Saturday, December 28, 2013

Nilai Ideal Moral Ayat-Ayat Kesetaraan

Oleh: Muhammad Barir*


Ada beberapa konsep yang saling berhubungan dengan kesetaraan, seperti keadilan, keseimbangan, dan sikap moderat. Kesetaraan dan keadilan merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Keadilan bisa difahamai sebagai tindakan yang dilakukan dengan semestinya. Keadilan juga bisa diartikan sebagai tindakan atau perlakuan yang sama antar pihak yang dihadapi. Adil tidak mesti setara secara homeomorfis namun lebih pada setara secara equifalen.1 Keadilan sering disandingkan dengan lawan kata ظلم (z{ulm) atau menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Keterkaitan hubungan antara kesetaraan dan keadilan dapat terlihat dari ayat yang mengulas kesetaraan yang sering disertai dengan perintah berbuat adil sebagaimana QS. Al-Maidah (5):82, QS. Al-Hujura>t (49):93, dan QS. An-Nisa (4): 1354. Dari sekian ayat tersebut tentunya menunjukan adanya keterkaitan antara konsep kesetaraan yang anti diskriminasi dengan konsep keadilan. Adil memang tidak mesti dilakukan dengan cara penyerataan, namun penyetaraan yang hubungannya dengan anti diskriminasi secara otomatis merupakan salah satu bentuk keadilan.
Menurut Quraish Shihab, keadilan seringkali diredaksikan dengan tiga term, pertama adalah قسط yang bermakna berperilaku sesuai dengan seharusnya atau menempatkan sesuatu pada tempatnya; kemudian عدل yang mengarah pada ketidakberpihakan لا يَمِيلُ به الهوى; dan ميزان yang berarti seimbang. Dari ketiga term di atas menunjukan adanya keterkaitan antara keadilan dan kesetaraan sekalipun terkadang malah sering mengakibatkan kerancuan makna karena kesulitan membedakan term-term di atas.5 Dari ketiga term di atas, term yang lebih umum dipakai dan sering digeneralisasikan sebagaimakna dari keadilan adalah diwakili dengan makna قسط yakni melakukan sesuatu pada tempatnya.
Dari sini, keadilan menjadi dasar penegakan kesetaraan. Dalam hubunganya dengan kesetaraan, dari dua difinisi keadilan, keduanya sama-sama relevan dengan konsep kesetaraan. Ketika keadilan didefinisikan dengan memilih makna keseimbangan (ميزان), maka hal ini menjadi dasar penyetaraan kesejahteraan dan anti diskriminasi dan jika memilih mendefinisikan keadilan sebagai meletakan sesuatu pada tempatnya—lawan kata zalim (ظلم)—, maka hal ini menjadi dasar kesetaraan dalam menghapus penindasan dan mendasari tujuan kesetaraan dalam meraih kedamaian dan kesejahteraan.
Konsep kesetaraan juga berhubungan dengan konsep moderat. Sebagaimana diketahui bahwa Islam mendapat gelar خير أمةsebaik-baik umat” (QS. A>li Imra>n 3:110)6 dan Islam juga mendapat gelar أمة وسط “umat yang moderat(QS. al-Baqarah 2:143)7.8 Gelar yang terakhir inilah yang bisa mengantarkan Islam sebagai ajaran yang cinta damai dengan metode dakwah hikmah, petunjuk yang baik (mauid}ah h}asanah), dan cara diskusi yang baik (an-Nah}l 16:125)9. Moderat juga merupakan bagian dari kesetaraan, sikap moderat perlu dilakukan terutama dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang melibatkan beberapa pihak.
Konsep Moderat juga memiliki antonim Kecondongan hati atau tendensi (ميل) dan fanatisme (عصبيّة). Tendensi atau kecenderungan merupakan aspek yang manusiawi, namun dalam urusan penegakan keadilan, Tendensi dan fanatisme harus ditangguhkan terlebih dahulu. sikap moderat الوسط sering dimaknai dengan وسط شيئ ما بين طرفيهdi tengah sesuatu yang berada di antara dua pihak,10 sedangkan dalam Mu’jam al-Mufrada>t li al-Fa>z{ al-Qur’a>n وسط dimaknai ماله طرفان مساويا القدر “suatu kedudukan yang sama bagi dua pihak” hal ini menunjukan bahwa gelar umat Islam sebagai أمة وسط merupakan penjelasan bahwa pada substansinya, umat Islam merupakan umat yang moderat, sehingga substansi ini harus terealisasi.11
Dari sini, jelas bahwa anatra keadilan, keseimbangan, dan berposisi moderat merupakan konsep yang berkaitan dengan kesetaraan. Dari pengintegrasian antar konsep ini juga terihat posisi ketiganya dalam membangun konsep kesetaraan. Dari sini juga muncul konsep lain yang menjadi antonim konsep kesetaraan sepertiظلم (aniyaya) dan ميل (kecenderungan) yang memperjelas makna kesetaraan, keadilan, dan sikap moderat.
Dari sini, Islam merupakan agama yang mengajarkan pembebasan yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dengan sejak awal berusaha menegakkan kesetaraan dengan melakukan pembebasan pada masa pewahyuanya. Hal ini bisa dilihat dari ayat-ayat pembebasan (a>ya>t at-tah}ri>r) : tiga kali seruan dalam 4:92 (وتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ, فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ, فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ), 5:89 (أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ), 58:3 (فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ), dan 90:13 (فَكُّ رَقَبَةٍ). Ayat-ayat tersebut menjelaskan komitmen Islam dalam membongkar diskriminasi dan penindasan saat itu yang tercermin dalam perbudakan.


