Monday, May 6, 2013

Thoriqoh Sanusiyah di Libya (Gerakan Muhammad bin Ali as-Sanusi)


oleh : Muhamamd Barir


A.    Sepak terjang Thoriqoh as-Sanusiyah di Libya

Pada dasarnya banyak tokoh yang berperan dalam merintis dan memajukan gerakan Toriqot as- Sanusiah namun kami dalam makalah ini akan mengulas empat tokoh utama yang juga merupakan pemimpin tertinggi torikot ini pada tiga generasi.
Muhammad bin Ali as-Sanusi, beliau bisa dikatakan sebagai bapak pembaharu di Afrika Utara mengingat gerakan paling berpengaruh dan memiliki masa yang besar di afrika utara adalah toriqot as-Sanusiyah yang dirintisnya. lahir pada bulan dan tanggal yang sama dengan nabi Muhammad SAW tepatnya tanggal 12 Robi’ul Awwal 1202 H/22 Desember 1787 M. Persamaan dengan nabi tidak hanya terbatas pada tanggal dan bulan saja akan tetapi yatim piatunya ia juga menjadi kesamaan tersendiri ia dengan nabi Muhammad SAW.
Mengenai biografi lengkap ayahnya tidak banyak para pakar sejarah yang tahu. Ayahnya meninggal cukup muda ketika sanusi kecil berumur dua tahun dalam usia 25 tahun dan disusul oleh ibunya dalam waktu singkat. Dalam pengakajian nasab ayah sanusi, diketahui bahwa nama ayahnya ialah al-Khottib al-Hasani al-Idrisi al-Majahiri rentetan nama ini ternyata diawali dengan gelar syarif, hal ini menunjukan bahwa as-sanusi masih keturunan rosulullah dari cucu nabi yakni Hasan.
Ahmad as-Syarif as-Sanusi dalam kitabnya al-Anwar al-Qudsiyyah fii Muqoddimat at-Thoriqot as-Sanusiyah (istambul 1920-1924 M) mengemukakan bahwa nama as-sanusi diilhami oleh nama pegunungan asanus.[1]
Karena ayah ibunya meninggal ia diasuh oleh saudara ayahnya yakni Sayyidah Fatimah seorang ustadzah dan muballighoh. Ketika usia 19 tahun ia mulai perjalanan menuntut ilmu di sekitar tempat kelahiranya tepatnya pada tahun 1806 M ia pergi ke Mazuna Aljazair Barat. Di tempat itu ia menetap selama satu tahun dan berguru pada banyak ulama yang salah satunya ialah abu ro’s an-Nasiri yang menulis lebih dari 50 buku dibidang tafsir, hadits, dan lain-lain. Setelah menunutut ilmu di Aljazair ia kemudian menuju ke Fez dan menetap di sana selama 12-15 tahun. Di maroko ini ia masuk ke Jami Qorowiyun (qoirowan), ia langsung menonjol diantara pelajar sebayanya. Kegemilangan as-Sanusi ini bahkan membuat sultan maroko Maulay Sulaiman terkesima dan ingin mengambilnya sebagai pembantu istana tapi as-Sanusi menolak karna cita-citanya lebih tinggi. Ketika berada di Tripolitania ia bertemu dengan Ahmad Pasya al muntatsir seorang ulama’ yang dikenal sangat alim dan juga merupakan tokoh politik, lagi-lagi ia dibujuk untuk berjuang bersamanya, namun jiwa pan islamismenya membuat ia tidak mau hanya dakwah monoton di satu wilayah saja.
Pemahaman ketasawufan yang dianut oleh as-Sanusi ialah bercorak Ghozali, teologinya menganut Ibnu Taimiyah, dan madhab Fikihnya menganut Imam Maliki namun kemazhaban malikinya ini sempat dipertanyakan karena banyak pandangan fikih yang dijalaninya berbeda dengan jiwa ajaran mazhab Maliki bahkan syakh al-Hanis[2] berniat membunuhnya. Tidak hanya itu Syaikh Mushthofa al-Bulaki yang merupakan mufti di Mesir menentang keras ajarannya.
Dia mulai melirik mekah yang dinilainya merupakan tempat yang strategis dalam menyebarkan ide-idenya mengingat mekah ialah tempat berkumpulnya ulama’ dari berbagai belahan dinia. Sepakterjangnya di mekah bukan tanpa kendala, dia kurang bisa mengembangkan gerakanya dengan mendirikan zawiyat[3] karena mendapat pertentangan koalisi ulama’ disana.
