Monday, May 13, 2013

ANAK TANGGA TERAKHIR

Terkadang Mimpi Lebih Indah dari Kenyataan
Muhammad Barir




~
Butiran embun menjadi saksi akan hadirku di depan pintu sebuah rumah kecil, duduk di atas kursi kayu memanjang sambil menatap dedaunan yang kelihatan menguning tersinari mentari pagi yang mulai muncul dari sela-sela gunung. Ku tatap beberapa sahabatku datang dengan membawa motor dan jaket cukup tebal dengan helem dan segala perlengkapan yang menempel di sekujur badan mereka, peralatan tersebut seolah berkata kepadaku bahwa mereka akan pergi melakukan perjalanan cukup jauh.
Oh, ternyata benar dugaan ku bahwa mereka ingin mengajak ku sedikit menikmati alam raya ini, menyusuri beberapa tempat yang mungkin akan sangat menyenangkan bagiku yang tergolong jarang keluar rumah. Aku pun mulai bersiap, bergegas mngambil sabun dan handuk, meloncati sela-sela ruangan menuju kamar mandi sederhana di belakang rumah.
Cepat aku mandi, dan tak sadar, aku sudah berada di atas jog sepeda yang mulai melaju menjauhi rumah ku, ku lihat dari jauh rumah ber cat warna biru itu semakin menjauh dan semakin menjauh dan ketika telah lenyap dari pandangan ku, barulah aku palingkan wajah ku ke depan dengan diiringi angin yang menerpa membelai rambutku.
Banyak pertanyaan yang muncul di dalam kepalaku apa peristiwa yang nantinya akan ku alami?
~

Sepeda motor kami mulai meraung-raung memasuki area hutan yang cukup lebat menuju arah timur desa, jalanan naik turun menjelaskan bahwa daerah itu merupakan pegunungan, udara sejuk langsung menerjang wajah, merasuki kulit dan menyusup sampai ke dalam tulang merontokan seribu satu macam kotoran dan beban pikiran yang selama ini melekat disekujur badan, betapa nikmat udara ini andai kau rasakan wahai sobat,,, pohon di sini terasa berbeda dibandingkan dengan kebiasaan daerah lain, pohon cemara banyak tumbuh dan menghijau dengan batang coklat kehitaman, di tempat lain sering kali lebih banyak ditumbuhi pohon jati yang selain sebagai paru-paru bumi juga sebagai lahan infestasi.
Perjalanan kami berlalu terasa cepat, sempat kami beristirahat beberapa saat untuk menghapus dahaga sampai akhirnya, perjalanan pun kami teruskan menembus gunung menuju nuansa yang sedikit lebih berbeda. Kami mulai memasuki sebuah daerah yang asing bagi ku sebdiri, di daerah ini rumah-rumah memiliki tempat luas untuk dijadikan halaman. jalananya pun lebar dan bersih, ku lihat beberapa orang berjalan menyusuri trotoar samping jalan, ku pandangi mereka yang sedikit berbeda dengan kami, oh, ternyata daerah ini adalah daerah yang dihuni oleh etnis tionghoa, belum selesai mata ku memandangi keistimewaan daerah ini, pandanganku ditakjubkan dengan pintu gerbang yang besar dengan tinggi sekitar sepuluh meter dan panjang sekitar dua puluhan meter.
Tempat ini lah tujuan pertama kami, tempat ini terlihat tidak begitu ramai, beberapa orang berjualan di kanan-kiri berjajar ber shof-shof di dalam gerbang yang menghadap ke barat itu, Di depanku sudah berdiri kokoh anak tangga yang disusun dari batu yang mungkin umurnya sudah ratusan tahun, anak tangga ini kelihatan indah dan megah, namun tak sekedar indah, ia juga cukup membantu untuk menaiki gunung yang ada di depan kami. Kami pun menaiki anak tangga itu satu persatu, dengan canda gurau dan di beberapa temapat kami beraksi menggambil gambar ya katakanlah untuk dokumentasi dan kenang-kenangan.
Sampai pada akhirnya, sampailah kami di anak tangga terakhir dengan cukup lelah dan rasa ngilu di kaki, kami pun berdiri di bawah pintu gerbang kedua di ketinggian sebuah gunung dan tanpa ku sadari bahwa di depan ku telah penuh beberapa orang bercengkerama, dan banyak pula pedagang yang berjualan dengan disertai penyalaan kembang api dan petasan, pertunjukan barongsai pun semakin melengkapi semarak perayaan di pagi itu yang sedikit mendung.
Nuansa di atas sangat berbeda jauh dengan nuansa di bawah yang sangat sepi, tempat ini seperti lapangan luas yang memanjang, pohon cemara yang tidak terlalu tinggi tertata rapi berjajar mengikuti panjang area temapat itu, bangunan-bangunanya khas tioghoa. ku mulai masuk kedalam kerumunan orang di tempat itu berjalan ke sana kemari, melihat beberapa kekhasan budaya yang baru ku kenal, dan tanpa tersadar, ku kehilangan teman-teman ku.
“kemana teman-teman”, kata itulah yang menjadi dzikir dalam pikiranku, Lama ku cari mereka tiada ada yang ku temui, usaha yang ku lakukan semua sia-sia, mulai dari Tanya sampai menyusuri tiap sudut tempat itu, sampai akhirnya ku putuskan untuk menuruni tangga yang tadinya susah-payah ku daki namun ternyata, motor teman-temanku telah sirna bersama pengemudinya bagai di sapu badai. Beribu pertanyaan menggelayuti pikiran ku meremas urat nadiku sampai akhirnya keringat pun tak tertahan mulai bercucuran, ku tak tahu kemana ku kan kembali, ku tak tahu jalan pulang, ku ingin pulang.
~

