Budi
Munawar, seorang direktur Pusat Studi Islam Paramadina (PSIP), dalam tulisanya
ia megemukakan bagaimana dulu kiprah seorang Harun Nasution yang kala itu
menjadi rector dua priode mulai 1974-1982 sebuah Universitas yang sekarang
dikenal dengan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah berusaha menanamkan
gagasanya tentang penghapusan dikotomi antara ilmu Agama dan Ilmu Umum di
Indonesia, Islam menurutnya tidak akan berkembang jika terus-terusan memisahkan
diri dari ilmu umum, begitu pula ilmu umum pun nanti akan jauh dari nilai agama
jika tidak diikuti oleh pemahaman
keagamaan, hal ini senada dengan perkataan seorang tokoh besar dunia yang
namanya terabadikan dalam sejarah kilmuan yakni Einstein yang menyatakan bahwa
Agama tanpa ilmu pengetahuan adalah pincang dan Ilmu pengetahuan tanpa agama
adalah buta. Terlepas dari alur berfikir menganai manakah yang ebih baik apakah
buta ataukah pincang?, tentunya lebih baik tidak kedua-duanya, dalam artian,
untuk penyatuan ilmu Agama dan Ilmu Umum, kenapa harus katakan tidak?.
Pada
mulanya dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum merupakan hal yang dibuat
oleh koloni belanda, para pakar sejarah mengatakan bahwa dulu berbagai pakar
entropologi (atropolog) banyak yang di utus oleh barat untuk mencari tahu
tentang kelemahan dan kelebihan suatu bangsa, hal ini dilakukan sebelum era
penjajahan dimulai. Dan ternyata, pusat kekuatan Nusantara saat itu ialah para
tokoh agama, maka dari itu agama dijauhkan dari ilmu umum agar tidak bisa
berkembang dan maju, biarkanlah mereka para tokoh agama disibukan dengan
pesantrenya masing-masing dan jangan ikut campur urusan politik.
Sebenarnya
Belanda dan negara barat lain, selain memiliki tujuan Gold (ekonomi), Glory
(kesejahteraan), dan Gospel (keagamaan), mereka juga memiliki tugas penyebaran
nilai renaissance dalam memintarkan manusia menyebarkan dan menyamaratakan
pengetahuan manusia di dunia. Namun kenyataanya Belanda tidak seperti Inggris,
belanda tidak memintarkan daerah jajahanya, tapi malah membuat rakyat di bawah
kaki jajahanya semakin bodoh kessadaran itu baru muncul sekitar tahun 1899
dimana ratu Wilhelmina memberi kebebasan untuk mendidik masyarakat jajahan
Belanda (Ainul Yakin: The Development of Academic Culture and
Competitiveness of Indonesian University), namun keputusan ini juga
memiliki masalah, Pertama, keputusan ini sudah sangat terlambat, Kedua,
pendidikan disebarkan secara tidak merata hanya para anak bangsawan belanda di
Indonesia dan para anak anteng-anteng Belanda saja yang bisa mengenyam
pendidikan. Saat ini kita perlu berterimakasih kepada pesantren yang saat itu
lah yang menjadi basis engembangan Ilmu.
Keputusan
pengahapusan dikotomi antara Ilmu Agama dan Umum yang di Gagas Harun Nasution
ini saat itu diamini oleh Munawar Syadhili yang kala itu menjabat Mentri Agama
RI dan sukses mendirikan pasca sarjana tahun 1982 di Universitas yang saat ini
dikenal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta(Budhy Munawar Rachman: Skularisme, Liberalisme,
dan Pluralisme, 2010), dan keputusan ini juga disetujui oleh Mukti Ali, Mukti
Ali inilah yang pada akhirnya menanamkan nilai ini di Universitas yang saat ini
dikenal dengan nama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang
kala itu belum menyandang nama UIN. Dan akhirnya dari embrio yang ditanam Mukti
Ali inilah akhrnya lahir istilah UIN yang direalisasikan Amin Abdullah dengan
teori Integrasi Interkoneksi.
Namun,
adanya teori integrasi (penyeluruhan) dan interkoneksi (saling berhubungan) ini
tidaklah lepas dari pro dan kontra. keresahan ini timbul di benak masyarakat
yang jika Ilmu Umum di gabung dengan Ilmu Agama nanti akan mengakibatkan
keterkikisan ilmu Agama dan yang mendominasi nanti adalah Ilmu Umum, namun di
Universitas Negeri Sunan Kalijaga sendiri, menurut sebagian dosen, mengenai
peralihan dari istilah IAIN menjadi UIN saat ini belum bisa terlihat dampaknya
malah terkadang mahasiswa bingung ketika akan membuat skripsi dengan mengusung
paradigma integrasi-interkoneksi sebagaimana diceritakan mahasiswa saintek yang
membuat skripsi dengan mengolaborasikan ilmu sains dengan ilmu al-Qur’an
ternyata malah terjadi ketimpangan bahwa ayat al-Qur’an hanya dijadikan alat
jastifikasi atas teori ilmiyahnya.
Belum
lepas dari isu tersebut, saat ini muncul gagasan tentang akan diadakanya
penjurusan dalam jurusan Tafsir Hadis dengan pemisahan kedua unsur utama ini
yang pertama adalah konsentrasi Studi al-Qur’an dan yang kedua adalah
konsentrasi studi Hadis. Dikhawatirkan gagasa ini akan meruntuhkan fondasi
keilmuan yang telah kokoh. Karena dalam studi islam kedua ilmu ini
pada-dasarnya sangat terkait satu sama lain, dengan banyak fungsi sebagai mana
hadis yang menafsiri al-Qur’an, hadis yang memperkokoh gagasan al-Qur’an, hadis
yang menjelaskan aspek sebab turun dan konteks sosial budaya dan banyak aspek
lain yang sebenarnya menunjukan keutuhan antara studi al-Qur’an dan al-Hadis,
hal ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Ahmad Baidowi ketika ditemui di
kantornya dalam bincang-bincang ringan seputar studi di TH. Wakajur jurusan
Tafsir Hadis ini juga menyatakan, bahwa
isu ini sebenarnya bukanlah sekedar gagasan, namun sudah menjadi kebijakan,
lebih tepatnya kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemenag RI, dan itu artinya
keputusan ini sebenarnya memiliki kekuatan birokrasi, namun menurut beliau, di
Jurusan TH sendiri para dosen secara umum menolak kebijakan Kemenag tersebut
walaupun belum ada perbincangan secara resmi.
No comments:
Post a Comment