Wednesday, November 22, 2017

Kilas Pesantren Wilayah Parahyangan

Muhammad Barir*
Pesantren sebagai tempat pendidikan hasil asimilasi Islam dengan budaya lokal tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Tentunya masing-masing daerah memiliki karakter tersendiri yang khas dan otentis. Beberapa pakar sejarah misalkan Karl Steenbrink menghubungkan sistem pendidikan pesantren yang ada di Jawa dengan tradisi pendidikan yang dipakai Hindu Budha. Hal tersebut sebagaimana bukti keberadaan model pendidikan Hindu yang ditemukan di India serta model pendidikan Budha yang ditemukan di Myanmar dan Thailand. Pesantren era awal lebih memilih tempat yang jauh dari pemukiman dan mengharuskan para murid dan guru untuk hidup sederhana (asketik) menunjukkan karakter yang padu dengan corak khas pendidikan yang terbangun di dalam tradisi Hindu Budha. Tradisi Hindu Budha yang sering disangkutpautkan dengan pesantren adalah Vihara sebagai tempat pendidikan dan peribadatan.
Bagaimanapun asal mulanya, pesantren tetap memiliki corak yang variatif. Penyebaran pesantren ke berbagai wilayah berkorelasi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap transformasi tradisi pesantren. Dari sini, pesantren mengalami proses yang diistilahkan Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dengan eksternalisasi. Sebuah proses pemasukan kreatifitas ke dalam tradisi untuk kemudian diekspresikan dalam bentuk perilaku sosial
Negeri Parahyangan menyimpan banyak kebudayaan pendidikan bercorak pesantren ini. Tercatat dari tahun 1715 terdapat beberapa pesantren yang telah berdiri dan menjadi medan dakwah tersendiri. beberapa daftar pesantren tersebut adalah:
No
Nama Pesantren
Tahun
Lokasi
01
Pesantren Ciwaringin
1715
Cirebon
02
Pesantren Garut
1749
Garut
03
Pesantren Buntet
1785
Cirebon
04
Pesantren Cibeunteur
1809
Banjar
05
Pesantren Gentur
1810
Cianjur
06
Pesantren Mahmud
1820-an
Bandung
07
Pesantren Asyropudin
1847
Sumedang
08
Pesantren Suka Miskin
1881
Bandung
09
Pesantren Keresek
1887
Garut
10
Pesantren Darul Falah Jambudipa
1894
Cianjur
11
Pesantren Kandang Sapi
1897
Cianjur

Berdasarkan resume penelitian Dr. Ading Kusdiana dengan tema Sejarah Pesantren: Jejak Penyebaran dan Jaringannya di Wilayah Priangan 


       Untuk itulah, penelitian dan pengumpulan data penyebaran dan perkembangan pesantren Priangan masih terbuka lebar. Upaya kajian tersebut juga cukup memungkinkan.

