Thursday, October 25, 2012

ini lah aku, namun apakah ini aku...

disaat itu, ku pernah membayangkan akan hadirnya seorang penolong yang bisa merubah kehidupanku pada wujut yang sebenarnya, seorang penolong yang bisa menunjukan jati diriku tentang siapa aku dan apa tujuan aku dilahirkan,,

    yogyakarta tanggal 25 Oktober ini ialah malam idul adha,, ku hanya bisa sedikit merasakan angin luar yang dingin namun terasa hangat karena sentuhan alunan takbir yang menggema di banyak sudut tempat di kota ini. ku sadar bahwa saat ini ku merasa kesepian namun aku sedikit terhibur dengan perasaan yang lain dari biasanya, perasaan khas yang terbawa oleh hembusan suasana hari kemenangan.

    sejenak ku melihat lingkungan sekitarku dan kurenungi setiap dinamika kehidupan manusia dan pada akhirnya aku merenungi diriku sendiri sampai pada akhirnya aku dapat menyimpulkan bahwa ku marah dengan sebagian manusia yang hanya mementingkan dirinya dan lupa atas orang lain. ku marah kepada manusia yang membohongi dirinya sendiri melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak suka. ku marah dengan diriku sendiri yang tak mampu berbuat apa-apa. hanya terus berenang di samudera pikiran yang semu dan hanya sebagai imaginasi belaka. hanya menjadi fatamorgana yang sebenarnya tak pernah ada. hanya menjadi cermin retak yang tidak merepresentasikan wujud yang sebenarnya, hanya menjadi bayangan yang dikejar namun tak pernah bisa kita sampai padanya.

    tapi ku coba menatap hidupku sendiri yang lepas yang bebas dari kungkungan dan pengeruh orang lain, kucoba untuk tidak menjadi orang yang terus bergantung pada orang lain atau menjadi orang yang kerguncang karena orang lain atau menjadi apa pun yang terus-menerus dihantui dan dibelenggu orang lain. saat ini akan ku lepas semua lendir-lendir yang lengket ini, akan ku keluar dari hisapan lumpur hidup ini. akan ku keluar dari lekatnya jaring laba-laba ini. dan saatnyalah menuju kesejukan dengan merasakan angin yang beredar menelusuri seluruh tubuh ini, membawaku melayang terbang tinggi. tak satu pun orang yang dapat menghalangi dan pada akhirnya,,

    ini lah aku namun apakah ini aku...


Saturday, September 29, 2012

SIAPA AKU ???







   tulisan ini bukanlah tulisan formal yang ditulis karena tuntutan atau kerkurung jerat aturan, namun tulisan ini lebih pada nilai praktek seseorang dalam mengarungi kehidupanya sebagai manusia yang lahir di dunia.

   pada suatu saat ada seekor bunglon kecil melintasi akar pohon jati, dan jadilah ia berwarna kuning pucat,, dan saat ia menginjak rumput teki terihat ia berganti warna menjadi hijau tuwa, langkahnya pun terus menapak dan sampailah ia pada sebuah tumpukan daun kering, dia berhenti sejenak untuk merenung tentang apakah dia harus terus seperti ini, terkungkum dalam ikatan rasa khawatir dan selalu takut tidak bisa menemukan jatidirinya sendiri..
   
    seperti itulah hidupku dan perjalananku selama ini dalam melakukan banyak hal aku selalu takut dan terus berfikir konsekuensi negatif jika tindakanku salah. padahal sangat jelas dalam telinga hatiku ada suara yang selalu berkata "walau anjing menggonggong kafilah tetap berlalu"

    sungguh aneh memang bahwa tiap hari banyak tempat yang aku kunjungi, dan uniknya, tiap tempat memiliki kekhasan yang beragam dengan pola dan watak manusia yang beragam pula. di sebuah tempat di Daerah Istimewa Yogyakarta tepatnya di jalan Babaran beberapa temanku bersusahkeras dalam meniti karir dan terkadang mengesampingkan prilaku sosialnya, dia hanya memikirkan dirinya sendiri serta bisnisnya tanpa menghiraukan beberapa orang yang dirugikan.

    berbeda di daerah sinduadi yang tidak jauh dari tempat itu masih sekitar 5 KM dari babaran, disitu ada keluarga agamis yang selalu mengabdikan dirinya siang dan malam berusaha melayani masyarakat terutama mereka yang lemah tanpa meminta suatu imbalan kecuali hanya ridhonya.

   di sisi yang berbeda, di suatu daerah yang juga tidak terlalu jauh bernama Gondokusuman, ada suatu komunitas yang setiap saat meluapkan keceriaan, bercanda, tertawa, bernyanyi, dan terkadang melakukan aktifitas agama secara bersama-sama. semua hal dalam segala aspek selalu dilakukan dengan kebersamaan.

   ketidak konsistenanku bermula di tempat pertama, aku entah mengapa selalu bersikap profesional, terkesan tidak iklas dan terbatas oleh waktu dan selalu mempertimbangkan gaji ketika aku disana.

    ketika aku ada di tempat kedua, ada suatu perubahan besar yang terjadi pada diriku, aku merasakan bahwa dunia hanyalah miliknya dan semua rizki dan apa yang dilakukan manusia kesemuanya telah diatur oleh yang maha kuasa, aku terus bersikap tenang tunduk dan sopan jika berada di tempat ini.

    namun ketika aku berada pada tempat ketiga,, aku telah bermetamorfosis menjadi aku yang ceria terlihat dari suara tertawa dengan beberapa teman akrabku di sana yang selalu menghiburku dikala sedih.

   kenapa aku sulit menemukan tentang "siapa aku" yang sebenarnya?
   kenapa aku selalu berubah-ubah?
   apakah jika aku berubah-ubah itu merupakan hal yang salah?


