Oleh: Muhammad Barir
A.
SEBUAH PENDAHULUAN
Pada Era kontemporer ini proses
interpretasi al-Qur’an banyak mengalami perkembangan dengan menyesuaikan
kebutuhan hidup yang semakin kompleks dan hasilnya telah banyak tafsir
al-Qur’an dengan corak yang beragam menyesuaikan karakteristik mufassir itu
sendiri seperti tafsir sufistik/isy’ary, kebahasaan, ilmi dan lain sebagainya.
Semenjak renaissance, arti kebenaran
berbalik dari yang dulu bertolok ukur dogmatic gereja di gantikan peranya oleh
akal manusia. Setiap apapun itu termasuk agama pastilah sesuai dengan akal
manusia yang salah dan yang benar semuanya harus dirumuskan dengan akal. Hal
ini kemudian merambah pada dunia Islam. fenomena al-Qur’an yang turun 14 abad
yang lalu ternyata membuat ketertarikan oleh berbagai pakar ilmuan bahwa
al-Qur’an dianggap kiab yang ilmiyah, hal ini bisa kita temui sekarang melalui
karya Harun Nasution maupun karya Dr. Dzakir Naik dari India.
Pembahasan pada makalah sederhana
ini akan mengulas sedikit mengenai salah satu pendekatan dalam studi al-Qur’an
atau bisa pula dikatakan sebagai pendeatan dalam tafsir al-Qur’an yakni
pendekatan Ilmiyah yang memberi penekanan intrerpretasi menggunakan akal dan
teori ilmiyah yang telah ada.
B.
DEFINISI TAFSIR ILMI
Secara etimologis, kata “tafsir” berasal dari bahasa Arab
Fassaro-yufassiru tafsiron, yang bermakna memberi penerangan (Idzoh) dan
memberi penjelasan (tibyan), dalam lisan al-Arab dijelaskan bahwa bentuk
mashdar al-Fasr bernakna “menyingkap sesuatu yang tertutup”
dan dalam bentuk mashdar at-tafsir bermakna menyingkap sesuatu makna
yang musykil dan pelik dalam al-Qur’an.[1]
Sedangkan secara termonologis, Tafsir Ilmi didefinisikan sebagai
sebuah crak penafsiran al-Qur’an yang menggunakan pendekatan teori-teori
ilmiyah dan bertujuan untuk menggali teori-teori ilmiyah dan pemikiran
filosofis yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.[2]
C.
KARAKTER TAFSIR ILMI
Pendekatan ini sesuai dengan
sejarahnya yang banyak diwarnai dengan pertemuan filsafat barat membawanya pada
corak rasionalitas, empirisitas, positivitas, dan materialitas, namun baru-baru
ini corak tafsir lebih di dominasi dengan corak dan karakter sain modern yang
lebih mengunggulkan kajian kedokteran, kimia, fisika, dan biologi. Beberapa
ilmu tersebut banyak mewarnai penafsiran al-Qur’an abad ini dan seiring
denganya muncul ilmuan seperti Dzakir Naik. Keunggulan tafsir ini ialah
mengenai otentisitas tafsirnya yang tidak mungkin—seharusnya dan
semestinya—dipengaruhi oleh madzhab. Dalam interpretasi interpreter
memposisikan diri dalam ruang objektif mendasarkan interpretasinya dengan
dipertangung jawabkan melaui research ilmiyah diuji kebenaranya berdasarkan
metodologi yang telah ada.[3]
Munculnya tafsir ini berawal dari
gagasan bahwa antara al-Qur’an dan akal tidaklah bertentangan. Ajaran yang
terkandung di dalamnya sejalan dan pasti dapat dibuktikan dengan rasio yang
sampai saat ini kebenaran al-Qur’an ternyata sejalan dengan pembuktian lmiyah
yang ada, menjadikan karakter ilmi ini sebagai karakter tersendiri dalam
membuktikan kmu’jizatan Ilmiyah. Dan sekaligus ini menjadikan penjelasan
tersendiri tentang hubungan pendekatan ilmiyah dengan mu’jizat ilmiyah. Bahwa
mu’jizat ilmiyah bisa diketahui melalui interpretasi al-Qur’an dengan
pendekatan ilmiyah.
Pada dasarnya tafsir ilmi yang tidak bertentangan dengan Ilmu
pengetahuan terbukti setelah satu persatu ayat-ayat al-Qur’an dinyatakan
kebenaranya melalui riset ilmiyah. Dan semakin mempererat dan mempertegas nilain
I’jaz al-Ilmi yang menjelaskan bahwa al-Qur’an sudah melampaui akal
manusia dalam hal ilmu pengetahuan pada masa lampau yang tidak mungkin orang
pada saat itu bisa membuat ayat seperti ayat al-Qur’an, karena belum ada ilmu
saat itu, diketahuinya kemu’jizatan ilmiyah al-Qur’an ialah tidak lain
merupakan hasil dari penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendekatan Ilmiyah yang
menunjukan bahwa al-Qur’an datangnya ialah tidak mungkin berasal dari manusia,
meainkan itu sebuah buti bahwa al-Qur’an datang dari Rabb alamin.