Sunday, November 19, 2017

Seni Menafsir Indonesia ala Dzunnun Al-Mishry


Oleh : Muhammad Barir_


Tidak banyak yang mengartikan seni lebih luas dari sekedar keindahan estetik. Beberapa bahkan ada yang menganggap seni tidak penting, tidak berguna, atau bahkan seni adalah sejarah kelam Islam. Dzunnun Al-Mishry (w. 856 M) adalah sedikit di antara tokoh Muslim yang menganggap bahwa seni adalah bagian dari khazanah peradaban dan nilai yang secara tak terduga telah dimiliki Islam secara natural seiring perjalanan realitas sejarah.
Seni merupakan bahasa universal capaian umat manusia. Islam dan seni adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Seorang peneliti yang merupakan Professor of Middle Eastern Studies, Anne K. Rasmussen mungkin lebih menghargai bahwa Islam memiliki tradisi seni yang berkwalitas. Mungkin dia lebih lihai memainkan senar-senar gitar gambus daripada kebanyakan seniman muslim. Mungkin ia juga lebih mendalami dalam hal kesejarahan seni dan maqamat. Ia bahkan pernah melakukan penelitian tentang seni Islam hingga ke Negara muslim terbesar seperti Indonesia dan lahirlah biku “Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia.” Atau seperti Anna M. Gade yang mengapresiasi tradisi Islam Indonesia dengan terbitnya karyanya yang berjudul “Perfection Makes Practice: Learning, Emotion, and the Recited Qur’an in Indonesia.
Pertanyaan kemudian yang muncul adalah kenapa umat Islam secara perlahan mulai meninggalkan peradabannya dan kenapa bangsa Barat secara berlahan kemudian mengambil alih peradaban itu?.
Tidak ada yang salah dengan seni. Penyimpangan bukan menandai bahwa seni itu adalah sejarah kelam, namun dari pribadi seniman itulah yang tidak dapat memahami esensi dan rasa dari dalam kesenian itu. Jika mengembalikan definisi seni menurut Dzunnun Al-Mishry seni adalah shouthu haqqin zuj’ijul quluba ilal khair “seni adalah suara kebenaran yang menggerakkan hati menuju kebaikan”. 
Seni adalah ritme dari kumpulan-kumpulan re-mi-fa-si-la-do atau mungkin fa-sol yang membentuk suara maqam-maqam bayathi, rast, hijaz, syaukah, atau bahkan maqam rast alan nawa yang berkembang sebagai disiplin etnomusicology. Kesalahan menempatkan re-mi-fa-si-la-do tidak pada tempatnya akan berdampak pada rusaknya nilai estetika dari bentuk output seni itu baik berupa lagu, sajak puisi, maupun hymne.
Keteraturan seni tidak hanya keluar dari instrument-instrumen musik, namun juga suara yang keluar dari tenggorokan. Rebana, gitar, biola, dan lain sebagainya adalah sama dengan lidah dan pita suara yang ada di rongga tenggorokan yang berfungsi menghasilkan suara-suara keindahan yang dapat diukur berdasarkan re-mi-fa-si-la-do atau juga fa-sol. Jika rebana, gitar, biola, dan instrument lainnya haram, lantas apakah itu artinya suara kita juga haram?. Tradisi membaca Al-Qur’an dengan ilmu maqamat yang memiliki tingkatan nada tertentu juga menggunakan formulasi re-mi-fa-si-la-do.
Lalu bagaimana kerangka Dzunnun Al-Mishry ini digunakan untuk memahami kondisi Indonesia?.
Indonesia selain memiliki Sumberdaya Alam yang berlimpah juga memiliki Sumberdaya Manusia yang potensial. Di antara mereka merupakan ahli sosial, ekonomi, hukum, politik, goelogi, dan lain sebagainya. mereka membawa nadanya masing-masing entah itu sol, entah itu fa, entah itu re. ketidaktepatan dalam meramu nada itu akan membuat irama yang sedang bermain di Indonesia ini menjadi sumbang. Saat di mana bidang hukum malah diisi oleh orang-para politikus. Saat di mana bidang perekonomian malah diisi oleh orang-orang hukum, atau saat di mana bidang agama malah diisi oleh orang-orang industri. Tumpang tindih atau yang sering diistilahkan dengan wrong man in the wrong place ini membuat Indonesia penuh dengan nyanyian-nyanyian sumbang.  
Dzunnun Al-Mishri (w. 856 M) yang lahir di pesisir Timur Sungai Nil yang hidup abad ke tiga Hijriyah memberi pelajaran mengenai seni dan korelasinya terhadap perbaikan kepribadian secara kolektif dan individu. “Nun” berasal dari nama ikan yang banyak hidup di sungai Nil. “Nun” juga merupakan awal dari surah Al-Qalam (68) di mana huruf itu berbentuk tempat tinta yang darinya pena bisa berwarna. “Nun” juga merupakan nama ulama yang setara dengan kiai, ajengan, tuan guru, buya, gus dan lain sebagainya.
Filosofi “Nun”, dapat direpresentasikan untuk mengingatkan manusia selalu berusaha memberikan banyak hal dan tidak kemudian selalu berharap menjadi yang terdepan. Ia tetap berperan penting meski berada di balik layar. Seperti wadah tinta yang selalu siap untuk memberi, tidak selalu harus menjadi pena yang menulis karena jika ia tidak hati-hati bisa salah melangkah.
Bahawsa Arab pun terus berkembang seiring persentuhan dengan dunia luar. Di Syiria, karakter bacaan al-Qur’an bersentuhan dengan tradisi orang-orang Yahudi dalam menyanyikan lagu-lagu liturgi dan membaca Taurat. Untuk itulah tausyih juga identik dengan hymn. Penggunaan istilah hymn (musik pujian yang identik dengan tradisi Yahudi dan Kristiani) dalam untuk merujuk bait-bait (tausyihmaqam dimungkinkan berhubungan dengan sejarah maqam bayati yang berkembang di Syiria. Umumnya semua maqam dalam tilawah al-Qur’an akan bermuara pada maqam bayati. Hal tersebut setara dengan cara orang yahudi membaca Taurat dengan variasi bacaan yang akan kembali pada maqam seyga. Pada mulanya maqam tersebut digunakan untuk musik liturgi atau semacam pujian-pujian peribadatan.[1]
Seni sebagai bahasa universal tidak memerlukan intelektualitas seseorang untuk menilainya. Seseorang juga tidak memerlukan upaya menguasai beberapa bahasa. Hal itu karena nyanyian indah tetap akan terdengar indah sebagaimana lukisan indah akan terlihat indah. yang diperlukan adalah kejujuran dalam menilai.