1 Lihat Hedi Shri Ahimsa Putra, Minawang: Patron-Klain di Sulawesi Selatan (Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press, 1988), hlm. 5-6.

2 كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا

3 فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

4 كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا

5 Quraish Shihab, wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996) hlm. 113.


6 كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

7 وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

8 Nur Cholis Setiawan, Pribumisasi al-Quran (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012), hlm.223.

9 ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

10 Lihat: Ibn Mandzur, Lisan al-Arab (Mesir: Dar al-Mishriyyah, 711 H), Hlm. 305.

11 Raghib al-Ashfahani, Mu’jam al-Mufradat li Alfadh al-Quran (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 204), Hlm. 594.

Double Movement FAZLUR RAHMAN


Oleh: Muhammad Barir*


  1. BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN1

Fazlur Rahman lahir di Hazarah di Barat laut negara Pakistan. Fazlur Rahman lahir pada hari minggu, 21 September 1919, tahun ini menarik karena bertepatan dengan tahun-tahun kebangktan kesetaraan dengan lahirnya ILO (Internationa Labour Organization). Tempat lahir Fazlur Rahman saat itu merupakan tempat yang cukup strategis bagi perkembangan Pemikiran Islam, karena pada masa-masa itu bermunculan tokoh-tokoh sentral seperti Syah Waliyullah sampai Muhammad Iqbal. Mengenai pakistan sendiri menjadi negara yang berdaulat pada 14 Agustus 1947.
Keluarga Fazlur Rahman sangat berperan penting terhadap perkembanganya. Ayahnya yang bernama Maulana Syahab merupakan seorang ulama tradisionalis, namun berbeda dengan ulama lainya yang saat itu berfikiran konservatif, Maulana Syahab menunjukan sikap terbukanya dengan mau menerima pendidikan modern yang dianggap oleh ulama sezamanya sebagai hal yang dapat meracuni moral dan keimanan.
Pendidikan Fazlur Rahman melalui berbagai jenjang yang ia lalui baik di tanah lahirnya maupun di pelosok negeri lain. Pada mulanya, Fazlur Rahman belajar langsung dari ayahnya dalam ilmu agama seperti menghafal al-Qur’an Fikih dan lain sebagainya hingga pada usia 14 tahun ia menjalani pendidikan lanjutan di Lahore pada tahun 1933. Setelah itu ia mulai merasakan pendidikan tinggi di Punjab Unversity, di perguruan tinggi ini ia mengambil sastra Arab dan berhasil meraih gelar BA pada tahun 1940. Tidak puas dengan gelar tersebut, ia juga berhasil meraih gelar Master di Universitas yang sama. Tidak berhenti sampai di sini pada akhirnya ia memutuskan sesuatu yang tidak pernah difikirkan oleh kebanyakan orang saat itu—yakni karena menganggap Barat adalah kafir—yakni ia memilih Inggris sebagai negara berikutnya yang menjadi tujuan ia menuntut ilmu. Ia berhasil masuk Oxford University pada tahun 1946 dan menyandang gelar P.hD dalam bidang sastra pada tahun 1950. Waktu studi ia gunakan untuk mendalami bahasa asing seperti Perancis, Latin, Yunani, Jerman dan sebagainya.
Masa-masa berikutnya adalah masa-masa membangun pengalamannya sebagai pengajar, ia membuktikan jerih payahnya dengan berkesempatan menjadi Dosen bahasa Persia dan filsafat di Durhem Unifersity pada tahun 1950-1958. Kemudian ia beralih ke McGill University sebagai Associate Professor dalam Islamic Studies. Hal ini ia dapatkan berkat keuletanya dalam melakukan kajian islam progressif dengan berani mengambil sikap bertolak dengan kebanyakan muslim saat itu yang lebih konservatif.
Situasi negerinya yang dulu terkesan konservatif pada akhirnya berubah ke arah modern setelah tapuk pemerintahan jatuh ke tangan Ayyub Khan, oleh karena hal tersebut, ia merasa terpanggil untuk turut membenahi negerinya. Di Negaranya ia langsung ditunjuk sebagai direktur lembaga riset Islam selama satu periode mulai dari tahun 1961-1968. Kedudukan tersebut ia gunakan untuk merintis terbitnya Journal of Islamic Studies yang menjadi wadah gagasan islam.
Masa-masa Rahman tidak sepenuhnya dilalui dengan tenang. Pada akhirnya ia dihadapkan dengan permasalahan, yang bermula dari diterjemahkan karyanya bertajuk “Islam” kedalam bahasa Urdu dan diterbitkan di majalah Fikr-u-Nazr yang di dalamnya Rahman berargumen bahwa “al-Qur’an dalam satu sisi merupakan wahyu tuhan namun dalam sisi lain juga melalui lisan Nabi”. Hal tersebut sontak membuat kemelut di Negerinya dan ia pun memutuskan untuk pergi ke Inggris.
Pada tahun 1970 ia berangkat ke Chicago sebagai kelanjutan dari kisahnya. Di sana ia masuk di Universitas of Chicago dan langsung dinobatkan sebagai guru besar di Universitas tersebut dalam bidang Pemikiran Islam. Di sini ia menggoreskan sejarah dengan menjadi muslim pertama yang berhasil meraih medali Giorgio Levi Della Veda yang melambangkan puncak prestasi dibidang peradaban Islam dari Gustave e Von Grunebaum Center for Near Eastern Studies UCLA. 18 tahun semenjak kepergianya ke Chicago ia gunakan hidupnya sebagai pemikir. Di Chicago ia habiskan masa hidupnya dengan mengembangkan pemikiran Islam Reformatif dan ia pun berkesudahan hayat pada 26 Juli 1988.

