Monday, February 27, 2017

AKU DAN PULAU SEBERANG

Muhammad Barir Irfanie

Langit Yogyakarta hari itu tak secerah biasanya. Musim hujan yang tak menentu dan pertambahan jumlah penduduk mengubah jati diri Jogja. Separuh dari ketenangannya telah tergerus zaman. Perubahan budaya telah melunturkan warna warni Yogyakarta yang ku kenal. Di tengah renungan akan Yogyakarta, ku ditugaskan untuk harus meninggalkan kota ini. Tidak lama, tapi cukup untuk sekedar bercengkerama dengan suasana baru.

Malam sebelum keberangkatanku, langkah kakiku menuju kos Henrico. Seorang teman yang akan menghabiskan banyak moment di perjalanan nanti. Banyak obrolan malam itu, tentang kerjaan dan hal-hal lain yang sayang untuk dilewatkan. Tapi kali ini tak bisa terlalu malam, karna besok sebelum mentari terang kami sudah harus beranjak pergi.

Azan menggema, menyusuri gang demi gang pemukiman padat di kawasan Demangan Yogyakarta. Setelah sejenak menjalankan perintah Tuhan kami langsung mandi dan berkemas. Satu persatu anak tangga kami turuni. Kami membagi dua kardus berisi berkas kantor satu orang satu. Kamar kos Henrico di lantai dua. Pemiliknya orang kristiani yang ramah. Tapi anjing-anjing di depan kos tak seramah pemiliknya. Gonggongan mereka seolah menjadi bahasa yang dapat diartikan sebagai gertakan. Meski aku tak takut, tapi aku khawatir terkena liur basah yang berlendir itu. Apa yang kurasa juga dirasakan Henrico, tapi dia lebih jago dalam menghindari mereka. Berjalan dengan tenang melewati dua ekor anjing yang tak lepaskan pandangan matanya. Langit pun menguning. Stasiun tugu Yogya menungguku di sana.

Setelah berjalan tidak kurang 500 meter, kami dijemput mobil dan langsung melesat menuju stasiun. Saat itu suasana tidak terlalu ramai, masih ada 30 menit sebelum keberangkatan. Kami rasa segelas teh hangat dan mie Jawa cukup untuk sekedar menemani penantian.

Kumpulan embun pagi membuat pandangan di kejauhan terlihat berkabut. Kereta kami datang dengan bunyi khasnya. Menapaki dua besi rel yang tampak kehitaman karena basah. Tak lama rel itu menguning karena mentari dengan genitnya mulai mengintip dari balik awan. Sinar-sinarnya mengucapkan salam perpisahan kepada kami. Dalam hati, ku bertanya tentang apa yang akan ku alami beberapa hari kemudian.

~-~

Surabaya menjadi tujuan pertama kami sebelum menyeberang ke Pulau Madura. Aku dan Henrico sampai. Tanpa istirahat, kami langsung bergegas menuju suara seruan. Kedatangan kami pas dengan kumandang azan sholat Jumu'ah. Melaksanakan Jumu'ah di kondisi perjalanan tidak wajib, tapi i'tikad baik temanku untuk ingin merasakan suasana sholat Jumu'ah di Surabaya membuatku mengiyakan ketika ia mengajakku.

Tugas di lembaga lingkungan yang akan kami jalankan cukup penting untuk masa depan banyak wilayah di Indonesia. Tugas kami adalah memastikan kesiapan Universitas Trunojoyo Bangkalan sebelum kedatangan pakar lingkungan dari kementarian. Mereka adalah para asesor AMDAL yang akan melakukan penilaian terhadap beberapa konsultan yang akan menangani berbagai proyek besar.

Henrico adalah fasilitator terlatih yang menyiapkan berbagai dokumen dan semua hal yang berkaitan denagan elektronik sistem. Aku bertugas mendata peserta dan membantu mengawasi jalannya uji kompetensi tes dan wawancara. Memanggil peserta satu persatu dan mempertemukannya dengan para asesor di ruang uji. Kami siap. Tidak banyak yang ku pikirkan di perjalanan ini.

Jembatan Suramadu nampak diujung sana. Terlihat megah dengan berjuta memori dalam pembangunanya. Kami menyebrangi jembatan yang sebenarnya mulai diusulkan sejak 1991.