 Ku terus meratapi nasibku, dalam kebingungan, ku putuskan untuk meninggalkan tempat itu menyusuri jalanan aspal memulai sebuah perjalanan baru dalam kesendirian, di tengah derasnya hujan, terus memperhatikan beberapa papan kayu yang tak bercat, satu papan pun tak mau ku lewatkan, barang kali ku bisa mendapat petunjuk arah dari papan tersebut. Jalanan pun semakin basah, apa lagi baju ini yang hanya merupakan rajutan kain dan benang.
Kususuri terus jalanan itu dengang mengikuti sebuah naluri yang ku percaya, bahkan lebih ku percaya daripada teman-teman yang telah meninggalkanku. Ku terus menapaki langkah ini, sebuah langkah hijau,
Sore ini, adalah hari ke empat puluh perjalananku, ku masih berjalan di tengah hutan, namun yang mau ku cerikan hai sobat, andai engkau tahu, bahwa hutan ini ialah batas terakhir, ku mulai merasakan nuansa yang berbeda, suara ini tersa tak asing, suara desir ombak mulai terdengar, ku keluar hutan dan memasuki dunia lautan, ku tatap pantai yang kelihatan menguning karena terpaan sinar matahari di sore hari, laut nampaknya dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk mencari mata pencaharian, hal ini bisa ku ketahui dengan banyaknya petak-petak tambak disekitar laut ini, ku terus berjalan menyusuri lahan pertambakan yang saat ini tampak kering, petani hanya memanfatkannya untuk mengolah air laut mnjadi garam, ku terus mengikuti jalan sampai akhirnya deretan pertambakan pun berganti menjadi deretan persawahan, ya,, ku mulai menjauh dari laut,
Senja pun tiba, ku duduk di salah satu gubuk kayu di tengah persawahan, ku buka kantong lusuh ini dan ku ambil sebutir buah apel yang ku dapat dari hasil mengemis di sebuah toko pinggir desa pagi ini, ku makan buah tersebut seraya memandangi lahan persawahan yang nampak diselimuti kabut yang memerah terkena cahaya sinar senja, ku iri dengan capug-capung yang beterbangan dengan bebas bersama-sama menikmati kehidupan, terbang melewati sela-sela padi dan menembus kabut yang kemerahan dengan bahagia.
Adzan magrib mulai ku dengar, namun ku tak ingat berapa lama ku telah meninggalkan sholat karena kemarahanku pada tuhan yang memberiku takdir seperti ini. Ku terus langkahkan kaki, dan sampailah aku malam ini di sebuah bukit yang diriku tak tahu apa yang ada dibaliknya, “siapa dia” batin ku berbicara tat kala aku melihat sosok anak kecil yang menghampiriku, menyeretku, ku berjalan sedikit berlari mengikuti anak kecil yang menggenggam keras tangan ku, sampai akhirnya kami pun tiba di puncak bukit tersebut dan dibaliknya ku melihat,,     inilah desaku.   Dan ku pun terbangun dan ini hanyalah mimpi..

2 comments: