Wednesday, December 9, 2015

The Qur’an in Context Angelica Neuwirt




Response paper
Muhammad Barir, S.Th.I

  
Angelica Neuwirth melakukan studi tentang perbandingan intertekstualitas antara al-Qur’an dengan kitab sebelumnya yakni Psalm yang merupakan bagian dari Bible yang sangat familiar di era al-Qur’an dalam tradisi Arab atau yang biasa disebut dalam tradisi Islam adalah Zabur dan juga identik dengan Mazmur. Penyebutan kitab Zabur sendiri terkait dengan kata z-b-r yang bermakna membaca. Zabur sendiri merupakan kitab yang diwahyukan kepada nabi daud atau yang dalam tradisi Yahudi dan kristiani dikenal dengan David.
Intertekstualitas dipakai oleh Neuwirt didasarkan atas asumsi bahwa al-Qur’an, Taurat, Zabur, dan Injil cukup setara secara time frame karena ketiganya berada pada waktu yang bersamaan yakni pada akhir era pre-canonical yang berakhir pada abad 6-7 masehi seiring runtuhnya romawi. Karena al-Qur’an setara secara time frame tersebut maka cukup relevan untuk dilakukan kajian intertekstualirtas dengan kitab-kitab lainnya secara diakronis.   
Secara diakronis, Islam lahir di sekitar peradaban lainnya seperti syiria. Peradaban-peradaban sekitar inilah yang memiliki pengaruh terhadap al-Qur’an lewat persentuhan tradisi. Dalam contoh-contoh kecil, terkait tradisi peribadatan Syiriah misalnya. Dalam memulai membaca kitab Psalm, terdapat ritual pembacaan pembuka yang disebut Suraya yang kemudian mengindikasikan bahwa term suraya ini digunakan dalam menyebut kumpulan ayat yakni surat. Hal ini pula mengindikasikan bahwa transmisi tradisi dari luar yang masuk ke semenanjung Arab dilakukan secara oral sehingga sangat rentan terhadap ketidaktepatan penyebutan.  
 Pertanyaan Neurwith mengenai apa hubungan al-Qur’an dengan Psalm?. Ia memulai menunjukkan bukti keterkaitan antara al-Qur’an dengan Psalm dengan mengutip surat ar-Rahman yang memuat adanya konsep kekekalan Tuhan dan kebinasaan manusia sebagaimana ar-Rahman 55: 27 yang dijadikan khat pada batu nisan Turkan Khatun, seorang shalehah dari mongol yang dikubur di Jarussalem. Ayat tersebut yang memuat konsep kekekalan Tuhan dan kesirnahan manusia ternyata konsep seperti ini ada dalam kitab Psalm.
Selain itu, al-Qur’an juga mengakui bahwa ia sendiri merupakan kitab yang berhubungan dengan kitab-kitab sebelumnya seperti Taurat atau Torah, Injil, dan juga Zabur. Namun al-Qur’an memposisikan dirinya sebagai penerus dan koreksi atas kitab-kitab terdaulu yang telah berubah. Penjelasan hal tersebut bisa ditemukan dalam al-Qur’an surat al-Isra’ 17: 55, al-Anbiya 21: 105, dan an-Nisa 4: 163. Hal tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an merupakan fungsi baru yang mengekspresikan kitab-kitab sebelumnya.
Neuwirth juga menemukan beberapa surat yang mirip dengan istilah-istilah yang dipakai dalam psalm. Istilah-istilah tersebut meliputi terdapat dalam tiga pembagian yang pertama adalah bunyi (echoes) seperti surat al-Kautsar dan al-Insyirah; kedua adalah nyanyian (hymns) seperti surat al-A’la dan al-Alaq; ketiga adalah pengulangan (refrain) seperti surat ar-Rahman.  
Selain itu Neuwirth juga mengutib pendapat Heinrich Speyer yang menyatakan bahwa muatan Taurat telah terefleksikan dalam al-Qur’an. Ia menyatakan bahwa terdapat 141 kemiripan yang ditemukan melalui studi di Berlin yang proyek ini dinamakan corpuys coranicum. Kemiripan-kemiripan tersebut membuktikan bahwa al-Qur’an merupakan kitab penerus atau kitab lanjutan dari kitab terdahulu. Meski mirip namun al-Qur’an juga memiliki karakteristik tersendiri yang orisinil tradisi Arab seperti bentuk linguistik (grammer), gambaran (contoh-contoh dan perumpamaan yang dipakai), dan susunan literatur.
Terdapat dua dimensi yang mempengaruhi al-Qur’an. Pertama adalah tradisi Makkah dan kedua adalah tradisi Madinah. Makkah yang merupakan warisan Ibrahim member pengaruh tradisi millah. Sedangkan Madinah yang dekat dengan masyarakat Yahudi memberikan pengaruh tradisi kanonik, sejarah, dan peradaban lainnya yang ada pada tradisi Yahudi. Hal tersebut dapatr dilihat melalui contoh kecil yaitu sholat. Ritual ibadah tersebut dalam satu sisi mengandung unsur tradisi Madinah dengan peribadatannya dan Makkah dalam mepengaruhi unsure lain sebagaimana di dalamnya termuat nama Ibrahim dalam tahiyyat.
Apa yang dikaji Neuwirth merupakan bagian selanjutnya dari kajian sebelumnya, mulai munculnya revisionis pada 1977 kemudian di susul dengan beberapa kajian tentang al-Qur’an seperti kajian penelusuran bahasa Aramaic pada tahun 2000, hingga kajian hermeneutic yang berkembang dan dikembangkan baik oleh sarjana non dan Muslim sendiri.