Saturday, June 30, 2012

THABATHABA'I DAN UPAYA PERDAMAIAN DALAM TAFSIR AL-MIZAN



Muhammad Barir
30 juni 2012

 “Ukhuwah Islamiyah: Perspektif al-Qur’an dan sejarah” Jalaluddin rahmat memberi judul demikian dalam antologi “Menuju persatuan Umat” yang disunting haidar baqir dan menampilkan Sembilan argumen cendekia muslim mengenai tema besarnya yakni “Islam dan Perdamaian”. Jalaluddin Rahmat dalam buku terbitan Mizan tersebut menyadur perkataan Imam Thabathaba’I mengenai perpecahan yang terjadi ditengah umat yang masih memiliki benang merah dengan kandungan surat al-hujurat [49]: 11
Bila salah satu kelompok menyerang yang lain tanpa hak, maka perangilah yang menyerang itu sampai mereka tunduk, dan damaikanlah antara kedua kelompok itu dengan adil, bila mereka sudah kembali kepada jalan Allah maka damaikanlah tanpa semata-mata meletakkan senjata dan menghentikan peperangan, melainkan juga harus dilakukan perdamaian dengan cara yang adil dengan memberikan hukum Allah kepada pihak yang menyerang dengan mengambil darah, kehormatan, kekayaan, dan hak-hak lain yang mereka rampas.
Dari ulasan di atas, yang dapat dipetik sebagai hikmah ialah prinsip dasar seorang muslim yang tidak boleh tinggal diam dalam pertikaian umat. Jalan keluar perlu dicari dengan cara sebijaksana mungkin karena muslim adalah bersaudara dan hal tersebut harus dilakukan dengan melepas pedang serta tanpa adanya keberpihakan. Muslim harus terus menjaga persatuan, sebagaimana yang terkandung dalam surat Ali Imran [3]:103 yang memberi nasehat bahwa seorang muslim tidak boleh membiarkan muslim yang lainya terlepas dari ikatan persaudaraan, karena semua muslim akan menjadi kuat jika tetap menjaga tali agama Allah.
Perbedaan pendapat ditengah umat yang dimulai semenjak terjadinya perang siffin yang saat itu muncul tiga golongan dan terus bertambah sampai saat ini menjadi banyak golongan, haruslah disikapi dengan bijak sana. Pertemuan-pertemuan guna terus menjaga nilai silaturrahim harus terus dihelat. Sebagaimana ungkapan Nurkholis Majid dalam artikelnya “Menegakan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘Baru’ ” dengan pernyataan:
Ukhuwah lebih baik kita kembangkan menjadi sesuatu yang menurut istilah sekarang disebut “Inklusif”, yakni kesediaan merangkul semuanya sambil meningkatkan pemahaman yang lebih bersifat prinsipil dan ideologis.
Pernyataan di atas seolah menjadi penepuk bagi muslim untuk terus menyadari bahwa perbedaan diantara mereka hanyalah bersifat furu’, dan mereka tetaplah terikat dalam kesamaaan yang bersifat prinsipil.
Jika dicermati, berbagai kasus mengenai pertikaian umat sebenarnya tidaklah banyak dipicu oleh faktor keagamaann namun faktor luar, yakni perpolitikan, kalaupun ada yang difaktori oleh nilai dasar agama itu hanyalah perbedaan pemikiran yang meluas menjadi emosi sehingga tidak bisa dicukupkan dengan jalan Hikmah, Mau’idhoh Hasanah, sarta Jadil hu bi al lati Hia Ahsan.
Sebagaimana ketika shohabat Ali ketika bertikai dengan Mu’awiyah dalam perang Siffin, alasan terjadinya perang ternyata ialah faktor tuntutan Mu’awiyah tentang penuntasan kasus pembunuhan shohabat Utsman yang hal itu merupakan alasan politik guna merebut kekuasaan, namun pertanyaan besarnya ialah mengapa alasan politik tersebut bisa memunculkan tiga golongan besar dalam bingkai keagamaan. Jika dulu umat Islam bisa terpecah, itu artinya sekarang pun umat Islam bisa bersatu dalam arti implisit dalam sikap inklusifis.

Friday, June 15, 2012

NILAI SOLUTIF TAFSIR KONTEMPORER DALAM GEJOLAK PERBEDAAN UMAT


NILAI SOLUTIF TAFSIR KONTEMPORER DALAM GEJOLAK PERBEDAAN UMAT

Gejolak umat berlatar perbedaan merupakan fenomena yang saat ini benar-benar terjadi jauh melampaui apa yang menjadi substansi agama Islam yang mengajarkan ketauhidan, yang artinya, sebenarnya umat islam merupakan ummatan wahidatan yang terikat oleh benang persatuan dan persaudaraan. Namun sebagai manusia yang dikaruniai akal yang berbeda-beda tiap individu akan membuat perselsihan-perselisihan dan dari perselisihan individu ini nantilah yang menjadi pemicu lahirnya perselisihan global.
Perselisihan yang tidak dapat dihindarkan ini melahirkan banyak kelompok islam, dan berangkat dari sinilah dimulai suatu sikap eksklusif dari beberapa kelompok terhadap kelompok lain yang sebenarnya adalah saudara seiman sendiri, Gus Dur dalam bukunya Islamku Islam Anda Islam kita berargumen bahwa saat ini umat islam menggembor-gemborkan permasalahan kecil dan melupakan permasalahan besar. Umat saat ini terpecah belah dalam perdebatan furu’iyah (persoalan cabang agama) yang bahkan sampai merambah kepada tindak vandalisme, namun umat melupakan permasalahan besar dimana walaubagaimanapun perbedaan hanya pada isu furu’ yang seharusnya tidak melupakan masalah inti agama dengan ajaran tauhidnya. Jadi intinya adalah walaubagaimanapun jauhnya perbedaan, umat tetaplah berada dalam kesamaan dalam arti kesamaan dalam menjadi hamba Allah.  
Pentingnya persatuan dengan sikap inklusif merupakan suatu sikap yang saat ini sudah mulai coba di tanamkan diberbagai negara yang memiliki penduduk islam, pada tahun 2005 telah dilaksanakan suatu konverensi yang menjadi manivestasi dari kesadaran akan pentingnya persatuan umat. Konverensi ini berlagsung selama tiga hari mulai tanggal 4 sampai 6 juli di Amman Yordania yang dihadiri perwakilan dari sekitar 49 negara. Yang dari konverensi ini muncul sebuah kesadaran pemahaman bahwa saat ini umat memiliki persamaan yang lebih banyak daripada perbedaanya.
Urgensi mencari nilai solutif dalam tafsir kontemporer saat ini merupakan hal yang harus terus digencarkan guna menarik umat dalam ruang kesadaran bahwa semua muslim apa pun perbedaanya tetaplah merupakan saudara dan jangan sampai perpecahan ini dimanfaatkan oleh oknum tertentu yang berkepentingan merusak islam dari dalam.
Berangkat dari itu semua, tafsiran al-Qur’an yang sholih likulli zaman wa makan merupakan sebuah harapan yang dapat memberi pencerahan tentang nilai kandungan ayat-ayat yang memiliki pesan persatuan umat dalam menanggapi permasalahan saat ini, tentunya dengan pendekatan inklusif tanpa adanya bentuk tendensi yang malah mensekat-sekat umat.
Salah satu nilai urgensi penafsiran kontemprer lain ialah tentang proses memberi gambaran tentang sikap muslim dalam bingkai perbedaan, yang diharap bisa bermunculan tafsir-tafsir yang bisa mengeksplorasi ayat-ayat mengenai konsep perbedaan, konsep jihad, konsep dakwah, dan konsep persaudaraan secara solutif atas permasalahan saat ini.

