Thursday, June 13, 2013

Ruangan Sang Kiyai


Trilogy anak tangga terakhir
Oleh: Muhammad Barier


 


Ruangan Sang Kiyai






Pagi ini udara terlalu sejuk untuk sekedar menggetarkan tubuhku yang hanya terbungkus baju tipis agak usang ini. Aku duduk di sebuah batu halus berwarna hitam agak besar, mencoba memandangi nuansa sekitar yang masih gelap karena matahari masih terlelap di ufuk timur.
Setelah cukup lama, matahari pun muncul dari celah perbukitan mencoba memberikan kehangatan bagi alam, menyapa segenap mahluk hidup di jagad ini. Aku sendiri di pagi ini serasa memiliki semangat baru untuk terus melangkahkan kaki ku dalam perjalanan ini. Aku mulai berdiri dari batu hitam yang sedari tadi bersamaku dan aku mulai melangkah pergi meninggalkanya.
~
Suasana pagi hari ini didominasi warna biru dan hijau, hijau dan biru, biru dan hijau, warna itu saja yang sedari tadi tertangkap oleh kedua bola mataku. Aku berjalan dengan merasa nyaman, ya,, pagi ini adalah pagi yang cerah. Ku terus berjalan sampai akhirnya aku melintasi sebuah kali besar yang di kanan kirinya terdapat bendungan yang tinggi dan agak lebar sehingga orang bisa berjalan di atasnya, bendungan ini pun tinggi kira-kira setinggi rumah. Ku mencoba melintasi bendungan itu berjalan searah air mengalir.
Ku terus berjalan di atas bendungan itu sampai akhirnya ku melihat anak tangga kecil dan beberapa perumahan di bawah dan aku pun turun, beberapa orang nampak olehku dengan kesibukanya masing-masing, seperti orang yang melintas barusan, seorang paruh baya yang sedang membopong hasil ia mencari rumput, maupun ibu-ibu di seberang jalan yang nampak sedang menjemur pakaian, ya,, biarlah semua orang larut dalam kesibukanya.
Ku terus berjalan sampai ku keluar dari perkampungan dan ku memasuki hutan bambu, ku lihat bambu di sini adalah bambu yang bagus dan tinggi, warna hijaunya seolah turut mewarnai hatiku untuk tenang dan suara denyitannya seolah bernyanyi untuk menyambut kehadiran ku. Sampai akhirnya langit yang sedari tadi cerah berubah mendung karena hadirnya awan.
Saat Ku keluar dari hutan bambu, ku menemukan beberapa tambak penduduk, ku berjalan di jalanan tanah sempit pembatas tambak dan Hujan pun turun dari langit menetesi daun eceng gondok yang banyak terapung di atas permukaan air tambak itu. Ku berlari menari tempat berteduh dan akhirnya ku temukan sebuah gubuk kecil. Ku mendekati gubuk itu dan ternyata di sana telah duduk saorang anak kecil dengan seragam batik dan bercelana pendek, nampaknya ia adalah anak yang juga bernasip sama denganku, ia hanya ingin berteduh dari hujan ini. Nampaknya ia adalah anak yang baru pulang dari sekolah.
~
 Cukup lama kami di tempat itu, kami pun berbincang sedikit dan baru ku tahu ia adalah anak desa sebelah dan ku juga tahu bahwa pasti orang tuanya cemas memikirkanya. Hujan tak menunjukan bahwa ia akan berhenti, sampai akhirnya sore pun datang dan hujan pun sedikit mereda. Ku antar anak itu pulang. Kami berjalan melewati jalanan becek berlumpur. Ku copot sepatunya dan ku jinjingkan karena sering kali sepatu itu menancap di tanah liat jalanan yang becek itu.