[1] Mark L. Kligman, Maqām and Liturgy: Ritual, Music, and Aesthetics of Syrian Jews in Brooklyn  (Michigan: Wayne State University Press, 2009), hlm. 187-188.



Wednesday, November 1, 2017

PESANTRENKU KALA SUBUH : Renungan Santri


Muhammad Barir

04.15 WIB tahun 2004. Langit masih hitam. Udara dingin memenuhi tiap sudut kompleks Pesantren. Deretan bangunan klasik khas pesantren berjajar nan khas. Pelan, sedikit demi sedikit terdengar sayup alunan azan. Kian lama kian nampak suara itu. Bergema menggetarkan permukaan-permukaan air seluruh penjuru desa Kranji.
Satu persatu lampu menyala. Satu persatu pula santri membuka mata. Terbangun dari lelap tidurnya. Beberapa nyenyak dan mengharuskan kakak pengurus untuk mengibaskan sorban, sarung, dan apapun itu untuk membangunkan mereka.
Beberapa tidur di serambi mesjid. Mereka bangun dan masuk ke dalam bilik-bilik kamar. Bukan untuk berganti pakaian atau mengambil handuk untuk kemudian pergi berwudhu, namun mereka tidur lagi di kamar itu.
Dengan sabar, penuh sayangnya, Sanhudi bergilir dari kamar ke kamar. Menaruh harapan agar upayanya digubris. “Banguuun…!, le… bangun...!.” maka bangunlah.
Beberapa santri yang bangun terlihat keluar kamar. Beberapa di antaranya terlihat terduduk lemas bersandar pada lemari-lemari kecil mereka. Di antara santri yang keluar kamar pergi ke kamar sebelah. Mereka tidur lagi.
Para santri cilik terlihat masih tidur dengan begitu polosnya. Tidur pulas dengan air liur di mana-mana. Membasahi bantal, selimut, dan baju mereka. Tidak tega bagi Sanhudi jika harus mengganggu kedamaian itu. Di beberapa sudut juga ada santri senior setingkat Aliyah. Tidur pulas dengan beragam mimik muka dan aneka macam ekspresi tubuh. Memasang wajah garang, Sanhudi mengayunkan tumitnya menyasar kaki mereka. “Banguuun…!,” teriak sanhudi sedikit serak.
Para santri berhamburan. Beberapa yang terkena terjangan tumit berlari sembari mengusap-usap paha mereka yang sedikit ngilu. Dari jauh Sanhudi melihat mereka dengan tatapan kosong. Sesekali ia tidak tega, sesekali ia ingin tertawa melihat gelagat mereka, dan sesekali ia puas karena telah menjalankan amanah Abah Kiai.
***
Ilustrasi di ataas merupakan dialektika perspektif yang ada di dunia pesantren. Apa yang dilihat dan didengar tidak selalu dapat ditangkap dengan baik atau bahkan sering pula disalahpahami. Kita bisa menyampaikan kasih-sayang kita kepada seseorang dengan bungkus kekesalan. Atau menyembunyikan senyuman kita di dalam kemarahan. Santri memiliki segalanya untuk bisa bertahan hidup. Menerima apapun yang terjadi. Mereka juga bisa mengubah situasi apapun itu menjadi berbalik 180o.
Santri terlatih dari hal terkecil. Mulai dari cara mereka bangun tidur hingga tidur lagi. Mereka siap tidur beralaskan lantai ubin. Mereka siap jika harus bangun, berpindah tidur, dan dibangunkan lagi untuk kesekian kalinya. Mereka tidak membalas meski hanya dengan kata-kata saat mendapat hukuman jika memang mereka salah.
“mereka tidak akan beradu argumentasi, namun mereka akan mencari cara untuk menyalurkan kreatifikas dan keinginannya melalui tindakan yang tidak terpikirkan dan diduga-duga”
Mereka bisa seperti itu karena yakin terhadap konsep barokah. Satu kata sederhana dengan berjuta penafsiran. Bagi santri, apapun yang ada di dalam pesantren adalah barokah. Benda, sikap, tindakan, pikiran, angan-angan, lamunan, bersitan hati, angin, cerita, dan lelucon, semua adalah barokah. Disayangi adalah barokah, dihukum adalah barokah, ditegur adalah barokah, tidur dengan apa adanya adalah barokah, apapun di pesantren itu barokah. Barokah itu akan terus mengalir tanpa putus karena ketulusan mereka yang yakin bahwa Allah telah memberikan kelebihan prerogatif bagi pesantren yang itu mungkin tidak dijumpai di tempat lainnya.
Tidak ada paksaan untuk percaya pada konsep barokah. Barokah tidak ditujukan pada kiyai, tempat sakral, kitab suci, ilmu, atau lainnya, tapi barokah adalah keseluruhan nilai yang murni dari kasih sayang Allah yang mengutus berbagai jenis kapasitas alam sebagai distributor untuk menyalurkannya.
Saat ini, eksistensi santri diakui melalui keppres No. 22 tahun 2015. Santri tetap kuat meski tanpa keppres. Namun, paling tidak, dari keppres tersebut, kita bisa mengenang kisah masa lalu. Merujuk pada peristiwa historis. Sebagaimana yang dikenal dengan resolusi jihad yang dilontarkan KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1945. Perjuangan santri tidak hanya mengorbankan jiwa dan semangat, namun raga dan jasad mereka telah menjadi bukti kerelaan melakukan apapun untuk mengukuhkan konsep barokah. 

