Friday, September 30, 2016

Sudut Pandang Lain Tokoh Sejarah Pra-Kemerdekaan



Resensi Dari Penjara Kepenjara
Oleh: Muhammad Barir, S. Th.I *)






Judul                        : Dari Penjara ke Penjara
Penulis                      : Tan Malaka
Penerbit                    : Narasi
Cetakan                    : 2014
Tebal                        : 560 halaman
ISBN                        : 979-168-333-6





Ditulis pada 1948, buku bertajuk “Dari Penjara ke Penjara” ditahbiskan sebagai salah satu buku yang paling berpengaruh dan memberikan konstribusi besar terhadap gagasan kebangsaan. Penulis yang pernah menimba ilmu di Herleem Belanda pada 1913 ini, menguraikan satu-persatu peristiwa yang sempat tidak tercatat oleh sejarah. Kisah-kisah yang tercecer tersebut disusun secara jujur dan apa adanya. Apa yang dialami Tan Malaka paling tidak berkonstribusi besar sebagai koreksi atas pemutaranbalikan fakta selama ini.
Selain banyak menguraikan aspek sosial dan karakter masyarakat tiap tempat yang ia singgahi, penulis berupaya dengan bukunya melukiskan gambaran dominasi kelas, kolonialisasi, dan pembodohan yang merajarela. Semangat perlawanan dalam mendobrak birokrasi saat itu membuat penulis harus singgah dari satu penjara ke penjara lainnya, dibuang ke Kupang dan sempat juga diasingkan hingga ke Filipina, Singapura, dan pedalaman China di tengah sakit yang dideritanya.
Sebagai tokoh reformis, Tan Malaka tidak luput turut mencurahkan barbagai ide dan pandangannya tentang politik, filsafat, dan kemanusiaan. Di luar karakter penulis yang sangat rasional, buku ini secara tidak terduga juga turut menyertakan kisah-kisah menarik yang dialami penulis dalam pelariannya tentang kepribadian, lelucon, dan hal-hal yang sebenarnya bersifat pribadi. Di antara kisah-kisah itu bahkan ada bebarapa kisah hidupnya yang diakui sendiri oleh Tan Malaka sebagai incredible sense berupa kebetulan-kebetulan yang menurutnya tidak dapat ditakar oleh nalar, seperti lolosnya ia ketika berada di sebuah ruangan di kapal Suzana dari patroli gabungan antara Amerika, Belanda, Inggris berserta sekutunya (halaman 213). Selain itu, banyak kisah lain yang ia sempat ceritakan seperti lolos ke beberapa negara dan berhasil mengelabui petugas keimigrasian dengan berbagai nama samaran yang pernah ia pakai seperti Hasan Ghazali dan Estahislau Rivera.
Melalui buku ini, karakter pergerakan kemerdekaan di beberapa Negara tersaji secara fulgar, berangkat dari kesempatannya dalam memimpin beberapa pergerakan di Rusia dengan pidato bersejarahnya di rapat dewan, kehidupan di Belanda, kiprah di Filipina, dan pengalaman-pengalaman lainnya di beberapa tempat yang pernah ia singgahi. Di luar posisi dan kesempatannya menduduki jabatan penting, kehidupan Tan Malaka masihlah jauh dari kemapanan, ia mesti kembali terasing, terpenjara, dan merasakan kesendirian bahkan tak sempat sekedar menemui ayahnya yang meninggal karena harus kembali dibuang ke Kanton oleh belanda pada 1925.
Ada beberapa catatan tentang kelebihan buku ini. Beberapa hal penting yang akan tetap relevan dan masih akan selalu diingat sebagai pemikiran Tan Malaka. Pertama adalah pendidikan, kedua adalah kemanusiaan, dan ketiga adalah kemeredekaan. Corak pemikiran yang menjiwai pergerakan Tan Malaka paling tidak berhasil menjadi primadona di dalam dan di luar negeri. Ia berhasil mengumpulkan banyak dukungan di beberapa Negara terutama di Filipina, bahkan saat penangkapan 1927, rakyat dan akademisi Filipina melakukan demonstrasi besar-besaran baik melalui majalah hingga melalui aksi turun ke jalan dalam menuntut pembebasannya. Rakyat dan senat tinggi Filipina juga turut menyumbangkan dana jaminan sehingga tidak kurang dari p. 13.000 berhasil dikumpulkan untuk kebebasan Tan Malaka.
Meski buku ini dengan beberapa keterbatasannya mengingat faktor posisi penulis yang serba kekurangan baik kertas maupun data ketika menulis dalam penjara., namun penulis berhasil menyajikan informasi-informasi penting dengan sangat menggugah dan tidak membosankan. Buku ini juga menjadi salah satu bahan renungan dalam memerhatikan sejarah kemerdekaan, mengingat sejarah yang saat itu ditulis tidaklah semuanya berangkat dari fakta. Sebuah buku Buku yang mengingatkan kita agar tidak menelan sesuatu secara mentah-mentah (taken for granted) dan sebagai generasi baru, buku ini membuka mata untuk mulai berfikir kritis atas fenomena yang terjadi.
*) Penulis dan
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta