Sunday, January 3, 2016

Tafsir Bahrul Muhith Perjalanan Samudera Abu Hayyan

Oleh : Muhammad Barir, S.Th.I


Ilmu qira>’ah sering diposisikan sebagai ilmu yang berada pada dimensi tekstualitas al-Qur’an. Beberapa ahli terkadang lebih melihat aspek seni dan keragaman leksikalitas berupa waqf, ‘ibtida>’,’ima>lah, dan lain sebagainya tanpa menghubungkan ilmu ini pada kedalaman ma’na al-Qur’an. Secara lebih jauh, ilmu ini ternyata memiliki hubungan langsung dengan realitas historis sebagaimana ungkapan az-Zarkasyi dalam al-Burha>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n tentang pengaruh qira>’ah terhadap hukum fikih yang dibebankan kepada mukallaf.[1] Untuk itu, membahas lebih jauh tentang pengaruh qira>’ah terhadap pembebanan hukum terlebih tentang interpretasi al-Qur’an, merupakan hal yang memiliki urgensi untuk dilakukan. Tulisan ini merupakan sedikit upaya mereview kembali gagasan tersebut untuk disajikan kepada pembaca sebagai sebuah refleksi dan stimulasi tentang sebuah khazanah kekayaan perspektif dalam studi al-Qur’an. Demikian juga, interpretasi qiraat ini kemudian menempati tempat penting dalam kitab-kitab tafsir, salah satunya adalah Bahrul Muhith karya Abu Hayyan al-Andalusi, tulisan ini sedikit banyak akan mengulas bagaimana Qiraah memiliki fungsi-fungsi tertentu dalam penafsiran Abu Hayyan. Di dalamnya, tentu terdapat karakteristik yang berbeda dengan tafsir lainnya. Salah satu perbedaan ini terletak pada analisa Abu Hayyan yakni kepercayaan bahwa ayat al-Qur’an tersusun secara runtut dan runtutan itu mengandung makna dan pesan tertentu. Hal ini pula yang membuka kemungkinan untuk menerapkan analisa sintagmatis dalam menelaah penafsiran Abu Hayyan.
Keywords :  Qira>’ah, Analisa Sintagmatis, dan Bahrul Muhit.

A.    Pendahuluan
Pembahasan tentang ilmu qira>’ah sebenarnya tidak terlepas dari pembahasan I’ja>z al-Qur’a>n. Beragamnya cara baca tidak sekedar menjadi kekayaan bentuk pelafalan al-Qur’an, namun juga memberikan kemudahan bagi setiap lisan orang yang membacanya sesuai karakter lidah masing-masing. Selain hal tersebut, ada sisi lain dari studi ilmu qira>’ah[2] yang juga memiliki urgensi untuk dibahas lebih lanjut, yakni tentang pengaruh qira>’ah terhadap istinba>t hukum. Sehingga ilmu qira>ah tidak hanya menjadi ilmu yang berada pada kawasan tekstualitas al-Qur’an namun juga berada dalam kajian esensialitas makna al-Qur’an.
 Berangkat dari hal tersebut, studi lebih jauh tentang aspek pengaruh qira>’ah terhadap istinbat hukum menjadi hal yang penting. Berawal dari hal ini pulalah nantinya diketahui ketegasan posisi ilmu qira>’ah sebagai salah satu aspek yang dipertimbangkan oleh para mufassir dalam proses interpretasi al-Qur’an ketika merangkai kitab tafsirnya. Dan jika setiap mufassir memiliki imam dan ra>wi> qira>’ah-nya maing-masing, tentu akan muncul berbagai perdebatan lebih lanjut tentang mana qira>’ah yang masyhur dan yang sya>ż.
Dengan munculnya berbagai perdebatan tentang otentisitas qira>’ah ini, maka salah satu aspek lain yang perlu dijabarkan dalam makalah ini adalah mengenai tradisi transformasi ilmu berdasarkan sanad yang berujung dari Rasulullah. sehingga, dalam bebrapa poin dalam makalah ini nanti, juga akan diwarnai dengan penjelasan singkat tentang imam dan rawi qira>’ah, berbagai pendapat ulama, dan penelusuran historisitas perkembangan ilmu qira>’ah. Dari peran sanad dalam transmisi qiraat, muncul sebuah pemahaman tentang adanya qiraah mutawatir namun sebagian dianggap lemah sebagaimana hal ini terjadi juga dalam hadis. Dan hal tersebut pula yang kemudian terjadi pada penafsiran al-Qur’an.
Pengunaan qiraah tersebut, juga dilakukan oleh Abu Hayyan dalam mendukung upaya penafsiran ayat al-Qur’an. Secara lebih jauh tulisan ini akan mengula bagaimana qiraah dalam bahrul muhit digunakan dan bagaimana Abu Hayyan menindak lanjuti qiraah yang masuk sebagai bentuk kritik dan penyaringan qiraah mutawatir dan syadz. Serta di antara qiraah tujuh dan qiraah lainnya[3], mana qiraah yang dipilih oleh Abu Hayyan. Selain itu, bagaimana karakteristik Abu hayyan dalam melakukan penafsiran al-Qur’an yang sekaligus menandai perbedaan dengan mufassir lainnya.