Semangat dan kecerdasanya perlu diacungi karena besarnya pengaruhnya dalam mewarnai corak keislaman di hampir seluruh wilayah afrika utara sampai orang-orang menjulukinya as-sanusi al-kabir. dia terus menganjurkan pengikutnya untuk selalu bergerak mencari tempat yang strategis dan langsung mendirikan zawiyat ketika menemukanya. Dia juga membenci sifat kemalasan sehingga zawiyat-zawiyat yang didirikanya tidak pernah sepi dari berbagai aktifitas, baik yang bernuansa keagamaan maupun yang bersifat peningkatan ekonomi dengan adanya pabrik-pabrik sebagai sarana pendukungnya. Dia meninggal dunia di jagbub pada tahun 1859 sebagai pendiri pertama thoriqot as-Sanusiyah.
Sayyid al-mahdi, beliau adalah putera yang paling besar as-sanusi al-kabir. Ia lahir di Baidak pada tahun 1844, ia memperoleh pendidikan pertamanya di mekah. Selain belajar ilmu pengetahuan ia juga belajar tehnik berkuda dan tak ketinggalan panahan pun ia pelajari. Karna berada di lingkungan kegiatan toriqot ia pun terasah kemampuan birokrasi dan kebijaksanaanya. Pada usia tiga belas tahun ia sudah bekerja membantu pergerakan toriqot dengan mengirim da’I dan menerima utusan dan ia juga turut menjadi tenaga pengajar.
Sayyid al-Mahdi menggantikan ayahnya saat ia belum genap berusia enambelas tahun suatu usia yang terbilang sangat muda untuk diberi suatu amanat besar. Ia memimpin toriqot as-Sanusiyah mulai tahun 1859. Ditanganya gerakan toriqot as-Sanusiyah berkembang pesat, banyak zawiyah berdiri memenuhi afrika utara.
Ada cerita menarik mengenai kemunculan sayyid al-Mahdi sebagai orang besar. Namanya sering dikaitkan dengan nama imam Mahdi yang di rama lkan akan muncul sebagai penegak keadilan di muka bumi. Sayyid al-Mahdi lebih bersifat apriori atas klaim yang diberikan masyarakat padanya. Sudah menjadi keyakinan toriqotnya bahwa mereka tidak percaya akan adanya imam. Masyarakat banyak yang meyakini akan kemahdianya walaupun Muhammad Ahmad dari donggola telah mengaku menjadi nabi pada tahun 1881-1882.
Al-Mahdi banyak disanjung dan dihormati baik oleh ulama’, bangsawan, maupun oleh tokoh pergerakan. Ia pernah di ajak untuk jihad membela islam oleh at-ta’aisyi dan juga pernah diajak perang melawan agresi Perancis di Tunisia pada tahun 1882 oleh Urabi Pasya, pemimpin gerakan nasionalis dan revolusi mesir. Al-Mahdi menolak kesemua ajakan mereka, dia lebih memilih  bersikap datar demi menjaga keutuhan toriqotnya. Yang menakjubkan ialah bahwa ia ternyata tidak hanya dihormati oleh ulama’ islam namun ia juga dihormati oleh pembesar-pembesar Perancis mungkin itu merupakan buah dari sikap datarnya. Muhammad Fu’ad Syukri dalam karyanya al-sanusiyah din wa ad-daulah (Cairo, 1945) menyatakan bahwa pembesar Perancis Duvreyer pada tahun 1861 ingin mengunjungi beberapa zawiyah di Fazan dengan membawa surat dari Suktan Usmanaiyah Abdul Majid dan dikawal dengan satuan tentara. Kunjungan tersebut ternyata ditolak oleh kepala zawiyah—hal ini semakin memperjelas posisi as-sanusiyah dalam dunia politik saat itu—dan keputusan itu pun dihormati oleh Peerancis.[4]