D.
LATAR BELAKANG SEJARAH TAFSIR ILMI
Salah satu corak penafsiran (laun at-Tafsir) yang pernah
muncul dalam sejarah perkembangan tafsir dan terus berkembang hingga dewawsa
ini ialah tafsir ilmi (scientific exegesis). Dalam perjalanan
sejarahnya, tafsir Ilmi mengundang kontroversi dikalangan ulama, sebagian
sangat mendukung keberadaan tafsir Ilmi dan sebagian yang lainya menolak secara
tegas tentang keberadaanya.[4]
Al-Qur’an yang dianggap tidak bertentangan dengan akal atau secara
lebih umum Islam yang tidak bertentangan dengan akal pada mulanya dapat
diterima dengan fnomena diskusi antara Rosulullah SAW dengan mu’adz bin jabal
di mana saat itu muncul kesimpulan bahwa jika muncul persoaalan di tengah umat
maka persoalan itu sepatutnya dicari solusinya dalam al-Qur’an dan jika tidak
terdapat di dalam al-Qur’an maka dapat dicari solusinya dalam Hadis sampai
akhirnya jika tidak terdapat dalam keduanya maka akal lah yang diharapkan bisa
memberi solusi yang terbaik atas permasalahan tersebut.
Dasar ini pada akhirnya banyak mengilhami para shohabat untuk
berijtihad dengan akal ketika menemukan permasalahan sebagaimana yang sering
dilakukan kholifah Umar. Lebih lanjut perkembangan akal dan ilmu pengetahuan sendiri
dinilai penting termaktub dalam al-Qur’an sendiri tentang diangkatnya derajat
orang yang berilmu (mujadalah (58):11), shohabat ali juga pernah di simbolkan
dengan kunci dari gudang Ilmu dan Rosulullah sendiri sebagai gudangnya.
Lebih lanjut pada masa keemasan Islam (asr ad-dzahabi)
daulah abbasiyah ketika masa al-Makmun didirikan sebuah lembaga ilmu
pengetahuan yang diberinama Baitul Hikmah tempat ini bisa dikatakan sebagai
tempat yang multi fungsi karena disamping sebagai tempat kajian ilmu dan perpustakaan
tempat ini juga menjadi tempat untuk menterjemah buku-buku yunani dan romawi
kedalam bahasa arab. Pada era ini, ilmu pengetahuan sangat-sangat dihargai yang
konon setiap ilmuan ketika menulis, karyanya akan ditimbang dan dihargai dengan
emas seberat timbangan lembaran-lembaran yang ia tulis. Hal tersebut menunjukan
bahwa cendekia sangat-sangat dihargai oleh kholifah.
Namun, Rasionalisme ini pada akhirnya juga mengakibatkan noda hitam
pada sejarah islam tentang perdebatan keqodiman al-Qur’an yang berujung pada
munculnya tragedy penyiksaan ulama yang dikenal dengan tragedy mihnah yang
salah satu korbanya ialah imam Ahmad bin Hanbal.
Dari masa ini dapat disimpulkan bahwa salah satu hal yang
mempengaruhi masuknya rasionalitas pada dunia islam ialah ada pengaruh faktor
barat melalui penerjemahan-penerjemaham buku-buku Yunani dan Romawi yang
membawa ajaran filsafat.
Pada masa ini dunia Islam menjadi cermin dari peradaban dunia
disaat dimana orang barat masih bergulat dengan mitos-mitos sebagaimana catatan
Ibn Sina ketika berkunjung keperancis yang menjumpai komnitas yang mengobati
orang sakit dengan ritual mengitari sebuah pohon. Sangat jauh dengan
perkembangan ilmu kedokteran yang sudah maju dalam dunia Islam yang sampai
menjadkan bahasa Arab menjadi bahasa Ilmiyah di Dunia. Tentang hal ini, George
Sarton sebagaimana dikutib oleh A.J. arberry, pernah menulis bahwa sejak paruh
ke-11 M, bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa ilmiyah.[5]
Namun pada abad ke-12 M, dengan munculnya tahafut al-Falasifah
ilmu pengetahuan seolah stagnan, sampai pada akhirnya posisi ini dibalik oleh
dunia barat yang menemukan kejayaannya dengan peristiwa Renaissance,
aufclarung, dan revolusi Industri, yang membuat Islam harus mengakui keunggulan
barat.