al-Qur'an dalam Frame Late Antiquity


Islam bukanlah agama pertama yang berimplikasi bahwa mushaf al-Qur’an bukanlah mushaf kitab suci yang pertama. Al-Qur’an berada dalam lintasan pewahyuan Kitab Suci lainnya yang berada pada masa yang di sebut Angelica Neuwirth, Barbara Finster, dan penekun kajian historis kritis lainnya dengan masa late antiquity.[1] Selain masa late antiquity, al-Qur’an juga berhubungan dengan kitab suci yang berada pada masa sebelumnya yakni “classical antiquity. Late antiquity  merupakan istilah yang dipakai oleh pakar sejarah dalam menentukan titik transisi periodesasi (frame time) dari masa akhir classical antiquity menuju permulaan masa middle age. Para pakar sejarah berbeda pendapat mengenai tahun pasti yang yang dapat dijadikan batasan masa late antiquity. Peter Brown berpendapat masa late antiquity terjadi pada antara abad kedua dan kedelapan masehi. Hal tersebut ia perjelas melalui karyanya The World of Late Antiquity : AD 150 – 750.[2] 
Dengan mengacu pada pembagian waktu ini, kajian terhadap al-Qur’an dapat dikaitkan dengan intertekstualiti studies. Studi tentang al-Qur’ann tidak hanya terbatas pada kritik internal dan eksternal al-Qur’an, namun menyeberanginya dengan melakukan komparasi atas kitab-kitab lainnya yang berada di luar tradisi Islam. Dengan kemungkinan studi intertekstualitas tersebut, upaya komparasi antara al-Qur’an tidak terbatas dengan kitab lainnya yang semasa. Namun bahkan al-Qur’an memiliki kaitan dengan kitab yang hadir pada masa classical antiquity. Dalam hal tersebut ialah kitab Taurat dan Zabur yang—jika mengacu pada pembagian Peter Brown di atas—diwahyukan sebelum masa late antiquity.   
Islam dalam realitas kesejarahannya terkait erat dengan agama sebelumnya. Kitab suci-kitab suci yang menjelaskan keimanan membawa kepercayaan yang dipeluk, diyakini, dan dilegalkan sebagai agama dalam konteks global termasuk pula agama bangsa Arab ketika itu. Dalam konteks sejarah, dalam rentang waktu tertentu, kitab suci sebagai bagian dari peristiwa (event) berada dalam alur diakronis dan alur singkronis. Antara kitab suci masing-masing melintasi waktu yang berbeda, ada yang turun di awal dan ada yang baru hadir belakangan. Karena masing-masing kitab memiliki orientasi yang berdekatan, maka yang terjadi kemudian adalah masing-masing memiliki banyak persamaan selain juga terdapat beberapa perbedaan.
Kepercayaan tentang hubungan kausalitas[3] bahwa peristiwa dalam sejarah tidak lepas dari peristiwa lainnya memunculkan asumsi bahwa kitab suci-kitab suci yang muncul menjelang keruntuhan Romawi memiliki keterkaitan terutama kitab yang hadir belakangan yang menjadikan kitab sebelumnya sebagai rujukan sumber. Kajian ini yang memfokuskan diri pada konsepsi origin dari kitab suci menjadi bagian dari kajian historis kritis (historical critisism) yang pada gilirannya juga melibatkan kajian filologis. Di antara tokoh yang menjadi sosok sentralnya adalah Abraham Geiger (1810-1874 M)[4] dan Theodor Noldeke (1836-1920 M).[5] Keduanya melakukan riset tentang al-Qur’an yang diyakini muncul pada masa Nabi Muhammad (670-732 M).   
Nabi Muhammad sebagai sosok historis, petualang, dan seorang yang memiliki jaringan dengan bangsa luar terutama diddukung oleh profesinya sebagai seorang pedagang yang hilir mudik melakukan perjalanan hingga Syam dan Yaman menemui berbagai klien dan berjumpa dengan orang dari berbagai latar belakang yang dalam perjalanan tersebut membangun pra-pemahaman Nabi. Baik Abraham Geiger dan Noldeke masing-masing percaya bahwa Nabi terpengaruh oleh orang-orang yang ada dalam lingkungan hidupnya tersebut yang kemudian menjadi sumber munculnya al-Qur’an.