  1. LEGAL SPESIFIK DAN IDEAL MORAL
Dalam al-Qur’an hal yang paling dicari oleh interpretator saat ini adalah makna hakiki yang dibutuhkan dalam penyelesaian problem saat ini. Mereka meyakini bahwa semboyan al-Qur’an sebagai kitab yang tidak lekang dimakan zaman adalah benar rahmah li al- a>lami>n, yang sha>lih li kulli zama>n wa maka>n. Namun yang menjadi problematika adalah ternyata hukum tekstual dalam al-Quran saat ini sudah mulai luntur dengan banyaknya aturan hukum yang bahkan sama sekali berbeda dengan keharusan hukum yang telah ditentukan oleh Nas}.
Dari sini pemikir kontemporer mencoba memahami bahwa memang hukum legal spesifik sebagaimana hukum yang ada pada teks telah jarang dipakai, karena perkembangan zaman yang tidak bisa menolak kehidupan heterogenous yang mengumpulkan manusia dari berbagai faham dan keyakinan, namun sekalipun hukum legal spesifik akan sulit diterima, mereka beranggapan bahwa nilai substansial yakni deal moral al-Qur’an masih dapat diterapkan pada saat ini.
Setiap hukum memiliki alasan yang mengakibatkan hukum itu diciptakan. Menurut asyatibi dinamakan dengan ma>qas}id al-Syari>’ah.2 Hal ini yang juga dinamakan dan dibangun ulang oleh Fazlur Rahman dengan istilah Ideal moral. Ideal moral yang menjadi makna-cum-magz}a ini merupakan substansi lahirnya suatu hukum legal formal. Dari adanya hal ini menunjukan bahwa sanggahan bahwa al-Qur’an tidak relevan dengan konteks kekinian adalah keliru. Al-Qur’an tetaplah sesuai dengan nilai kmanusiaan, tanpa terbatas tempat dan masa.

  1. SUBJEKTIFITAS DAN OBJEKTIFITAS: G. GADAMER DAN E. BETTI
Salah sau hal penting dalam melakukan interpretasi adalah mampu mengungkap sebagaimana kenyataan. Dari pernyataan ini kemudian muncul dua pandangan, menurut E. Betti bahwa dalam melakukan interpretasi terhadap sesuatu pemikiran harus didasari dengan objektif tanpa mencampuri dengan kepentingan interpreter, hal ini ia ungkapkan dengan:” the forms hat we try to understand and interpret now are to be led back to the creative mind”,3bentuk-bentuk yang coba kita fahami dan tafsirkan harus dibawa kembali pada pikiran yang menciptakanya.
Di luar pendapat E. Betti ini, H. G. Gadamer berpandangan berbeda dengan menyatakan bahwa tidak mungkin seseorang bisa berpikiran objektif mengingat seorang interpreter pasti telah memiliki pra pemahaman yang meliputi gagasan-gagasan.4 Tanpa adanya pra pemahaman ini, seorang interpreter tidak akan mampu memahami suatu pemikiran, dan ketika proses memahami inilah akan melebur pemahaman interpreter dengan pemahaman pencipta pemikiran.