Santri memiliki segalanya yang ia dapat dari pesantren. Pesantren memiliki keseluruhan nilai tradisi. Seorang sejarawan Belanda yang merupakan Professor Universiteit van Amsterdam, Izaak Johannes Brugmans (w. 1992), percaya bahwa basis intelektualitas muslim Nusantara terletak di Pesantren. Pesantren mengakomodir keseluruhan tradisi. Tradisi pesantren menjangkau khazanah peradaban luhur dari mana pun itu berasal. Bahkan tokoh literasi Barat seperti Cornelis Christian Berg mengakui bahwa pesantren mewadahi keseluruhan kekayaan tradisi. Identik dengan istilah shastri yang menunjukkan bahwa ulama masa lalu berkenan untuk mengambil nilai luhur dari peninggalan Jawa, Kapitayan, Hindu, Budha dan dari manapun itu asal tidak bertolak belakang. Mengadopsi segala bentuk kapasitas berupa sistem sosial, budaya, hingga pemikiran yang kemudian diamati, ditiru, dan dimodifikasi dengan sedemikian rupa untuk disesuaikan dengan corak Islam. 


Friday, October 6, 2017

حبّ الوطن من الإيمان وتأسيس نهضة العلماء

في سنة 1926 م، نهضة العلماء "(NU) وقفت. وقفت NU وبدأت تاريخا طويلا مصحوبا بحالة الأمة الإندونيسية التي هي في قبضة المستعمر. في عهد نشأتها، NU مقر في المدارس الإسلامية الداخلية دعا طلابه على السعي في سبيل الله. في وجهة نظر NU هناك ثلاثة جهاد، الأول هو جهاد الفكر دعا الاجتهاد. والثاني هو جهاد القلب يسمى المجاهدة؛ والثالث هو الجهاد المادي الذي يسمى الجهاد. الجهاد في هذا السياق ليس هو شكل من العاطفة والتعصب، ولكن لم يتخذ هذه الخطوة في محاولة لحماية أنفسهم والأمة للخروج من الظلم وتحقيق المثل العليا للاستقلال. ثم يرائد حزب الجهاد. NU جنبا إلى جنب مع شخصياته تحت قيادته الشيخ الحج هاشم أشعري وغيرها من كياي مثل  الشيخ الحجّ وهب حسب الله، الشيخ الحجّ أمين مصطفى و إخوته، يواصلون النضال. وبعد ذلك الحين، مع مرسوم الشيخ هاشم أشعري، في سورابايا، سوطامو أو المعروفة باسم بونغ تومو تمكن من تحويل الروح الشباب لمواجهة ضد الهولندية. من ذلك المقاومة التي وقعت في 10 نوفمبر 1945، والقيادة الهولندية مولابي بنجاح قتل.مع وفاة مالابي جعل الاندونيسيين يثبتون ان يكفي لتكون مستقلة.

من الأحداث المذكورة أعلاهويتعين علينا كأجيال مقبلة أن نلتزم بالدفاع عن الشيوخ الذين يواصلون النضال من الروح والجسد للحصول على الاستقلال. والاستقلال في هذه الحالة ليس مجرد شكل مادي سيادي إقليمي، بل هو أيضا سياد في الثقافة والاقتصاد والاجتماعي والتعليم والحضارة والتكنولوجيا. وقد ضحى الكثير من قبل الجيل السابق. والنضال والتضحية هومن أجل أطفاله لتكون قادرة على التنفس بهدوء والعيش كل يوم.

على أساسى المرسوم الرئاسي رقم 22 لسنة 2015 (Kepres No. 22 Tahun 2015) اليوم، تمنح الدولة اليوم الوطني أن يتذكر لتضحية المشايخ بالموضوع: "يوم سانتري" الذي يقع في 22 أكتوبر. وبما أننا نحقق الآن الاستقلال، فلنحرس ونزيّن هذه الدولة بوحدة وسلام. كما قال الله تعالى فى كتابه الكريم:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ (البقرة: 108).

قال عبد الرحمن واحد (Gus Dur) فى تأليفه : (dalam buku: “Islamku Islam Anda Islam Kita) ، بأن هذه الأية يأمل أن جوهر الإسلام هو في الأساس سلام تامّا. إذا كانت جميع المذاهب على دراية بذلك، فلن تتعارض النبرة بعضها بعضا.