Sikap vakumnya ini barang kali terbaca ketika gubernur Cirenaica Rosyid pasya berkunjung ke Zawiyah, ia diantar oleh seorang kepercayaan al-Mahdi untuk berkeliling zawiyah, ia bertanya kepada orang kepercayaan al-Mahdi, “Apakah sayid al-Mahdi mempunyai senjata?”
“tentu” (jawab orang itu)”ia mempunyai beberapa gusang senjata dan tuan boleh melihatnya”
Ternyata rosyid pasya mengerti bahwa yang dimaksut gudang senjata oleh orang kepercayaan al-Mahdi tersebut ialah perpustakaan yang menyimpan berbagai macam buku yang menjadi senjata untuk kemajuan umat.[5] Rosyid pasya tidak marah akan hal ini dan malah menganggapnya sebagai permainan humor yang indah. Tapi kejadian ini bukan tidak menutup kemungkinan bahwa gerakan as-Sanusiyah tidak memiliki persenjataan dan bahkan banyak peneliti menganggap bahwa gerakan ini memiliki ribuan senjata tajam dan ratusan senjata modern.
Beliau meninggal pada tahun 1902 dan karena anaknya yang paling tua Sayid Idris terbilang masih muda, yakni saat itu masih berumur 12 tahun, belum dapat mengemban amanat memimpin toriqot, padahal tugas berat harus diemban mengingat Perancis yang mulai merasa terancam berinisiatif menyerang gerakan as-Sanusiyah dan kondisi itu menuntut pemimpin yang harus pergi berperang dan yang meneruskan kepemimpinan selanjutnya ialah Sayid Ahmad as-Syarif kemenakan al-Mahdi.
Sayid Ahmad as-Syarif lahir di Jagbub pada tahun 1873, di tempat itu ia memperoleh pendidikan dari pamanya, al-Mahdi serta ayahnya ar-rif’I. ia sering mengiringi al-Mahdi dalam menangani thoriqoh as-sanusiyah maka dia tahu betul tentang system dan berbagai perso’alan yang dihadapi oleh toriqoh.
Jika da’wah al-Mahdi condong pada peningkatan kesosialan dan keagamaan masyarakat beda halnya dengan as-syarif yang berda’wah melalui jalan peperangan. Dimulai dengan menghadapi perancis pada 1902, serta dibingungkan dengan Turki yang luluh terhadap Itali dengan menyerahkan Libia melalui perjanjian Lausanne pada tahun 1912. Dengan ditandatanganinya perjanjian Lausanne berarti masyarakat libiya harus berperang sendiri melawan sekutu. As-Sanusiyah yang merupakan gerakan terbesar di Libia pun berperan lebih sebagai suatu Negara dari pada gerakan toriqoh.
Pada perang dunia ke-I, pasukan Italia banyak ditarik untuk bergabung dengan pasukan sekutu, strategi propaganda pun dilakukan oleh Italia dan Inggris dengan mengadudomba antara Libia dengan Mesir. Keadaan yang semakin kacau membuat asy-Syarif meninggalkan posisi sebagai pimpinan perang dan politik, dia memilih kembali menjadi pemimpin keagamaan. Pada tahun 1918 ia mengungsi ke Turki—itu artinya ia melepaskan tanggungjawab sebagai pemimpin as-Sanusiyah—Ketika as-Syarif pergi meninggalkan Libia, posisi pemangku gerakan as-Sanusiyah pun dipegang oleh Sayyid Muhammad idris yang sudah dewasa. dan di Turki ia disuruh kembali ke Libia oleh at-Taturk dengan alasan membantu masyarakat Libia untuk melepaskan cengkraman penjajah, Padahal motif sebenarnya ialah kecemasan at-Taturk terhadap as-Syarif yang diduga lebih condong kepada keluarga Ottoman, tapi kepergianya ke Turki bukan tidak menuai hasil, ia banyak mendapat pengikut di sana.[6]
Ia kemudian pergi ke damaskus, tapi ia kembali ditimpa kenyataan pahit bahwa pemerintah Damaskus menyuruhnya untuk meninggalkan Damaskus dalam tempo 24 jam. Ia kemudian pergi ke Hijaz dan menghabiskan sisa hidup di sana sampai ia meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1933.

B.     METODE SYIAR DAN CORAK POLITIK AS-SANUSIYAH

Salah satu bagian inti dari gerakan as-Sanusiyah ialah doktrin-doktrin dan corak berfikirnya, gerakan as-Sanusiyah walau pun berawal dari semangat keagamaan, namun dalam perjalananya gerakan ini tidak dapat terhindarkan dari gesekan-gesekan dunia perpolitikan maka dari itu kami membagi sendiri-sendiri antara corak berfikir keagamaan dan corak berfikir politik gerakan ini.

1.      CORAK BERFIKIR KEAGAMAAN

Corak keberagamaan as-Sanusiyah tentunya banyak diilhami dari pemikiran Muhammad bin Ali as-Sanusi yang terkonstruksi dari pengalamnya dalam menimba ilmu dan pengalamanya dalam mengikuti toriqoh-thoriqoh terdahulu.
Banyak sudah thoriqoh yang ia pernah pelajari diantaranya ialah Qodariyah, Syadhiliyah, Jazuliyah, Darqowiyah, Nasiriyah, dan lain sebagainya. Dari berbagai pengalaman mengikuti thoriqot, ilmu yang ia dapat kemudian ia kembangkan kedalam thoriqotnya dan pemikiranya tertuang dalam kitab yang menjadi pegangan thoriqot ini yakni salsabil dan bugyatul maqoshid.
Thoriqot yang dibawa as-Sanusiyah cenderung merupakan thoriqot yang mengkombinasikan unsur ajaran ulama klasik dan ulama’ modern mengingat dalam thoriqot ini banyak ditemui dzikir-dzikir yang dibaca sesuai dengan bilangan yang telah ditentukan yang menggambarkan adanya jiwa mistisime dan dalam gerakan ini juga ditumbuhkan metode berfikir secara rasional yang menggambarkan adanya jiwa modernisme.
Pengikut-pengikutnya terbagi menjadi tiga tingkatan yang Pertama, pengikut yang dibimbing oleh seorang syaikh. Kedua, pengikut yang memiliki mursyid tapi sudah diberi kebebasan menentukan arah pemikiranya. Ketiga, orang yang memiliki kedalaman ilmu sehingga dapat menentukan jalanya sendiri. Mengingat as-Sanusiyah juga memiliki masyarakat, gerakan ini juga menganggap mereka sebagai pengikut tapi belum menjadi ikhwan. Mereka adalah orang yang mendukung gerakan, baik membantu dengan tenaga maupun dengan meteri.
Pemikiran yang juga membuat gerakan ini berbeda dengan yang lainya ialah bahwa as-Sanusiyah mengkombinasikan tiga unsur yang sebenarnya silit untuk disatukan. Yakni madzhab Fikih yang dianut mengikuti Imam Maliki, Tasawuf yang dianut mengikuti al-Ghozali, dan Theologinya mengikuti Ibnu Taimiyah.
Argument as-Sanusiyah mengenai Ijtihat juga dipandang bertentangan oleh ulama yang hidup pada masa itu. dimana ulama Sunni pada tuju abad lalu telah mengetuk palu keputusan bahwa pintu ijtihad telah ditutup, namun as-Sanusiyah dalam doktrin gerakanya menyatakan bahwa selama seseorang memiliki alat dan telah memenuhi syarat maka pintu ijtihad terbika baginya.

