Saturday, May 11, 2013

Pemisahan Studi Qur’an dan Studi Hadis dalam Pendidikan ke-TH-an di UIN

Oleh: Muhammad Barir




Budi Munawar, seorang direktur Pusat Studi Islam Paramadina (PSIP), dalam tulisanya ia megemukakan bagaimana dulu kiprah seorang Harun Nasution yang kala itu menjadi rector dua priode mulai 1974-1982 sebuah Universitas yang sekarang dikenal dengan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah berusaha menanamkan gagasanya tentang penghapusan dikotomi antara ilmu Agama dan Ilmu Umum di Indonesia, Islam menurutnya tidak akan berkembang jika terus-terusan memisahkan diri dari ilmu umum, begitu pula ilmu umum pun nanti akan jauh dari nilai agama jika tidak  diikuti oleh pemahaman keagamaan, hal ini senada dengan perkataan seorang tokoh besar dunia yang namanya terabadikan dalam sejarah kilmuan yakni Einstein yang menyatakan bahwa Agama tanpa ilmu pengetahuan adalah pincang dan Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta. Terlepas dari alur berfikir menganai manakah yang ebih baik apakah buta ataukah pincang?, tentunya lebih baik tidak kedua-duanya, dalam artian, untuk penyatuan ilmu Agama dan Ilmu Umum, kenapa harus katakan tidak?.
Pada mulanya dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum merupakan hal yang dibuat oleh koloni belanda, para pakar sejarah mengatakan bahwa dulu berbagai pakar entropologi (atropolog) banyak yang di utus oleh barat untuk mencari tahu tentang kelemahan dan kelebihan suatu bangsa, hal ini dilakukan sebelum era penjajahan dimulai. Dan ternyata, pusat kekuatan Nusantara saat itu ialah para tokoh agama, maka dari itu agama dijauhkan dari ilmu umum agar tidak bisa berkembang dan maju, biarkanlah mereka para tokoh agama disibukan dengan pesantrenya masing-masing dan jangan ikut campur urusan politik.
Sebenarnya Belanda dan negara barat lain, selain memiliki tujuan Gold (ekonomi), Glory (kesejahteraan), dan Gospel (keagamaan), mereka juga memiliki tugas penyebaran nilai renaissance dalam memintarkan manusia menyebarkan dan menyamaratakan pengetahuan manusia di dunia. Namun kenyataanya Belanda tidak seperti Inggris, belanda tidak memintarkan daerah jajahanya, tapi malah membuat rakyat di bawah kaki jajahanya semakin bodoh kessadaran itu baru muncul sekitar tahun 1899 dimana ratu Wilhelmina memberi kebebasan untuk mendidik masyarakat jajahan Belanda (Ainul Yakin: The Development of Academic Culture and Competitiveness of Indonesian University), namun keputusan ini juga memiliki masalah, Pertama, keputusan ini sudah sangat terlambat, Kedua, pendidikan disebarkan secara tidak merata hanya para anak bangsawan belanda di Indonesia dan para anak anteng-anteng Belanda saja yang bisa mengenyam pendidikan. Saat ini kita perlu berterimakasih kepada pesantren yang saat itu lah yang menjadi basis engembangan Ilmu.
Keputusan pengahapusan dikotomi antara Ilmu Agama dan Umum yang di Gagas Harun Nasution ini saat itu diamini oleh Munawar Syadhili yang kala itu menjabat Mentri Agama RI dan sukses mendirikan pasca sarjana tahun 1982 di Universitas yang saat ini dikenal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta(Budhy Munawar Rachman: Skularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, 2010), dan keputusan ini juga disetujui oleh Mukti Ali, Mukti Ali inilah yang pada akhirnya menanamkan nilai ini di Universitas yang saat ini dikenal dengan nama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang kala itu belum menyandang nama UIN. Dan akhirnya dari embrio yang ditanam Mukti Ali inilah akhrnya lahir istilah UIN yang direalisasikan Amin Abdullah dengan teori Integrasi Interkoneksi.
Namun, adanya teori integrasi (penyeluruhan) dan interkoneksi (saling berhubungan) ini tidaklah lepas dari pro dan kontra. keresahan ini timbul di benak masyarakat yang jika Ilmu Umum di gabung dengan Ilmu Agama nanti akan mengakibatkan keterkikisan ilmu Agama dan yang mendominasi nanti adalah Ilmu Umum, namun di Universitas Negeri Sunan Kalijaga sendiri, menurut sebagian dosen, mengenai peralihan dari istilah IAIN menjadi UIN saat ini belum bisa terlihat dampaknya malah terkadang mahasiswa bingung ketika akan membuat skripsi dengan mengusung paradigma integrasi-interkoneksi sebagaimana diceritakan mahasiswa saintek yang membuat skripsi dengan mengolaborasikan ilmu sains dengan ilmu al-Qur’an ternyata malah terjadi ketimpangan bahwa ayat al-Qur’an hanya dijadikan alat jastifikasi atas teori ilmiyahnya.
Belum lepas dari isu tersebut, saat ini muncul gagasan tentang akan diadakanya penjurusan dalam jurusan Tafsir Hadis dengan pemisahan kedua unsur utama ini yang pertama adalah konsentrasi Studi al-Qur’an dan yang kedua adalah konsentrasi studi Hadis. Dikhawatirkan gagasa ini akan meruntuhkan fondasi keilmuan yang telah kokoh. Karena dalam studi islam kedua ilmu ini pada-dasarnya sangat terkait satu sama lain, dengan banyak fungsi sebagai mana hadis yang menafsiri al-Qur’an, hadis yang memperkokoh gagasan al-Qur’an, hadis yang menjelaskan aspek sebab turun dan konteks sosial budaya dan banyak aspek lain yang sebenarnya menunjukan keutuhan antara studi al-Qur’an dan al-Hadis, hal ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Ahmad Baidowi ketika ditemui di kantornya dalam bincang-bincang ringan seputar studi di TH. Wakajur jurusan Tafsir Hadis ini juga menyatakan,  bahwa isu ini sebenarnya bukanlah sekedar gagasan, namun sudah menjadi kebijakan, lebih tepatnya kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemenag RI, dan itu artinya keputusan ini sebenarnya memiliki kekuatan birokrasi, namun menurut beliau, di Jurusan TH sendiri para dosen secara umum menolak kebijakan Kemenag tersebut walaupun belum ada perbincangan secara resmi.

No comments:

Post a Comment