Kami akhirnya memasuki perkampungan anak itu, dan sampailah kami di pintu gerbang sebuah pesantren, terpasang di papan sebuah tulisan Pesantren Sabilul Anwar, kami pun disambut oleh seorang laki-laki yang ku rasa tak terlalu tua dan seorang ibu-ibu yang ternyata adalah kedua orang tua anak tadi dan ketika ku pamit ternyata mereka meminta ku dengan sangat  untuk beristirahat sebentar di kediaman mereka.
Ku dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan yang berkarpet dan di kelilingi beberapa rak buku. Sang ibu terlihat masuk ke dapur dan tak lama kembali lagi ke ruangan itu dengan membawa bebrapa sajian buah dan makanan, anak tadi mengikuti di belakangnya dengan membawa gelas yang berisi air teh yang ku tahu bahwa itu adalah teh ialah dari warnanya. Keduanya pergi hanya meninggapkan aku dan sang ayah.
Aku pun berbincang dengan sang ayah yang ternyata pengasuh pesantren Sabilul Anwar, ia atau kiyai Fukair adalah menantu dari pemilik pesantren yang dulu yakni al maghfirah Kiyai Shomad, itu lah nama mertuanya. Ia berjumpa pertama kali dengan kiyai shomad adalah di ruangan ini, jadi ruangan ini ternyata punya nilai yang bersejarah baginya.
Pada awalnya kiyai Fukair dikampungnya adalah pemuda yang dikenal nakal dan suka menganggu para gadis di desa, ia tobat karena ayah seorang gadis yang pernah diganggunya melabrak ibunya dan ibunya semenjak itu sakit dan tak lama kemudian meninggal karena memikirkan kelakuan anaknya. Fukair muda saat itu tak tahu kalau ibunya meninggal karena ia sedang asik bersama teman-temannya di tempat yang biasa ia jadikan tempat berkumpul sambil menikmati kopi panas. Sampai akhirnya seorang kakek datang menggelandangnya dari warung dan mendorongnya di tubuh ibunya yang tak bernyawa lagi. Semenjak saat itu ia memutuskan untuk serius mensucikan dirinya dan bahkan ia akan menundukan wajah di depan gadis yang melintas di sekitarnya. ya,, ia serius akan taubatnya.
Ia mencoba berfikir jika ia benar-benar ingin mengenal tuhan maka ia butuh washilah dan pengetahuan, untuk itu ia memilih untuk pergi nyantri di sebuah pesantren, pesantren di tengah hutan jauh dari perkotaan dengan lingkungan yang masih asri alamnya dan asri jiwa penduduknya. Sampai ia menemukan pesantren itu Sabilul Anwar sebuah pesantren yang nantinya mengenalkanya pada jalan menuju cahaya-cahaya kebenaran.
Saat itu ia hanya berharap tidak lain kepada kiyai, ia tidak mau bertemu dan belajar kepada siapapun kecuali kepada sang kiyai, untuk itu ia pergi ke ndalem kiyai tersebut dan mencarinya. Sebelumnya ia diperingatkan oleh santri senior bahwa bagi seorang pemula harus terlebih dahulu belajar kepada ustadz-ustadz muda, namun anjuran itu tak ia hiraukan.
Setelah ia bertemu kepada sang kiyai ia di ajak sang kiyai ke dalam sebuah ruangan yang dikelilingi rak buku, dan saat iutlah ia menjelaskan bahwa ia ingin diajar langsung oleh kiyai tersebut. Setelah mendengarkan keinginanya, sang kiyai ternyata langsung berdiri dan pergi meninggalkanya di ruangan itu, cukup lama ia sendiri menunggu sang kiyai tak kunjung datang, sampai malam pun tiba, sang kiyai masih tak menampakan jati dirinya, ia tak tidur semalaman, sampai pagi harinya ketika subuh ia pergi sholat dan kembali lagi ke tempat itu, ia tak makan dan tak minum. Siang itu ia tertidur di ruangan itu, sedikit ia membuka mata dan ternyata sang kiyai sedang menyentuhnya dan berkata “bangun-bangun, sudah masuk waktu sholat dhuhur, ayo sholat dulu..!” setelah membangunkanya, sang kiyai langsung pergi lagi dari ruangan itu, ia pun sholat dan kembali keruangan itu, begitu seterusnya sampai tiga hari ia di sana dan di hari ketiga, sang kiyai menemuinya dan memberinya makan karena telah tiga hari ia tak makan.