وبالتالي إخوتي وأخواتي، قد نكون دائما سلمية، والحفاظ على الانسجام، وتكون طيبة للجميع. على الرغم من أنها مختلفة عنا. لكل واحد منا هو المضي قدما في طريق الله

وباالله توفق و الهداية، مع الرضى و العناية
والله الموافق إلى أقوام الطريق


Friday, June 2, 2017

KISAH KAMPUNG HALAMAN GRESIK YANG HILANG


Aku lahir di desa yang kanan kirinya diapit gunung. Terhampar luas hijau sawah yang memutari desa. Embun berkabut-kabut terasa sejuk di pagi hari. Pantulan kemuning sawah berkilap emas di sore hari.

Sempat ku pergi beberapa saat tinggalkan mu, namun tat kala aku kembali kau tidak lagi memperlihatkan keperawanan alammu, kearifan budayamu, dan kekayaan tradisimu. Pabrik-pabrik dengan seribu cerobongnya tampak memberi harapan kepada kantong rizki sebuah keluarga sementara. Namun tak terasa lambat laun sebenarnya merusak dalam jangka panjangnya.

Senyuman antar saudara yang dulu hangat terasa tat kala mereka berjumpa di jalanan sekarang tergantikan oleh caci makian pengguna jalan yang tak sabar akan saling mendahului. Kau tidak hanya merusak jalan raya, tapi kau merusak budaya secara berlahan, kau merusak lingkungan itu pasti.

Daya dukung dan daya tampung Gresik tidaklah memadai untuk diporsir. Rencana Tata Ruang Wilayah tak dipikirkan jangka panjangnya. AMDAL tidak lagi dapat menyelamatkan kota santri yang telah kehilangan sarungnya. Aku rindu pesantren yang dulu. Santri yang kembali ke desa untuk memakmurkan masjid, bukan memakmurkan mesin-mesin pabrik.

Tingkat kesehatan udara, air, dan tanahmu tergerus, bagai hujan badai yang mensirnahkan debu-debu di atas batu kali. Penyakit baru kian merebak, lalu apakah aku harus tetap diam.