TASAWUF MODERNIS


TASAWUF MODERNIS
Oleh: Muhammad Barir Irfan

Dinamika perkembangan Islam dari masa ke masa memunculkan berbagai asimilasi maupun akulturasi budaya yang pada akhirnya muncul berbagai kelompok Islam yang memiliki karakteristik tersendiri baik dalam ritual maupun seberapa islami kehidupan mereka. Permasalahanya ialah, berbagai persinggunagn antara islamisasi dan kultural seringkali memunculkan faham tasawuf yang salah satu ajaranya ialah waro’ dan Zuhut dimana kehidupan selalu dijadikan sampingan dan tidak ada nilainya. Hal ini pula yang sering dituding merupakan faktor ketertinggalan Islam paska runtuhnya dinasti Umayyah II di Andalusia.
 Namun ada satu fenomena menarik yang sekaligus menjadi bukti bahwa tasawuf tidaklah selamanya mengesampingkan aspek duniawiyah yang sering disebut dengan istilah Zuhut. dengan melakukan reinterpretasi atas knsep Zuhut itu sendiri, Salah satu gerakan yang mewarnai sejarah perkembangan Islam ini ialah suatu gerakan di Libya yang dibawa oleh Muhammad bin Ali as-Sanusi, gerakan ini dinamakan dengan toriqot as-Sanusiyah.
Tanggal 12 Robi’ul Awwal 1202 H/22 Desember 1787 M merupakan tanggal kelahiran Muhammad bin Ali as-Sanusi, karena tanggal inilah yang secara penanggalan Hijriyah sama persis dengan tanggal dimana Nabi Muhammad lahir maka sering didengungkan bahwa ia adalah imama al-Mahdi.
Terlepas dari perbincangan apakah ia merupakan imam mahdi ataupun bukan, yang menarik dari golongan ini ialah, walaupun terkesan beraliran Tasawuf Mistis, namun golongan ini memiliki sisi yang berbeda dengan aliran tasawuf lain dimana golongan ini dalam setiap kesempatan memegang prinsip hidup sejahtera. Terbukti disetiap zawiyah (adalah sebutan bagi markas mereka) selain terdapat masjid dan madrasah juga dapat ditemukan pabrik-pabrik dan perkebunan sengan sistem irigasi modern.
Hal ini terntu menjadi sesuatu yang mencengangkan yang berangkat dari asumsi awal yang sering muncul dibenak orang pada umumnya bahwa ajaran tasawuf selalu mengesampingkan aspek duniawi. Kemajuan golongan ini bahkan sempat terekam oleh  Rosita Forbes yang berkunjung dan melakukan observasi, kunjungan ini pada akhirnya memunculkan karya The secret of Sahara, sebuah karya yang mencoba merepresentasikan keagungan kelompok ini beserta sistem kehidupanya. Hampir tidak pernah ada hari-hari sepi di zawiyah, selalu saja ada yang dikerjakan disana,  menjadikan masyarakatnya tersugesti untuk bekerja keras karna dipengaruhi oleh lingkungan internalnya. dalam zawiyah akan ditemukan para santri yang hilirmudik melakukan kajian keislaman, di lain sisi ada pula para pengikut yang bekerja membuat kerajinan-kerajinan, dan pada sudut lain juga terdapat masyarakat yang mengolah tanah, suatu penyatuan antara dua unsure, yakni horizontal dan vertikal.
Gerakan ini dengan prinsip membuka lebar pintu ijtihat, selalu melakukan terobosan baru dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Salah satu teladan dari kelompok ini yang menjadikanya besar sebelum dikikis oleh tentara Inggris adalah tentang prinsip kesetiaan yang dipupuk mulai sejak dini lewat ajaran tasawufnya dalam membentuk karakter yang dimana seorang syaikh atau pimpinan agama merupakan peluit baik tanda pergerakan maupun tanda kevakuman. Hal tersebut dimanfaatkan betul olah as-Sanusi dimana dengan bekal kesetiaan pengikutnya itulah, dia mencoba menggiring umatnya agar menyusun bangunan kehidupan yang kokoh karena dengan bekal inilah manusia bisa hidup di dunia secara materi, tidak hanya dengan bekal zikir rutin yang menjadi kuntinuitas kelompok ini dalam mengharapkan tempat terbaik secara eskatologis.

 

SUBSTANSI NILAI EGALITER DALAM AL-QUR’AN


SUBSTANSI NILAI EGALITER DALAM AL-QUR’AN
Oleh: Muhammad Barir
Yogyakarta 5 mei 2012
Pada abad 20 telah banyak ditemukan alat komunikasi dan stransportasi mulai dari radio, televise, sampai telephon bahkan internet yang hal ini mengakibatkan hubungan antar manusia semakin lebih terbuka dan saling hidup secara lebih heterogen. Manusia tidak lagi berada pada suatu daerah dengan prinsip komunikasi yang terbatas, namun saat ini manusia tidak bisa lagi lepas diri dari kebutuhan komunikasi global hal ini dikarenakan kebutuhan manusia sendiri yang semakin besar.
Dengan menipisnya sekat yang membatasi komunikasi antar suku, etnis, daerah, atau Negara, maka terjadilah suatu kehidupan beragam dalam satu lingkup lokasi tertentu dalam arti dalam sebuah kumpulan masyarakat saat ini, telah terjadi komunikasi multikultural yang disitu sebuah suku akan dihadapkan dengan suku lain, sekelompok pemeluk agama akan dihadapkan dengan pemeluk agama lain, seorang warga Negara akan dihadapkan dengan warga Negara lain.
Hasil dari adanya komunikasi multikultural atau bahkan multi agama ini, memunculkan suatu konflik antar etis, ras, atau agama. Hal ini tentunya salah satu penyebabnya ialah tidak adanya keseimbangan dalam bersikap yang hal ini dikarenakan masih lekatnya ego golongan yang ia pakai.
Konsep kesetaraan merupakan hal yang menjadi barang berharga bagi kehidupan saat ini, karena hal inilah yang sering dipandang secara keliru atau disalah pahami oleh sebagian manusia dalam berinteraksi antar sesamanya. Munculnya konflik tuntutan kesetaraan gender, konflik jihad dengan kekerasan, konflik pertikaian antar ras, dan konflik lainya, merupakan imbas dari sikap manusia yang dijiwai oleh prasangka kebenaran tunggal, dalam arti dirinya yang benar dan lainya salah, dan karenaya yang lain haruslah dipaksa untuk mengakui kebenaranya.  Ini semua karena tidak adanya konsep kesetaraan yang benar dalam jiwa manusia tentang bagaimana seharusnya semua manusia pada dasarnya adalah sama dan setara dalam memiliki hak sebagai seorang mahluq tuhan yang harus dihargai.
Dalam kasus faktual, tidak adanya konsep kesetaraan yang benar dalam masyarakat modern saat ini bisa dilihat dalam berbagai kasus, mulai peperangan antar Negara yang rela menghancurkan Negara orang lain demi kemakmuran Negara sendiri, kemudian juga konflik antar agama, antar ras, atau antar suku.
Di Amerika, kita sering mendengar tentang konflik antar warga ras kulit hitam dengan warga kulit putih, di Indonesia juga sering terjadi konflik antar etnis seperti yang terjadi di Sambas yang melibatkan tiga etnis, yakni Madura, Dayak, dan Melayu. Kasus lain banyak pula terjadi, sebagaimana di Aceh, Ambon, maupun Papua. Beberapa peneliti mencoba membaca fenomena ini seperti Ignas Kladen dan loekman soetrisno yang merumuskan teori bahwa “konflik yang terjadi di Indonesia—atau bisa pula digeneraslisasikan dunia global—baru akan terjadi jika adanya suatu dominasi suatu suku atas suku yang lain (Agus Salim 2006) Dominasi ini adalah suatu indikasi kurangnya sikap kesetaraan antara suatu golongan yang terkadang memandang secara berbeda antara sikap dan tindakan ketika menghadapi golongan yang berbeda dengan mereka.
Hal lain yang sering dilalaikan oleh manusia ialah tidak adanya kesetaraan dalam strata sosial yang hal ini akan lebih tampak dari sikap penghormatan manusia kepada manusia lainya, Orang yang status sosialnya berkedudukan tinggi akan lebih dihormati dari rakyat jelata. Ini merupakan kenyataan yang perlu diarahkan ulang tentang bagai mana membentuk suatu pandangan bahwa, suatu penghormatan itu adalah berlaku bagi semua siapa pun itu, tidak terbatas pada orang kaya atau miskin, bedanya agama, budaya, atau pun bangsa. Islam pun demikian telah dengan jelas, walau ada kewajiban dakwah, namun dakwah yang dilakukan haruslah didasari dengan rasa menghormati kepercayaan lamanya dengan sikap tidak memaksa sebagaimana surat al-Nahl: 125.
Tidak adanya konsep kesetaraan yang benar terutama dalam kesalahan memahami nilai substansial agama, masih menjadi konflik fundamental di Indonesia. Bahkan MUI pun pernah mengeluarkan fatwa yang controversial dan terkesan terburu-buru, Indonesia tidaklah hanya dihuni oeh satu pemeluk agama namun Indonesia dihuni oleh multi agama. Jadi, sangatlah tidak relevan kalau kepentingan dan kehormatan agama lain sampai dikesampingkan. Hal ini berkenaan ketika tahun 2005 MUI menetapkan keputusan tentang keharaman Skularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Pengharaman golongan ini yang ditandai dengan isme berdampak negatif, karna haramnya ketiga aspek tersebut kumudian muncul generalisasi dengan merambahnya pengharaman pada aspek lainya berlanjut pada pengharaman nilai Skularitas, Liberalitas, dan Pluralitas yang pada akhirnya banyak memunculkan vonis ingkarus sunnah dan pengkafiran dimana-mana, yang menjadi hal yang ironis, bahwa ternyata alasan MUI menetapkan keputusan demikian tidaklah disertai dengan pemahaman arti definitif tentang ketiga hal tersebut sehingga terkesan terburu-buru sampai akhirnya bermula dari sini, muncul berbagai dampak negatif yang menjadi derivasi dari hal itu, yakni banyaknya klaim pengkafiran terhadap sesama muslim oleh kelompok konservatif terhadap kolompok yang dianggap telah sepakat dengan nilai liberalitas (Budhy munawar Rachman 2010) Jika mau mencermati, kelompok liberal tidaklah ingin masuk ke agama lain namun hanyalah ingin mengambil nilai yang baik dari agama lain karena barangkali ada nilai yang baik dari agama lain, dan tidak seharusnya pemeluk suatu agama lain dipandang rendah oleh suatu agama lainya. Untuk itu, pentinglah arti kesetaraan dalam menghormati.
Pada dasarnya, jika dicermati lebih lanjut, segala permasalahan-permasalahan interaksi sosial adalah dilatarbelakangi oleh kurangnya sikap menghargai dan kurangnya pemahaman akan prinsip kesetaraan yang tidak membada-bedakan sikap seiring dengan berbedanya kelompok, golongan, ras, maupun agama, yang kesemuanya layak untuk dihormati tanpa terkecuali.
Islam sendiri memiliki nilai substansial mengenai sikap dalam berinteraksi antar sesama. Bagi umat Islam, al-Qur’an merupakan pedoman utama dalam setiap aspek, dan untuk itu, sesuai dengan banyaknya permasalahan yang terjadi saat ini, diharapkan dapat ditemukan jawaban dan penyelesaianya dalam al-Qur’an. Islam merupakan agama yang tidak diperuntukan hanya oleh satu golongan, Islam adalah agama rohmatal lil alamin, tidak hanya bagi bangsa arab saja, al-Qur’an walaupun berbahasa arab itu hanyalah sebuah pengantar dan sarana dalam menyampaikan pesan tuhan yang sebenarnya adalah untuk semua.
Gus Dur atau K.H. Abdurrahman Wahid menafsirkan kata al-Silmi pada surat al-Baqarah ayat 208 “udkhuluu fi al-Silmi Kaaffah” ialah sebagai “perdamaian” (Jakarta: The Wahid Institute, 2006). jadi diharapkan manusia itu damai baik dari berbagai background keagamaan, etnis, ras, budaya, maupun bangsa yang berbeda.

Friday, April 20, 2012

kelompok Seeking Justice menggugat ketidakadilan

Seeking Justice 
Oleh : Muhamamd Barier Irfan
 “sebuah wacana tentang ketidakadilan yang memunculkan gerakan terselubung yang mencoba menyelesaikan permasalahan dengan caranya sendiri, karena tidak adanya lagi kepercayaan terhadap Penindak Hukum” 