B.     Biografi Abu Hayyan

1.      Kehidupan Abu Hayyan
Ia bernama lengkap Atsiruddin Muhammad bin Yusuf bi Ali bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusi an-Nafzi. Namanya dinisbatkan pada Nafzah yang merupakan salah satu qabilah dari suku barbar. Dan Nastiruddin merupakan julukannya. Abu Hayyan lahir pada akhir bulan syawwal tahun 654 H[4] atau 1256 M di Gharnathah, salah satu daerah yang terletak di Andalusia. Ia berkiprah di Mesir dan Andalusia sebagai dua tempat yang melambungkan namanya.
Abu Hayyan berperawakan tidak tinggi dan tidak pendek, berwajah bundar. Ia dikenal dengan orang berjenggot lebat dan lebar. Abu Hayyan memiliki sifat-sifat yang mendukung dalam capaian keilmuannya. Kebesaran Abu Hayyan dan dinginnya tangannya telah terbukti mampu mencetak ulama besar seperti Taqiyyuddin bin as-Subki. Seorang yang membaca al-Qur’an secara fasih, meski terkadang membaca huruf kaf merip seperti qaf.  Namun, dari sisi nurani, Abu Hayyan begitu sensitive dan empatif, ia akan dengan mudah menangis saat mendengarkan lantunan al-Qur’an. Airmatanya juga akan berlalu melewati pipinya tatkala mendengarkan syair ghazal dan hamasah.
Lahir dan besar dalam lingkungan agamis membuatnya tekum menuntut ilmu agama dan ia memilih sebagai seorang dhahiri. Mazhab fiqihnya ia halukan pada Imam Syafii setelah ia masuk ke Mesir, dan ia juga menggunakan pendapat-pendapat Imam Malik sebagai madzhab yang banyak diikuti di Maghrib.[5] Mazhab kebahasaannya di antara dua mainstream mazhab besar yakni Bashrah dan Kuffah, ia lebih condong pada Basrah. Meski banyak kaidah nahwiyah dan sharaf yang di tulis oleh Abu Hayyan yang kedua ilmu itu berkembang pesat di Kuffah. Hal ini menandakan bahwa Abu Hayyan tidak terlihad jumud dalam mazhab kebahasaan ini dan mampu menempatkan porsi kedua kutub dengan sesuai.
Kemahirannya dalam membaca al-Qur’an mengantarkan ia berhadapan dengan tokoh-tokoh terkemuka seperti Khatib Abu al-Haq ibn Ali, Khatib Abi Ja’far ibn Thabbai, dan Hafidz bin Ali. Ketika di Aleksandria ia juga pernah membacakan bacaannya dihadapan Abdun Nasir bin Ali dan di Mesir kepada Abi Thahir Ismail bin Abdullah.kecintaannya terhadap ilmu membawanya untuk berguru keberbagai ulama. Ia menguraikan, bahwa terdapat 450 orang guru yang pernah ia timba ilmunya.[6] Ia juga dengan baik telah membaakan kitab Sibawaih kepada gurunya Ibn Nuhas. Ia juga rajin mengikuti forum Syamsuddin al-Ashbahani, mempelajari Hadis, Adab, Sejarah dan keilmuan lainnya. Ia juga beberapa kesempatan menaruh perhatian pada ilmu ushul dan mantiq.
Abu Hayyan adalah dalam bidang kebahasaan dan sastra. Ia menghafal banyak syair Arab. Sebagaimana mazhab Bashrah yang dianut oleh Abu Hayyan dalam ilmu bahasa mengharuskan penguasaan syair. Syair bahkan diakui sebagai salah satu kaidah bahasa selain criteria lainnya seperti riwayat qiraah dan bahasa kabilah Arab. cabang yang nantinya menjadi modal berharga dalam menunjang proses penafsiran al-Qur’an. Keahlian lainnya ialah bidang ilmu hadis  yang ia tekuni dan membuatnya memahami biografi rijal dan tingkatan-tingkatannya.[7]
Di tengah kritisnya pemikiran Abu Hayyan dan keberaniannya dalam menghadapi orang-orang berpengaruh, menimbulkan peristiwa besar dalam sejarah hidupnya. terlebih saat ia mengkritisi beberapa gagasan gurunya yang bernama Ahmad bin Ali ath-Thaba’I. Abu Hayyan mengkritisi gurunya sendiri melalui karya al-Ilma’ fi Ifsad Ijazah Ibn ath-Thaba’i. tidak terima atas perlakuan muridnya, ath-Thaba’I kemudian melaporkan perbuatan Abu Hayyan pada Amir. Kemudian keputusan Amir diambil yang isinya meminta Abu Hayyan menghadap, namun karena khawatir, Abu Hayyan kemudian memilih menyeberangi lautan dan akhirnya sampai di Mesir pada tahun 680 H.. Mungkin pelariannya menyeberangi samudera ini juga yang mengilhami Abu Hayyan untuk menamai magnum opusnya dengan Bahr al-Muhith.[8] 

