Saturday, May 11, 2013

PEMIKIRAN ABID AL JABIRI TENTANG NALAR ARAB (Bayani, Irfani, dan Burhani)


Muhammad Barir



A.     Biografi Muhammad Abid al-Jabiri
Negeri Maghrib yang kini meliput negara Maroko, Aljazair, dan Tunisia merupakan negara yang perah menjadi negara protektoriat Perancis, setelah merdeka Maroko mengenal bahasa resmi, yakni bahasa arab dan perancis, dengan masuknya negara ini, tidak hanya memberi pengaruh gerakan fisik namun juga memicu munculnya pemikiran-pemikiran terutama pemikiran Modernis, salah satu tokoh yang lahir di tengah kondisi inii adalah Muhammad Abid al-Jabiri.
Muhammad Abid al-Jaberi lahir pad tanggal 27 Desember 1953 di Firguig Maroko tenggara[1]. Menenai Tahun lahir ini dalam keterangan lain disebut secara berbeda yakni 1936.[2] Ia tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mendukung partai Istiqlal sebuah pertain pejuang kemerdekaan dari penjajahan colonial Perancis dan Spanyol. Ia mengenyam pendidikan pertamanya di madrasah Hurratul Wathaniyah (sekolah swasta Nasionalis) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Dari tahun 1951 dampai 1953 ia belajar di sekolah lanjutan pemerintah di Casablanca, setelah Maroko merdeka, ia melanjutkan studinya di perguruan tinggi setingat diploma pada seklah tinggi Arab bidang ilmu pengetahuan (Science Section).
Sebelum bergulat di dunia akademis, Ia juga memeliki pengalaman politik bersama dengan Mehdi B. Barka seorang pemimpin sayap kiri yang kemudian bersamanya ia mendirikan Union National des forces Populaires (UNFP) yang kemudian berganti nama menjadi Union Sosialeste Des Forces Populairesi (USFP), Mehdi menyarankan agar ia menjadi Humas parta Istiqlal. di tengah padatnya politik yang dijalaninya, pada tahun 1959 ia memulai studi Filsafat di Universitas Damaskus Syiriya  setahun kemudian ia memulai studinya di Universitas Rabat yag beru didirikan. Ia dan kawan-kawanya di UNFP dijebloskan ke penjara bulan juli1964 atas tuduhan konspirsi melawan negara. Namun pada tuhun itu juga ia dikeluarkan dari penjara sekeluar dari penjara ia aktif mengajar di Universitas lanjutan. Pada tahuj 1967 ia menyelesaikan pendidikanya dan kemudian mengajar di Universitas of Muhammad V Rabat. Seluruh pendidikan formalnya diselesaikan tahun 1970 dengan menyandang gelar doctor.
Kondsi sosial masyarakat di Mesir saat itu sedang dalam goncangan dimana bangsa Arab harus merasakan penjajahan dan harus mengakui kekalahan dengan Israil dan mulai menyadari tentang keterbalikan posisi yang mereka alami dengan masa dimana Islam menjadi pusat pengetahuan menjadi cerminan kemajuan dunia. Saa itu seiring dengan munculnya kesadaran akan ketertinggalan dunia Islam, pemikir muslim terpecah menjadi dua kubu ekstrim antara pemikiran tradisionalis dan pemikiran modernis, namun Abid al-Jabiri mencoba memosisikan pada islam jalan tengah dengan bersifat eklektis.    
Al-Jabiri adalah seorang pakar Filsafat di dunia Arab Kontemporer, dia termasuk kelompok elit yang mengamati tradisi Filasafat klasik sehingga dapat merumuskan dan menyelami filsafat klasik itu secara hidup.[3] Perkenalan Abed al-Jabiri dengan dunia pemikiran filsafat dimulai dengan kanalnya ia terhadap pemikiran perancis bermula semenjak ia masih kuliyah di  Universitas of Muhammad V Rabat di Maroko sekitar decade 1950-an, saat pemkiran Marxisme berkembang pesat di dunia Arab. Dan ia sendiri saat itu tumbuh sebagaimana—yang dia akui sendiri—sebagai pengagum Marxisme, namun kekaguman ini kian teerkikis saat ia membaca karya Yves Lacoste tentang Ibn Khaldun. Filsafat adalah hal yang membangun pemikiran abid al-Jabiri tidak heran jika ia banyak mengunggulkan akal dalam pemikiranya, kekaguman terhadap filsafat ini juga terlihat dengan kekagumanya atas Ibnu Rusyd seorang tokoh filsafat Islam yang hidup di era keemasan pemikiran dan pengetahuan Andalusia.