Malamnya sang kiyai menyuruh santri itu memilih di antara deretan kitab yang ada di rak untuk diserahkan padanya. Cukup aneh karena bagi sang santri ia sama sekali buta huruf arab dan sama sekali merasa bahwa dunia pesantren adalah dunia yang baru, ia hanya menatap sorot mata sang kiyai yang seolah tahu tentang berbagai hal yang tak ia ketahui, ia kemudian mengambil sembarang kitab untuk diserahkan pada sang kiyai.
Sang kiyai menyuruhnya untuk membeca satu baris, setelah ia hanya bisa membaca tanpa tahu sama sekali artinya, sang kiyai tidaklah menyalahi hasil bacaanya dan tidak pula menyuruhnya untuk mengartikanya, sang kiyai langsung pergi meninggalkanya. Tiap hari sang santri hanya membaca satu baris dan didengarkan sang kiyai, setelah selesai kiyai langsung pergi dan begitu seterusnya.
Kisah ini berlanjut sampai suatu hari sang kiyai berhalangan hadir untuk mengisi pengajian yang dihadiri santri senior, dan sang santri yang tidak bisa apa-apa itu disuruh mewakilinya, sang santri semakin bingung atas ulah kiyainya itu, tapi kembali, ia hanya melakukan dan tak banyak bertanya dan ternyata dalam pengajian itu ia hanya membaca semua kitab tanpa mengartikanya. Ia merasa gagal, namun para santri yang dia ajar merasa puas, karena dia telah bisa membaca kitab yang tak berharokat, dan selama ini begitulah cara kiyai mengajar tanpa mengartikan, sanri itu bisa meniru gaya sang kiyai mengajar dan tanpa ia sadari ia telah bisa membaca kitab tanpa harokat, ia tak tahu dari mana ia bisa membacanya.
Ruangan sang kiyai telah banyak memberikan warna di hidup santri itu, tiap waktu ia habiskan hanya dengan buku dan sampai pada akhirnya seiring berjalanya waktu, ia telah memakan habis isi semua buku yang ada diruangan itu dan ia bisa memahami semuanya. Dan begitilah cara kiyai mengajarkan ilmunya pada sang santri dengan tanpa berkata satu kalimat apa pun dengan izin tuhannya.
Suatu ketika sang kiyai berkata kepada santrinya bahwa ia telah cukup usia untuk menikah dan bertanya kepadanya siapa wanita yang ingin ia nikahi, dan ternyata di pesantren itu tak satu pun wanita yang ia kenal, selama ini waktunya belajar tak menyisahkan hal lain termasuk berkenalan atau pun sekedar menatap para gadis. Ia pun menyatakan bahwa ia rela dinikahkan dengan siapa pun bahkan jika sang kiyai memerintahkan dengan seekor kera,, Saat itulah sang kiyai merasa bahwa satu-satunya wanita yang pantas hidup dengan santri ini ialah putri kesayangannya.
~
Itu merupakan sepenggal kisah perjalanan kiyai fukair dengan kiyai shomad, pejuang keagamaan di daerah itu, dan aku pun tak tahu jika mereka adalah orang yang sangat disegani, ribuan santri berdatangan baik dari sekitar desa yang dekat maupun dari pulau seberang yang jauh.
Aku berpamitan dengan keluarga ini dan ku lanjutkan perjalananku mencari sebuah tempat kembali, mencari rumah dimana ku dilahirkan.

