Oleh: *Muhammad barir
Diskusi tentang masalah kesetaraan sangatlah luas, mengingat isu
ini merupakan kritik atas hirarki yang masih menjadi perdebatan tak berujung. Ada
yang mengaitkan hirarki dengan hukum alam, ada pula yang menyatakan bahwa
hirarki merupakan sebuah konstruksi sosial buatan manusia. Keadilan yang sering didefinisikan sebagai teori tentang bagaimana
seorang dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya, sangat erat hubunganya dengan
prinsip egaliter yang mengusung ajaran tentang kesadaran akan kesetaraan
manusia tanpa melihat latar belakang baju ideology, gender, kultur, ras, atau
kelas ekonominya yang itu semua hanya akan membuat manusia terjebak pada
fanatisme, namun keadilan dan egaliter adalah dua entitas yang berbeda dan
tidak bisa disamakan.
Di negara ini, wanita tumbuh dan berkembang, bahkan berkarir secara
gono-gini dalam bingkai miniatur simbiosis mutualisme serta bersama laki-laki
dalam kehidupan sehari-hari, namun wanita tetaplah menjadi mahluk yang diberi
hak istimewa yang tak dimiliki laki-laki. Pada sistem kerajaan yang sempat mewarnai
sejarah Nusantara, wanita selalu menjadi sosok yang berada di belakang raja.
Namun apakah ini salah?, apakah ini merupakan sikap diskriminasi?, ataukah
sebatas menempatan manusia sesuai dengan fungsi dan jati dirinya masing-masing?, bukankah pada fitrohnya
manusia punya peran sosialnya sendiri-sendiri dan tidak mungkin disamakan.
Tanggal 24 Februari di Yogyakarta dalam sebuah seminar
internasional, pagi itu Nasaruddin Umar menyatakan kritiknya atas teori
egaliter yang muncul di Perancis yang banyak diadopsi dalam argument pendukung
kesetaraan gender seperti Fatimah Mernisi maupun Amina Wadud Muhsin.
Dalam argumenya mengenai gender, Nasaruddin Umar menyatakan bahwa
bagaimana pun fitroh manusia tidaklah bisa disamakan antara laki-laki dengan
perempuan, ia memberikan contoh seorang wanita hamil tidaklah bisa disamakan
tuntutan kerjanya dengan pria yang tidak pernah hamil. Menurutnya istilah yang
lebih tepat dalam menghapus diskriminasi gender adalah istilah equity
(keadilan) daripada equality (persamaan) secara total yang menjadi
derifasi dari egaliter. Wanita tidak mungkin bisa sama dengan laki-laki karena dibedakanya
wanita dengan laki-laki adalah salah satu bentuk kasih sayang.
Hal yang perlu
dikenang bahwa isu Egaliter berhembus adalah berkat tokoh yang sangat gencar
berusaha mendekonstruksi faham perbedaan, diantaranya ialah Karl Marx yang juga
dikenal merupakan tokoh yang memiliki spirit tinggi dalam memberangus konsep
kapital pembatasan antara kaum borjuis pemegang keuntungan tinggi (Surplus
Value) dan proletar yang tercekik, Marx ingin menyamakan keduanya, walau
perlu dipertanyakan dan banyak pro dan kontra, namun upaya Marx pada dasarnya
dilandasi oleh dorongan memanusiakan manusia, membuat manusia terbebas dari
diskriminasi, semangat yang sama ditunjukan Mahatma Gandhi ketika berada di
Afrika Selatan dan Farid Esac.
Perbedaan yang terjadi seringkali mengesampingkan definisi dari
perbedaan itu sendiri, sering kali perbedaan dimaknai dalam dimensi negativ, orang
yang berbeda dianggap aneh, atau bahkan suatu keburuka. Kenyataanya wanita
berbeda dengan laki-laki apakah itu sebuah keburukan?.
Menarik Strata Horizontal ke Area Gender
Ada dua strata yang sangat menentukan keseimbangan sosial (Social
Balance), keduanya hidup dan menjiwai corak berfikir masyaratkat, Pertama,
Strata Vertical adalah suatu pengelompokan golongan mulai dari kalangan yang
dianggap berada pada derajat yang paling bawah tersusun ke atas sampai pada
golongan yang dianggap memiliki derajat paling tinggi. Strata inilah yang
banyak menjiwai corak berfikir masyarakat Indonesia, hal ini terbaca dengan
banyaknya penyebutan orang miskin dengan istilah “kalangan menengah ke bawah”
atau menyebut orang kaya dengan istilah
“menengah ke atas” Setrata jenis ini tentunya tidak efektif. Strata sosial
yang tepat adalah strata horizontal dimana manusia tidak lagi berposisi di atas
dan di bawah, namun manusia berdiri sejajar dalam peran sosialnya
masing-masing.
Kedua, Strata
Horizontal merupakan sebuah manifestasi dari kombinasi antara keadilan dan
egaliter yang berdiri di tengah keduanya. Strata Horizontal tidak pernah
memandang petani lebih rendah dari pejabat namun Strata Horizontal mengajarkan
bahwa setiap manusia memiliki peran dan saling melengkapi.
Konsekuensinya, jika menerapkan dan menarik teori Strata Horizontal
pada isu Gender tentang diskriminasi wanita, hal yang muncul adalah, Pertama,
wanita tidak dituntut sama dengan laki-laki, Kedua, wanita akan dihargai
dan diakui peran dan fungsi sosialnya sebagai seorang wanita, serta tidak lagi
dipaksa untuk menyamai laki-laki.
Banyaknya kasus yang terjadi tentang pelecehan wanita di beberapa
daerah sebagaimana kasus pelecehan di angkot, penyiksaan TKW, penjualan wanita,
dan bahkan pelecehan Guru kepada muritnya seperti yang baru ini terjadi di
Jakarta dan banyak kasus lain, sewajarnya menjadi perhatian dalam memandang
sosok wanita sebagai pribadi yang berbeda dengan laki-laki, menjadi pribadi
yang harus mendapat perlindungan lebih dibanding laki-laki dalam kondisi pada
umumnya.
Pembedaan antara laki-laki dan perempuan dilakukan bukan untuk
mendiskriminasi, namun sebagai pemberian hak istimewa bagi perempuan, dalam
khazanah Nusantara, wanita adalah simbolisme keagungan dan estetika dengan
menampilkan sosok ibu, menjadi sosok penyayang, Ibu Jari, Ibu Kota, Ibu
Pertiwi, dan istilah lainya adalah ungkapan yang tidak seketika lahir begitu
saja, namun ungkapan ini adalah manifestasi pemikiran khazanah budaya yang
membawa pesan bahwa sosok wanita adalah sosok yang sentral yang harus diingat.
Gus Dura atau KH Abdurrahman Wahid pernah melakukan kontroversi
dengan menafsiri Islam sebagai “kedamaian”, pada dasarnya semua manusia
berhak mendapat kedamaian itu, baik dari berbagai background keagamaan,
etnis, ras, budaya, maupun bangsa tanpa dibeda-bedakan.
No comments:
Post a Comment