2.      CORAK BERFIKIR POLITIK

Gerakan ini menjadi besar salah satu faktor pendukungnya ialah kecerdasan berpolitik. Berawal dari pemahaman as-Sanusi al-Kabir bahwa Islam itu satu tak terbatas pada pemisahan antar Negara dan antar benua—pemahaman ini yang kemudian juga dipegang oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afgan sebagai ajaran Pan Islamisme—as-Sanusi selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota-ke kota dan dari satu Negara  ke Negara lain. Ia juga selalu dekat dengan tokoh siapapun baik pemuka agama, Negara dan baik sekutu. Mengapa hal tersebut dilakukan? Pada dasarnya semakin banyak melakukan kedekatan terhadap pemimpin daerah akan semakin mempermudah jalan di daerah tersebut dan itu yang coba dirintis oleh as-Sanusi dengan melakukan pendekatan terhadap penguasa agar kemudian dapat mendapat izin mendirikan Zawiyat, dan mengenai dibangunya Zawiyat diberbagai Negara adalah untuk merealisasikan Pan Islamisme.
Gerakan as-Sanusiyah juga menerapkan system non blok ketika disuguhi dengan tawaran untuk berkoalisi, as-Sanusiyah pernah menolak kedatangan Rohlfs dari rusia menuju jagbub pada tahun 1876 yang disinyalir memiliki maksud politik, as-Sanusiyah juga pernah menolak tawaran mahdi dari Sudan yang mengutus Thohir Wad-Ishaq yang membawa surat berisi permintaan pengakuan untuk mendukung terpilihnya Mahdi Sudan menjadi Kholifah ke empat dari pemimpin Sudan. as-Sanusiyah juga menolak utusan generasi kedua Mahdi Sudan yakni at-Ta’aysi. Sejarah juga mencatat penolakan as-Sanusiyah terhadap Urabi Pasya pemimpin nasionalis dan revolusi Mesir untuk mengusir penjajah. Berbagai penolakan ini menunjukan posisi as-Sanusiyah yang ingin netrlal walaupun harus berteman dengan penjajah.
Pada akhir masa kejayaan gerakan ini, kekonsistenan akan sikap netral ini tidak menuai hasil, pada akhirnya—walau telah berusaha bersikap menghindari perang dengan sekutu—peperangan fisik tak terbendungkan lagi dengan sekutu yang mengakibatkan kekalahan  as-Sanusiyah di Libia ketika berhadapan dengan Itali dan di Mesir oleh Inggris.

C.     GERAKAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Toriqot as-Sanusiyah merupakan Thoriqoh Dakwah (Missionary), tapi apa yang diajarkanya tidak melulu bersifat keagamaan dalam thoriqot ini para pengikutnya diajarkan hidup mandiri dan bekerja keras.
Di Jagbub terdapat zawiyah yang merupakan karya al-Mahdi al-Kabir, di Kufro dan Qiru juga terdapat zawiyah yang merupakan karya puteranya al-Mahdi. Zawiyah-zawiyah yang didirikan di beberapa tempat sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial kemasyarakatan dan ekonomi penduduk setempat. banyak lahan yang dulunya tandus kemudian karena didirikan Zawiyat yang berubah menjadi lahan subur dengan berbagai tanaman serta tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, hal ini karna pengelolahan sistem pengairan yang baik oleh as-Sanusiyah seperti di Firafra yang dulunya tandus berubah menjadi suatu oasis baru di tengah padang pasir.
Di Zawiyah para pengikut as-Sanusi diajari kerajinan tangan dan berbagai keterampilan seperti membikin karpet, patri, bangunan, menenun, menyablon, menjilid buku, membikin tikar, dan lain-lain, bahkan menurut Ahmad Syarif di Jagbub terdapat tukang yang pandai membuat senjata api. Zawiyah juga kerap dikunjungi oleh para saudagar yang berdagang menjual apapun untuk ditukar dengan peralatan dan hasil tanah zawiyah.
Di Zawiyah didirikan Universitas dan perpustakaan dan dengan program ini masyarakat badui merasakan terangnya ilmu pengetahuan dan kerohanian yang dipandu oleh ulama terkemuka. Para santri belajar dengan selalu diberikan asupan motivasi dari guru-gurunya. Mereka diajari kerjakeras dan tidak mengharap bantuan orang lain. Sekolah-sekolah yang didirikan di zawiyat memberikan makanan, tempat tinggal, dan pakaian yang layak, pada pagi hari mereka diberi kurma dan susu, pada siang hari mereka mendapat hidangan roti dan sop, dan ketika sore diberikan teh. Setiap jum’at mereka diberi daging. setiap tahun para santri akan mendapat dua baju, dua kopiah, dua celana kombor, dua pasang sepatu, dan mendapat jubah bulu dua tahun sekali. 
Hampir tidak pernah ada hari-hari sepi di zawiyah, selalu saja ada yang dikerjakan disana,  menjadikan masyarakatnya tersugesti untuk bekerja keras karna dipengaruhi oleh lingkungan. dalam zawiyah akan ditemukan para santri yang hilirmudik mengaji, di lain sudut ada para pengikut yang bekerja membuat kerajinan-kerajinan, dan pada sudut lain juga terdapat masyarakat yang mengolah tanah serta tak luput juga suasana yang di tambah sejuk dengan zikir yang selalu berkumandang dari masjid. Keharmonian ini sudah banyak dirasakan oleh beberapa tokoh yang berkunjung ke zawiyah-zawiyah seperti Ahmad Muhammad Husnaini pada tahun 1922 yang kemudian menulis buku berjudul The lost Oasis dan juga pada tahun 1920 kufra dikunjungi Rosita Forbes yang kemudian menulis The secret of Sahara.