Wednesday, June 12, 2013

KECAMBAH DAN JEMBATAN SEBELAH SURAU:

sebuah trilogy anak tangga terakhir


Oleh: Muhammad Barier*





~
Ku berjalan sore ini dengan tenang di bawah sinar lembut matahari yang mulai bergradasi dari kuning ke merah… ku tetap mencari harapan untuk menemukan jalan pulang, walau terasa sulit bagiku menemukan jalan, namun ku tetap percaya bahwa bumi akan terus mendampingi langkahku, angin akan mengabarkan berita perihal kisah taqdirku, dan bintang-bintang kan terus membimbingku pada jejak hijau perjalanan ku.
Saat ini ku berjalan di tepian sungai yang jernih airnya. sungai ini mengalir di tengah padang rerumputan, ku melihat bayangan ku yang sedang berjalan memantul di atas air bagai sebuah lukisan siluet hitam di atas kanvas kuning dan ku terus pandangi bayangan itu, dan semakin ku pandang, ku merasa bayangan itu hidup sebagai teman dan bercerita banyak hal.
Ku berjalan dengan kepala yang terus menunduk, Ku tersentak seraya tak menyangka tat kala ku melihat sebuah jalan setapak. “Andai kau melihat apa yang ku lihat wahai sahabat” mungkin jalan ini tak berarti bagi mu, mungkin ini hanya hal kecil bagimu, namun jalan ini sangat berarti bagiku, jalan ini adalah harapan ku dan kesempatan ku kembali pulang.
dalam batin ku berkata bahwa jalan ini menunjukan adanya perkampungan di depan sana, dan jika benar ku sudah berada setahap lebih dekat menuju rumah.. dan ku yakin itu.
Dan ternyata benar, tak lama ku menemukan tanda kehidupan. Dari jauh ku melihat seorang kakek dengan sepeda unta sedang mengayuh dengan sisa tenaga dan terlihat sedikit ngos-ngosan. semakin dekat ku melihat semakin jelas bahwa di sakunya terselip sepucuk kertas.. ia berhenti di depan ku dan beristirahat duduk di pagar beton sebuah jembatan kecil. Seraya lewat, ku menyapanya selamat sore, dan ia pun melambaikan tangan seraya berkata: “sini-sini mas”, tatapan mata itu tak kan terlupakan, mata yang baru ku lihat namun seolah sudah pernah ku lihat sebelumnya, dengan segala kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya. Ku mendekat dan duduk disampingnya.
Belum sempat ku berkata, ia berucap: “aku sudah lelah menjalani hidup, berbagai penghargaan dan pujian telah tiada artinya” aku bertanya tentang ke mana ia akan pergi, namun ia hanya berucap: “aku pergi melakukan kewajibanku”, ku tak tahu siapa ia yang ku tahu hanyalah bahwa ia adalah Sosok yang misterius dengan setelan jas klasik dan kopyah yang sudah kuning ujungnya yang mungkin terlalu banyak terkena air entah dari mana.
Ia pun berlalu dengan berjuta tanda Tanya. Ku terdiam di tempat itu sendiri dengan memandang langit senja ini. Dari kejauhan, ku mendengar adzan maghrib berkumandang, merinding ku rasa ketika ku mendengar suara itu, ku berjalan mencari dari mana suara itu berasal, ya,, dan ku melaksanakan shalat berjamaah saat itu setelah ku menemukan bahwa surau itu tak jauh dari jembatan di mana ku berjumpa dengan si tua tadi. Suasana saat ini sudah berubah kebiruan, ku duduk di depan surau dengan tertegun, tak ada yang bisa ku pikirkan, karena saat ini ku sudah tak miliki apa-apa.