Monday, April 24, 2017

KELEMBAGAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA



Dalam skala pendidikan tinggi di Indonesia, telah terdapat 11 Program Program Studi yang menyelenggarakan pendidikan ilmu lingkungan dalam level pascasarjana. Jumlah tersebut ditopang oleh 106 PSL (Pusat Studi Lingkungan) di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Selain itu, beberapa organisasi seperti IALHI yang terbentuk melalui pertemuan pakar lingkungan hidup di UNS pada 2009 yang kemudian berubah nama menjadi PERALHI pada tahun 2016 telah membuktikan eksistensi kajian dan peminat studi lingkungan. Organisasi dan lembaga tersebut diperkuat dengan organisasi-organisasi monitoring seperti EPW (Environmental Parlianment Wacth) dan lainnya. Di tengah geliat aktivitasnya sumbangsih yang cukup besar juga ditunjukkan oleh lembaga yang langsung berhadapan vis a vis dengan masyarakat seperti WALHI, INKALINDO, SHEEP, dan banyak lagi. Kesemuanya menjadi eksekutor berbagai kegiatan yang menjadi motor penggerak aktivitas lingkungan di tengah masyarakat dan menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Untuk saat ini, dengan berbagai perkembangan studi dan aksi tersebut memang belum dapat memutus mata rantai bencana alam dan berbagai krisis lingkungan yang sedang di alami oleh negeri ini, namun potensi tersebut menjadi modal dan acuan dalam perbaikan lingkungan hidup Indonesia masa depan, terutama cita-cita renaissance lingkungan hidup Indonesia pada tahun 2045.
Meski masih memiliki banyak kekurangan, masyarakat perlu yakin dan tidak menutup mata terhadap bebrapa kemajuan yang dicapai berkat kajian yang dilakukan lembaga dan organisasi lingkungan saat ini. Beberapa persoalan yang melanda DAS (Daerah Aliran Sungai), CAT (Cekungan Air Tanah), dan lain sebagainya telah mulai dikaji untuk diperbaiki. Dan benar, bahwa kajian tersebut telah sedikit banyak mulai dirasakan pada ranah aplikatif. Terdapat satu hal yang dapat menjadi wadah dari aplikasi perbaikan lingkungan yang sebelumnya jarang disinggung, yaitu wadah kebudayaan.
Kajian dan aksi lingkungan tidak dapat dilepaskan dengan melibatkan unsur masyarakat dalam kebudayaannya. Selain bersifat mendidik, hal ini dapat mamantau perkembangan masyarakat dalam tingkat kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup. Di beberapa daerah seperti Banjarnegara menjadi tanda mulai tersebarnya kajian lingkungan seperti kajian DAS. Dari tahun ke tahun telah diadakan Gemuruh Serayu yang beresensi memangku sungai sebagai wahana kebudayaan. Melalui budaya, masyarakat diperkenalkan untuk cinta terhadap lingkungannya, terutama sungai sebagai pusat penghidupan masyarakat yang dari sungai tersebut akan tercipta hubungan simbiosis yang melibatkan relasi antara manusia, pohon, hewan, dan aneka hayati lainnya untuk bersinergi dalam menjaga keseimbangan dan kualitas hidup yang baik.
Telah saatnya upaya pemeliharaan lingkungan melibatkan masyarakat. 85 pasal penanggulangan bencana yang dirumuskan pemerintah tidak akan sepenuhnya dapat menolak terjadinya bencana alam yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Kepedulian antisipasi masyarakat sebagai bentuk pola TAGANA (Tanggap Bencana) harus dimulai dengan menanggulangi ketidakstabilan alam dengan mencintai alam itu sendiri. Mencintai alam tersebut diwujudkan dengan merawat lingkungan. Salah satunya berangkat dari hal terkecil seperti tidak membuang sampah pada aliran sungai. Menanamkan istilah “meletakkan” sampah pada tempatnya pada anak-anak kita, setidaknya untuk menghindari istilah “membuang”. Selain melatih generasi untuk disiplin, kebijaksanaan berbagai istilah yang kita gunakan menjadi bentuk dari akar ontologis yang membangun mindset positif dari semua aspek kehidupan.