  1. DOUBLE MOVEMENT
Fazlur Rahaman menyatakan bahwa untuk memahami dan menafsiri al-Quran, dibutuhkan kajian terhadap sisi historis dengan menyajikan problem kekinian ke konteks turunya al-Qur’an. Hal tersebut sebagaimana pernyataanya: The process of interpretation proposed here consists of a double movement, from the present situation to Qur’anic times, then back to the present. proses memahami al-Qur’an yang dimaksud di sini terdiri dari gerakan ganda, dari situsi saat ini menuju pada masa al-Qur’an, kemudian kembali pada masa saat ini”.5
Pada tahap awal, diperlukan kejelian dalam mengungkap peristiwa masa rasulullah kemudian mencari bagaimana peristiwa itu “direspon” oleh al-Quran. Pada tahap kedua setelah respon al-Quran ditemukan, kemudian respon tersebut dicari nilai ideal moralnya dan ditarik kembali pada konteks kekinian untuk ditubuhkan pada masa kini (embodied). Lahirnya metode ini, dapat terlihat jelas dipengaruhi pandangan Fazlur Rahman tentang penyatuan tradisi (Turos|) dengan pembaharuan (Tajdi>d). Hal ini juga menunjukan pengaruh Objektifisme E. Betti.
Pada tahap awal, interpretasi al-Qur’an diiringi dengan memahami konteks mikro dan makro. Konteks mikro adalah sebab turun yang memiliki ketersinggungan dengan turunya suatu ayat, sedangkan konteks mikro adalah kondisi sosial budaya di sekitar Arab meliputi situasi budaya, pola interaksi, geografis, politik, dan konteks lainya yang mengitari turunya al-Qur’an.
Dari sini, metode Fazlur Rahman ini nampak terpengaruh oleh Syah Waliyullah ad-Dahlawi dalam karyanya Fawz al-Kabi>r fi> Us}ul at-Tafsir. Dalam karya ini, Syah Waliyulah menyebutkan bahwa dalam penafsiran al-Qur’an terdapat sebab turun khusus dan sebab turun umum.6 Amin Abdullah, juga tidak kalah dengan membuat istilah asba>b an-nuzu>l jadid dengan asba>b an-nuzu>l qadi>m.7 Term-term tersebut pada dasarnya sama dalam menyebutkan urgensi suatu konteks sosial budaya yang dulu banyak dilupakan.
Pada gerak kedua, yakni tahap menarik nilai ideal moral pada masa kekinian, nilai Ideal moral dirumuskan kemudian dicari nilai relevansinya di masa sekarang apakah dapat memberikan konstribusi terhadap masalah?. Setelah melakukan relevansi, tahap berikutnya yang dilakukan dalam melakukan kontekstualisasi saat ini adalah mencari kemungkinan bahwa nilai ideal moral dapat dibumikan pada masyarakat. Dalam kontekstualisasi tahapan yang sulit adalah penyesuaian budaya, dimana nilai idel terkadang sulit diterima karena berbenturan dengan budaya tertentu, seringkali sikap terburu-buru mengantarkan seorang pemikir seperti Syahrur harus ditolak oleh komunitas tertentu karena hasil pemikiranya dianggap tidak relevan oleh konteks tertentu. Hal tersebut juga dialami Nasr Hamed bahkan ia sampai harus menyelamatkan diri ke Belanda agar lolos dari hukuman mati dengan kompensasi mengabdi di Universitas Leiden.8
Nilai ideal dalam al-Qur’an tentang suatu hal tidak bisa tidak harus berhadapan dengan budaya tertentu. Walaupun tujuan awal nilai ideal adalah nilai universal al-Qur’an tentang kemanusiaan dan kedamaian, namun terkadang nilai ini pula yang sering dianggap bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Diluar pernyataan E. Betti bahwa dalam mengungkap gagasan tertentu, seseorang harus bisa membawa kembali pada pikiran yang menciptakanya, namun kita tidaklah benar-benar tahu bagaimana pikiran yang menciptakanya karena kita tidak bisa menjadi Dia. Dari hal ini menunjukan bahwa kebnaran yang dipikirkan manusia bersifat relativ, kebenaran yang absolut hanyalah milik tuhan.





1 Lihat: Mawardi, “Hermeneutika Fazlur Rahman: Teori Double Movement”, dalam: Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Quran dan Hadis (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), Hlm. 60.

2 lihat Abu Ishaq As-Syatibi, Al-Muwa>faqa>t (Kairo: Dar el-Hadeth, 2006), hlm. 261.

3 Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1982). Hlm. 8.

4 Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1982). Hlm. 8.

5 Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1982). Hlm. 5.

6 Mawardi, “Hermeneutika Fazlur Rahman: Teori Double Movement”, dalam: Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Quran dan Hadis (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), Hlm. 75.

7 Amin Abdullah, asba>b an-nuzu>l jadid dengan asba>b an-nuzu>l qadi>m dalam: seminar nasional, “in search for Contemporary Methods of Qur’anic Interpretation” Yogyakarta: 25 Februari 2012.

8 Lihat Tholhatul Khoir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 129.

Sekilas tentang MAYORITAS, MINORITAS, ETNIS, DAN KEYAKINAN

Oleh: Muhammad Barir*

Kesetaraan Perlindungan adalah hak seseorang atau kelompok untuk mendapatkan keamanan dan ketenteraman dalam kehidupanya serta penjagaan dari tindakan yang tidak manusiawi. Tiap manusia harus saling menghargai kedamaian. Semua berhak mendapat ketenteraman baik kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas. Adanya permasalahan bukan berarti dijadikan ajang bagi pihak mayoritas untuk sewenang-wenang menghakimi pihak yang minoritas. Islam sendiri menyatakan sebagai agama pembawa rahmat seluruh alam. Hal ini dilakukan Islam dengan mengusung metode dakwah yang halus sebagaimana QS. An-Nah}l (16): 125:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Ayat ini mengajarkan kepada manusia ketika berdakwah maupun ketika memiliki perbedaan untuk menyelesaikan semuanya dengan jalan persahabatan dan persaudaraan. Inilah yang juga mendasari pernyataan Abdurahman Wahid bahwa “berbeda itu tidak musti bertentangan”, lebih lanjut ia mengungkapkan:
Asal pandangan yang menganggap Islam sebagai cara hidup memiliki keungulan atas cara-cara hidup lain, sebenarnya tidak salah. Setiap orang tentu menganggap sistemnya sendiri yang benar. Karena itu perbedaan cara hidup adalah sesuatu yang wajar. Ini termasuk dalam apa yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân : “Dan telah Ku buat kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar kalian saling mengenal (QS al-Hujurat(49):13). Perbedaan pandangan atau pendapat adalah sesuatu yang wajar bahkan akan memperkaya kehidupan kolektif kita, sehingga tidak perlu ditakuti.1