          Tuhan memang menciptakan hati, namun tidak untuk disakiti. berbagai macam kesengsaraan, penindasan, dan ketidakadilan seringkali membuat rakyat lemah berfikir tentang apakah manusia di zaman ini sudah tidak lagi memiliki hati. Manusia dalam perjalananya di muka bumi, dihadapkan dengan berbagai tekanan dan problema yang mengguncang kejiwaanya. Manusia akan mencoba dengan sekuat tenaga untuk menyelesaikan problema tersebut, dan ketika problema telah usai, manusia perlu ingat bahwa bagaimana pun dirinya adalah manusia yang masih memiliki nafas dan akan datang lagi cobaan yang lainya al-Qur’an secara intrinsik sempat menyinggung mengenai perjalanan hidup manusia ini pada surat al-Insyirah ayat 7. 
          Di dalam kucuran cobaan ini, bagi mereka yang beriman, akan mampu bertahan dengan kokoh, namun di antara sebagian manusia, ada yang tak kuasa dililit ujian sehingga dia terjatuh. Catatan sejarah manusia dengan berbagai permasalahanya menuntut adanya suatu badan khusus yang mengayomi manusia dalam menyelesaikan konflik maupun permasalahan yang ia hadapi. Badan tersebut terus dikembangkan sistem dan aturan kerjanya sampai akhirnya saat ini dikenal dengan Pengadilan. 
             Pengadilan merupakan tempat manusia untuk menyandarkan kegelisahanya dan tempat menampung aspirasi masyarakat. Ibarat anak kecil yang menangis karena sesuatu, pengadilan merupakan pelukan Ibu yang dapat menenangkanya. Yang menjadi permasalahanya ialah, pengadilan yang seharusnya memiliki titah suci tersebut pada faktanya malah seringkali dinaungi oleh kepentingan tertentu sampai akhirnya banyak korban yang tersakiti. Banyak pula tarian diatas jeritan. Hal ini mendorong beberapa orang untuk mengucapkan kata sepakat dalam membentuk organisasi yang berkomitmen menegakkan hukum seadil-adilnya, kelompok ini dinamakan Seeking Justice. 
            Fenomena Seeking Justice ini bahkan sempat difilmkan dengan mengambil latar di Orleans, Amerika Serikat, film ini dirilis pada 2011 dengan peran utama Nicolas Cage. Seeking Justice memulai kegiatanya dengan menge-list daftar korban tindak kejahatan dan bagaimana respon penegak hukum. Ketika putusan penegak hukum yang dalam hal ini sebagai Stake Holder dalam menentukan nasip korban dirasa tidak sesuai dengan norma keadilan, maka kelompok ini memulai melakukan tindakan dengan caranya sendiri. Kelompok ini melakukan pengejaran terhadap tersangka dengan tujuan untuk melampiaskan semua kekesalanya bahkan kelompok ini tidak segan-segan melakukan pembunuhan, dan ketika tersangka berhasil dilumpuhkan kode yang mereka pakai dalam menginformasikanya ialah “Kelinci lapar melompat”. Karena sangat terorganisasi, kelompok ini sering kali mampu mengelabui polisi, bahkan diduga, sebagian polisi malah menutup-nutupinya karena kelompok ini memiliki orang di dalam oknum kepolisian. 
        Pada harian Republika tanggal 10 April 2012 menyatakan bahwa Di Indonesia walaupun belum terorganisir dengan rapi, namun akar Seeking Justice sudah mulai terasakan keberadaanya. Di bandung, seorang hakim ditusuk oleh seorang yang diketahui bernama Dedi Sugarda, di Sidoarjo seorang hakim ditusuk pada tahun 2005, selain kedua kasus tersebut, banyak lagi kasus lainya yang menunjukan bahwa pengadilan ala Seeking Justice sudah mulai menumbuhkan taringnya di negeri ini.
           Fenomena Seeking Justice ternyata, jika mau mencermati lebih dalam lagi, juga terjadi semenjak tahun 70-an, dimana pada waktu itu dikenal nama seorang Jhonny Indo, ia merupakan seorang perampok yang kelompoknya dalam menjalankan aksi sangatlah terorganisir, namun yang beda dari kelompok ini adalah misi mereka melakukan perampokan adalah untuk kepentingan rakyat miskin yang serba kekurangan. target kelompok ini ialah orang-orang yang terlampau kaya. harta orangkaya akan dibagikan kepada orang miskin sebagai bentuk penyerataan harta sehingga setara pula kesejahteraan manusia.
           Baru-baru ini juga terjadi kasus yang mirip dengan kisah Jhonny seiring tertangkapnya komplotan perampok oleh polresta Batam, komplotan ini didalangi oleh seorang yang bernama Deddy, ironis memang, mendenganr argumen berbagai warga syang mengenal sosok Deddy, ia dikenal sebagai orang yang berjasa dalam berbagai penyediaan keperluan sosial dan kemanusiaan, ia merupakan orang yang ditokohkan yang dihargai dan dihormati oleh rakyat sekitarnya, hal ini tidak lain adalah karena orang yang pernah membangun masjid ini adalah orang yang peduli dan memiliki nurani terhadap nasip orang susah dengan banyak membantu penanganan kesehatan, ia juga merupakan orang yang merintis LSM yang berkomitmen membantu rakyat miskin. namun warga tidak menyadari bahwa apa yang diperoleh mereka selama ini merupakan hasil rampokan.
           bagaimana pun, yang terjadi telah terjadi yang menjadi tugas kita adalah mencermati dan memahami apa sebenarnya yang terjadi, dari sinilah kita bisa melakukan introspeksi. Nilai negatif adanya berbagai aksi peradilan ala Seeking Justice ini ialah terjadinya main hakim sendiri terhadap pihak yang mereka anggap memiliki kelalaian dan kesalahan sebagai manusia terhadap manusia lainya, kelompok ini walau dengan mulianya tujuan mereka, namun seharusnya janganlah sampai melampaui batas keadilan itu sendiri. Tapi nilai positif dibaliknya ialah Bagaimanapun, kelompok ini hanyalah ingin menegakkan satu kata yakni “keadilan”, ini merupakan hal yang sekali lagi menjadi teguran bagi kita semua pada umumnya dan para stake holder hukum pada khususnya dalam memperbaiki kekurangan mereka sebagai manusia dan mereka harus ingat bahwa kehidupan tidaklah hanya di dunia semata dan mereka harus tahu betapa menderitanya seorang manusia yang tidak dimanusiakan.  seterusnya terserah anda !...

Yogyakarta,Wisma Joko Tingker ,40 April 2010

TAFSIR IBNU ABBAS


TAFSIR IBNU ABBAS 
Makalah Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ulum al-Qur’an
 Dosen Pengampu : 
Dr. H. Muhammad Chirzin M.Ag. 150241786

Disusun Oleh : 
MUHAMMAD ZULFIKAR NIM 10530070 
 MUHAMMAD BARIR 
NIM 10530072 
MUHAMMAD ALFAD SALADIN 
NIM 105300 

PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA, DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2011


 BAB I PENDAHULUAN

 A. LATAR BELAKANG
          Penafsiran al-Qur’an dalam perkembanganya menjadi sesuatu yang penting seiring berkembanya berbagai permasalahan yang membutuhkan jawaban. Islam memiliki al-Qur’an yang dianggap kapabel sebagai harapan utama umat dalam menjawab persoalan dan menyelesaikanya sesuai syar’i. permasalahanya ialah, berbagai ungkapan dalam al-Qur’an tidaklah dapat dengan mudah difahami oleh semua kalangan. Untuk itu, perlulah ada suatu penjelasan ulama yang memang ahli dibidang al-Qur’an beserta ilmunya yang membantu umat dalam memahami isi kandungan al-Qur’an. Semenjak masa rosulullah, setiap permasalahan yang terjadi mengenai kesulitan dalam memahami al-Qur’an akan langsung dijawawab oleh Nabi Muhammad SAW. namun, masa berikutnya walaupun rosul telah berpulang ke rohmatullah, namun interpretasi al-Qur’an tidak bisa berhenti sampai disini. Permasalahan yang terjadi harus selalu diseimbangkan dengan al-Qur’an. Pada mulanya, shohabat—yang dijuluki rosulullah sebagai bintang—memulai sejarah penafsiran tidaklah dengan leluasa karena masih berpegangteguhnya mereka pada nash sehingga muatan tafsir bil-Ra’yi sangat lah terbatas. Namun seiring perkembanganya, tafsir mulai tumbuh dengan memperluas metode dan dengan menggunakan berbagai sumber yang terus bergerak dengan pesat. Kajian ini nanti akan mengangkat tokoh yang representative dalam mewakili ulama tafsir pada masanya yang memiliki kapabilitas yang tidak diragukan sesuai argument ulama, julukan yang ia sandang yang menunjukan betapa hebatnya ulama’ ini, yakni sang turjuman al-Qur’an Ibnu Abbas. Ia hidup di awal abad pertama Hijriyah, mengkajinya sama halnya dengan mengkaji suasana, nilai dan bagaimana cirikhas, metode, kecondongan tafsir pada masa itu. Yang tentunya memiliki pengaruh dalam tafsir kontemporer ini. Hal ini tidak terlepas dari ikatan batin dan ikatan etik bahwa suatu tafsir klasik pastilah memiliki pengaruh pada penafsiran setelahnya, karena penafsiran setelahnya pastilah muncul sebagai pendukung, tanggapan, kritikan, atau pun perbaikan tafsir setelahnya. 