Dengan upaya melatih pemeliharaan lingkungan berwadah budaya tersebut, para pakar yakin bahwa pada tahun 2045, Indonesia akan memasuki era renaissance lingkungan hidup. Beberapa tokoh lingkungan seperti Emil Salim meyakini bahwa kepedulian masyarakat terhadap lingkungan menjadi bagian dari proses pembangunan berkelanjutan. Lingkungan yang baik tidak hanya membantu terhadap terwujudnya kualitas hidup yang baik, namun juga dapat menumbuhkan nilai infestasi. Tidak hanya melalui sektor pariwisata, namun hingga sektor agrobisnis.
Keseimbangan sentra bisnis dengan reboisasi lingkungan semakin banyak terlihat, bahkan di pusat aktivitas bisnis seperti Jakarta. Pengimbangan wilayah pesisir dengan hutan mangrove di Jakarta bukan hal yang mustahil. Terbukti hal itu sama sekali tidak menghambat pertumbuhan ekonomi, namun malah mempertahankan kekuatan daerah pesisir laut dan dalam fungsinya yang lain bahkan mampu menunjang agrowisata alam.
Aktivitas menyeimbangkan alam memang sedang digalakkan dan berada dalam proses perbaikan. Hal semacam ini bisa dilihat dari kajian penanganan limbah medis dan pabrik, sustainable hotel design, resapan air tanah, dan aspek lain yang saat ini sedang aktif menjadi kajian lingkungan hidup yang tinggal menunggu waktu untuk dapat diaplikasikan dalam menyongsong renaissance lingkungan hidup Indonesia tahun 2045. Semua standar lingkungan harus ditegakkan, mulai dari RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), CSR (Corporate Social Responsibility), dan aspek lainnya yang kesemua diatur oleh AMDAL sebagaimana rumusan SKKNI yang harus terus dikawal agar tidak cenderung pada kepentingan tertentu. Sebagai buah pemikiran, lampiran SKKNI juga harus terus digodok dan terus mempertimbangkan perkembangan teknologi dan standarisasi yang terus dikembangkan di seluruh dunia.
Jika melihat perkembangan standar lingkungan dunia, Australia menjadi salah satu negara yang dapat diteladani dalam hal ini. Mereka merancang Standard Operating Procedure  (SOP) lingkungan hidup yang dapat diadopsi oleh semua negara. Tidak ada aturan plagiarisme, namun hal ini lebih pada bentuk dedikasi mereka dalam memprioritaskan kebutuhan global. Dengan hal ini, diharapkan lebih banyak lagi negara lainnya yang saling membuka diri dan sadar bahwa kebutuhan lingkungan hidup bukanlah kebutuhan skala nasional, namun kebutuhan global. Kebutuhan global tersebut ditentukan dan dimulai oleh kesadaran individual.
Dari sini, individu bangsa Indonesia dihadapkan dengan tantangan untuk menjadi prototype lingkungan hidup dalam skala global pada tahun 2045. Di antara negara lainnya, Indonesia memiliki kriteria yang mewadahi dan berpeluang besar untuk didaulat sebagai prototype lingkungan hidup tersebut dengan segala potensi alam yang dimilikinya. Dengan berbagai keragaman dan kekayaan hayatinya. Tinggal, bagaimana kemudian peran aktif dari masyarakat di lapangan, stakeholders di pemerintahan, dan para akademisi di pusat studi lingkungan untuk terus bersinergi secara intensif dengan kesatuan visi.