 
Peta riwayat Geografis hidup Abu Hayan
Ilustrasi Rihlah : Lihat  Ahmad Khalid Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan: Daar Ammar, 2006), hlm. 19.



Beberapa kota yang pernah disinggahi oleh Abu Hayyan adalah : Gharnathah, Malaqah, Tunis, Iskandariyah, Kairo, Dimyat, Thuhurmus, Disyna, Qina, Bilbis, Sudan, Makkah, dan Jiddah.
Kepergian Abu Hayyan keluar Andalusia merupakan keberuntungan dalam satu sisi, karena seiring kepergiannya, Andalusia dengan kegemilangan ilmu dan pengetahuan kian merosot. Belum lagi runtuhnya masa keemasan Islam diperparah oleh masuknya kekuatan Aragon yang membangkaitkan kembali Kerajaan Kristen di Andalusia pada 1258. Satu sisi Mesir dengan pesat berubah menjadi bangsa dengan peradaban keilmuan yang selangkah-demi langkah kian maju. Nasib baik yang berpihak kepada Abu Hayyan ini memberikan peluang baginya untuk berkiprah lebih focus dalam keilmuan, dan hidup lebih tenang dalam sisa usianya.
Kegemilangan Mesir dan Syam, dua kota yang menjadi tumpuannya setelah lari dari Andalusia berjalan semakin pesat. dari kedua kota ini pula lahir ulama-ulama besar pada masa Abu Hayyan di antaranya adalah : Ibn Malik (w 672 H.), Ibn an-Nuhas (w 698 H.), Ibn Daqiq al-Id (w 702 H), Ibn Mandzur (w. 711 H.), Ibn Taymiyyah (w 728 H.), Ibn Qayyim (w 751 H.), Ibn Aqil (w. 769 H), dll.
Abu Hayyan wafat di Mesir pada 28 Shaffar tahun 745 H atau 1345 M. tepatnya pada hari sabtu ba’da asar.[9] Meski pendapat ini merupakan pendapat yang umum dipegang oleh ahli sejarah, namun terdapat keterangan tahun lainnya seperti 743 H. beliau dikuburkan di luar bab an-Nasr di Kairo tepatnya di pekuburan as-Sufiyyah.
2.      Guru-Guru Abu Hayyan
Diprediksikan terdapat 450 orang guru yang pernah ia timba ilmunya.[10] Di antara guru-guru beliau adalah : 1) Ibn Zubair, Ibn Abi al-Ahwash, 3). Ali bin Ahmad bin Abdul Wahid, 4) Muhammad bin Sulaiman bin Hasan bin Husain, 5) Muhammad bin Yahya bin Abdur Rahman bin Abu Rabi’, 6) Ahmad bin Sa’d bin Ali bin Muhammad al-Ansari, 7) Ibn Thaba’,8) Khalil bin Utsman al-Maraghi, 9) Ahmad bin Abd an-Nur dan lain-lain.[11]