B. RUM USAN MASALAH
1. Bagaimana biografi Ibnu Abbas ? 
2. Bagaimana metode tafsir Ibnu Abbas ? 
3. Apasajakah karya Ibnu Abbas ? 

A. BIOGRAFI IBNU ABBAS 
        Merupakan salah satu ulama’ ahli tafsir pertama yakni ialah habrul ummah Ibnu Abbas R.A. beliau merupakan sepupu rosulullah jika dilihat dari namanya pun sudah dapat diketahui secara jelas yakni Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdi Manaf al-Quraisyi al-Hasyimi sedangkan Ibunya bernama Umul Fadl lubanah bint al-Harits al-Hilaliyah.1 Ia lahir di Syi’b dan Mengenai waktu lahir Ibnu Abbas, telah terjadi perbedaan dikalangan ulama, menurut Husain ad-Dhahabi dalam Tafsir wa al-Mufassirun ibnu Abbas berusia 13 tahun ketika rosulullah wafat (633 M)2 itu artinya ia lahir sekitar tahun (620 M) yang bertepatan dengan tahun pertama Hijriyah dan juga bertepatan dengan peristiwa pembaikotan kaum Quroisy kepada kaum Hasyim, namun menurut Imam Mana’ al-Khattan ia mengungkapkan bahwa ada dua pendapat, yakni Ibnu Abbas lahir 3 tahun sebelum Hijriyah dan menurut sebagian lainya Ibnu Abbas lahir 5 tahun sebelum Hijriyah. Dan pendapat yang lebih di pegang oleh Mana’ al-Khattan ialah tahun 3 sebelum Hijriyah. Ibnu Abbas merupakan ulama yang tidak diragukan lagi tentang kapabilitasnya sebagai seorang yang mendalami berbagai ilmu yang dibutuhkan dalam penafsiran, ia merupakan orang yang bahkan dikatakan mampu melakukan loncatan penafsiran kedalam tafsir yang bernuansa isy’ari dengan alasan inilah Ali bin Abi Tholhah (w. 143 H)—salah satu orang yang mengumpulkan berbagai riwayat penafsiran Ibnu Abbas—menjuluki Ibn Abbas dengan Orang yang bisa melihat hal ghoib secara jelas dibalik tabir.3 Selain itu banyak lagi julukan yang disandang oleh Ibnu Abbas seperti Habrul (Pemuka, sang tokoh), bahrul (lautan) dan masih banyak lagi julukan yang ia sandang seperti turjuman al-Qur’an yang mendeskripsikan tentang keluasan ilmu dan perangainya bahkan ia dikatakan sebagai juru tafsir paling baik oleh Baihaqi dalam kitabnya ad-Dala’il yang meriwayatkan dari Ibn Mas’ud. Ibn Abbas bahkan telah melampaui usianya dalam ukuran pengetahuan dan wawasan, ia sangat dihargai dan dipercayai oleh Umar entah karena apa alasanya namun Ketika masa Umar Ibn Khottob dimana pada masa itu sering terjadi diskusi antara Shohabat dan pemuka umat, suatu ketika Umar Ibn Khottob mengajak serta Ibnu Abbasdalam perkumpulan pemuka umat yang kesemuanya merupakan sesepuh yang ahli ilmu, detika Ibnu Abbas yang saat itu masih berusia muda berada di tengah-tengah tokoh-tokoh yang berpengaruh, ternyata ada suatu pertanyaan melayang pada Umar tentang mengapa ia mengajak seorang anak yang dianggap ingusan. Dengan tenang, Umar mencoba menguraikan kesanya terhadap anak yang ia ajak serta ke pertemuan itu, ia mengemukakan suatu ayat dan mempersilahkan para pemuka yang hadir kedalam pertemuan itu untuk menafsirkanya, setelah usai ditafsiri, Umar menganggap penafsiran yang kemukakan leh para ulama itu belum memuaskan hatinya dan pada akhirnya uraian-demi uraian kata Ibnu Abbas keluar untuk mencoba menafsiri ayat-ayat tersebut dan puaslah Umar atasnya. Ada kisah menarik lain dari Ibnu Abbas yang sekaligus bisa jadi merupakan jawaban dari mengapa seorang Ibnu Abbas yang semenjak usia muda bahkan telah mempu melampaui pemuka ulama di zamanya. Suatu ketika Nabi pernah merangkul dan mendo’akanya, “ya Allah ajarkanlah kepadanya Hikmah” dalam mu’jam Baghawi dan lainya diriwayatkan bahwa Umar R.A. prnah mendekati Ibnu Abbas dan berkata “sungguh saya pernah melihat Rosulullah pernah mendo’akanmu, lalu membelai kepalamu dan meludahi mulutmu dan berdo’a “ya Allah berilah ia pemahaman dalam urusan agama dan ajarkanlah ia ta’wil.”4 Jika dirumuskan, maka beberapa keunggulan Ibnu abbas yang menjadi faktor tafsirnya banyak di pegang oleh ulama’ sebagai mana yang nanti penulis akan paparkan dan yang perlu diperhatikan ialah bahwa faktor-faktor ini terkadang tidaklah berupa faktor ilmiyah, namun lebih kepada faktor yang melalui pendekatan transendestal, faktor tersebut yang menjelaskan validitas tafsir Ibnu Abbas ialah: 1. Do’a Rasulullah untuk Ibnu Abbas. Doa Rasulullah ini menjadi bukti yang paling kuat tentang kemampuan Ibnu Abbas dalam menafsirkan dan memahami kitab suci al Qur’an. Menurut pengakuan Ibnu Abbas Sendiri, Rasul pernah dua kali mendoakan ibn Abbas. Do’a tersebut adalah Allahum ‘allimhu al hikmah  ( اللهم علمه الحكمة ) dan allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al Ta’wil. (اللهم فقهه في الدین وعلمه التاویل) Menurut ajaran Islam, do’a yang dipanjatkan oleh Rasul adalah do’a yang mustajab dan seluruh kehendak Rasul di dalam do’a tersebut dikabulkan oleh Allah. 2. Ibnu Abbas besar dalam lingkungan rumah tangga kenabian, di mana beliau selalu hadir bersama Rasulullah sejak kecil. Beliau selalu mendengar banyak hal dari Rasul, dan menyaksikan kejadian serta berbagai peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al Qur’an. Bahkan beliau pernah dua kali menyaksikan Malaikat Jibril bersama dengan Nabi. 3. Interaksi beliau dengan para sahabat senior sesudah wafatnya Rasulullah. Dari sahabat-sahabat senior tersebut, Ibnu Abbas belajar berbagai hal yang berkaitan dengan al Qur’an seperti tempat-tempat turunnya al Qur’an, sebab-sebab turunnya ayat dan lain sebagainya. Upaya untuk belajar dan bertanya tersebut diungkapkan oleh Ibnu Abbas sendiri : “Aku banyak mendapatkan hadits Rasul dari kalangan Anshar. Bila aku ingin mendatangi salah satu di antara mereka, maka aku akan mendatanginya. Boleh jadi aku akan menunggunya hingga ia bangun tidur kemudian aku bertanya tentang hadist tersebut kemudian pergi. 4. Pengetahuan beliau yang sangat luas tentang bahasa Arab terutama kaitannya dengan uslub-uslubnya dan puisi-puisi Arab kuno yang amat berguna untuk mendukung pemahaman beliau terhadap al Qur’an. 5. Kecerdasan otak yang merupakan anugerah Allah yang membuat Ibnu Abbasma mpu untuk berijtihad dan berani menerangkan berbagai hal yang beliau anggap benar dalam penafsiran al Qur’an.5 Imam Mana’ al-Khattan dalam kitabnya memasukan penafsiran Ibnu Abbas sebagai Tafsir yang landasanya ialah bil Ma’tsur yang artinya ialah dalam menafsiri, Ibnu Abbas berpedoman pada landasan Nash, namun perlu tidak dilupakan ketika kita membaca tafsir Ibnu Abbas ini akan banyak ditemukan suatu penafsiran yang lebih bercorak Isy’ari dan hal ini diperkuat dengan kisahnya ketika duduk bersama pemuka umat pada masa Umar dalam menafsiri surat al-Nashr selain itu juga dengan melihat do’a rosul yang disitu rosul mendo’akan Ibnu Abbas agar diajarkan oleh Allah suatu Ta’wil menunjukan bahwa tafsir ini diwarnai pula oleh landasan isy’ary. Mencoba mencari kejelasan mengenai hal ini, bahwa pernyataan Imam Mana’ al-Khattan tidaklah salah jika ia menganggap Isy’ari merupakan cakupan dari bi al-Ra’yi, selain itu, sebagai alasan lain juga tidaklah salah jika ia menganggap dalam tafsir Ibnu Abbas lebih didominasi oleh ke-ma’tsur-an. Pada era kontemporer, setelah banyak dilakukan penelitian, Prof Ignazgoldziher menyatakan dalam kitabnya Madzahib al-Islamiyah fi Tafsir al-Qur’an menyatakan bahwa Ibnu Abbas dengan tanpa melakukan seleksi ketat, mengutip dengan sembarangan kisah ahli kitab, pendapat ini disepakati pula oleh Prof. Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islam. Namun keduanya dibantah oleh Prof. Muhammad Husain adzahabi yang menjelaskan mengenai upaya yang dilakukan Ibnu Abbas dalam menggali informasi dari Ahl Kitab tidaklah berkenaan dengan penafsiran tentang ayat yang menjadi pokok ibadah, namun berkenaan dengan hal-hal lain dan yang dianggap telah valid nilai kebenaranya sehingga bokan secara babi buta. Perjalanan hidup Ibnu Abbas selanjutnya mengalami berbagai masa dengan berbagai peristiwa yang dramatis, Pada tahun 36 H. beliau ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menjadi Amirul Haj sebelum Usman terbunuh oleh kudeta yang terjadi sekitar (655 M). ia pernah menjadi Gubernur Bashroh dan menetap di sana sampai ali wafat, kemudian ia mengangkat Abdullah bin Haris sebagai penggantinya sebagai Gubernur Bashroh, sedang ia sendiri pulang ke Hijaz. Ibnu Abbas menghembuskan nafas terakhir di Tha’if, namun mengenai waktu beliau wafat kembali terjadi perbedaan pendapat diantaranya ialah 65, 67, dan 68 H. namun pendapat terakhir inilah yang dipandang shahih oeh para ulama. 