Pemahaman dan kesadaran bahwa tiap manusia setara dalam perbedaan menjadi kebutuhan manusia saat ini yang hidup dalam berbagai permasalahan di dunia modern. Pergolakan dan tidak adanya perlindungan hanya akan membuat masyarakat berada pada kegamangan dan keterpurukan. Semua ini pada akhirnya hanya akan membuat kaum tertindas mencari jalan untuk dapat melampiaskan semua keresahanya dalam ekspresi-ekspresi ekstrim seperti terorisme, separatism, dan pemberontakan yang seringkali terjadi. Munculnya akspresi ekstrim tersebut menjadi buah dari rasa ketidakamanan sebagai kelompok yang tersisihkan. Machasin dalam bukunya Islam Dinamis, Islam Harmonis menyatakan bahwa agama memang berdaya, tetapi dayanya ada di atas luapan emosi. Emosi keagamaan menumpang pada luapan amarah yang disebabkan oleh keirian, kemiskinan, ketimpangan ruang kehidupan, dan kekecewaan-kekecewaan.2
Asumsi superioritas dan fanatisme egois suatu kaum mayoritas terhadap kaum minoritas seringkali menjadi buah diskriminasi. Kaum mayoritas sering kali memilih mendahulukan kekerasan sebagai jalan dalam merespon perbedaan yang muncul, sedangkan jalan lain seperti diskusi halus dan ajakan damai sering hanya menjadi sesuatu yang tidak diperhitungkan dan bahkan tidak pernah dipikirkan. Dalam beberapa kasus di Indonesia, kekerasan dengan alasan perbedaan telah merenggut banyak kerugian, baik berupa fisik, moral, maupun nyawa.
Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta pada akhir tahun 2012 bertajuk “Agama, Kekerasan, dan Politik Penodaan” menyatakan bahwa Harmoni kemajemukan keyakinan di Indonesia akhir-akhir ini sering mengalami ujian dengan munculnya sikap-sikap intoleran dari kelompok masyarakat yang merasa mayoritas. Sikap intoleran ini seringkali ditunjukkan dengan tindak kekerasan yang merenggut korban jiwa. Pemerintah yang seharusnya berkewajiban memberikan perlindungan kepada mereka malah cenderung apriori dan tidak adil dalam melihat suatu konflik yang terjadi. Pemerintah sendiri tidak dapat berbuat banyak ketika nilai-nilai kemanusiaan dilanggar dengan tumpahnya darah.
Kekerasan antar kelompok di Indonesia harus diredupkan karena saat ini sudah mulai bermunculan di permukaan. Zainal Abidin menyampaikan bahwa kekerasan yang dialami komunitas Syiah di Sampang, Madura, telah terjadi sejak tahun 1980. Rentetan kekerasan ini terus berlangsung sampai pada akhirnya memuncak dengan tragedi kekerasan dan penyerangan pada Agustus 2012 lalu yang memakan korban jiwa dan harta benda. Kekerasan ini, sedikit atau banyak, termotivasi oleh pernyataan dari tokoh-tokoh agama dengan bahasa agama. Selain didorong oleh motivasi persaingan internal keluarga yang berbeda faham antara Rois (Sunni) dan Tajul Muluk (Syiah), pemicu lainnya adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surabaya yang menyebutkan bahwa ajaran Syi’ah sebagai sesat.
Zainal Abidin menambahkan, secara umum, peristiwa kekerasan selama ini di berbagai daerah di Indonesia adalah juga disebabkan oleh UU No. 1/PNPS/1965 yang sering dipahami dan ditafsirkan dengan tanpa memperhatikan secara serius asas kebebasan berkeyakinan dan beragama, sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Kata sakti ”penodaan agama” dalam undang-undang tersebut, yang juga dirujuk dalam KUHP pasal 156 a, telah menjadi alat legitimasi untuk mengadili dan memenjarakan orang-orang yang memiliki keyakinan dan penafsiran yang berbeda dengan kelompok mainstream. Akibatnya, menurut Zainal Abidin, batasan atau pengertian antara perbedaan dengan penodaan menjadi kabur. Orang yang memiliki perbedaan penafsiran agama dengan kelompok dominan akan dituduh melakukan penodaan agama.3
Tindakan kekerasan yang mengatasnamakan kelompok mayoritas atas nama agama seringkali malah akan menciderai citra agama itu sendiri. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa “agama Islam selama ini telah menjadi korban dari sekian banyak anggapan”. Hal ini dikarenakan tindak kekerasan yang dilakukan kelompok tertentu sering kali mengatasnamakan agama. Padahal tidak semua pemeluk agama islam seperti itu, bahkan malah Muslim toleran lebih banyak.
Kelompok garis keras menurut jajang Jahroni bahkan tidak lebih dari 5% dari orang Islam di Indonesia,4 namun adanya tindakan kelompok ini secara tidak langsung telah mengeneralisasi aggapan publik bahwa Islam mengajarkan kekerasan. Hal ini tentu sangat menodai citra Islam sebagai agama pembawa rahmat seluruh alam. Islam tidak pernah mengajarkan tindak kekerasan. Bahkan Islam sendiri ketika di Madinah menjadi agama yang memberi perlindungan kepada masyarakat Yahudi dan bisa hidup berdampingan dengan mereka.
Di Indonesia tragedi lainya juga menggambarkan akan lemahnya perlindungan pemerintah terutama terhadap kaum minoritas. Ketika terjadi kerusuhan 1998, terjadi pengrusahaan milik warga tionghoa. Para gadis keturunan Tionghoa diperkosa dan tokok-toko mereka dirusak. Bagi warga tionghoa, mereka memiliki dua opsi, pertama adalah meninggalkan negara dan kedua adalah mereka bersikap seolah pro-reformasi. Mereka yang masih bertahan di Indonesia mencoreti tokok mereka dengan tulisan pro-reformasi. Saat itu warga Tionghoa menganggap apa yang terjadi ini merupakan kejahatan genosida.5
Tragedi lainya adalah tragedy Sambas pada tahun 1999 yang melibatkan tiga etnis, yakni Melayu dan Dayak melawan Madura. Dalam tragedi ini, bermula dari seorang warga etnis Madura yang dianiyaya karena dianggap mencuri, kemudian beberapa hari berikutnya, 200 orang dari etnis Madura melakukan aksi balas dendam dengan menyerang etnis Melayu di suatu desa. Beberapa hari kemudian etnis Melayu dengan dibantu Etnis Dayak membantai etnis Madura hingga menewaskan 489 orang, 168 luka-luka, ribuan rumah dibakar, hingga beberapa Masjid juga ikut dirusak. Beberapa orang dari etnis Madura yang lolos dari pembantaian ini lari kehutan. Dari kasus ini, pada tahun 2001 terjadi kasus lain, yakni tragedy Sampit. Pada tragedy Sampit, 100 kepala orang Madura dipenggal. Dari sini, banyak persepsi bahwa ritual klasik Dayak pembantaian kepala yang disebut ngayau telah dibangkitkan kembali.6
Jika dicermati, tragedi di atas merupakan pengulangan kisah yang menjadi sebab turun QS. Al-Hujurat (49):9. Dalam sebab turunya, terjadi pertikaian individu antar pemuda dari dua golongan yang berbeda. Dari pertikaian individu ini, kemudian karena merasa tidak puas, mereka yang bertengkar mengerahkan dukungan kelompoknya yang lain hingga timbullah pertikaian kolektiv. Hal ini menjadi perhatin bahwa jangan sampai kepentingan individu terbawa dan sampai menciderai kepentingan kolektif.