Al-Jabiri banyak menyusun karya dibidang ilmiyah di antaranya ialah tulisan rutinnya di beberapa harian ternama di Timur Tengah seperti al-Syarq al-Ausath. Ia juga sering mengisi seminar baik di Timur tengah dan Eropa. Ia dalam seminar bahkan pernah berada dalam satu forum dengan Syaikhuna Allamah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Fatimah Mernisi di Berlin Jerman dalam tema Civil Society in the Muslim World.
Karya beliau banyak yang telah terbit namun juga ada yang belum diterbitkan di antaranya ialah sebagaimana yang disebut di atas yakni harian timur tengah al-Syarq al-Ausath, ia juga menulis tentang pemikiran Ibn Khaldun dalam karyanya Fikru Ibn Khaldun, Ashobiyah wa ad-Daulah karya ini ditulis 1971. Beliau juga melakukan kritik atas pendidikan dimaroko dalam bukunya adlwa ala Musykil at-Ta’lim tulisan ini ia tulis tahun 1973. Ia jiga meluncurkan dua jilid buku epistemology ilmu pengetahuan yakni Madkhol ila falsafah al-Ulum (pengantar filsafat ilmu), dan banyak buku lainya, dan buku yang menjadi magnum opusnya ialah Naqd al-aql al-Aroby kehebohan karya ini sampai-sampai membuat jurnal ilmiyah al-Mustaqbal al-Araby menganggap karya ini sebagai perestroika (perombakan) Arab karena berani membongkar epistemology yang telah mapan.   
B.     Redefinisi al-Qur’an
Kata القرأن ( al-Qur’an ) yang disandarkan pada kitab yang diturunkan pada rosulullah telah banyak memunculkan ragam definisi dan pengartian ileh para ulama, diantaranya ada yang memaknainya sebagai kata yang tersendiri yang memang disematkan kepada al-Qur’an dan tidak memiliki makna tertentu. Namun Abid al-Jabiri tidak sepakat dengan argument tersebut, ia lebih menganggap al-Qur’an adalah lebih ssuai jika dimaknai secara bahasa dengan “membaca”, lebih memilih kata membaca daripada mengumpulkan dengan menyertakan dasar surat al-Alaq. Mungkin diasumsikan bahwa al-jabiri ingin menekankan bahwa al-Qur’an harus terus dibaca dalam arti diplajari jangan sampai dibiarkan. Namun secara lbih spesifik aljabiri mmiliki pendapat tersndiri mengenai definisi al-Qur’an.
 Abid al-Jabiri mendefinisikan al-Qur’an sebagai “kitab yang diwahyukan oleh Allah mlalui Jibril kpada nabi Muhammad SAW dengan lisan Arab dan meneruskan kitab-kitab terdahulu (asy-syu’ara [26]:196).”[4] Dari definisi tersebut seolah al-Qur’an memang turun pada setting tempat dan waktu bangsa Arab namun juga turun adalah bentuk dari penerus dan penyempurna kitab-kitab sebelumnya dan untuk rohmat bagi semua pengikut Nabi Muhammad SAW dimasa sesudah nabi dimanapun berada. Jadi bahasa arab hanyalah sebagai pelantara. Oleh karena ia sebagai pelantara maka kajian historis dan normatifitas bahasa sangat penting. Namun lebih rinci ada tiga poin dari definisi al-Jabiri atas al-Qur’an, pertama, al-Qur’an bukanlah sama-sekali baru, namun merupakan penerus dari kitab sebelumnya yang menunjukan kontinuitas seruan tuhan, kedua, bahwa ia tetap merupakan pristiwa ruhani, dan ketiga, al-Qur’an menjadikan pembawanya sebagai mungdzir atau orang yang selalu “mengingatkan” atas haq dan batil.