BAB III
PENUTUP


Gerakan as-Sanusiyah telah menjadi warna tersendiri dalam corak pembaharuan islam, banyak hal yang dapat diteladani dari gerakan ini yang tidak dapat kita kesampingkan begitu saja dan mungkin bisa kita aktualisasikan dalam keseharian kita, walau pun kita diberi kebebasan untuk memilih jalur hidup kita sendiri-sendiri tentang aqidah yang kita imani namun walau pun berbeda tatacara beragama dengan mereka patutlah kita mencontoh semangat yang orientasinya tetap sama, yakni  islam.
Sejarah telah mencatat tentang nafas gerakan ini yang menjunjung tinggi nilai universal baik nilai keagamaan maupun nilai sosial dan nilai ekonomi. Nilai keagamaan mereka tuangkan dalam zikir, nilai sosial mereka hembuskan dengan kekeluargaan dan kebersamaan sebagai saudara, dan nilai ekonomi mereka tumbuhkan melalui etos kerja dalam mencari ma’isyat fi al-ardh.
Terakhir, tentunya banyak kekurangaan di sana-sini yang para pembaca sekalian temukan, baik segi sistematika, penulisan, maupun segi isi makalah itu sendiri, maka kami selaku pemakalah yang merupakan manusia biasa yang juga bisa terserang ngantuk atau terpengaruh emosi saat melakukan penulisan maka atas itu semua kami minta maaf sebesar-besarnya. Dan kami juga mengharap kritik maupun saran yang membangun dari para pembaca sekalian. Trimakasih, Wassalamu alaikum….

DAFTAR PUSTAKA

Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah, Jogjakarta: Djambatan, 1995..

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1975.


[1] Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah, Jogjakarta: Djambatan, 1995. Hlm. 67
[2] Seorang malikiyah yang menjadi ulama’ di al-azhar kairo mesir
[3] Tempat kegiatan yang menjadi pusat pendidikan, dakwah, markas, dan juga tempat yang menjadi pusat pengaturan pergerakan.
Gerakan toriqot as-Sanusiyah memiliki beberapa zawiyat yang didalamnya terdapat pabrik-pabrik guna memebuhi kebutuhan perekonomian gerakanya. Di tempat itu juga terdapat mesjid yang menjadi sarana dakwah dan universitas yang di damping pesabtren sebagai tempat pengkaderan.
[4]  Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah, Jogjakarta: Djambatan, 1995. Hlm. 78-79

[5]  Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah, Jogjakarta: Djambatan, 1995. Hlm. 82

[6] Seperti dijelaskan di atas bahwa Attaturk atau bapak pembaharu di Turki yakni Musthofa kemal tidak mengizinkan as-Syarif untuk berada di Turki karna diduga as-syarif condong pada keluarga ottoman, apa sebenarnya yang terjadi sehingga seolah-olah otoritas di Turki pacah? Berawal dari bergulirnya perang dunia ke I, kekuasaan Turki terancam dengan serangan sekutu, dari sini muncul tokoh yang sangat berpengaruh yang telah menyelamatkan Turki selatan dari serangan sekutu yakni Musthofa Kemal. Dia membentuk kekuasaan yang baru dan menentang pemerintahan pusat yang berada di Istambul, hal ini ia lakukan bukan karena haus kekuasaan, akan tetapi memang pemerintah pusatlah yang banyak memberi kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan nasional Turki, sultan di Istambul telah berada dibawah kekuasaan sekutu dan harus menuruti kehendak mereka. Dengan ditandatanganinya perjanjian Lausane maka pemerintahan Mushthofa Kemal diakui dunia internasional dan ibukota di Istambul dipindah ke ankara. (Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1975. Hlm. 137-138.)

No comments:

Post a Comment