3.      Murid-murid Abu Hayyan
1)                  Ibrahim bin Muhammad bin Abdul Wahid ad-Dimasyqi, 2) Ibrahim bin Ahmad bin ‘Isa, 3) Burhanuddin al-Hikari, 4) Ahmad al-Hambali, 5) Ibn Maktum, Ahmad bin Abd al-Qadir, 6) as-Safaqisi : Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim, 7. Baha’uddin as-Subki, 8) Ahmad bin Yahya Fadhlullah, 9) al-Muradi, dan lain-lain.
 
4.      Karya-Karya Abu Hayyan
Abu Hayyan merupakan seorang polymath atau orang yang ahli dalam banyak disiplin keilmuan sekaligus. Ia telah menulis beberapakarya di bidang lughah, qiraah, hukum atau fiqih, sastra, dan tafsir. [12]  Menurut Muhammad Jasim Ad-Dulaimi, muhaqqiq salah satu kitab Abu Hayyan yang berjudul Taqrib al-Muqarrib  menyatakan bahwa ia menemukan sekitar 70[13] karya yang dihasilkan oleh beliau, di antaranya adalah:

1)  Bahrul Muhith, 2)  Nahrul Mad, 3) Aqdu al-Lali fi Qiro’at as-Sab’I al-Awali, 4) Al-Khalil Khaliah fi Isnad Qiraat al-Aliah, 5) Taqrib al-Na’I fi Qiraat al-Kisa’i. 6) Al-Wahaj fi Ikhtisar al-Minhaj, 7) Al-Anwar al-Ajali fi Ikhtisar al-Mahla, 8) Masail al-Rasyid fi Tajrid Masail Nihayah Ibn Rasd, 9)  Al-I’lam bi Arkan Islam, 10) Itihaf al-Arib bima fi al-Quran, 11)  Irtidha’ fil Farqu baina Dhad wa zho’, 12) Al-Idra’ al-Lisan, 13) Al-Tazkirah, 14) al-Syazan fi Masailah Kaza, 15) Al-Syazarah 16)  Ghoyah al-Ihsan fi Ilmu Lisan. 17) Diwan asy-Syi’ri, 18. Mabda’ fi Tashrif, 19. Al-Maznu al-Hamir fi Qiraah Ibn Amir. 20. Fadhl an-Nahw, 21. Fadl al-Qur’an, al-Hidayah fi an-Nahw, dan lain sebagainya.



C.    Deskripsi Kitab Tafsir Bahrul Muhith

1.    Latar Singkat Kepenulisan
Tafsir ini ditulis pada tahun 710 Hijriyah ketika Abu Hayyan berusia 54 tahun. Kesempatan menulis tafsir ini seiring dengan profesinya yang terfokus dalam mengajar tafsir di Madrasah Tafsir di Qubbah al-Malik al-Mansur Kairo. Salah satu motivasi Abu Hayyan dalam menulis adalah seiring kesadarannya akan usia yang telah hampiur enam puluhan dan telah lepas masa mudanya berganti dengan masa tua.[14]