B. METODE TAFSIR IBNU ABBAS 
            Abdullah Ibnu Abbas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Abbas menjadi salah satu nama yang paling populer dalam menafsirkan wahyu Allah yakni al-Qur’an. Kemampuan yang ia miliki telah diakui oleh berbagai kalangan, terutama kalangan para sahabat Nabi yang cukup senior seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Langkah-langkah Ibnu Abbas dalam penafsiran al-Qur’an pun menjadi salah satu model yang mengilhami model-model penafsiran era berikutnya. Kota suci Makkah menjadi awal perkembangan pemikiran Ibnu Abbas yang juga menghasilkan ulama’-ulama’ baru seperti Said bin Jubair dan Mujahid bin Jabr.6 Karena tingkat keilmuan yang sangat luas, Ibnu Abbas pun menjadi imam dalam bidang tafsir, hadis, fiqih, dan syair. Atha’ pernah berkata, “aku tidak pernah melihat satu majelis yang lebih mulia daripada majelis Ibnu Abbas. Dia orang yang paling banyak mengetahui fiqih dan paling besar rasa takutnya. Ahli Qur’an ada bersamanya dan ahli syair ada bersamanya. Dia memberikan ilmu kepada mereka dari lembah yang luas.” Mujahid berkata, “Ibnu Abbas disebut dengan al-bahr (laut) karena ilmunya yang luas.”7 Husain al-Dzahabi menyatakan bahwa pengetahuan Ibnu Abbas tentang bahasa dan sastra Arab kuno sangat tinggi dan luas, hal ini merupakan tameng bagi mereka yang meragukan tafsir ibnu Abbas yang seolah jauh dari makna tekstual namun sebenarnya Ibnu abbas sebagaimana yang dijelaskan oleh Mana’ al-Khattan bahwa ia dalam menafsiri suatu lafad tidaklah dengan babi buta karena Abbas tidaklah orang yang kosong akan pengetahuan mengenai imu kebahasaan. Ibnu Abbas merupakan peletak dasar dari teori penafsiran yang banyak mengilhami model-model penafsiran era berikutnya. Pemikirannya diyakini sebagai salah satu model penafsiran yang paling akurat, baik bagi kalangan mufassir bil ma’tsur maupun kalangan mufassir bi al-ra’yi. Bahkan secara tradisional beliau dipercaya sebagai salah seorang tokoh yang telah berhasil menanamkan embrio Hermeneutika al-Qur’an.8 Bagi kelompok bi al-ma’tsur (penafsiran melalui tradisi) Ibnu Abbas telah memberikan panduan penafsiran al-Qur’an terbaik, dengan membiarkan al-Qur’an saling menjelaskan keterkaitan yang saling berhubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Sebab penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an sendirilah yang memiliki validitas kebenarannya yang paling kuat. Bila tidak ditemukan penjelasan tersebut dari al-Qur’an, maka beliau merujuk kepada hadits Nabi yang sahih. Kedudukan hadits yang merupakan penjelas bagi al-Qur’an juga diyakini sebagai salah satu alternatif untuk menyingkap makna-makna yang cukup sulit untuk dipahami. Kedua cara yang ditempuh oleh Ibnu Abbas tersebut pada akhirnya menjadi standar baku bagi kelompok penafsir al-Qur’an bi al-ma’tsur untuk masa selanjutnya. Kelompok mufassir bi al Ra’yi (Penafsiran melalui nalar) juga memperoleh inspirasi penafsiran dari metode yang telah digagas oleh Ibnu Abbas. Bagi Ibnu Abbas, bila keterangan sebuah makna ayat tidak ia temukan di dalam al-Qur’an atau dari hadits Nabi, maka beliau berupaya untuk merujuknya kepada syair-syair Arab kuno ataupun percakapan-percakapan Arab Badui yang memiliki tingkat kemurnian bahasa yang tinggi. “Keluarnya” Ibnu dari lingkaran al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut adalah sebuah keberanian dan merupakan ijtihad dalam bentuk lain. Dan tentunya keberanian untuk melakukan ijtihad bukanlah keberanian yang bersifat apriori, namun dilandasai oleh niat dan keinginan yang kuat untuk menyingkap makna-makna terdalam dari al-Qur’an. Seperti yang diceritakan sendiri oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau tidak pernah tahu arti dari kata fathiru al-samawaat sampai suatu ketika beliau mendengar dua orang Arab Badui tengah bertikai masalah sebuah sumur. Salah seorang dari Arab Badui mengatakan : ana Fathortuha (aku yang membuatnya). Dengan adanya percakapan tersebut, barulah beliau mengetahui maksud dari kata : Faatirun. Bahkan beliau tidak segan-segan untuk mencari sumber penafsiran dari kalangan ahli kitab yang telah memeluk agama Islam, baik dari kalangan Yahudi seperti Abdullah bin Salam maupun dari kalangan Nasrani seperti Ibnu Juraij. Namun sebagaimana yang dikatakan oleh Husain az-Zahabi, bahwa eksplanasi tersebut hanya berkaitan dengan pambahasan yang sangat terbatas dan adanya kecocokan sejarah antara al-Qur’an dan kitab-kitab samawi lainnya. Akan tetapi jika berseberangan dengan keterangan al-Qur’an atau bahkan bertentangan dengan syari’at Islam, menurut Az-Zahabi, Ibnu Abbas tidak mempergunakan penafsiran ahli kitab. Keberanian Ibnu Abbas untuk mencari sumber-sumber penafsiran dari selain al-Qur’an dan hadits nabi menjadi inspirasi penting bagi kalangan ahlu al-ra’yi untuk juga memaksimalkan penggunaan akal fikiran sebagai salah satu alternatif penafsiran al Qur’an. Secara eksplisit terungkap, Ibnu Abbas memiliki kecenderungan untuk menggunakan akal fikiran yang jernih dalam menafsirkan ayat al Qur’an. Tidak melulu beliau menggunakan standar baku penafsiran ayat dengan ayat lainnya, atau ayat dengan hadits Nabi. Beliau berani berijtihad, dan diakui oleh kalangan sahabat.9 Meskipun Ibnu Abbas telah memulai upaya penafsiran menggunakan rasio, namun pemikirannya-pemikiran tafsirnya belum dibukukan dalam bentuk kitab tafsir yang sistematis. Untuk mengetahui bentuk pemikiran beliau, masih harus menggunakan sistem periwayatan. Hal itu disebabkan oleh belum berkembangnya sistem tulis menulis dengan baik pada saat itu. Untuk mengetahui pemikiran tafsir ibnu Abbas, para ulama telah menetapkan jalur periwayatan yang akurat dan memiliki tingkat kebenaran maksimal. Imam As-Suyuthi mengatakan “Pemikiran-pemikiran” Ibnu Abbas dalam bidang tafsir memiliki jalur periwayatan yang sangat banyak. Dan riwayat yang paling baik adalah melalui jalur Ali bin Abi Thalhah al Hasyimi dari Ibnu Abbas. Bahkan jalur periwayatan ini telah diakui oleh Imam Bukhari di dalam kitab Sahihnya apabila meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas. Namun meskipun begitu, masih ada sebagian kelompok yang meragukan periwayatan langsung Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas. Kelompok ini beranggapan bahwa Ali Bin Abi Thalhah tidaklah mendengar langsung dari Ibnu Abbas, akan tetapi meriwayatkan pemikiran Ibnu Abbas melalui perantaraan Mujahid atau Said bin Jabir. 