1 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 374.

2 Machasin, Islam Dinamis, Islam Harmonis (Yogyakarta: LKIS, 2012), Hlm. vii.


3 Zainal Abidin Bagir dkk, “Politik Penodaan dalam Kasus Syi‘ah Sampang”, diselenggarakan oleh CRCS Universitas Gadjhah Mada bersama Universitas Islam negeri Yogyakarta, dalam diskusi publik, di University Club UGM Rabu, 31 Oktober 2012.

4 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 360. Lihat pula Acep Rustandi (ed.), “Masa Depan Muslim Indonesia”, dalam CD. Wajah-Wajah Muslim Indonesia, Media Alliansi , 2004.

5 Hesti Armiwulan Sochmawardiyah, Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), Hlm. 284.

6 Hesti Armiwulan Sochmawardiyah, Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), Hlm. 286.

MEMBANGUN INDONESIA YANG EGALITER

Oleh: Muhammad Barir*

Indonesia dengan kompleks dan beragamnya perbedaan yang ada di dalamnya membutuhkan sebuah tatanan baru. Banyaknya permasalahan tidak hanya membutuhkan penyelesaian jangka pendek, namun juga dibutuhkan prinsip yang dapat menjaga stabilitas jangka panjang yang lebih penting. Kedamaian (as-silm),—sebuah istilah yang dibangun Gus Dur—tidak dapat diraih oleh seseorang dengan cara membangun dirinya sendiri, namun kedamaian yang sejati hanya akan bisa dirasakan dengan membangun kebahagiaan kolektif.
Nilai-nilai kesetaraan meliputi nilai keadilan dan jiwa moderat sebenarnya merupakan hal yang diperlukan dalam membangun masyarakat yang multikultural yang bisa hidup harmonis di tengah kenyataan perbedaan. Indonesia sebenarnya merupakan bangsa yang multikultural yang ramah akan adanya perbedaan, namun seringkali hal ini terciderai oleh kepentingan individu yang coba merusak kepentingan kolektif.
Jika mengikuti pola Islam dan Teologi Pembebasan yang dibangun Asghar, bangsa Indonesia mesti dibebaskan dari belenggu diskriminasi. Pada awalnya, perbedaan yang ada dalam sebuah tatanan masyarakat mengimplikasikan pembentukan dua pola masyarakat, pertama adalah pola masyarakat diskriminatif dan kedua adalah pola masyarakat yang majmuk dan dapat bersatu (unity of mankind). Karena munculnya pola masyaratak diskriminatif akan mengakibatkan penindasan, maka hal terpenting adalah menarik masyarakat diskriminatif ke arah masyarakat yang egaliter. Dari sini, perbedaan yang ada di Indonesia yang darinya lahir berbagai tragedi kemanusiaan yang diakibatkan diskriminasi baik yang berhubungan dengan agama, ras, dan lain sebagainya perlu disikapi dengan menarik masyarakat dari pola masyarakat diskriminatif menjadi masyarakat yang moderat dan mau menghargai perbedaan. Kemudian Indonesia yang egaliter juga memerlukan kesadaran tiap individu bahwa dirinya adalah kesatuan dengan manusia lainya, menjunung tinggi kepentingan kolektif dengan tidak membawa kepentingan individu untuk merusak kepentingan bersama.
Dari kesemua pembahasan di atas, sebagaimana kata Asghar, bahwa cahaya Islam haruslah disibakkan1. Bagaimanapun Islam bisa bertahan sampai saat ini adalah karena Islam bisa menghargai berbagai macam keseragaman kehidupan. Dan karena sikap inilah Islam mendapat gelar خيرأمةsebaik-baik umat” (QS. Ali Imran [3]: 110) dan Islam juga mendapat gelar أمة وسط “umat yang moderat”.2 Gelar yang sudah melekat inilah yang perlu disibakkan dan ditanamkan pada jati diri setiap manusia.
Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa “orang-orang yang penyayang akan disayang oleh dzat yang penyayang. Sayangilah yang ada di bumi, maka yang di langit akan sayang kepada kalian.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Baihaqi). Syaikh Nawawi al-Bantani mengomentari hadis di atas dengan menyatakan bahwa seseorang yang menyebarkan kasih sayang di dunia baik kepada manusia, hewan, tumbuhan, dan ciptaan lainya akan disayang oleh Allah yang maha rahman.3
1 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.59

