Tuesday, May 7, 2013

HUBUNGAN PATRON-KLIEN : antara Kebutuhan dan kedudukan



Oleh: Muhammad Barir*



A.    Pendahuluan
Relasi sosial adalah suatu hal yang menjadi kebutuhan hidup manusia modern, dalam kehidupan sosial, masyarakat berhubungan satu sama lain untuk sekedar memperluas pertemanan atau karena ada tendensi untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan, sampai pada akhirnya, relasi sosial pun menjadi tebang pilih, dalam meakukan relasi, manusia seringkali mempertimbangkan apa untung-ruginya hal tersebut dilakukan. Manusia seringkali tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan untuk itu manusia mencari relasi, nelayan misalnya, akan mencari nasi dari petani sebagai lauknya untuk makan, begitu pula petani akan mencari ikan dari nelayan sebagai pelengkap nasinya, budaya barter tradisional tersebut pada akhirnya berkembang menjadi relasi saling bantu membantu antar manusia dalam hal yang lebih sensitif seperti ekonomi dan kedudukan politik. Hal tersebut terkait dengan relasi Patron-Klain.
B.     Definisi
Pelras (1981, dalam Layn: 2008, 45) menguraikan arti bahasa dari hubungan patron dan klien. Menurutnya, “patron” berasal dari kata “patronus” yang berarti “bangsawan”, sementara “klien” berasal dari kata “clien” yang berarti pengikut.[1] Mengenai definisi secara istilah, patron-klian para tokoh seringkali berbeda pendapat, ada sosiolog yang menyamakanya patron-klain dengan faham paternalism, dan patriarkal ada pula yang membedakan,[2] Salah satu tokoh yang banyak berbicara mengenai patron-klain adalah James C. Scott, ia mendefinisikan patron-klain sebagai suatu hubungan antara dua orang yang melibatkan jalinan pertemanan, dimana seorang yang lebih tinggi  kedudukanya (Patron) memberikan perlindugan kepada bawahan (Klain) dan bawahan pada akhirnya juga turut membalas budi dengan dukungan dan tenaga.[3] Namun patron-Klain tidak bisa disamakan dengan pertemanan karena sistemnya yang mengenal atasan dan bawahan. Antara melindungi dan mematuhi, selain itu patron-klain juga tidak sama denga perbudakan karena mengedepankan saling memberikeuntungan.
C.     Unsur-unsur Patron-Klain
Dalam relasi Ptron-Klien ada beberapa unsur yang menjadi cirri khas dari bentuk relasi ini yakni sebagai berikut:
1.      Bertujuan saling memenuhi kebutuhan
Sebagaimana yang dijelaskan dalam definisi bahwa relasi patron-klain lebih mengarah pada pertemanan yang dijalin karena saling melengkapi kebutuhan bukan melalui dasar paksaan dan mungkin hal ini yang membedakan dengan perbudakan. Walaupun terkadang ada rasa kurang berkenan namun itu harus dilakukan karena tuntutan kebutuhan dan balas jasa. Selama patron masih bisa bermanfaat bagi klain ataupun sebaliknya, maka hubungan pun masih akan terjalin.
2.      Adanya balas budi secara timbal balik
Dari hubungan Patron-Klain, yang diuntungkan tidak hanya dari pihak patron namun juga keduanya, Klain akan mendapat perlindungan dan bantuan materil karena patron yang menguasai sumberdaya, sedangkan klain akan memberikan dukungan, kepatuhan, dan apa pun yang bisa ia lakukan.
3.      Hubungan Secara Tatap Muka
Hubungan yang terjadi antara patron dengan Klain tidak terjadi secara sekejap atau tiba-tiba, namun benar-benar terjalin karena rasa saling kenal, dari kenal kemudian menjadi sebuah rasa saling percaya dan hal atersebut bisa difahami dari hubungan tatap muka yang intens.
4.      Antara Patron dengan Klain harus memberi keuntungan yang ekuifalen secara luwes
Maksud dari ekuifalen disini ialah bahwa antara Patron dengan klain harus memberi keuntungan yang setara secara subtansial, dalam arti ukuran sesuatu yang diberikan patron kepada klain atau sebaliknya tidak harus sama secara kwantitas. Yang lebih penting adalah keduanya sama-sama membutuhkan hal tersebut. Seperti halnya orang kaya yang memberikan uang pada klain dan klain memberikan tenaganya kepada patron. Antara uang dan tenaga tidak bisa diukur secara material, karena tenaga bersifat abstrak sedangkan uang bersifat material yang bisa dihitung. Inilah yang disebut hubungan timbal balik secara ekuifalen.
Setara dan Sama adalah dua istilah yang mirip namun tetap berbeda, para ahli sosial seringkali mengistilahkan perbedaan tersebut dengan ekuifalen dan homeomorfis. Goldner seorang sosiologi mengemukakan bahwa ekufalen adalah keseimbangan yang tidak bisa diukur atau dikadar namun dirasa cukup adil jadi ekuifalen adalah berbeda namun setara. Sedangkan homeomorfis (Homeomorphic reciprosity) adalah keuntungan yang bisa ditakar nilainya.[4] Jadi nilai ekuifalensi yang ada pada hubungan patron-klain lebih bersifat luwes dan tidak terikat. selain itu ekuifalensi lebih mengedepankan tolok ukur rasa dari pada logika.
D.    Keterikatan Klien terhadap Patron
Dalam hubunganya, antara patron dengan klain memiliki hak dan kewajiban yang tidak sama, dan hal inilah yang mengakibatkan kedudukan yang berbeda antara patron dengan klain. Secara sepihak petron akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari klain, karena patron memiliki otoritas, dan otorits tersebut didapat karena patron yang menguasai sumberdaya, sering kali hal ini lah yang pada akhirnya menjadikan subordinasi pada klain yang merasa lebih inferior.


[1] Dimas Adi Putra, “Patron-Klain”, dalam www.Iesdepedia.com, diakses tanggal 7 Mei 2013.
[2] Mengenai perbedaan pendapat ini lihat dan bandingkan teori patonalism dengan patron-klain dalam Nicholas Abercrombie dkk., Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Hlm. 404, 407..
[3] Hedi Shri Ahimsa Putra, Minawang: Patron-Klain di Sulawesi Selatan (Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press, 1988), hlm. 2.
[4] Lihat Hedi Shri Ahimsa Putra, Minawang: Patron-Klain di Sulawesi Selatan (Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press, 1988), hlm. 5-6.

No comments:

Post a Comment