[1] Era menjelang keruntuhan Romawi, era ini disebut-sebut mewakili akhir dari masa pewahyuan kitab suci. L;ihat seperti tulisan Barbara Finster, “Arabia in Late Antiquity: an Out Line of the Cultural  Situation in the Peninsula at the Time of Muhammad”, dalam Angelica Neuwirth dkk. (ed.), The Qur’an in Context (Leiden: Brill, 2010), hlm. 61-114.
[2] Cody Franchetty, “An Ever Lasting Antiquity : Aspects of Peter Brown’s The World of Late Antiquity”, dalam Global Journal of Human Social and Science, Vol XIV, 2014. Hlm 1.
[3] Hubungan kausalitas ini disebut Kuntowijoyo dengan model lingkaran sentral. Berbeda dengan model evolusi yang menunjukan perubahan bentuk kebudayaan suatu unsur tertentu adalah berkaitan dengan perubahan pada dirinya sendiri. Model lingkaran sentral lebih merupakan bentuk perubahan-perubahan peristiwa berdasarkan sebab-akibat dalam proses diakronis yang melibatkan tidak hanya dirinya sendiri namun mempengaruhi perubahan kebudayaan tertentu yang ada pada lingkungannya. Sebuah peristiwa yang terjadi menurut model ini tidaklah terjadi dengan sendirinya, namun terjadi karena peristiwa sebelumnya dan demikian terus-menerus terjadi hingga memunculkan peristiwa-peristiwa yang baru. Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 51.
[4] Ken Spiro, The Reform Movement : Crash course in Jewis History (Jewish Pathways, 2008), hlm. 5.
[5] Al Makin, Antara Barat dan Timur (Jakarta: Serambi, 2015), hlm. 101.

Thursday, November 19, 2015

Perjalanan Sang Imam

       Terus melangkah, seorang paruh baya demi mencari hakikat kehidupan yang sejati di semesta, jejak syari'ah di tapakinya tapi terasa tak menyentuh kedalaman inti wiji kanugerahan, akhirnya perjalanan sang berjubah itu terus berlalu merentasi dinia kalam. tapi kembali tetesan keringatnya harus diusap kembali untuk menjajaki perjalanan yang tak kenal henti, bagai Ibrahim yang tak puas ketika anggapanya dahulu bahwa Tuhan adalah bintang tapi ketika siang hilang padahal Tuhan tidak mungkin lenyap, bulan pun ternyata demikian dan terhentaklah ketika melihat sinar yang melebihi sinar keduanya, matahari. Matahari ternyata pun lenyap dimakan bumi di jagat barat, sang imam kembali mendaki sulitnya gunung filsafat yang terjal di sini seolah baru mendapat intan sang berjubah merasakan kebahagiaan yang merasuk dari kulitnya mengalir di setiap pembuluh darahnya tapi tetap ternyata hakikat belum dapat diraih secara utuh,
       ketika itu di padang pasir yang tandus seolah menemukan oase dirinya melangkah, menjejakan kakinya di butir pasir yang berkilauan memantulkan sedikit cahaya senja ke sebuah menara masjid. dalam ruangan menara masjid itu sang imam berjubah paruh baya menghabiskan  sisa hidupnya, al-Ghazali sang Hujjatul Islam
(antologi puisi) muhammad Barir
Yogyakarta, 2011

