*Muhammad Barir
Masih terkenang kisah pejuang
kesetaraan, Mahatma Gandhi saat berkunjung ke Afrika Utara dalam memperjuangkan
hak warga India yang diinjak-injak oleh ras kulit putih, sebuah contoh yang
patut diteladani dari seorang Gandhi yang pernah hampir terjatuh dari kereta
kuda karena dipukuli dan dipaksa turun oleh orang kulit putih karena merasa
gengsi berada di dekat orang dengan kulit berwarna, namun Gandhi saat itu
mengatakan “biarlah pipi kanan ku dipukul, akan ku berikan pipi kiriku” mahatma
Gandhi tidak mau turun bukan karena gengsi, namun ia ingin memberi pelajaran
bahwa Manusia secara esensial adalah setara.
Kehidupan Beragam (heterogenouse)
dalam satu lingkup sosial tertentu akan mempertemukan beragam budaya, jauhnya perbedaan
kultural dalam kehidupan bersama ini pada momentumnya, sering menyulutkan konflik
antar etnis, ras, atau agama. Kekurangfahaman pelaku sosial tentang hidup
dengan simbiosis mutualisme dituding sebagai faktor munculnya konflik ke
permukaan.
Beberapa peneliti mencoba membaca
fenomena ini seperti Ignas Kladen dan Loekman Soetrisno yang merumuskan teori
bahwa “konflik yang terjadi baru akan terjadi jika ada suatu dominasi suatu
suku atas suku yang lain. Dominasi mencerminkan sikap superiortas individual
atau golongan dan sikap ini akan memunculkan sikap arogan dan sikap arogan akan
menghilangkan keseimbangan, dan ketidakseimbangan akan menyulutkan api konflik.
Isu kesetaraan pernah menjadi
perhatian dunia yang dihangatkan oleh Karl Marx tokoh humanis yang memiliki
spirit tinggi dalam memberangus konsep kapital pembatasan antara kaum borjuis
sebagai pemegang keuntungan tinggi (Surplus Value) dan proletar yang
tercekik, serta upayanya dalam menghapus perbudakan walau pandanganya menjadi
sangat ekstrim ketika berbicara tentang agama dan negara, namun upaya Marxisme
pada dasarnya dilandasi oleh dorongan memanusiakan manusia dalam menjalin
hubungan yang lebih stabil.
Jika dikaji dengan logika biner, Strata
Vertikal, pelapisan golongan mulai dari kalangan yang dianggap berada pada
derajat yang paling bawah tersusun ke atas sampai pada golongan yang dianggap
memiliki derajat paling tinggi, masih banyak menjiwai corak berfikir masyarakat
Indonesia, hal ini terbaca dengan banyaknya penyebutan orang dengan
perekonomian rendah dengan istilah “kalangan menengah ke bawah” dan menyebut
orang dengan perekonomian tinggi dengan istilah
“kalangan menengah ke atas” pengistilahan tersebut mungkin telah
dianggap wajar, namun jika direnungi adanya istilah tersebut sangat-sangat
tidak manusiawi.
Adanya strata sosial tentunya
membuat asumsi negatif, namun strata juga tidak bisa dihapus karena fitroh
manusia pada dasarnya memang berbeda. Solusi dari semua itu ialah dengan
mendekontruksi Strata Vertikal dan menggantinya dengan Strata Horizontal yang
meletakan semua lapisan berada sejajar.
“Berbeda namun Setara”, itulah
semboyan yang merepresentasikan manusia yang pada dasarnya memiliki perbedaan
satu dengan lainya, namun perbedaan itulah yang menuntut manusia untuk saling
melengkapi.
Gus Dura atau KH Abdurrahman Wahid
pernah melakukan kontroversi dengan menafsiri kata Islam sebagai
“kedamaian”, pada dasarnya semua manusia berhak mendapat kedamaian itu, baik
dari berbagai background keagamaan, etnis, ras, budaya, maupun bangsa
tanpa dibeda-bedakan.
No comments:
Post a Comment