Seiring dengan dibaliknya kejayaan Islam yang dulu pernah berdiri
di masa keemasanya oleh dunia barat yang saat ini sudah lebih maju beberapa
langkah dari Islam, muncul sebuah semboyan kembali pada al-Qur’an, salah satu
tokohnya ialah Muhammad Abduh dengan konsep Purifikasi Islam yang muncul dari
keresahan atas kondisi masyarakat Muslim yang saat itu–dianggap—masih banyak
menyibukan diri dengan tahayul yang menyelimuti segala kehidupanya.
Dari sini para cendekia Muslim mencoba mengisyaratkan bahwa Islam
harus difahami secara berbeda agar tidak lagi kandas dalam ketertinggalan
karena dengan dibiarkanya kondisi ini akan mengakibatkan Islam akan semakin
ditindas dengan kolonialisme penjajahan barat, dimulai dengan penjajahan tahun
1764 oleh Inggris di bengli dan tahun 1786 di Penang, kemudian penjajahan Rusia
di Krimenia pada tahun 1783, dan Napoleon Bonaparte yang meruntuhkan mesir
tahun 1789.[6]
Dengan serangan-serangan tersebut terutama serangan Napoleon
Bonaparte di Mesir, Umat muslim menjadi terkejut dan baru tersadar akan kemajuan
barat yang Sudah sangat jauh meninggalkan mereka yang saat itu masih sibuk
dengan hal mistis. Dan hal mistis sejak saat itu banyak diklaim sebagai hal
yang bertanggung jawab atas jatuh dan porak-porandanya dunia Islam, ini lah
awal mula munculnya semboyan kembali pada al-Qur’an dan sunnah, semua tindak
Muslimin harus dimurnikan dari tahayul. Namun bukan berarti gerakan ini
didukung sepenuhnya oleh ulama karena banyak ulama yang masih berkeyakinan
bahwa hal mistis tidak sepenuhnya salah.
Dari sini muncullah pemaknaan berbeda mengenai semboyan “kembali
pada al-Qur’an”, bagi kelompok konservatif, semboyan itu dimaknai kembali pada
hakikat makna al-Qur’an secara tekstual apa adanya, dan bagi kaum reformis
semboyan itu dimaknai sebagai kembali pada makana pesan yang terkandung tidak
hanya di luar, namun di dalam teks, dari sinilah Hermeneutika muncul sebagai
jembatan dalam mencari makna substansi al-Qur’an. Namun menurut Abid al-Jabiri
Hermeneutika telah menjadi wujut Hermeneutika Islam yang berbeda dengan Hermeneutika
umum terutama Hermeneutika Kristen, karena peliknya persoalan Bible yang
berbeda dengan permasalahan al-Qur’an.[7]
Karena kesadaran akan posisi Islam membuat beberapa cendekia muslim
pada abad 19-20 M berupaya mendekonskruksi pemikiran konserfatif. Di antara
beberapa tokohnya ialah salah satu perintis tafsir al-Mannar Muhammad Abduh
(1864-1905 M) yang menafsiri burung ababil dengan mikroba,[8]
dan muncul karya Tafhim al-Qur’an[9]
pula Ahmad Khan (lahir 1817[10]) yang menafsiri Q.S. asy-Syu’ara’ (26): 63 tentang
nabi musa yang memukul tongkat dita’wilkan menjadi nabi musa yang bepergian
melalui laut dengan menggunakan tongkatnya.[11]
E.
TAFSIR ILMI DALAM PRO DAN KONTRA
Melihat anjuran dan sinyal yang diberikan Quraisyihab tentang bahwa
jangan sampai al-Qur’an dijadikan alat untuk mendukung argument ilmiyah dengan
memaksa mencocok-cocokan antara temuan ilmiyah dengan ayat al-Qur’an. Secara
otomatis jika penemuan ilmiyah yang memiliki argument al-Qur’an dinyatakan
salah oleh temuan ilmyah yang baru maka yang salah bukanlah al-Qur’anya
melainkan penemuan itu.
Argument Quraisyihab tersebut membuka diskusi mengenai al-Qur’an
dalam pro dan kontra. Bagi mereka yang kontra menyatakan bahwa tidak perlu
adanya temuan ilmiyah yang menyandarkan dengan ayat al-Qur’an tafsir ilmi
tersebut merupakan sikap apologetic (takhalluf bi ad-difa’). Paling
tidak ada beberapa alasan penolakan mereka terhadap tafsir ilmi. Pertama,
terkadang ayat itu bisa melenceng dari pengertian sebagaimana ia diwahyukan.
Kedua, ada kecenderungan memaksakan kehendak. Ketiga, tidak semua teori iptek
diambil dari al-Qur’an,[12]
karena tidak semua ayat al-Qur’an yang bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan,
hal ini karena al-Qur’an tetaplah al-Qur’an sebagai kitab yang membawa ajaran
sacral. Salah satu ulama yang gencar menolak tafsir ilmiyah ialah Amin
al-Khulli dan Muhammad Syaltut yang mengecam ulama kontemporer yang mengadopsi
teori ilmiyah guna merasionalkan al-Qur’an.
Namun beberapa cendekia seperti dzakir Naik dengan penemuan ilmiyah
dalam tafsirnya atas beberapa ayat al-Qr’an adalah upaya membantah para
orientalis yang pertamakali menganggap bahwa al-Qur’an irasional. Dan akhirnya
Dzakirnaik menemukan hal yang spektakuler dalam al-Qur’an yang memang real dan
benar validitasnya bahkan sampai dibenarkan oleh pakar ilmuan barat sendiri
sebagaimana penemuanya atas embriologi dalam al-Qur’an yang dibenarkan oleh embriolog terkemuka dari Amerika yaitu Prof. Dr. Keith
Moore, beliau mengatakan : "Saya takjub pada keakuratan ilmiyah
pernyataan Al Qur’an yang diturunkan pada abad ke-7 M itu". Selain iti
beliau juga mengatakan, "Dari ungkapan Al Qur’an dan hadits banyak
mengilhami para scientist (ilmuwan) sekarang untuk mengetahui
perkembangan hidup manusia yang diawali dengan sel tunggal (zygote) yang terbentuk
ketika ovum (sel kelamin betina) dibuahi oleh sperma (sel kelamin jantan).
Kesemuanya itu belum diketahui oleh Spalanzani sampai dengan eksperimennya pada
abad ke-18, demikian pula ide tentang perkembangan yang dihasilkan dari
perencanaan genetik dari kromosom zygote belum ditemukan sampai akhir abad
ke-19. Dan ini menunjukan kembali pada
kemu’jizatan al-Qur’an.
F.
CONTOH PENAFSIRAN
Tafsir ilmi dar kajian kebahasaan:
1.
Muhammad
Abduh (1864-1905 M) yang menafsiri burung ababil dengan mikroba dalam Q.S. al-fil
(105): 3:
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ
طَيْرًا أَبَابِيلَ
“Dan kami utus atas mereka burung ababil”
2.
Ahmad
Khan (lahir 1817[13])
yang menafsiri Q.S. asy-Syu’ara’ (26): 63 tentang nabi musa yang memukul
tongkat dita’wilkan menjadi nabi musa yang bepergian melalui laut dengan
menggunakan tongkatnya
فَأَوْحَيْنَا إِلَى
مُوسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ
كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan
itu dengan tongkatmu". Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan
adalah seperti gunung yang besar.”
Tafsir ilmi dari teori ilmiyah
1.
Dzakirnaik
yang membuktikan ilmu embriologi pada Q.S. al-Mu’minun (23):12-14
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ
“Dan sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.” (12)
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ
“Kemudian Kami jadikan
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).” (13)
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ
مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ
أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Kemudian air mani itu
Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (14).
Daftar pustaka
adz-dzahabi,
Muhammad Husain, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr
1976
Almirzanah,
Syafa’atun. dan Syamsuddin, sahiron. (ed.), Upaya Integrasi Hermeneutika dalam
kajian al-Qur’an dan Hadis Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga,
2012
al-Qattan,
Mana’, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Halim Jaya, 2007
Choir,
Tholhatul. dan Fanani, Ahwan. (ed.), Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Mustaqim, Abdul.
“Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu
al-Qur’an dan Hadis vol. 7, Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan
Kalijaga, 2006
Mustaqim,
Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008,
Nasution, Harun.
Pembaharuan dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang. 1975
[1] Mana’
al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Halim Jaya, 2007), Hlm.
456.
[2] Muhammad
Husain adz-dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II (Beirut: Dar
al-Fikr 1976), Hlm. 474.
[3] Abdul
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka pelajar,
2008), Hlm. 90.
[4] Abdul
Mustaqim, “Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN
Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 24.
[5]
Abdul Mustaqim,
“Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu
al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan
Kalijaga, 2006), hlm. 23.
[6] Tholhatul
Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 501.
[7] Syafa’atun
almirzanah dan sahiron Syamsuddin (ed.), Upaya Integrasi Hermeneutika dalam
kajian al-Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga,
2012), hlm. 145.
[8]
Abdul Mustaqim,
“Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu
al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan
Kalijaga, 2006), hlm. 30.
[9] Abdul
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012), hlm. 52
[10] Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975), hlm.
158.
[11]
Abdul Mustaqim,
“Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu
al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan
Kalijaga, 2006), hlm. 30.
[12] Abdul Mustaqim,
“Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu
al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan
Kalijaga, 2006), hlm. 33.
[13] Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975), hlm.
158.
Jo lali follow blogku rek...
ReplyDeletelali yo ra popo..
ReplyDeleteada masalah..?
wkwkw