Melacak
Pemikiran Syuhudi Ismail
Oleh:
Muhammad Barir
A. SEJARAH DAN
PERKEMBANGAN HADITS
Hadits menjadi suatu hal yang penting dalam islam karena
hadits merupakan pegangan umat yang kedua setelah al-qur’an. Sesuai dengan apa
yang pernah disampaikan nabi kepada shohabat
muad bin jabal tentang apa yang harus dijadikanya pegangan dalam
menentukan suatu perkara.
Perkembangan hadits mulai dari awal munculnya hingga
sampainya pada kita, melewati berbagai polemik dan lika-liku yang cukup
panjang, berawal dari pertamakali disampaikan rosul yang disitu terjadi suatu
pertentangan pendapat di antara para shohabat tentang apakah hadits boleh
ditulis mengingat pentingnya hadits itu dalam mengatur urusan umat dan apakah
hadits tidak boleh ditulis mengingat pada masa itu al-qur’an yang merupakan
kalamullah sedang dalam proses pewahyuan dan dikhawatirkan ketika antara hadits
dan al-qur’an ditulis bersamaan akan mengalami percampuradukan antara
kalamullah dan hadits nabi.
Bagaimana sebenarnya yang terjadi sebenarnya ? para
ulama’ saling beradu argumen yaang selengkapnya bisa disimak dalam pembahasan
berikut.
B.
PERIODEISASI HADITS
1.
Periode Pertama (Abad Satu Hijriyah)
عصر الوحي و التكوين
“masa turunya wahyu dan pembentukan
masyarakat islami”
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa dalam
perkembangan haidits terjadi suatu pertentangan antara umat tentang beleh dan
tidaknya penulisan hadits. Hal itu terjadi karna perintah nabi sendiri, suatu
ketika nabi membolehkan penulisan hadits dan dalam kesempatan lain rosulullah
melarangnya,
Perintah rosulullah menulis hadits:
وحدثوا عنى ولاحرج
ومن كذب علي متعمدا فليتبوأمقعده من النار (روه البخارى ومسلم)
Yang
artinya: dan ceritakanlah dari ku, tidak ada salahnya jika engkau menceritakan
sesuatu dari ku, barang siapa berdusta atas namaku maka bersiaplah menempati
tempatnya dineraka.
Larangan
rosulullah menulis hadits:
لا تكتبوا عنى شيأ الا القرأن ومن كتب عنى
شيأ غيرالقرأن فليمحه (رواه مسلم)
artinya:
janganlah kalian menulis dariku selain al-qur’an, barang siapa menulis dariku
selain al-qur’an maka hapuslah.
Dari pertentagan di atas sebenarnya hadits
dalam pertentangannya antara apakah boleh atau tidak menulisnya, para ulama’
mengenukakan beberapa poin.
a. Bahwa
larangan menulis hadits telah dihapus dengan perintah.
b. Larangan
menulis hadits berlaku pada orang umum yang belum begitu menguasai baca tulis
dan bagi shohabat tertentu diperintahkan untuk menulis.
c. Larangan
menulis hadits ditujukan pada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan
hadits dengan al-qur’an dan bagi shohabat yang tidak dikhawatirkan melakukanya
maka diperbolehkan.
d. Larangan
hanya tertuju pada pengumpulan hadits dalam bentuk mushaf sedangkan jika dalam
catatan-catataan kecil tidak dilarang.
e. Pelarangan
hanya berlaku saat turunya al-qur’an yang belum dihimpun dan dihafal, sedangkan
ketika al-qur’an telah dihimpun dan dihafal maka diperbolehkan.
Dari
sini jelas bahwa rosulullah tidaklah pimplang dalam perintahnya pada shohabat,
tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mendorong beliau suatu ketika melarang
menulis hadits dan memerintahkan menulisnya pada waktu yang lain.
2. Periode Kedua (abad pertama hijriyah)
زمان
التثبة والاقلال من الرواية
“Masa kehati-hatian dan
penyederhanaan riwayat”
Periode
ini berjalan pada masa khulafaur rosyiddin. Pada masa ini hadits dalam
perkembanganya menuai perhatian dari para shohabat yang walau pun belum begitu
signifikan tapi memiliki dampak tertentu dalam turut mewarnainya corak agama
pada masa ini, sikap para shohabat terhadap hasits pada masa ini ialah
sebagaimana berikut :
a. Memerhatikan
rowi dan matan hadits dalam penerimaan dan periwayatan.
b. Belum
memperbanyak periwayatan dan penerimaan hadits.
c. Para
shohabat kecil banyak melakukan pelawatan sebagai misi dakwah kebeberapa daerah
karena shohabat besar telah banyak yang wafat.
Sedangkan
cara-cara shohabat dalam meriwayakan hadits pada masa ini ialah:
a. Melalui
pelantara lisan atau dari mulut ke mulut.
b. Periwayatan
melalui jalan lafdhiyah dan maknawiyah.
c. Bersandar
pada ingtan dan hafalan.
Pada
periode ini, kondisi hadits sendiri sudah mulai disalahgunakan oleh beberapa
pihak dalam mendukung kepentinganya dengan membuat hadits-hadits palsu.
3. Periode Ketiga (Abad Kesatu Hijriyah)
زمان إنتشار الرواية الى الأمصار
“masa penyebaran riwayat ke kota-kota”
Periode ini berlangsung pada masa
dinasti umayyah awal sampai abad I hijriyah.
Pada
periode ini umat semakin banyak mencurahkan perhatianya terhadap hadits
dikarenakan semakin berkembengnya zaman semakin berkembang pula
permasalahan-permasalahan yang dihadapi, belum lagi banyaknya shohabat-shohabat
yang meninggal dunia semakin menambah beban berat umat dalam memutuskan suatu
persoalan tertentu, maka disini peran hadits sangat-sangat diharapkan guna
dapat memberi jawaban yang memadai.
Pada
era ini para shohabat dan tabi’in sangat berhati-hati dalam menerima dan
meriwayatkan hadits mengingat pentingnya nilai kevalidan hadits dalam
menentukan permasalahan.
4. Periode Keempat (Abad Kedua Hijriyah)
عصرالكتابة
والتدوين
“masa penulisan dan pengkodifikasian”
Jika
menyebut kata pengkodifikasian hadits yang terbersit difikiran kita
ialah era Uma bin Abd Aziz walau juga dikenal bahwa sebelumnya telah ada
pengkodifikasian.[1]
Suatu keberhasilan yang gemilang ditorehkan olehnya dalam masalah
pengkodifikasian hadits.
Pada
saat itu titah kholifah Umar bin abd Aziz diberikan kepada gubernur madinah
yang juga merupakan seorang ulama. Adalah Abu Bakar Muahmmad Ibn Amr Ibn Hazm
atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Hazm.
Setelah
menerima perintah tersebut Ibnu Hazm pun langsung menyusun Hadits yang
sebelumnya dikumpulkan dari catatan dan hafalan para ulama.
Selain
itu, tokoh yang tidak kalah penting dalam pengkodifikasian hadts ialah abu
Bakar Muhammad Ibnu Muslim Ibnu Ubaidillah Ibnu Syihab Az-Zuhri atau yang lebih
dikenal dengan Ibnu Syihab Az-Zuhri. Beliau berperan sangat signifikan dalam
pendewwaan atau kodifikasi hadits. Beliau berusaha mengumpulkan seluruh hadits
yang ada di madinah dan seelah dirasa cukup, kemudian beliau menyebarkanya
keberbagai penguasa daerah, dengan usahanya ini hadits mengalami perkembangan
yang cepat dan pesat.
5. Periode Kelima (Abad Ketiga Hijriyah)
عصرالتجريد و التصحيح والتنقيح
“Masa pemurnian, perbaikan, dan penyemprnaan”
Masa
ini berlangsung pada kekholifahan al-Makmun akhir hingga awal al-Muqtadir pada
masa dinasti Abbasiyah.
Pada
maa ini kiranya terjadi hal yang menjadi kekelaman dan penodaan sejarah dimana
para ulama tidak terkecuali ulama hadits banyak yang disiksa demi menunaikan
kepentingan ideologi penguasa, tragedi ini dikenal dengan tragedi mihnah yang
terjadi abad VIII.