2 Nur Cholis Setiawan, Pribumisasi al-Quran (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012), hlm.223.

3 Abdulwahid Hasan, sebuah pengantar dalam Machasin, dalam: Machasin, Islam Dinamis, Islam Harmonis (Yogyakarta: LKIS, 2012), Hlm. vii.

HISTORISITAS MANUSIA, BERBEDA NAMUN SETARA

Oleh: Muhammad Barir*

Kesetaraan merupakan kesejajaran harkat dan martabat, serta meratanya keadilan dan kesejahteraan manusia, tanpa melihat perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, maupun perbedaan warna kulit. Kesetaraan merupakan konsep yang menolak diskriminasi dengan mengusung kesejajaran, keadilan, dan posisi yang moderat. Kesetaraan tidaklah menolak fitrah bahwa manusia diciptakan dengan berbagai perbedaanya. 
  1. Berbeda namun Setara
Kesetaraan tidaklah serta-merta bertujuan melakukan tuntutan bahwa manusia harus disamakan. Hal tersebut dikarenakan bahwa terkadang perbedaan yang dialami manusia merupakan bentukan keniscayaan fitrah yang sejatinya berasal dari tuhan. Adanya perbedaan jika dicermati juga tidaklah merupakan hal yang negatif. Sikap yang terpenting dalam menghadapi perbedaan adalah rasa saling menghargai atas perbedaan tersebut. Kesetaraan berbeda dengan kesamaan. Jika kesamaan menuntut terhadap terciptanya kesamaan manusia, maka kesetaraan lebih menuntut adanya kedamaian dan kesejahteraan yang merata, sehingga, walaupun manusia berbeda, namun manusia adalah setara.
Secara historis manusia merupakan mahluk yang setara. Semua umat manusia pada dasarnya relatif memiliki hak-hak yang setara seperti hak mendapat perlindungan, hak mengenyam pendidikan, hak mendapat jaminan kesehatan, dan hak mendapat keadilan hukum. Manusia bisa dikatakan memiliki derajat yang berbeda hanyalah dalam dimensi normatif dalam wilayah hubungan antara Tuhan dengan manusia (vertical relation) itu pun yang berhak menilai derajat manusia hanyalah Tuhan (QS. Al-Hujura>t 49:13). Sedangkan dalam hubungan antar sesama (horizontal relation), manusia merupakan mahluk yang setara.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa diskriminasi yang dilakukan sebagian manusia terhadap sebagian manusia yang lain merupakan hal yang menyalahi nilai-nilai kemanusiaan. Larangan manusia untuk berbuat tindak diskriminatif ini digambarkan dengan jelas dalam QS. An-Nisa> (4): 135 tentang larangan membela seseorang karena ikatan keluarga; kemudian dalam QS. Al- al-Ma>’idah (5):8 tentang larangan berlaku diskriminasi terhadap seseorang karena kebencian; dan dalam QS. Al-Hujura>t (49):9 tentang anjuran berada pada posisi tengah dalam menyelesaikan perselisihan antar golongan. Tidak dapat dipungkiri bahwa selain ketiga ayat tersebut, masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan perihal pandangan Islam tentang diskriminasi.
Tindak diskriminatif tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun, terlebih menjadikan perbedaan sebagai alasan tindakan tersebut. Perbedaan bukan untuk diskriminasi dan bukan untuk saling bertikai, namun perbedaan antar manusia adalah alasan untuk saling mengenal satu dengan yang lain dan untuk mengenal kekuasaan tuhan yang mampu menciptakan beragam perbedaan tersebut (QS. Al-Hujura>t [49]:13). Perbedaan antar manusia adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dari perbedaan itu manusia memiliki kekurangan dan kelebihan untuk saling mengisi. Tiap orang punya bakat dan keahlianya masing-masing, bagi seorang ahli bangunan yang sakit akan membutuhkan dokter untuk mengobati penyakit yang dideritanya dan bagi seorang dokter yang sedang menginginkan tempat tinggal akan membutuhkan ahli bangunan untuk membangun rumah baginya. Hal ini menunjukan bahwa manusia itu berbeda namun setara. Sebagaimana mahluk hidup lainya, Manusia tercipta dengan perbedaan adalah untuk saling melengkapi dalam hubungan simbiosis mutualisme seperti lebah yang memerlukan sari bunga dan bunga membutuhkan lebah untuk penyebaran serbuk sari, keduanya saling melengkapi.
Suatu kelompok tidak bisa mengkonstruksikan dirinya sebagai kelompok yang superior dan mengklaim kelompok lain sebagai kelompok yang inferior. Selain itu, bagi kelompok yang diklaim inferior oleh kelompok lain tidak dibenarkan untuk meruntuhkan superioritas suatu kelompok dengan alasan membangun superioritas yang baru bagi dirinya. Kesia-siaan akan terjadi dalam niat melenyapkan diskriminasi dengan melakukan diskriminasi, sama halnya dengan niat menyelesaikan suatu masalah, namun dengan menciptakan permasalahan baru.
Hal tepat yang seharusnya difahami oleh manusia adalah kesadaran akan kesatuan manusia dalam kesejajaran. Manusia dengan perbedaan apapun itu akan meraih ketenteraman kolektif jika bisa berdiri sejajar dalam garis horizontal. Dari ketenteraman kolektif inilah manusia akan bisa merasakan ketenteraman individu menjadi manusia yang memasuki dunia silm al-kaffa>h Islam yang sempurna”. sebuah istilah yang dibangun oleh Gus Dur ketika menafsiri surat al-Baqarah ayat 208 sebagai “kedamaian yang sempurna”1 penafsiran Gus Dur ini berbeda dengan penafsiran lainya, silm al-kaffa>h tidak lagi ditafsiri dengan masuk pada agama Islam sepenuhnya, namun lebih pada harapan agar manusia itu selalu damai.2
Kedamaian tiap manusia merupakan hal yang harus diciptakan dan dijaga. Penjagaan terhadap kedamaian menjadi tugas bagi setiap pemimpin dan pemangku Kewenangan (stake holder)—dalam konteks kenegaraan, hal ini termasuk lembaga aparatur negara dan lembaga yudikatif yang berwenang dalam memangku hukum kenegaraan seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Agama dan lembaga-lainya—yang berkewajiban terhadap penanganan sebuah kasus hukum. Pengambilan kebijakan yang salah terhadap suatu permasalahan memang buruk, namun kediaman pemimpin dan pemangku kewenangan jauh lebih buruk. Tentang bagaimana manusia harus tidak tinggal diam terhadap adanya perselisihan dijelaskan dalam Q.S. Al-Hujura>t (49): 9-10:
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” 3


