Sunday, May 5, 2013

Wanita, Egaliter, dan Strata Horizontal



Wanita, Egaliter, dan Strata Horizontal
Muhammad barir
Di negara ini, wanita tumbuh dan berkembang, bahkan berkarir secara gono-gini dalam arti turut serta bersama laki-laki dalam kehidupan sehari-hari. Namun wanita tetaplah menjadi mahluk yang diberi hak istimewa dan berbeda dengan laki-laki. Pada sistem kerajaan yang sempat mewarnai sejarah Nusantara, wanita selalu menjadi sosok yang berada di belakang raja. Namun apakah ini salah?, apakah ini merupakan sikap diskriminasi?, ataukah sebatas menempatan manusia sesuai dengan fungsi dan jati dirinya  masing-masing?, bukankah pada fitrohnya manusia punya peran sosialnya sendiri-sendiri dan tidak mungkin disamakan.
Diskusi tentang masalah kesetaraan sangatlah luas, mengingat isu ini merupakan kritik atas hirarki yang masih menjadi perdebatan tak berujung. Ada yang mengaitkan hirarki dengan hukum alam, ada pula yang menyatakan bahwa hirarki merupakan sebuah konstruksi sosial buatan manusia. Keadilan yang sering didefinisikan sebagai teori tentang bagaimana seorang dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya, sangat erat hubunganya dengan prinsip egaliter yang mengusung ajaran tentang kesadaran akan kesetaraan manusia tanpa melihat latar belakang baju ideology, gender, kultur, ras, atau kelas ekonominya yang itu semua hanya akan membuat manusia terjebak pada fanatisme. 
Fanatik dalam apa pun bentuknya termasuk menganggap kelaki-lakian (masculinity) sebagai superior, ataupun kewanitaan (femininity) sebagai inferior tidak akan terjadi jika ada suatu sifat yang sesuai dalam membingkai manusia kedalam jiwa simbiosis mutualisme. Keadilan akan tersalurkan jika kaya dan miskin, borjuis dan proletar tidak dibeda-bedakan. Dalam sebuah seminar internasional tanggal 24 Februari di Yogyakarta, Nasaruddin Umar menyatakan kritiknya atas teori egaliter yang muncul di Perancis yang banyak diadopsi dalam argument pendukung kesetaraan gender.
Dalam argumenya mengenai gender, Nasaruddin Umar menyatakan bahwa bagaimana pun fitroh manusia tidaklah bisa disamakan antara laki-laki dengan perempuan, ia memberikan contoh seorang wanita hamil tidaklah bisa disamakan tuntutan kerjanya dengan pria yang tidak pernah hamil sehingga tidak perlu menggaji penuh wanita hamil yang sedang cuti. Menurutnya istilah yang lebih tepat dalam menghapus diskriminasi gender adalah istilah equity (keadilan) daripada equality (persamaan) secara total yang menjadi derifasi dari egaliter. Wanita tidak mungkin bisa sama dengan laki-laki dibedakanya wanita dengan laki-laki adalah salah satu bentuk kasih sayang.
Dalam kasus berbeda, egaliter berkembang dalam isu sosial, perbedaan kaya dan miskin pejabat dan jelata terlalu jauh. dengan adanya kondsi ini sejarah mencatat tentang lahirnya tokoh yang sangat gencar berusaha mendekonstruksi faham perbedaan, diantaranya ialah Karl Marx yang juga dikenal merupakan tokoh yang memiliki spirit tinggi dalam memberangus konsep kapital pembatasan antara kaum borjuis sebagai pemegang keuntungan tinggi (Surplus Value) dan proletar yang tercekik, Marx ingin menyamakan keduanya, walau perlu dipertanyakan dan banyak pro dan kontra, namun upaya Marxisme pada dasarnya dilandasi oleh dorongan memanusiakan manusia dalam menjalin hubungan yang lebih stabil dengan membuat manusia terbebas dari baju golongan, diskriminasi, maupun fanatisme gender, ras, agama, budaya, maupun fanatisme kelompok atau partai tertentu. 
Perbedaan yang terjadi seringkali mengesampingkan definisi dari perbedaan itu sendiri, perbedaan merupakan hal yang mutlak terjadi mewarnai kehidupan manusia kapan pun dan dimana pun, namun sering kali perbedaan dimaknai dalam dimensi negative dalam arti dianggap aneh, atau bahkan suatu hal yang buruk. Kenyataanya wanita berbeda dengan laki-laki namun bukan berarti wanita menjadi sosok yang jauh dengan laki-laki dan malah menjadi sosok terdekat bagi laki-laki dan begitulah sebaliknya.
Ada dua strata yang sangat menentukan nasib seorang wanita, keduanya hidup dan menjiwai corak berfikir masyaratkat, Pertama, Strata Vertical dalam arti pengelompokan golongan mulai dari kalangan yang dianggap berada pada derajat yang paling bawah tersusun ke atas sampai pada pihak yang dianggap memiliki derajat paling tinggi. Strata inilah yang banyak menjiwai corak berfikir masyarakat Indonesia, hal ini terbaca dengan banyaknya penyebutan orang miskin dengan istilah “kalangan menengah ke bawah” atau menyebut orang kaya dengan istilah  “menengah ke atas” Setrata jenis ini tentunya tidak efektif. Strata sosial yang tepat adalah strata horizontal dimana manusia tidak lagi berposisi di atas dan di bawah, namun manusia berdiri sejajar dalam peran sosialnya masing-masing.
Kedua, Strata Horizontal merupakan sebuah manifestasi dari kombinasi antara keadilan dan egaliter yang berdiri di tengah keduanya. Strata Horizontal tidak pernah memandang petani lebih rendah dari pejabat namun strata Horizontal mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki peran dan saling melengkapi. Aspek kedua yang diajarkan oleh teori strata horizontal adalah kesalahan membedakan manusia secara mutlak dan kesalahan menyamakan manusia secara mutlak.
Konsekuensinya, jika menerapkan dan menarik teori Strata Horizontal pada isu Gender tentang diskriminasi wanita, hal yang muncul adalah, Pertama, wanita tidak dituntut sama dengan laki-laki, Kedua, wanita akan dihargai dan diakui peran dan fungsi sosialnya sebagai seorang wanita. Wanita akan ditonjolkan kelebihanya dalam mengisi kekurangan laki-laki.
Banyaknya kasus yang terjadi tentang pelecehan wanita di beberapa daerah sebagaimana kasus pelecehan di angkot, pelecehan TKW, penjualan wanita, dan bahkan pelecehan Guru kepada muritnya seperti yang baru ini terjadi di Jakarta dan banyak kasus lain, sewajarnya menjadi perhatian dalam memandang sosok wanita sebagai pribadi yang berbeda dengan laki-laki, menjadi pribadi yang harus mendapat perlindungan lebih dibanding laki-laki dalam kondisi pada umumnya.
Pembedaan antara laki-laki dan perempuan dilakukan bukan untuk mendiskriminasi namun sebagai pemberian hak istimewa bagi perempuan, dalam khazanah Nusantara, wanita adalah simbolisme keagungan dengan menampilkan sosok ibu, menjadi sosok penyayang, Ibu Jari, Ibu Kota, Ibu Pertiwi, dan istilah lainya adalah ungkapan tidak sekedar ungkapan biasa, namun ungkapan yang membawa pesan bahwa sosok wanita adalah sosok yang sentral yag harus diingat.   

No comments:

Post a Comment