C.     NALAR BURHANI DAN BAYANI SEBAGAI SUMBER
Salah satu teori yang coba dieksploitasi oleh Abid al-Jabiri ialah ialah sistem pengetahuan Bangsa Arab. hal ini dilakukan adalah sebagai proses landasan dasar dari kerangka pemikiranya atas aspek akar historisitas tradisi Arab pra Islam.
Masyarakat Arab dalam bingkai kesejarahanya hidup dan berkembang dengan budaya mistisimenya walaupun telah dikenal dan diketahui bahwa bangsa ini telah banyak memiliki para nabi dan rosul namun tetap saja budaya tersebut tidak bisa terlepas dari akar nalar bangsa Arab. Keadaan ini sampai pada akhirnya disimbolkan dalam sebuah kata yakni “Jahiliyah” yang merepresentasikan keadaan moralitas dan intelektualitas bangsa ini dan untuk itulah dimungkinkan menjadi sebuah alasan dipilihnya bangsa ini sebagai tempat Islam yang dibawa nabi Muhammad diajarkan.
Ada tiga sitem yang mewarnai pemikiran Arab Islam. Ketiga system ini yang nantinya akan ada korelasi dengan proses dinamika bagaimana al-Qur’an dibaca dan disalurkan. Dikatakan sebagai Arab Islam karena disitu nanti Islam juga berdiri sebagai pembentuk pemikiran tidak terbentuk dari pemikiran dalam ranah Islam Nabi terdahulu. Ketiga sistem tersebut adalah Bayani, Irfani, dan Burhani.
Pertama, Nalar Bayani atau yang dikenal dengan berfikir untuk mencapai pengetahuan atau nilai adalah dengan berpedoman suatu teks atau bahasa. Budaya Arab dengan sistem kebahasaanya yang unggul mendorong terciptanya karakter masyarakat yang menggebu dalam berlomba-lomba berkarya dengan sastranya dan pada saatnya Al-Qur’an Hadir dengan bahasa yang menakjubkan, ia turut serta dalam khazanah kebudayaan Arab ini.
Al-Qur’an memiliki sisi dimana ia bisa dikaji dengan metode Bayani yang menurut Herder (1733-1803) bahasa bukan sekedar alat untuk berfikir, namun model yang darinya pemikiran akan terbentuk, karena masyarakat bertutur sebagaimana mereka berfikir dan masyarakat berfikir sebagaimana mereka bertutur. [5] Posisi al-Qur’an walau memiliki kerangka sintagmasi dan nilai stilistika yang berbeda dengan bahasa Arab yang biasa dioralkan dalam syair ataupun dialektika sehari-hari masyarakat Arab, namun al-Qur’an tetaplah menggunakan bahasa Arab, dan untuk memahaminya maka pengetahuan Bahasa Arab adalah wajib sebagai pintu gerbang dalam memasuki ruang nilai yang terkandung di dalamnya.
Menurut Abid al-Jabiri, memahami al-Qur’an tidak bisa dengan pengalihan bahasa lain, karena tidak mungkin suatu teks dialihbahasakan tanpa mengalami perubahan. Dan jika al-Qur’an dialih bahasakan, bukanlah dianggap sebagai al-Qur’an, karena cakupan makna suatu kosa kata akan sangat tereduksi oleh satu pilihan makna, padahal satu kosa kata al-Qur’an terkadang memiliki bisa lebih dari satu makna.