Wednesday, November 18, 2015

Qur’anic Studies John Wansbrough



Epigrafi Bahasa Arab klasik dan Kontestasi Tradisi Abad ke-2 
Muhammad Barir, S.Th.I
1420510012


A.    Bahasa Suryani (aramaic) sebagai Asal Bahasa Arab
Bahasa Arab menurut John Wansbrough tidaklah lahir secara murni dari bangsa Arab, namun terpengaruh oleh beberapa bahasa lainnya. Apa yang ditawarkan ini menjadi hipotesa bahwa terdapat pengaruh luar yang bisa mengungkapkan bagaimana originalitas dan otentisitas bahasa Arab. Argumentasi tersebut bisa ditelaan melalui beberapa sisi dari bahasa Arab meliputi perubahan nada (infleksi), tanda baca, dan bentuk huruf. Sebagaimana argument Robert Hoyland dalam tulisannya Epigraphy and the Linguistic Bacground to the Qur’an bahwa bahasa Arab terpengaruh bahasa Suryani yang disebut Aramaic. Bahasa Aramaic ini terdiri dari tiga dialek, yakni al-aramiyya, al-Falastiniyya, dan al-nabatiyya.[1]
B.     Bahasa Al-Qur’an Bahasa Abad ke-2 Hijriyah
Datangnya al-Qur’an pada abad ke-7 memberikan pengaruh kepada bahasa Arab lokal. Secara sekilas hal ini sudah bisa diterka melalui rima yang berbeeda antara puisi klasik Arab dengan Rima al-Qur’an di akhiran ayat-ayatnya sebagaimana surat abasa 80: 11-24. Setiap akhiran ayat-ayat tersebut diakhiri dengan rima yang sama melalui huruf ha’ dan ta’ marbuthah. Hal inilah yang menurut John Wansbrough bermasalah dan menyimpulkan bahwa al-Qur’am tidak muncul pada masa Nabi, namun muncul pada abad ke dua hijriyyah atau abad ke-9 masehi.
Argumen Wansbrough ini terkesan  mirip dan mungkin berhubungan dengan kajian Joseph Schacht yang berargumen bahwa hadis datang dan dibuat pada abad kedua hijriyyah oleh Ibnu Shihab az-Zuhri dalam memberi legitimasi hukum Islam pada masa Umar bin Abdul Aziz. Antara argument Hadis Joseph Schacht dan argument al-Qur’an Wansbrough ini berhubungan karena ketika hadis bermasalah, maka al-Qur’an pun juga bermasalah. Sebab, transmisi al-Qur’an juga menggunakan hadis, yakni hadis mutawatir. Argumentasi yang dibangun oleh Wansbrough ini didasarkan pada bahasa al-Qur’an yang ternyata lebih condong menggambarkan nuansa tradisi dan bahasa yang dipakai pada abad ke-2 hijriyyah.
Dari sisi morfologis, bahasa Arab terbentuk dengan berbagai perubahan-perubahan dan perkembangan, namun belum menyempurnakan susunan dan karakternya. Orang akan kesulitan membedakan antara jim, kha’, dan ha’. Kalaupun terdapat titik merupakan penyempurnaan dari Abu Aswad ad-Duali yang merumuskan nuqthah al-huruf. Sedangkan penyempurnaan huruf hidup terjadi pada masa khalil bin Ahmad al-Bashri yang memberikan harakat alif kecil di atas huruf sebagai fathah, wawu kecil sebagai dhammah, ujung ha’ sebagai sukun, kepala sin sebagai tasydid dan lain sebagainya.
C.     Argumen Wansbrough tentang Kelemahan Bahasa Arab
Kritik Wansbrough mengenai I’rab menjadi salah satu kritik tajam ketika ia menunjukkan beberapa kata yang ketika salah dalam pengungkapan vokalnya akan berimplikasi terhadap perubahan makna.إن الله بريئ من المشركين و رسوله ayat ini bermakna Allah dan rasulnya berlepas diri dari orang musyrik, namun juga karena kesalahan i’rab akan bermakna Allah melepaskan diri dari orang musyrik dan melepaskan diri dari rasulnya. Sebuah pemaknaan yang berdampak pada kesalahan fatal,