Dari arah belakang ku mendengar langkah kaki yang mulai mendekat, Surau ini lantainya dari kayu dengan ditopang tiang bambu, tak heran, jika ada orang yang berjalan akan terasa goncanganya. Suara itu terus mendekat, saat ku toleh ku lihat sesosok paruh baya dengan sarung biru dan kaos yang berkerah yang terlihat tak cukup rapi. Kaos itu pun terasa terlalu kecil jika membandingkan dengan pemakainya yang sedikit gendut dengan perut yang cukup buncit.
Orang tersebut menyapa ku, aku di Tanya: “gimana mas jamaah di surau tadi?” aku hanya berkata:”cukup ramai”, dan ia hanya tertawa, ternyata sosok ini bercerita banyak hal dan ia juga banyak tertawa, bahkan terasa bahwa ia lebih banyak tertawa dari pada bercerita. Ia mengisahkan salah satunya ialah tentang keagamaan di daerahnya, bahwa di daerah situ ada seorang tua yang cukup disegani dan dihormati, seorang yang sederhana, seorang yang hanya dengan lirikan mata ia bisa membuat hati yang beku menjadi cair bahkan lebih dari sekedar air.
Di lain itu, ia juga menceritakan tentang seorang kepala sekolah di desa itu yang juga menjabat sebagai kepala desa yang dikenal angkuh dan lebih suka berfoya-foya. Beberapa waktu lalu kepala sekolah tersebut baru mengeluarkan seorang murid yang orang tuanya tak kuasa membayar biaya sekolahnya. Di saat panen padi di desa itu sedang gagal, ia malah menghabiskan banyak uang di luar kota pergi berfantasi entah kemana padahal saat itu warga sangat memerlukan bantuanya.
Ku hanya tersenyum mendengar semua itu mencoba mengiyakan segala ucapanya, tak terasa, isya’ telah datang menghampiri, dan aku pun sholat juga,, dan kenapa seorang manusia harus sholat?..
~
Sehabis sholat, ku duduk di jembatan itu yang entah mengapa ku seolah tertarik padanya, seolah ia punya mahnet yang cukup kuat untuk menarik kaki ku untuk melangkah. Ku duduk di tempat itu seraya ditemani lampu kecil kemuning dengan tiang bambu yang cukup tegak. Ku melihat di bawah jembatan, yang ternyata airnya surut, dan ku juga melihat sebuah kecambah kecil yang mampu tumbuh di bawah samping jembatan yang gelap.
Ya tuhan,, ku mendengar dari kegelapan jalan setapak itu tangisan seorang laki-laki, semakin lama ku melihat sebuah tubuh mulai muncul menampakan diri, dan ternyata itu adalah seorang manusia, lebih tepatnya ialah seorang yang bertubuh tegap tinggi besar dan seolah merupakan orang yang berpendidikan, ia mendekatiku dan sebelum ku Tanya ada apa sebenarnya hal yang menimpanya, ia pun bercerita: “andai kau tahu,, andai kau tahu betapa bodohnya aku,, orang tua itu yang besok akan pergi naik haji, ia hanya ingin menyampaikan surat yang ada di sakunya pada ku, isinya tak lebih dari permintaan izin untuk tidak mengajar selama ia pergi, namun betapa jahatnya aku, mengapa tak ku hirukan ia?, mengapa aku lebih memilih mendampingi kepentingan orang-orang kotor dalam sidang yang hanya menghabiskan waktu?.. andai kau tahu bahwa ia rela mengayuh sepeda berkilo-kilo di tengah usianya yang begitu tua. Andai kau tahu perihal kematianya yang tak kuasa ku tahan tat kala pengumuman itu berkumandang di masjid dekat kelurahan,, andai kau tahu nasib si tua itu yang terjungkal dari sepeda di sebuah tebing itu, padahal ia hanya ingin pulang karena usahanya untuk menemuiku telah sia-sia, dan itu semua adalah karena keangkuhan ku…..
Ia terus menangis, dan aku pun pergi melangkah hanya dengan menatap langit. dan bintang-bintang dan cukuplah kecambah dan jembatan sebelah surau menjadi saksi.