Kedua, Nalar Burhani, nalar ini mewarnai pemikiran arab semenjak di utusnya para Rasul. Nalar ini memposisikan akal sebagai alat untuk menggapai nilai atau pengetahuan. Dalam kesejarahanya nalar ini sering berseberangan dan dihambat oleh nalar lain yakni Nalar Irfani dalam arti negative[6]. Bangsa Arab klasik merupakan bangsa yang kental nuansa sakralitas dengan budaya paganismenya dan sikap ketergantungan pada benda-benda alam sebagaimana matahari bintang untuk disembah. Karakter ini terbentuk dari kondisi geografis mereka sebagaimana dijelaskan Harun Nasution bahwa kegersangan dan keganasan gurun pasir membuatnya sering memposisikan upaya dibawah kapasrahan hidup atau sikap Jabary dibawah sikap Qodary. Mereka lebih sering menggantungkan taqdirnya sebelum berupaya dan akhirnya dipilihlah berhala-berhala untuk dijadikan sesembahan inilah sikap Irfani Negatif. Dan Rasul pun diutus dengan membawa pesan wahyu yang sejalan dengan akal. Serangan Burhani atas Irfani sebagaimana tergambar dalam kisah nabi Ibrahim yang menghancurkan beberapa patung kecil dan membiarkan patung besar, disitu ada dialog antara nabi Ibrohim yang menyatakan bahwa yang menghancurkan patung-patung berhala kecil adalah patung berhala yang paling besar dan ternyata disadari oleh orang kafir bahwa tidak mungkin patung bisa menghancurkan.
kisah nabi Ibrahim tersebut adalah gambaran bahwa wahyu datang adalah dengan nalar Burhani dan untuk menghancurkan Nalar Irfani dalam arti Negatif yang dalam al-Qur’an proses demitologi ini juga sering hadir berbentuk Tamtsil al-Haj 73, al-A’raf 191. Dalam kacamata sejarah Dari nalar burhani ini muncul beberapa ideology seperti mu’tazilah yang digagas Washil bin ato’ dan ideologi Dhahiriyah yang dibawa Ibn Hazm al-Andalusi (784 H) yang menolak sama sekali Irasionalitas dengan sikap demitologi yang menggebu.
Ketiga, Nalar Irfani, nalar ini dalam arti negatif sering dituding sebagai aspek yang bertanggungjawab atas ketertinggalan dunia Islam saat ini, nalar ini dianggap sebagai nalar irasional dan melakukan penyingkiran akal dalam proses mencari kebenaran.[7] Percekcokan antara nalar Irfani dan Burhani terlihat dalam aspek sejarah Islam dimana sejarah membuktikan bahwa dunia Islam maju ketika berpegangteguh dengan nalar Burhani dan dunia Islam mengalami masa kemunduran ketika berkutat pada nalar Irfani. Sebagaimana kemajuan disaat nalar Burhani menjadi pedoman dasar di masa Abbasiyah.
Bangsa Arab pra Islam ketika datang Rasul membawa ajaran yang Rasional setelah Rasul wafat maka bangsa ini kembali dunia irasionalnya atau yang dikatakan Irfani dalam arti negative, kemudian pada saatnya masyarakat Arab Pra Islam akan kembali pada ajaran yang benar dengan diutusnya Rasul yang lain namun suatu ketika kembali pada budaya irasionalnya dan diutus rasul lain sampai Nabi Muhammad. Inilah gambaran bahwa Nalar Irfani sangat berpengaruh dalam dunia Arab yang memang telah berjalan dari generasi ke generasi dan seolah sulit untuk dilepaskan dan pada akhirnya muncul kesadaran tentang kesalahan budaya ini dengan kekalahan dunia Arab Islam dengan Israel Yahudi.
Kesulitan mencabut budaya irasional bangsa Arab menjadi kesulitan tersendiri dalam menanamkan budaya berfikir yang diangap benar, untuk itu alMakmun Khalifah bani Abbasiyah sampai-sampai berpolitik Irasional agar budaya berfikir falsafi bisa diterima oleh bangsa arab saat itu, dimana ia menyatakan suatu malam bermimpi bertemu dengan seseorang beralis yang menyambung dan bermuka merah yang menyebut dirinya aristoteles dan menyatakan bahwa kebenaran bisa di peroleh dari Nash, kemudian Ijma’, dan terakhir adalah dengan menggunakan akal.[8]
Mengenai ayat-ayat yang Irasional tentang aqidah, adalah dapat dijelaskan dengan mencermati kejadian alam. Ia menerima nalar Burhani dan Bayani. Penerimaan nalar Bayani ini pada akhirnya yang menjadi dasar lahirnya teori al-Fashl bahwa teks harus berbicara dengan dirinya sendiri dan penerimaan aljabiri terhadap Nalar Burhani ini pada akhirnya melahirkan teori alwashl dimana seorang bisa mendekati teks menggunakan akalnya dalam melakukan penafsiran.