Pada
periode ini hidits mulai dimodifikasi dalam penyusunan kitabnya sehingga pada
periode ini muncul kitab-kitab dengan model-model tertentu yang diantaranya
ialah kitab shohih yang memuat hadits-hadits shohih, kitab hadis sunan yang
tidak hanya meuat hadits shohih tapi juga hadits dho’if ringan. Selain itu,
pada periode ini juga ada kitab hadits musnad yang memuat seluruh hadits dengan
penyusunan berdasar urutan baik urutan bab atau nama rowi.
Dengan
adanya penyusunan kitab yang bervariasi maka demi kemashlahatan ditaruhlah
penetapan standar kitab yakni:
a. Al-kutub
al-Khomsah
1. Shohih
Bukhori
2. Shohih
Muslim
3. Shohih
Abu Dawud
4. Shohih
Tirmidzi
5. Shohih
Nasa’i
b. Al-kutub
as-Sittah
1. Shohih
Bukhori
2. Shohih
Muslim
3. Shohih
Abu Dawud
4. Shohih
Tirmidzi
5. Shohih
Nasa’i
6. Ibnu
Majah
Selain itu untuk
standar urutan keenam ulama’ juga ada yang berpendapat Muatho’ Imam Malik,
Sunan ad-Darimi[2], al-muntaqo
susunan Ibn Jarud.
c. Al-kutub
as-Sab’ah
a. Shohih
Bukhori
b. Shohih
Muslim
c. Shohih
Abu Dawud
d. Shohih
Tirmidzi
e. Shohih
Nasa’i
f. Ibnu
Majah
g. Yang
menempati urutan ke tuju ialah Musnad Ibnu Hambal menurut sebagian ulama.
6. Periode Keenam (Abad Keempat Sampai Pertengahan Abad
Ketujuh Hijriyah)
عصر
التهذيب والترتيب والإستدراك والجمع
“masa penambahan, penertiban, penambahan dan penghimpunan”
Periode
kholifah muqtadir sampai mu’tasim pada daulah abbasiyah. Pada era ini hadits
mengalami penyempurnaan dalam pengumpulan kedalam beberapa kitab. Penyempurnaan
ini merupakan bentuk lanjutan dari pengumpulan hadits yang hampir sempurna pada
periode sebelumnya. Diantara kitab-kitab yang berhasil dihimpun pada era ini
diluar era sebelumnya ialah:
a. As-Shohih
susunan Ibnu Huzaimah (313 H)
b. Al-Anwa’
wa at-Taqsim susunan Ibnu Hibban (354 H)
c. Al-Musnad
susunan Ibnu Awwamah (316)
d. Al-Muntaqo’
susunan inu Jarud .
e. Al-Mukhtarah
susunan Muhammad bin Abdul Wahid al-Muqdisiy.
Era
ini juga menjadi era pembatas antara ulama mutaqoddimin dan mutaakhirin
dimana ad-Zdhahabi menjadi penghujung dari ulama’ mutaqoddimin.
Pada
era ini konsentrasi ulama sudah tidak lagi terprioritas pada penyusunan, akan
tetapi lebih kepada pendalaman dan penelitian kitab-kitab yang kelah ada.
Diantara tindakan dari ulama-ulama hadits pada era ini ialah:
a. Mempelaari
b. Menghafal
c. Meneliti
dan memeriksa sanad.
d. Menyusun
kitab baru dalam menyempurnakan kitab yang telah ada dengan cara memperlengkap
kitab yang belum memuat suatu matan hadits dengan menambah matan hadits lain
yang belum termuat tetapi ditemukan dalam kitab lain.