Ayat di atas memiliki nilai dasar tentang keharusan tidak menutup mata terhadap perselisihan antra sesama umat yang beriman, namun selain nilai dasar tersebut, ayat di atas juga memiliki nilai universal terhadap keharusan untuk tidak menutup mata terhadap permasalahan sosial yang melibatkan pihak dari golongan apapun tanpa harus membedakan.
Bersikap setara dan anti diskriminasi menjadi perlu untuk tertanam dalam jiwa setiap manusia. hal ini bisa dimulai dengan melenyapkan rasa fanatisme dan mulai memasukan rasa kedamaian dan persaudaraan antar manusia terhadap suku, bangsa, ras, dan perbedaan jalan hidup lainya. Bhineka tunggal ika “walau berbeda namun tetap satu jua menjadi konsep yang perlu direnungkan kembali karena selama ini, konsep ini sering dilupakan dan tidak difahami bahkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Konsep ini bukanlah konsep yang lahir secara tiba-tiba, namun konsep ini merupakan hasil pemikiran yang panjang dan dalam oleh para pendahulu. Walaupun istilah ini lahir dari faham keagamaan Hindu, namun istilah ini telah bertransformasi menjadi konsep baru yang sama sekali berbeda dengan tujuan awal ia diciptakan. Konsep ini memiliki nilai universal tentang manusia dan kehidupanya sebagai mahluk majmuk.


1 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. Xv.

2 Jika dicermati lebih dalam, pernyataan K.H. Abdurrahman Wahid ini sesuai dengan penafsiran Fazlur Rahman, bahwa kata s-l-m memiliki arti, Aman, utuh, dan integral. Menurutnya kata s-l-m dengan bentuk mashdar silm memiliki arti “damai” (QS. al-Baqarah [2]:208), bentuk salam memiliki makna “utuh” (QS. Az-Zuma>r [39]:29), dan mashdar mengikuti bentuk madhi aslamaisla>m yang biasanya diikuti dengan lilla>h memiliki makna menyerahkan dalam arti “berserah-pada Allah”lihat Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012), hlm. 236.


3 Al-Qur’an dan Terjemahnya Bandung:Diponegoro, 2005. Hlm. 516.