D.    METODE PENAFSIRAN
Al-Fashl dan al Washl sebuah teori untuk menjaga objektifitas teks yang digagas oleh Abid al-Jabiri dimana teori ini bertujuan untuk menemukan antara kemurnian kandungan teks dengan analisa dari pra-pemahaman seorang penafsir. Dalam melakukan penafsiran, seorang penafsir harus membiarkanteks berbicara dengan dirinya sendiri secara apa adanya. Baru kemudian di analisa dengan sepenuh pemahaman penafsir dalam menentukan hakikat makna hal ini bertujuan agar teks bisa difahami secara objektif.
Al-fash dalam arti terpisah atau memisah dimaksudkan agar teks jangan sampai tercampuri kemurnianya dengan pemikiran dari luar teks, teks harus terpisah dengan penafsir, teori ini memiliki beberapa metode pertama, pendekatan structural, yang menjelaskan bahwa teks adalah keseluruhan yang dibentuk dari suatu kesatuan yang konstan. Yang menunjukan bahwa teks tidak bisa berdiri sendiri namun harus difahami secara menyeluruh dengan mempertimbangangkan hubunganya dengan tekslainya, sebagaimana satu ayat al-Qur’an harus difahami siaq al-kalam atau hubungan sintagmasinya atau munasabah dengan ayat lainya, kedua, analisis Historis, dimana teori ini menjelaskan bahwa teks memiliki realitas konteks maupun asbab an-Nuzul yang harus dicari guna menemukan maksud dan tujuan dari pesan yang sebenarnya, ketiga, Kritik Ideologi, dimana teori ini adalah sebagai pengingat bagi penafsir sebagaimana semangat al-fahsl, dalam melakukan penafsiran, teks harus ditempatkan pada posisinya yang murni tidak terikat oleh suatu tendensi apapun.
Al-Washl merupakan teori yang digunakan dalam menganalisa teks sesaat sebelumnya seorang penafsir memisahkan diri agar teks berbicara dengan dirinya sendiri kemudian di sinilah tugas penafsir dalam mengaitkan taks, Historisitas teks, dan sosiologis teks masa turun al-Qur’an dengan kebutuhan masa ini.[9] Akal burhani berperan penting dalam melakukan analisa dan proses memahami dan menafsiri ayat al-Qur’an dengan segenap pengetahuanya dalam berijtihad.


[1] Dwi Haryono,Hermeneutika al-Qur’an Abid al-Jabiri” dalam Syahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta: Elsaq. 2010) Hlm. 86.
[2] Abrori, “Studi Komparasi Muhammad Abed al-Jabiri dan Mohammad Arkoun”, Skripsi fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003. Hlm. 56.
[3] Abrori, “Studi Komparasi Muhammad Abed al-Jabiri dan Mohammad Arkoun”, Skripsi fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003. Hlm. 57
[4] Dwi Haryono,Hermeneutika al-Qur’an Abid al-Jabiri” dalam Syahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta: Elsaq. 2010) Hlm. 92-93.
[5] Muhammad Abid al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) hlm. 224.
[6] Nalar Irfani bisa dipisah menjadi “nalar Irfani dalam arti negative” yakni proses pencarian kebenaran dengan instuisi yang Irasional. Kedua “Nalar irfani dalam arti positif” sebagaimana dikemukakan al-Kindi bahwa Nalar Irfani bisa diterima karena dia merupakan hasil dari proses berfikir secara burhani. Sebagaimana penjelasan abid al-Jabiri tentang keesaan tuhan yang walau Irasional namun dapat dijelaskan dengan akal dengan melihat adanya bukti kauniyah .
[7] Ibid. 232.
[8] Muhammad Abid al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) hlm. 365.
[9] Dwi Haryono,Hermeneutika al-Qur’an Abid al-Jabiri” dalam Syahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta: Elsaq. 2010) Hlm. 100.

No comments:

Post a Comment