Samsuri, seorang sopir yang mengantarkan kemi menangis. Ia masih ingat betapa susah hidup di Madura sebelum jembatan Suramadu tegak berdiri. Kompromi para pengusaha kapal feri selalu bisa mensiasati agar pembangunan Suramadu tertunda.

Kiai yang menurut masyarakat Madura derajatnya lebih tinggi dibanding presiden menjadi cultural broker. Sebuah istilah yang oleh Cliffor Geertz digunakan untuk menyebut seorang sosok yang menjadi penentu perubahan dan keberlangdungan budaya masyarakat. Momen sidang penentuan jadi-tidaknya Suramadu di bangun akhirnya datang. Beberapa kiai Madura berangkat menggunakan mobil. Beberapa mobil mewah masuk dermaga feri. Nampak dari dalam salah satu mobil mewah tampak seorang kiai melakukan dzikir dengan tenang dan nyamannya. Di sisi yang lain, tampak sebuah mobil yang usang. Dari dalamnya, keluarlah seorang Kiai dengan raut muka marah dengan mengipas-kipaskan sorbanya karena panas menunggu berjam-jam antrian feri.

Bagi kiai kaya dan bermobil mewah, cukuplah menggunakan feri. Mereka menolak berdirinya Suramadu. Di sisi lain, bagi kiai yang hidup apa adanya, feri cukup mahal dan antrian ketika itu cukup menguras emosi. Kiai semacam ini adalah salah satu yang mendukung berdirinya Suramadu.

Di kemudian hari terkuak bahwa mobil-mobil mewah tersebut adalah hadiah dari pemilik usaha kapal feri untuk mempengaruhi para kiai agar tidak setuju pembangunan Suramadu. Kiai yang mendukung pembangunan Suramadu adalah mereka yang tidak mau atau tidak dapat jatah mobil mewah dari pemilik feri. Mereka hanya punya mobil apa adanya, bahkan sebagian tidak punya meski hanya sekedar sepeda motor. Peristiwa ini akan terus menjadi gurauan masyarakat Madura di malam hari saat bersama sama menghabiskan segelas kopi.

Bagaimanapun, detik itu aku telah berada di punggung Suramadu. Jembatan ini telah berdiri dengan memorinya yang tak akan pernah terhapus.

Sampai dan menginjakkan kaki di Pulau  Madura adalah yang pertamakalinya bagiku. Saat itu adalah sore hari. Kuning dan hening. Udara madura cukup segar dibanding kota seberang. Bahkan katanya Sumenep punya pulau Giliyang Dungkek yang dinobatkan PBB sebagai pulai dengan oksigen terbaik kedua di dunia.

Tidak banyak moda transportasi pilihan. Jangankan Graph, taxy pun tak ada. Bertolak dari hotel, kami harus mencari mobil angkutan desa yang orang sini namakan Keri. Kami perlu meninjau lokasi dan akses.

Kami dapat tumpangan setelah tak lama berdiri di tepian jalan. Luar biasa, pengemudinya seorang kakek. Jalanan Madura cukup lengang dan besar. Kondisi aspal masih bagus karena pembangunan kota Bangkalan pasca Suramadu. Terkejut, di sebelahku Henrico yang tegang. Supir Keri kebut-kebutan. Aku ketawa sekencang-kencangnya. Sopir yang tua tak menghalangi semangat kacong Madura yang terkenal pemberani dan nekat itu. Mobil berhenti di sebuah persimpangan. Kami turun.

Selain Keri, becak adalah moda transportasi yang digunakan untuk menyusuri jalanan yang lebih kecil. Udara lembab membuat jalanan berkabut. Meski kecil, jalanan ini cukup rapi. Trotoar dan pemandangan hamparan sawah yang luas diikuti hijau gunung di kejauhan. Di beberapa titik tardapat toko-toko modern dan tradisional. Rumah tinggal biasanya tidak terletak dipinggir jalan yang lebih cocok untuk menjadi lahan untuk jualan. Berbecak ria di kemuning senja dengan semilir angin terasa cukup berkesan. Menggoreskan memori yang indah untuk termaktup di perbendaharaan kisah untuk di ceritakan di hari tua.

Part f 17