2.    Sistematika
Kitab ini terdiri dari delapan juz. Secara tahlili menafsirkan dari surat al-Fatihah hingga surat an-nas. Menurut adz-Dzahabi, kebanyakan pembahasan kitab ini didominasi oleh kajian bahasa dan sastra. Memiliki kredibilitas sebagai rujukan tafsir I’rab al-Qur’an atau kaidah perubahan kata berdasarkan perubahan derifasinya. Memiliki kajian balaghah yang luas termasuk pula ilmu badi’ dan bayan. Kaarena hal tersebut, sering pembaca kesulitan membedakan apakah kitab ini merupakan kitab tafsir ataukan kitab nahwu.[15]
Metode penafsiran Abu Hayyan dalam tafsir ini adalah dibuka dengan menjelaskan makna lughawiyyah, terkadang juga menjelaskan kata per kata seperti contoh saat menafsiri kata بورك  dalam menafsiri surat an-Naml ayat 8 yang diidentikan dengan berkah yang diartikan dengan قدس او طهر او زيادة خير kudus, suci, dan bertambahnya kebaikan.[16] Allah menggunakan bentuk muta’addi majhul yang menunjukkan adanya objek namun subjek disembunyikan. Sedangkan bentuk bentuk lazimnya adalah تبارك.[17]
 Selain menafsiri kata-kata yang dianggap khusus dan mengandung konsep tertentu, Abu Hayyan juga menaruh perhatiaannya pada asbab an-nuzul, menjelaskan nasikh dan mansukh, memaparkan qiraah-qiraah dan perbedaannya terhadapa suatu ayat yang diperselisihkan. Abu Hayyan juga menyertakan argument fiqih bila menemui ayat yang berimplikasi hukum. Runtutan penafsiran Bahrul Muhith adalah diawali dengan mengurai makna kata per kata, kemudian makna kalimat per kalimat.jika terdapat makna yang berbeda dalam satu kalmia, maka akan diuraikan keduanya untuk ketahui dan dibandingkan untuk dicari makna yang lebih sesuai. Kemudian dalam rangkaian penafsiran juga diutarakan kesinambungan ayat dengan ayat sebelumnya sebagai upaya mengetahui pertalian antar ayat. Abu Hayyan juga member komentar akhir dengan menguraikan peryataan-pernyataan penutup serta beberapa kesimpulan yang diuraikan dengan sastra.
3.      Keterpengaruhan Bahrul Muhit
Bahrul muhith sebagaimana kitab atau karya yang lahir sebagai buah penafsiran tidak lepas dari pengaruh pemikiran lainnya yang mengkonstruksi pengetahuan penulis. Dalam menguraikan ayat-ayat fiqih, Abu Hayyan menggunakan landasar madzahib al-Arba’ah dan pendapat lainnya lainnya. Hal ini sebagaimana rujukannya dalam menafsiri surat al-Maidah 5:6[18] tentang mengusap kepala. Ia mengutip argument kebahasaan Zamakhsyari yang menyandingkan term mash dengan term ilshoq. Ilshaq menurut Zamaksyari bermakna mengusap kepala baik sebagian maupun secara keseluruhan.[19]
Keterpengaruhan Abu Hayyan dengan sosok controversial Zamakhsyari ini naik ke permukaan sebagaimana kritik murid Abu Hayyan yang bernama Tajuddin Ahmad bin Abdul-Qadir bin Maktum (w. 749 H) yang mempersoalkan kemuktazilahan Zamakhsyari yang dikutip gurunya. Ia berargumen sebagaimana yang diyakini adz-Dzahabi bahwa abu hayyan menolak pandangan kaum bathiny, di antaranya adalah kaum filsuf dan kaum rasionalis yang meyakini adanya makna batin di dalam dhahir nash dalam ta’wil mereka terhadap al-Qur’an. Dari sinilah term tafsir di benturkan dengan ta’wil.[20]
Tidak mungkin Abu Hayyan mengurtip argument kaum rasionalis seperti mu’tazilah. Namun kenyataannya ia mengutip argument-argument zamakhsyari. Hal ini ditambah lagi dengan kutipan Abu hayyan terhadap Ibnu Athiyyah (w 541 H) yang juga merupakan sosok yang juga kontroversial sebagaimana Ibn Taimiyah pernah menyebut penulis tafsir Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz ini  telah I’tizal meski telah menyatakan sebagai asy’Ary.[21]
