hubungan sama sekali dengan ayat sebelumnya. Inilah
kelemahan tafsir klasik. Seharusnya tafsir harus bisa mecari ayat yang setema
yang masih terpisah-pisah dalam berbagai ayat dan surat untuk akhirnya
disatu-padukan kedalam kajian secara mendalam. Untuk itu mada era modern lahir
tafsir tematik (Maudhu’i) yang digagas oleh Abdu Hay al-Farmawi.
2.
Sering kali tafsir
klasik melakukan pemaksaan gagasan, tafsir pada masanya sering menjadi ajang
manipulasi politik, sebagaimana lahirnya ratfsir al-Kasyaf yang dituding
sebagai alat penyebaran faham mu’tazilah.
3.
Tafsir klasik sering
tidak terfokus dan tersistematika dengan baik sehingga melakukan pembahasan
yang panjang lebar sehingga seringkali memasukan pendapat pribadi yang
subjektif. Salah satu gambaran dari kasus ini ialah kritik oleh pengarang bahrul
muhit terhadap karya ar-Razi Mafatihul Ghaibi yang dianggap bukan merupakan
kitab tafsir, dengan pernyataan kritisnya:
فيه كل شيء إلا التفسير
“di dalamnya (Mafatihul Ghaib) terdapat berbagai hal, kecuali tafsir”
B.
Gerakan
Kembali Pada al-Qur’an: latar Belakang Kritik Abduh
Muhammad Abduh dengan konsep Purifikasi Islam yang muncul dari
keresahan atas kondisi masyarakat Muslim yang saat itu–dianggap—masih banyak
menyibukan diri dengan tahayul yang menyelimuti segala kehidupanya dan hal ini juga mewarnai tafsir al-Qur’an
yang ia anggap bahwa tafsir al-Qur’an era pertengahan hanya lebih mengedepankan
tafsir ibadah ilahiyah dan fiqhiyah dan mengesampingkan ibadah sosial. Dari hal
tersebut berimbaslah dengan semakin banyaknya kemiskinan dan kebodohan umat
Islam yang dulu pada masa dinasti umayah sempat dianggap sebagai pusat
peradaban dunia.
Di tengah kehidupan bangsa barat yang
berlomba-lomba membangun keilmuan dan peradaban, umat islam masih terkungkung
dengan hal-hal mistis yang tiada akan merubah nasib pendidikan dan peradaban,
iilah permasalahan yang nyata yang dihadapi umat islam pada abad prtengahan. Sampai
akhirnya umat Islam baru tersadar akan kekuranganya melalui serangan napoleon
ke Mesir,, serangan ini sontak membuat umat Islam kala itu kalangkabut
dibuatnya, umat Islam dikejutkan dengan berbagaimacam bentuk senjata Modern
yang tidak pernah mereka kenal, bahkan mereka menganggap bahwa meriam merupakan
benda sihir. Suatu hal yang menyedihkan melihat Islam yang dulu menjadi
peradaban kini terjebak olah penjajahan dan penindasan karena faktor internal.
Dari sini para cendekia Muslim mencoba mengisyaratkan
bahwa Islam harus difahami secara berbeda agar tidak lagi kandas dalam
ketertinggalan karena dengan dibiarkanya kondisi ini akan mengakibatkan Islam
akan semakin ditindas dengan kolonialisme penjajahan barat, dimulai dengan
penjajahan tahun 1764 oleh Inggris di bengli dan tahun 1786 di Penang, kemudian
penjajahan Rusia di Krimenia pada tahun 1783, dan Napoleon Bonaparte yang
meruntuhkan mesir tahun 1789.[1]
Dengan serangan-serangan tersebut terutama serangan Napoleon Bonaparte
di Mesir, Umat muslim menjadi terkejut dan baru tersadar akan kemajuan barat
yang Sudah sangat jauh meninggalkan mereka yang saat itu masih sibuk dengan hal
mistis. Dan hal mistis sejak saat itu banyak diklaim sebagai hal yang
bertanggung jawab atas jatuh dan porak-porandanya dunia Islam, ini lah awal mula
munculnya semboyan kembali pada al-Qur’an dan sunnah, semua tindak Muslimin
harus dimurnikan dari tahayul. Namun bukan berarti gerakan ini didukung
sepenuhnya oleh ulama karena banyak ulama yang masih berkeyakinan bahwa hal
mistis tidak sepenuhnya salah.
C. Islam Kiri, Islam Kanan, dan Madzhab Tengah
Berbagai perdebatan
mewarnai hal ini, beberapa ulama memahami bahwa islam harus memodernisasikan diri,
sebagian ulama lain memperteguh pendirian dengan tetap mempertahankan budaya
abad pertengahan, yang pertama kemudian disebut sebagai kaum kiri dengan wahabi
sebagai garda depanya dan yang kedua disebut kaum kanan atau konservatif dengan
sunni dan syi’ah sebagai pengibar panjinya.
Ditengah perang wacana
ini, muncul Islam garis tengah, salah satu tokohnya ialah Hasan Hanafi, dia
menggagas tentang konsep Turats dan Tajdid, konsep pemersatu antara kaum
modernis dan konservatif,
1. Turats :
Tradisi masa lampau harus dijaga
2. Tajdid : Islam
harus terus mengambil hal baru yang positif
D.
Tafsir Adabi Ijtima’
Berangkat dari permasalahan
di atas, bagi islam puritan seperti Abduh, penafsiran al-Qur’an dianggap
sesuatu yang absurt karena tidak memberikan kontribusi sosial dan lebih sebagai
ajang pamer keilmuan, untuk itu ia menggagas lahirnya tafsir Adabi Ijtima’i
yang selain mengkaji al-Qur’an secara intens berangkat dari bahasa menuju
makna, tafsir ini ia anggap sebagai tafsir yang nantinya akan mengantarkan pada
pemecahan sosial. Ia berargumen:
والتفسيرالذي نطلبه هو فهم الكتاب من حيث هو الذي يرشد الناس الي
ما فيه سعادتهم في حيات الدنيا والأخرة
“Dan definisi tafsir yang kita
cari adalah: memahami al-Qur’an dari aspek kontribisinya dalam menunjukan
manusia pada hal yang bisa membantu dalam kehidupan di dunia dan akhirat”.
Untuk itu tafsir adabi
ijtima’i seringkali dianggap sebagai tafsir sosial kebahasaan, karena tujuan
utama ialah untuk menyelesaikan permasalahan sosial berangkat secara induktif.
E. Sebuah Akhir Kata
Para ulama dari ar-Razi sampai Abduh boleh saja berdebat mngenai arti
dari tafsir, namun tujuan tafsir ialah Islam, sedangkan islam adalah damai,
akan indah jika kita saling menghargai pendapat yang berbeda. Salam suara hati
dari sudut lain bumi…!
[1] Tholhatul
Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 501.
No comments:
Post a Comment