Monday, June 10, 2013

TAHAJUD, SADR, DAN USR DALAM AL-QURAN: kajian maanil quran




oleh: Muhammad Barir

A.    Tahajjud:
Menurut Raghib al-Asfahani, هجد h-j-d dalam bentuk jama’  هجودbermakna bangun dari tidur  أستيقظ-يقظ [1], Ibn Mandhur memaknai kata tersebut dengan sahiro  (سهر) yakni begadang tidak tidur dimalam hari,[2] berbeda dengan keduanya, Quraisyihab menjelaskan kata tahajjad berasal dari hujud  yang memiliki makna “tidur” namun kata ini difahaminya secara berbeda dengan makna dasarnya, walaupun kata hujud dimaknai tidur, namun kata ini secara relasional telah memiliki makna yang khusus ketika ayat al-Qur’an datang sebagaimana pendapat al-biqa’I bahwa kata ini dimaknainya sebagai meninggalkan tidur.[3] kata tahajjud dalam al-Qur’an terdapat dalam surat al-Isra’ (17): 79[4]
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.
Dalam tafsir jalalain dijelaskan:
"فَتَهَجَّدْ" فَصَلِّ "بِهِ" بِالْقُرْآنِ "نَافِلَة لَك"
فَرِيضَة زَائِدَة لَك دُون أُمَّتك أَوْ فَضِيلَة عَلَى الصَّلَوَات الْمَفْرُوضَة[5]
Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa kata "فَتَهَجَّدْ"  dalam al-Qur’an tidak dimaknai dengan makna dasar, yakni “bangun tidur”, namun kata tersebut lebih dimaknai dengan makna relasional yakni “bangun tidur untuk sholat malam”
kata tahajjud yang dalam konteks ayat tersebut dimaknai bangun tidur yang diwakili oleh kata  "فَتَهَجَّدْ" dan tidak menggunakan kata أستيقظ , يقظ yang sama-sama memiliki makna bangun tidur, namun sebenarnya kedua kata ini memiliki makna dan tempat penggunaanya masing-masing dan saling memiliki perbedaan, karena tahajjada sebagaimana dikatakan oleh Ibn Mandhur bermakna sahiro  (سهر) yakni begadang tidak tidur dimalam hari,[6] jadi bangun tidur yang dimaksud oleh term tahajjud adalah bangun di malam hari sedangkan Istaiqaz{a lebih dipakai secara umum.  
Kata tahajjud ternyata di dalam al-Qur’an juga memiliki sinonimitas makna, yakni dengan redaksi نَاشِئَةَ (nasyi’ah).
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلا
“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan”.
Belum jelas mengenai perbedaan antara tahajjud dengan nasyi’ah, namun sebagaimana dalam tafsir al-Qurtubi memaparkan pernyataan Ali Ibn Husain (cicit Rasulullah). Ali Ibn Husain suatu ketika melaksanakan sholat antara Maghrib dengan Isya’ kemudian ia menyatakan bahwa apa yang ia lakukan adalah Nasyi’ah al-Lail.[7] Jika melihat redaksi ayat, yang menyatakan bahwa nasyi’ah al-lail dapat membuat “suasana batin lebih berkesan” (wa aqwamu qila) maka seolah pernyataan Ali Ibn Husai terkesan lebih lemah sebagaimana sayyidah A’isyah yang menyatakan bahwa nasyi’ah al-lail harus didahului tidur, namun argument Ali Ibn Husain seolah sesuai dengan pendapat Ibn Abbas, Umar, dan Zubair bahwa seluruh malam adalah nasyi’ah. sedangkan Ibn Mujahid membatasinya sebagai sholat setelah isya’.[8]
Dari pemaknaan kata tahajjud mengenai perdebatan tentang tahajjud, maka ada dua makna yang seolah sama namun menentukan. Pertama, “bangun dari tidur” makna ini akan memunculkan pemahaman bahwa sholat tahajjud harus dilakukan dengan syarat harus tidur terlebih dahulu, dan kedua, sebagaimana pernyataan Ibn Mandzur bahwa tahajjud juga memiliki makna sahira yang berarti “begadang”, dari sini bagi ulama yang meyakini makna tersebut maka tahajjud bisa dimaknai boleh dilakukan tanpa tidur sebelumnya.


B.     Shadr
Shadr memiliki beberapa makna, dalam lisan al-Arab, shadr memiliki salah satu makna yakni bagian atas segala sesuatu, pedan sesuatu, dan permulaan sesuatu.[9] Sedangkan dalam bentuk lain shudrah-shadr bermakna dada, shadara-yashduru-shadran/shadaran bermakna kembali atau terjadi,[10]
Kata Shadr terdapat dalam al-Qur’an sebanyak 46 kali dengan rincian sebagai berikut:
     يَصْدُرُ  satu kali dalam al-Zalzalah (99):6
     يُصْدِرَ  satu kali dalam al-Qosshosh (28): 23
صَدْرًا   satu kali dalam an-Nahl (16): 106
صَدْرٌكَ  empat kali al-A’raf (7): 2, Huud (11): 12, Al-Hijr (15): 97, Al-Insyirah (94): 1
 صَدْرَهُ tiga kali
صَدْرِي dua kali
الصدور  dua puluh kali
صدوركم empat kali
صدورهم sepuluh kali[11]