Untuk memahami ketumpang-tindihan ini, melalui karya Darrul Luqith min Bahrul Muhith, Tajuddin menjelaskan bahwa memang Abu Hayyan mengutip Ibn Zamakhsyari dan Ibn Athiyyah, namun apa yang ia kutip tidak terkait dengan aspek kemu’tazilahan dan hanya aspek kebahasaan, karena Zamakhsyari dan Ibn Athiyyah selain merupakan rasionalis, namun mereka berdua memiliki sisi keahlian lain yaknoi dari segi cabang keilmuan bahasa dan sastra. Upaya penjelasan ini kemudian diteruskan oleh Yahya asy-Syawi al-Maghribi yang menulis karya berjudul Baina Abi Hayyan wa Zamakhsyari. Karya ini ditujukan sebagai upaya menjauhkan Abu Hayyan dari klaim bahwa ia bagian dari mu’tazilah.[22]
Penafsiran Abu Hayyan terhadap ayat ke 64 surat al-Maidah semakin mempertegas posisinya sebagai seorang Asyariyyah yang tidak sama dengan kaum bathini, dari para filsuf dan sufi. Tidak sama dengan Zamakhsyari, Ibn Athiyyah, ar-Razi, dan Baqilani. Ia menyatakan dalam menafsiri ayat diatas tentang tangan tuhan ialah dengan menjauhi pemikiran antropomorfsime tanpa mempertanyakan (bila kaifa).
D.    Karakteristik Bahrul Muhit
1.    Analisa Sintagmatis Abu Hayyan
Sewcara intrinsik, Abu Hayyan menjelaskan bahwa ayat al-Qur’an merupakan rangkaian dengan susunan sintagmatis yang terdiri dari fungsi-fungsi tertentu. Pengurutan term tidak dilakukan secara acak, namun secara presisi Tidak secara kebetulan, namun memang terdapat kesengajaan dari author yang ingin menyampaikan pesan-pesan melalui runtutan ini. Dalam salah satu ayat tepatnya surat an-Nisa ayat 43. Secara indah, Abu Hayyan menafsiri al-Qur’an berdasarkan runtutannya.
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ او لامستم النساء
Terdapat empat term yang bergaris bawah pada ayat di atas. Keempat term tersebut juga sekaligus mewakili empat alasan diperbolehkannya tayammum. Abu Hayyan menjelaskan alasan Allah mengurutan empat term di atas yakni untuk menunjukkan tingkatan keadaan basyariyyah manusia berdasarkan dari yang paling berat hingga yang paling ringan. Dari hal yang paling jarang dialami manusia hingga hal yang paling sering dialami manusia. Ayat di atas menempatkan sakit lebih berat dari pada hajat bepergian, hajat bepergian lebih berat daripada buang hajat, dan buang hajat lebih berat dari pada menyentuh perempuan.[23]
Keadaan basyariyah dalam an-Nisa’ 43
Sakit   è  bepergian  è   buang hajat  è   meyentuh perempuan (jima’)
2. Perbedaan Pendapat Mengenai makna term lamastum
Ayat di atas mengandung perbedaan pendapat yang bermula dari perbedaan qiraat. Hamzah dan Kisa’I menggunakan term لمستم  (tanpa menggunakan alif) yang identik dengan makna  isytirak (kesepakatan laki-laki dan perempuan) hal ini membuat Imam Malik menyatakan bahwa tanpa syahwat seorang laki-laki dan perempuan tidak batal jika bersentuhan kulit. Imam Hanafi berpendapat baik syahwat maupun tidak, seorang tidak harus bersuci, karena menyentuh yang dimaksud adalah jima’. Imam Syafi’I termasuk sangat berhati-hati dalam hal ini dengan mendefinisikan لامستم  dengan إذا أفض بشيء من جسده إلي بدن المرأة  jadi, bagaimanapun dan dengan anggota badan manapun, persentuhan kulit akan membatalkan wudhu. Hal ini berbeda dengan argument auza’I yang menyatakan menyentuh adalah dengan tangan. Selain tangan tidak dinamakan menyentuh.[24] 
Imam Syafi’I memang terkesan seorang yang sangat hati-hati dalam menentukan pendapatnya sebagai istinbat dari sumber hokum. Hal ini terlihat dengan pengambilan keputusannya dalam menjelaskan tafsir dari term مرضي  pada ayat di atas. Ketika Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat seorang yang sehat ketika takut menjadi sakit saat melakukan wudhu dengan menggunakan media air boleh tayammum, Imam Syafii tidak membolehkannya karena ayat tersebut secara tekstual menjelaskan tayammum adalah keringanan dari tuhan untuk orang yang sakit, bukan orang yang takut sakit.[25]