Contoh di atas menunjukkan adanya kekurangan bahasa Arab dalam memberikan penutup dan pembuka serta pembatas dan penyambung kalimat. Tanda-tanda baca seperti itu penting sebagai penentu validitras makna. Wansbrough menggarisbawahi lima unsur dari kekurangngan bahasa Arab yakni : 1) penekanan (pressing), 2) jeda, 3) konteks, 4) gestur, dan 5) retorikal faktor.
Selain kekurangan pada segi morfologi, kekurangan lain terjadi ketika al-Qur’an banyak membuang kata-kata yang difungsikan untuk meringkas pembicaraan. Seperti apa yang disampaikan Ibn Qutayba (w 276/889) yang menyatakan bahwa فَلا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ إِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ  lafadz “inna” pada ayat ini pada asalnya adalah lianna yang bermakna karena sesungguhnya. Kata tersebut disingkat dengan membuang lam ta’lil.
Selain itu, Wqansbrough juga menggunakan al-Itqan untuk mengkritik al-Qur’an dari sudutpandang umat Islam sendiri dengan menyodorkan pernyataan as-Suyuti yang menemukan adanya 25 ayat al-Qur’an yang berbeda atau bertentangan dengan kaidah bahasa Arab. Salah satu contoh yang ia uraikan adalah ayat : إن هذان لساخران. Ayat ini menunjukkan kesalahan I’rab yang seharusnya nasab dengan ya karena tasniyyah,  namun malah dibaca rafa dengan alif’.
D.    Bahasa al-Qur’an dan Dua Perannya sebagai Bahasa Stilistik dan Fungsional
Selain menunjukkan gaya bahasa abad kedua hijriyah yang lebih maju, disusun dengan rima yang indah, runtutan yang baik, dan lantunan nada yang sempurna al-Qur’an ternyata juga memiliki fungsi tertentu yang ada dibaliknya. Wansbrough menggunakan pendekatan yang biasa dipakai sebagai pendekatan kitab Taurat. Ia membagi tema al-Qur’an kedalam lima tema utama, ytakni:  haggadic, halachic, masoretic, rhetorical, dan allegorical.
1.      Haggadig merupakan al-Qur’an sebagai kitab naratif yang di dalamnya tersusun berbagai tema-tema kisah.
2.      Halachic merupakan al-Qur’an sebagai kitab yang berisi kaidah hukum yurisprudensi kanonikal.
3.      Masoretic merupakan al-Qur’an yang telah diberi tanda baca, catatan dan komentar sebagai tafsir.
4.      Rethorical merupakan al-Qur’an yang berisi tamsil atau beberapa perumpamaan-perumpamaan kata dalam menyampaikan informasi tertentu.
5.      Allegolical merupakan al-Qur’an yang berisi ayat-ayat mutasyabbih yang menyimpan makna di luar teks dan makna tekstual dikesampingkan karena bukan makna yang sebenarnya. Hal ini mirip dengan ayat mutasyabbih yang perlu penta’wilan.

Catatan dari seorang muslim :
Terlepas dari kontroversinya, kritik tajam Wansbrough dan Outsider lainnya terhadap al-Qur’an sebagai kajian Historis kritis tidak tempatnya dilawan dengan pendekatan teologis dan bagi sarjana muslim melihat perkembangan pendekatan yang dipakai Barat merupakan tantangan dan menyisakan pintu yang luas untuk ia kritisi melalui pendekatan yang sama di meja akademis, bukan secara fisik dan rasan-rasan lisan, namun melalui tulisan. Wallahu alam bi as-sawab, wallahu muwafiq ila aqwam ath-thariq
...


[1] Robert Hoyland, Epigraphy and the Linguistic Bacground to the Qur’an dalam, Gabriel Said Rynolds, “the Qur’an in Its Historical Context” . hlm. 52.