C. KARYA IBNU ABBAS
         Karena tafsir Ibnu Abbas yang notabene merupakan tafsir yang tergolong tafsir awal, hal ini tentunya memiliki sistematitas yang sangat terbatas, tafsir ini lebih bersifat oral tanpa adanya pengumpulan catatan yang terbukukan dan labih banyak dipelajari atau di sampaikan dari guru kemurid atau dari antara umat dengan hafalan. Karena hal tersebut, maka karya ibnu ababs lahir dalam bentik kumpulan yang akhirnya terbukukab adalah karena melalui periwayatan sebagaimana hadis nabi. Az Zahabi engungkapkan sebuah kitab Tafsir yang dinisbahkan kepaba Ibnu Abbas yang diberi nama Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas. Dari cetakan aslinya, kitab ini tidak memiliki kata pengantar, sehingga tidak dapat diselami lebih jauh lagi tentangkeberadaan penulis kitab tersebut. Namun al Fairuzzabady sendiri bukanlah orang yangtidak dikenal. Belaiu adalah pengarang kamus al Muhith22 yang terkenal dan ahli dalambidang bahasa. Pola penafsiran yang ditampilkan dalam tafsir ini memiliki kesamaandengan penafsiran yang dilakukan oleh Imam Jalaluddin Assuyuthi dalam Tafsir alJalalain. Dalam kitab tersebut, Mufassir berupaya untuk menafsirkan dan menjelaskan kalimat per kalimat, sehingga makna setiap kalimat dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Hal ini dilakukan penulis mulai dari surat al Fatihah hingga surat al Baqarah.10 Namun, tafsir ini setelah dilakukan kajian mendalam ternyata ditemukan bahwa tidak kesemuanya bersandar pada Ibn Abbas namun, beberapa diantaranya terdapat pendat ulama yang meriwayatkanya. D. DAFTAR PUSTAKA Jamal,Khairunnas, “Abdullah Ibnu Abbas Dan Pengaruh Pemikirannya dalam Perkembangan enafsiran Al Qur’an”dalam Artikel yang diunduh di http//:fush.uin-suka.ac.id. diakses tanggal 8 April 2012. ad-Dhahabi,Husain. Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, Kairo: Darul Hadis, 2005. Riswanto, Arif Munandar. Buku Pintar Islam, Bandung: Mizan, 2010. Shihab, Quraisy. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2004 Al-Qotton Mana’ Kholil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Halim Jaya. 2002 Tholhah,Ali bin Abi. Tafsir Ibn Abbas, Terj. Muhyiddin Mas Rida dkk. (Jakarta: Pustaka Azam, 2009.