[1] Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Ilmiyyah, 2007), Hlm. 326.
[2] Secara etimologis Kata qira>’a>t (قراءات) merupakan bentuk jama’ dari qira>’ah (قراءة ) yang dalam qaidah bahasa Arab merupakan bentuk mas}dar. Sedangkan, bentuk mad}i kata ini adalah قرأ , dan bentuk mud}a>ri’nya ialah يقرأ. Kata ini dalam bentuknya sebagai mashdar dapat juga menjadiقرأَن  yang memiliki makna  تلا  - تلاوة yakni membaca. Selain bermakna membaca, kata ini juga bermakna الجمع  dan  الضمّ. Lihat : Ibn Manz{ur, Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah), hlm.157. Secara terminologis, Qiraah sering dimaknai :
 هو علم يعرف به كيفية النطق بالكلمات القرأنية وطريق أداءها إتّفاقا و اختلافا مع عزو كل وجه لنا قلهqira>’ah adalah ilmu untuk mengetahui tata cara mengucapkan kalimat Qur’ani dan metode memposisikannya sesuai dengan kesepakatan maupun perbedaannya yang dinisbatkan pada setiap kemungkinan wajah dimana ia dinukil” orang yang pertama kali membukukan ilmu qiroat adalah Abu Ubaid al-Qasim bin Sala>m (w. 224 H), sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa yang pertama kali menyusun buku metodologi ilmu qiroat adalah Abu> Hati>m as-Sijista>ni (w. 255 H).Lihat: Abdul Qayyu>m bin Abdul Gaffu>r as-Sindy, ‘Ulu>m al-Qira>’at (Beirut: al-Maktabah al-Amda>diyyah, 2001), hlm. 15.
[3] Di antara ketujuh Imam Qiraat tersebut adalah: 1) Na>fi’ bin Abdirrah}ma>n (w. 169 H), 2) Abdulla>h bin Kas}i>r (w. 120 H),  3) Abu> Amr (w. 154 H), 4) Abdulla>h bin Ami>r (w. 118 H), 5)‘As}i>m (w. 127 H), 6) H}amzah bin H}abi>b (w. 156 H), dan 7)  Ali bin H}amzah al-Kisa>’I (w. 189 H). Lihat: Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Ilmiyyah, 2007), hlm. 226-227.
[4] Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist, 2005), hlm. 271.
[5] Ahmad Khalid Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan: Daar Ammar, 2006), hlm. 13.
[6] Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist, 2005), hlm. 271.
[7] Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist, 2005), hlm. 271.
[8] Selain sebab ini, terdapat sebab lainnya seperti pendapat Abi Hayyan yang lebih memilih penggunaan hadis dalam berpendapat yang jauh dari tradisi Andalusia yang berhaluan pada logika. Tradisi Filsafat dan Manthiq membuat Abu Hayyan memilih untuk mencari keleluasaan keilmuan. Lihat  Ahmad Khalid Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan: Daar Ammar, 2006), hlm. 17.
[9] Ahmad Khalid Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan: Daar Ammar, 2006), hlm. 17.
[10] Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist, 2005), hlm. 271.
[11] Ahmad Khalid Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan: Daar Ammar, 2006), hlm. 47-56.

[12] Lihat Audah Abu Halib, “I’tiradhat Abu Hayyan ‘Ala al-Farra’ “, makalah Fakultas Adab Jami’ah Islamiyyah, Gaza, 2011  hlm. 12.
[13] Muhammad Hasan Abbas al-Asadi, “Rudud Abu Hayyan al-Andalusi wa Tarjihatih Fi Tadzkirah an-Nuhahjurnal Jamiah lilid 18 ke III 2010, hlm. 800.
[14] Ahmad Khalid Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan: Daar Ammar, 2006), hlm. 17.
[15] Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist, 2005), hlm. 272.
[16] Hayyan al-Andalusi, Bahrul Muhith Juz 7 (Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993) Hlm.  54.
[17] Ahmad Khalid Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan: Daar Ammar, 2006), hlm. 131.
[18] وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
[19] Abu Hayyan al-Andalusi, Bahrul Muhith (Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993) Hlm. 451.
[20] Ta’wil berasal dari kata ‘aul yang bermakna kembali. Ta’wil merupakan upaya untuk mengembalikan maksud ayat pada makna yang sebenarnya. Beberapa ayat al-Qur’an dianggap banyak memiliki makna majazi, sehingga penta’wil mencoba menggeser makna dari sisi tekstualitas redaksi ayat. Menurut Quraish Shihab, ta’wil adalah mengembalikan makna kalimat kea rah yang bukan makna harfiyahnya. Terlepas dari pemaknaan ini, beberapa ulama ada yang menyamakan antara tafsir dengan ta’wil dan ada pula yang membedakannya. Beberapa mufassir juga bahkan menamai kitab tafsirnya dengan menggunakan istilah ta’wil. Hal ini sebagaimana ath-Thabari (839-923 M) yang menamai kitabnya dengan “Jami’ al-Bayan fi Ta’wil ayat al-Qur’an”. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Muhammad Ibrahim al-Qasimy (1866-1914 M) yang menamai karyanya dengan Mahasin at-Ta’wil. Selain definisi-definisi tersebut, banyak lagi definisi yag menjelaskan tentang ta’wil. Salah satunya adalah Abu al-Qasi bin Habib an-Nisaburi (406-1016 M) bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna ayat namun tetap dengan berpegang pada ayat sebelum dan sesudahnya. Dalam melakukan penta’wilan diperlukan sebuah istinbat.  Dari definisi ini, dapat diketahui bahwa tidak semua penafsir adalah penta’wil.  Beberapa cendekia muslim sangat menekankan kehati-hatian atas ta’wil ini, bahkan Nasr Hamed (1943-2010 M) dalam mafhum an-Nash juga turut membatasi bahwa bagaimanapun ta’wil harus tetap berpegang pada teks, sehingga ta’wil tidak dapat meloncat dari teks. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 220. Sementara, para Pakar menyebut bahwa ta’wil mengandung empat unsure 1. Nash/teks, 2. Maqashid asy-syari’ah, 3. Kondisi atau kenyataan yang dibicarakan oleh Nash, dan 4. wawasan seorang penta’wil. Ibid. hlm. 225. Sehingga, darisini dapat diketahui bahwa Tafsir adalah proses mengurai dalam menjelaskan, sedangkan ta’wil adalah upaya mengembalikan makna pad aide awal gagasan. Lihat : Kamaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Bandung : Miazan, 2011), hlm. 211.
[21] Ia menafsiri surat yunus 10:26 tentang term balasan Husna pada orang yang berbuat husna sebagai surga sebagaimana argument ulama pada umumnya, namun ketika menafsiri ziyadah ia mengemukakan maknanya sebagai melihat Allah. Ia juga menyebutkan makna ziyadah sebagai ruangan yang berhias mutiara sebagaimana pendapat Ali bin Abi Thalib. Ia menutup argument dengan merasionalkan bahwa yang dimaksud ziyadah adalah perlipatan pahala menjadi 700 kali lipat. Jika melihat argumentnya, sebenarnya Ibn Athiyyah hanya mengemukakan pendapat orang lain, dan bukan I’tizal. Lihat: Abu Muhammad Abdul Haq Ibn Athiyyah, Muharror al-Wajiz jilid 4 (Beirut: Daar al-Khair, 2007), hlm. 474.
[22] Yahya asy-Syawi menytatakan bahwa alasan Abu hayyan mengutip Zamakhsyari adalah:لانه من مهارة فائقة فى تحلية بلاغة القران و قوة بيانة  Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist, 2005), hlm. 274.
[23] Abu Hayyan sebenarnya menjelaskan runtutan term di atas berdasarkan yang paling sering dialami oleh manusia pada umumnya seperti manusia lebih banyak sehat dari pada sakit. manusia lebih sering mengalami persentuhan dengan orang lain daripada buang hajat; manusia lebih sering buang hajat daripada bepergian; manusia lebih sering bepergian daripada sakit. dalam kehidupannya sakit jarang dialami oleh manusia, kebanyakan waktunya dijalani dengan sehat. lihat Abu Hayyan al-Andalusi, Bahrul Muhith (Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993) hlm 269.
[24] Ibid, 268.
[25] Ibid, 268.