Pda
era ini juga muncul metode penyusunan kitab hadits model baru yang tentunya
sangat membantu dalam majunya ilmu ini. Diantara metode penyusunan kitab model
baru ialah:
a. Kitab
Athrof
Kitab yang mencantumkan
bagian dari matan hadits kemudian setelah itu diberi penjelasan sanad baik dari
kitab dimana matan hadits itu didapat maupun dari kitab-kitab lainya.
b. Kitab
mustahkroj
Kitab yang memuat matan
hadits yang termuat dalam shohih bukhori muslim atau keduanya dan setelah itu
diberi sanad sendiri yang berbeda.
c. Kitab
mustadrok
Kitab yang menghimpun
hadits yang memenuhi syarat bukhori, muslim, atau keduanya.
d. Kitab
Jami’
Kitab yang menghimpun
hadits-hadits dari kitab-kitab yang telah ada. Seperti kitab yang menghimpun
hadits shohih bukori dan muslim.
e. Kitab
Hadits berdasarkan tema
Kitab ynag memuat
beberapa hadits yang membahas perso’alan tertentu.
7. Periode Ketuju (Pertengahan Abad Ketuju Sampai abad
XX)
عهد
الشرح والجمع والتخريج و البحث
“masa pemberian keterangan, pengumpulan, pentakhrijan, dan
pembahasan”
Pada
periode ini penyampaian hadits jarang dilakukan dengan cara hafalan dan ingatan
sebagaimana yang dilakukan oleh ulama mutaqoddimin akan tetapi pada
periode ini periwayatan hadits lebih sering dillakukan dengan metode mukatabah
(tulisan) dan ijazah (pemberian izin seorang guru kepada muritnya untuk
menyampaikan hadits). Tapi walaupun demikian ada juga diantara para ulama yang
meriwayatkan hadits dengan metoe lama.
Kegiatan
ulama hadits pada periode ini juga berbentuk pengkajian kitab-kitab hadits yang
telah ada dan kemudian dikembangkan. Hasil dari upaya ini ialah tersusunya beberapa
litab sebagai lanjutan dari karangan sebelumnya yakni diantaranya:
a. Kitab
Syarah
Kitab yang berisi matan
hadits yang diberi penjelasan ulama
b. Kitab
Mukhtashor
Kitab yang meringkas
pembahasan kitab sebelumnya dengan membahas poin-poin yang dianggap penting
dari kitab yang di-syarah.
c. Kitab
Zazo’id
Kitab yang menghimpun
hadits yang tidak termaktub dalam kitab tertentu tapi termaktub dalam kitab
yang lain.
d. Kitab
petunjuk kode indeks
Kitab yang member
petunjuk pencarian hadts dengan mencantuman tanda-tanda tertentu atau lainya.
8. Era Komputerisasi (abad XX)
pada
era ini seiring berkembang pesatnya piranti lunak dan alat komunikasi dunia ber
bentuk jaringan internet ilmu hadits tidak lagi ermuazt dalam beberapa lembar
kertas yang mencantumkan tulisan, akan tetapi Kitabhadits pada masa sekarang
telah berubah wujut kedalam softwere yang lebih efisien, ringkas, dan mudah
dengan programnya yang menjawab pertanyaan kita bagaimana memiliki banyak kitab
hadits tetapi kita tidak memiliki tempat, bagaimana kita kesulitan mencari
matan hadits tetapi setelah ada piranti lunak ini dengan menggunakan satu kata
kita bias langsung mendapatkan hadits yang kita inginkan tanpa harus membuka
berpuluh-puluh atau berates-ratus lembar kitab hadits. Salah satu dari piranti
lunak tersebut ialah Hadits Web, Islam Virtual yang memuat kajian al-Qur’an dan
Haits, muatho’ firtual yang terdapat di Ifo@omelketab.net,
dorar@gawab.com yang yang mempublikasikan
Shohih bukhori dan lain sebagainya, dan masih banyak lagi yang dapat kita
jumpai mengenai kajian hadits bentuk softwere.
[1] pengkodifikasian yang dimaksud pada era ini ialah
pengkodifikasian secara resmi oleh pemerintah, tapi diluar itu ada
pengkodifikasian yang dilakukan secara perseorangan oleh shohabat-shohabat besar
dimana mereka secara perseorangan melakukan pencatatan terhadap hadits sebagai
pedoman pribadi.
[2] Ibnu Hajar al-Atsqolani ialah
salah seorang ulama yang setuju terhadap
penempatan tersebut.
No comments:
Post a Comment