Friday, June 2, 2017

KISAH KAMPUNG HALAMAN GRESIK YANG HILANG


Aku lahir di desa yang kanan kirinya diapit gunung. Terhampar luas hijau sawah yang memutari desa. Embun berkabut-kabut terasa sejuk di pagi hari. Pantulan kemuning sawah berkilap emas di sore hari.

Sempat ku pergi beberapa saat tinggalkan mu, namun tat kala aku kembali kau tidak lagi memperlihatkan keperawanan alammu, kearifan budayamu, dan kekayaan tradisimu. Pabrik-pabrik dengan seribu cerobongnya tampak memberi harapan kepada kantong rizki sebuah keluarga sementara. Namun tak terasa lambat laun sebenarnya merusak dalam jangka panjangnya.

Senyuman antar saudara yang dulu hangat terasa tat kala mereka berjumpa di jalanan sekarang tergantikan oleh caci makian pengguna jalan yang tak sabar akan saling mendahului. Kau tidak hanya merusak jalan raya, tapi kau merusak budaya secara berlahan, kau merusak lingkungan itu pasti.

Daya dukung dan daya tampung Gresik tidaklah memadai untuk diporsir. Rencana Tata Ruang Wilayah tak dipikirkan jangka panjangnya. AMDAL tidak lagi dapat menyelamatkan kota santri yang telah kehilangan sarungnya. Aku rindu pesantren yang dulu. Santri yang kembali ke desa untuk memakmurkan masjid, bukan memakmurkan mesin-mesin pabrik.

Tingkat kesehatan udara, air, dan tanahmu tergerus, bagai hujan badai yang mensirnahkan debu-debu di atas batu kali. Penyakit baru kian merebak, lalu apakah aku harus tetap diam.