Sunday, October 4, 2015

Filosofi Aku Ahmad Wahib



Pergolakan Pemikiran Islam


          Nama Ahmad Wahib tidak lepas dari sebuah buku hijau "Pergolakan Pemikiran Islam" yang merupakan catatan harian yang sekaligus menjadi tolok ukur terhadap geliat pergerakan pemuda Islam pasca kemerdekaan. Buku ini meninggalkan sebuah dialog pribadi penulisnya dengan sebuah masa yang sedang goyah dengan berbagai tuntutan perubahan di sana-sini. Lebih tajam, buku ini menyoroti langsung beberapa tokoh yang dianggap penting oleh AW (Ahmad Wahib) untuk diangkat dalam catatan hariannya. Beberapa tulisannya juga menyangkut baik langsung dan tidak langsung tentang kesuraman masa Orba sebagaimana pendapat Prof. Dr. Rasjidi dalam majalah Panji Masyarakat.  

Sosok
Ahmad Wahib lahir pada 9 Nofember 1942 di kota Sampang Madura. Lingkungan di daerahnya merupakan lingkungan agamis dengan kultur yang kuat. Sulaiman, ayahnya pun dikenal oleh masyarakatnya sebagai seorang pemuka keagamaan. Meski sosok Wahib tidak pernah merampungkan studinya di Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA) UGM, namun dia adalah seorang yang memiliki banyak kelebihan, keterbukaan pikiran dengan tanpa mengenal latar belakang, mampu duduk sejajar dengan siapapun. Alam pikir ini terbentuk terutama saat menghabiskan masa-masa awal kuliyahnya di Kota Pelajar Yogyakarta dengan tinggal dalam lingkungan katolik tepatnya di Asrama Mahasiswa Realino.
Tiga dasar pemikiran yang terbangun pada dirinya, yakni demokrasi, marxisme, dan sosialisme menjiwai pergerakan pemuda Islam saat itu terutama dalam organisasinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pendewasaan pemikiran Wahid juga sedikit-banyak terpengaruhi melalui diskusi terbataas yang digawangi oleh mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Mukti Ali yang juga menjabat Menteri Agama RI tahun 1971-1978. Diskusi yang saat ini masih tetap berjalan di gedung rektorat lama lt 2 setiap malam sabtu selepas isya’.
Buah-buah pemikirannya ia rumuskan dalam Sembilan tema yang mengilustrasikan permasalahan hubungan persoalan teologis-normatif dengan sosio-historis. Kesembilan tema tersebut adalah:[1]
1.      Karya Tuhan di dunia dalam tinjauan teologis.
2.      Konsep Manusia dalam Islam.
3.      Kedudukan al-Qur’an dan Sunnah dalam memahami islam.
4.      Evolusi Alam dan Manusia.
5.      Atheisme.
6.      Perkembangan Teologi di kalangan Kristen.
7.      Sikap teologis pada agama-agama non-Islam.
8.      Iman Pada yang Gaib.
9.      Jamaah dalam Sifat Individual Islam.

Ahmad Wahib meninggal dalam usia begitu muda. Pada 31 maret 1973 sepeda motor berkecepatan tinggi telah menabraknya di jalan Senen Raya Kalilio.
Tafsiran Filosofi “Aku” Ahmad Wahib
Salah satu pandangan Ahmad Wahib tentang Jatidiri adalah definisi aku. Menurutnya, aku saat ini bukanlah Aku. Aku yang sebenarnya adalah Aku yang ada di masa depan. Aku adalah proses menjadi Aku. Menata bata-bata pengalaman menjadi mozaik kehidupan. Tidak berusaha menghapus jejak masa lalu, namun meneruskannya untuk menemukan siapa sesungguhnya Aku.

Muhammad Barir
Yogyakarta, 4 Oktober 2015


[1] Djohan Effendi, “Pendahuluan”, dalam Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam (Jakarta, LP3ES, 2013), hlm. 7.
 

