Oleh: Muhammad Barir
Pada masa awal Islam, al-Qur’an ditulis adalah berfungsi untuk menjaga otentisitas dan eksistensi al-Qur’an. Berbagai media digunakan dalam penulisan tersebut, seperti pelepah kurma dan tulang belulang. Pada masa ini ada dua hal yang digunakan dalam menjaga al-Qur’an yakni hafalan dan tulisan. Kelebihan tulisan dari pada hafalan adalah bahwa tulisan lebih lama bisa terjaga dari pada hafalan yang akan hilang seiring wafatnya penghafal al-Qur’an.
Pada masa berikutnya tulisan al-Qur’an turut berubah seiring
modifikasi yang dilakukan ulama terhadap huruf arab karena huruf arab klasik
sering menjebak karena kurang memiliki karakter. Kurangnya karakter pada huruf
arab menjadikan antara satu huruf dengan huruf lainya sulit dibedakan sehingga
datanglah abul aswad ad-du’ali untuk menyempurnakan huruf arab dengan memberi
tanda sebagai penonjol karakter huruf. Abul aswad ad-du’ali menambah titik
sebagai penanda huruf yang kemudian diteruskan penambahan harakat oleh Khalil
Ibn Ahmad al-Bashri. Khalil ibn Ahmad al-Bashri menjadikan wawu kecil di
atas yang kemudian kita kenal dengan dhammah, menjadikan alif kecil di
bawah yang kita kenal sebagai kasrah, alif kecil di atas yang
kita kenal dengan fathah, ujung sin yang kita kenal sebagai tasydid,
dan kepala kha’ yang kita kenal sebagai sukun.[1]
Jika apa yang dilakukan di atas oleh Khalil ibn Ahmad al-Bashri
adalah untuk menghindari kesalahan dari pembacaan al-Qur’an, maka pada masa
selanjutnya, penulisan al-Qur’an berubah dengan fungsi lain yakni sebagai
hiasan dan sebagai media dakwah melalui nilai estetikanya. Selain kedua fungsi
tersebut, penulisan al-Qur’an juga dijadikan symbol kejayaan dan identitas
Islam dengan dituliskanya ditempat-tempat sentral islam seperti ka’bah,
masjid-masjid, dan beberapa tempat lainya.
Saat ini, seni tulis al-Qur’an yang dikenal dengan kaligrafi sudah
mejadi hal bagian dari nilai Islami. Kaligrafi banyak diajarkan diberbagai
pesantren dan madrasah serta dibentuk pula berbagai lembaga untuk menaunginya.
Keindahan kaligrafi juga dijadikan sebagai ajang perlombaan ditingkat regional,
nasional, dan bahkan internasional. Penulisan kaligrafi pun semakin beragam
jika dulu khat yang dikenal sebatas naskhi dan khufi klasik, saat ini banyak
khat yang dikembangkan mulai dengan munculnya berbagai khat, seperti diwani,
farisi, riq’ah, tsulutsi, dan sebagainya.
Dalam ilmu tafsir, makna digali melalui lafadz, namun dalam ilmu
kaligrafi, makna ternyata tersembunyi tidak hanya pada lafadz namun juga pada jenis
khat, warna, ornament, media dan aspek eksternal lainya. Hal ini tentunya
menjadi permasalahan tersendiri mengenai pemaknaan ini. Dalam tafsir al-Qur’an
sering kali produk tafsir menjadi objek kritik karena cenderung subjektif,
padahal dalam seni kaligrafi pemaknaan atas ayat yang ditulis jelas lebih
dipertanyakan kenapa bisa demikian.
No comments:
Post a Comment