Berbagai Lafadz Shadr dalam al-Qur’an
1.      Shadr bermakna keluar
al-Zalzalah (99):6
يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ
Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.
Menurut Ali as-Shobuni, proses Shadr adalah proses kembalinya mahluq-mahluq dari proses Hisab menuju proses penerimaan shuhuf (buku catatan amal perbuatan), apabila ia menerima dengan tangan kanan maka ia akan dimasukan surga dan apabila ia menerima dengan tangan kanan, maka ia akan dimasukan kedalam neraka. Proses shadr ini terjadi paska hisab untuk setelahnya akan masuk pada proses mizan.

2.      Shadr bermakna pulang dalam hubungan kisah Nabi Musa ketika di sumber mata air madyan
al-Qosshosh (28): 23
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya".
 Ayat ini menjelaskan tentang kisah nabi musa yang bertemu dengan dua wanita di mata air madyan yang tidak mampu meminumkan air pada ternaknya sampai penggembala sebelum mereka selesai dan pulang.
3.      Shadr bermakna dada yang hubunganya dengan simbol
An-Nahl (16): 106
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Huud (11): 12
فَلَعَلَّكَ تَارِكٌ بَعْضَ مَا يُوحَى إِلَيْكَ وَضَائِقٌ بِهِ صَدْرُكَ أَنْ يَقُولُوا لَوْلا أُنْزِلَ عَلَيْهِ كَنْزٌ أَوْ جَاءَ مَعَهُ مَلَكٌ إِنَّمَا أَنْتَ نَذِيرٌ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebahagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan sempit karenanya dadamu, karena khawatir bahwa mereka akan mengatakan: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya perbendaharaan (kekayaan) atau datang bersama-sama dengan dia seorang malaikat?" Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah Pemelihara segala sesuatu.
Thoha (20): 25
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي
Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku,
Menurut Ali ash-Shobuni yang dimaksud melapangkan dada adalah meluaskan cahaya keimanan dan nubuwwah yang ada di dalamnya.
C.    Usr
Dalam al-Qur’an kata Usr dengan akar katanya terdapat dalam 12 ayat sebagaimana berikut:
Al-baqarah 185, Al-baqarah 280, At-taubah 117, Al-Kahfi 73, Al-furqan 26, al-Qamar 8, ath-Thalaq 6, ath-Thalaq 7, mudatsir 9, al-Lail 10, al-Insyrah 5, al-insyirah 6.[12]
Berbagaimakna Usr
1.      Bermakna hari yang sulit (hari peperangan) at-Taubah 09:117
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka,
Maksud dari hari sulit tersebut ialah ketika perang, sebgaimana asbab an-Nuzul dari ayat ini:
Imam Bukhari dan lain-lainnya meriwayatkan sebuah hadis melalui Kaab bin Malik yang menceritakan, aku belum pernah ketinggalan dalam suatu peperangan pun selalu bersama dengan Nabi saw. kecuali hanya dalam perang Badar. Dan ketika perang Tabuk  diserukan, yaitu peperangan yang terakhir bagi Nabi saw. kemudian orang-orang diserukan untuk berangkat ke medan perang dan seterusnya. Di dalam hadis ini terdapat kata-kata: kemudian Allah menurunkan firman-Nya yang berkenaan dengan penerimaan tobat kami, yaitu firman-Nya, "Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin..." (Q.S. At-Taubah 117) sampai dengan firman-Nya, "Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (Q.S. At-Taubah 118) Dan diturunkan pula firman-Nya, "Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar." (Q.S. At-Taubah 119).[13]
2.      Usr mempersulit persahabatan
قَالَ لا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا
Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".
Ayat ini menjelaskan permintaan nabi musa kepada khidhir untuk bersabar dan mau menerimanya sebagai sahabat dan tidak mempersulitnya sebagaimana dalam tafsir jalalain[14]:
(Musa berkata, "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku) yakni atas kealpaanku sehingga aku lupa bahwa aku harus menurutimu dan tidak membantahmu (dan janganlah kamu membebani aku) memberikan beban kepadaku (dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku)" kerepotan dalam persahabatanku denganmu, atau dengan kata lain, perlakukanlah aku di dalam berteman denganmu dengan penuh maaf dan lapang dada.
3.              Usr dengan pengulangan bermakna satu kesulitan sebagaimana dalam surat al-Insyirah 94:5 dan 6:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,  sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Penjelasan ayat ini sebagaimana penjelasan imam qurtubi bahwa:
إِنَّ مِنْ عَادَة الْعَرَب إِذَا ذَكَرُوا اِسْمًا مُعَرَّفًا ثُمَّ كَرَّرُوهُ , فَهُوَ هُوَ . وَإِذَا نَكَّرُوهُ ثُمَّ كَرَّرُوهُ فَهُوَ غَيْره .
“sesungguhnya, dari kebiasaan arab bahwa jika suatu isim ma’rifat diulang, maka isim yang diulang tersebut sama dengan asalnya (bermakna satu), dan jika bentuk nakirah menunjukan sesuatu yang lain”
Maksud dari penjelasan tersebut adalah bahwa jika isim makrifat diulang berarti pengulangan tersebut tidak berfungsi untuk menaukiti, namun jika isim nakirah diulang menunjukan adanya pen-taukid-an. Hal ini sebagaimana hadis qudsi dan hadis marfu’:
وَقَالَ اِبْن عَبَّاس : يَقُول اللَّه تَعَالَى خَلَقْت عُسْرًا وَاحِدًا , وَخَلَقْت يُسْرَيْنِ , وَلَنْ يَغْلِب عُسْر يُسْرَيْنِ . وَجَاءَ فِي الْحَدِيث عَنْ النَّبِيّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي هَذِهِ السُّورَة : أَنَّهُ قَالَ : [ لَنْ يَغْلِب عُسْر يُسْرَيْنِ ] . وَقَالَ اِبْن مَسْعُود : وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ , لَوْ كَانَ الْعُسْر فِي حَجَر , لَطَلَبَهُ الْيُسْر حَتَّى يَدْخُل عَلَيْهِ وَلَنْ يَغْلِب عُسْر يُسْرَيْنِ[15]
Ibn Abbas berkata: allah bersabda “aku menciptakan satu kesulitan dan aku menciptakan dua kemudahan”. Dan hal  tersebut juga dijelaskan dalam hadis nabi SAW berkenaan dengan surat tersebut [satu kesulitan tidak dapat mengalahkan dua kemudahan] dan ibn Masud berkata: demi dzat yang diriku berada dalam genggamanya, ketika ada kesulitan yang menghadang, maka carilah kemudahan yang ada padanya, sehingga engkau masuk di dalamnya, dan tidak mungkin satu kesulitan mengalahkan kemudahan.


[1] Raghib al-Asfahani, Mu’jam al-Mufradat li alfadh al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr), hm. 534. Lihat pula Ibn Mandhur, Lisan al-Arab jilid 7(Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2009), 527.
[2] Ibn Mandhur, Lisan al-Arab jilid 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2009), 529.
[3] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah vol. 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hm 535.
[4]Muhammad Fuad Abdul Baqi’,  Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an (Kairo: Dar al-Hadis, 2001), hlm. 822.
[5] Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Jalalain (CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology Company, 2002)
[6] Ibn Mandhur, Lisan al-Arab jilid 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2009), 529.
[7] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah vol. 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hm 535.
[8] Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir (CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology Company, 2002)

[9] Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, dalma maktabah syamilah
[10] Ahmad Warson Munawwir, kamus al-Munawwir: Arab Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progresif 1997) hlm. 768.
[11] Muhammad Fuad Abdul Baqi’,  Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an (Kairo: Dar al-Hadis, 2001), hlm.
[12] Kata Usr berdasarkan akar kata dalam CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology Company, 2002
[13] Asbab an-nuzul at-Taubah 09:117 dalam CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology Company, 2002
[14]Jalaluddin as-suyuti dan jalaluddin al-Mahalli, tafsir jalalain dalam CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology Company, 2002

[15] Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, dalam CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology Company, 2002