Saturday, October 3, 2015

KEKUATAN SOSIAL PESANTREN DAN LINGKUNGAN HIDUP



Catatan Kecil dari an-Nuqayyah Guluk-guluk

Surakarta, tanggal 25 Agustus pagi itu, Prof. Emil Salim telah berdiri di atas mimbar. Beberapa teman dari pemerhati lingkungan Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia (IALHI) bergegas mencari posisi terbaik. Nampak dari kejauhan tempat kami duduk, sosok tua itu sedang berusaha mengungkapkan sesuatu seolah hal yang telah lama dipendamnya. Mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berkata dengan suara yang agak berat menceritakan pengalamannya tahun 2007 saat ia berada di suatu tempat yang takkan terlupa di sisa hidupnya.
Saat itu ia sedang mengudara dengan helikopter menyusuri kepulauan Maduru tepatnya di Guluk-Guluk, Sumenep. Ia masih ingat betul betapa kawasan ini dulunya adalah kawasan tandus. Namun setelah tak lama ia mengudara, sontak saja terkejut ketika didapatinya rerimbunan hijau terbentang di bawah kakinya jauh. Ia mendekat dan turun dengan rasa penasaran dan turun di tanah lapang.
Berjalan tak begitu jauh, ia temukan seseorang yang ia ketahui kemudian adalah seorang santri[1]. Ia masih heran mengapa dulu di tanah tandus itu sekarang telah berubah menjadi hutan yang rindang dengan aliran sungai yang begitu jernih. Ia bertanya mengapa di sini ada hutan rindang. Tak banyak berkata, santri itu mengantarkan Emil Salim, mantan menteri Lingkungan Hidup era Soeharto itu menuju rumah seorang kiai. Ya, yang ia ketahui adalah bahwa hutan itu ada di area pesantren an-Nuqayyah. KH. Abdul Basith telah berada di depan Emil salim yang bertanya tentang suatu hal. Mengapa anda, masyarakat, santri, dan kiai-kiai di sini membuat hutan seperti ini?. sebuah proyek yang hanya menjadi angan-angan bahkan oleh ahli dan professor-profesor lingkungan hidup selama ini.
Menarik nafas dalam, Kiai Basith berkata : “kami hanya ingin menyempurnakan sholat”, Emils Salim kebingungan mendengar hal itu. Kiai Basith meneruskan : “untuk kesempurnaan sholat dibutuhkan kesempurnaan wudhu. Untuk kesempurnaan wudhu dibutuhkan air yang cukup. Untuk air yang cukup kami butuh aliran sungai. Untuk membuat sungai mengalir diperlukan mata air. Kemudian untuk membuat mata air itu ada, kami perlu hutan”.
Emil Salim berkata di podium itu. Membuka matanya yang terpejam, menarik nafas dalam satu kesimpulan yang bisa didapat dari sini adalah akan adanya aspek yang selama ini belum atau bahkan tidak diperhatikan dalam penanggulangan bencana. Berbagai upaya pelestarian lingkungan yang selama ini ada seringkali terhambat oleh birokrasi dan masalah di lapangan. Namun kita melupakan satu aspek, yakni agama yang menjadi sebuah kekuatan besar yang tersembunyi selama ini dan dengan disokong mayoritas bangsa Indonesia sebagai bangsa beragama. Terutama dengan pesantren dan sosok kiai sebagai kekuatan Bangsa yang berperan membangun keberagamaan Nusantara.
Pesantren
Menurut Zamakhsyari Dhofier, Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan di Indonesia lebih dikenal dengan istilah pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu. Kata pondok juga identik dengan kata funduq yang dalam bahasa Arab diartikan sebagai asrama atau hotel.
Lebih lanjut menurut Zamakhsyari Dhofier dalam “Tradisi Pesantren,” Perkataan pesantren berasal dari awalan pe dan akhiran en yang menunjukkan makna tempat. Yakni tempat tinggal para santri.A.H. Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti Guru ngaji. Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah itu berasal dari kata shastri yakni orang yang tahu kitab agama Hindu yang disebut shastra yakni buku-buku suci yang berisi aspek-aspek keagamaan dan ilmu-ilmu pengetahuan. Berangkat dari pendapat-pendapat tersebut, para ahli sejarah berkesimpulan awal bahwa pesantren-pesantren saat ini adalah penerus dari tradisi lembaga pendidikan keagamaan Hindu Budha yang dinamakan mandala.[2]


Catatan Pribadi Muhammad Barir
tertanggal 25 agustus 2015, Surakarta,
Seminar Nasional "DAS"
Universitas Sebelas Maret (UNS)



[1] Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan pesantren, seorang bisa disebut kiyai apabila memiliki santri dan tempat tinggal pemondokan.
[2] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan hidup Kyai dan visinya mengenai m,asa depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 41.