MAJLIS ULAMA BUKHOREN HADININGRAT USULKAN PEMBANGUNAN MASJID DI BANDARA KULON PROGO



Yogyakarta, 24 April 2017

Bertempat di Masjid Gede Yogyakarta, para ulama dari berbagai pesantren yang ada di Yogyakarta berkumpul dalam rutinitas Pengajian Bukhoren Hadiningrat. Sebuah pengajian dan pengkajian kitab Sahih Bukhari secara masal yang dihadiri oleh ulama atau kiai se DIY yang dihidupkan kembali oleh Almarhum KH. Ali As'ad Plosokuning. Tepat dalam malam isra' mi'raj tersebut, para ulama membagi pembacaan kitab Hadis Sahih Bukhari, membedahnya, dan diakhiri dengan diskusi berupa tanya-jawab. Dalam diskusi tersebut, salah seorang penyanya mempertanyakan tentang dampak pembangunan bandara internasional di Kulon Progo terhadap kebudayaan masyarakat DIY dan Akhlaq umat muslim DIY seiring operasional bandara yang diikuti dengan pembangunan tempat-tempat hiburan lainnya.


Majlis Rutin Bukhoren Hadiningrat Masjid Pathok Negoro dan Masjid Gedhe


KH. Najib selaku penyeimbang dalam acara tersebut mengemukakan pendapat bahwa keberadaan bandara tidak dapat dihindarkan dalam mengangkat perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Kulon Progo, namun hal itu diiringi dengan dampak negatif yang mau tidak mau ada dalam mengiringi proyek tersebut.

Pendirian bandara internasional Kulon Progo menjadi tantangan bagi Ulama Yogyakarta untuk mengawal dampak budaya pasca operasional bandara kelak. Di tengah diskusi seseorang anggota diskusi mengusulkan untuk mengimbangi budaya luar masuk dan mengganggu budaya luhur Keraton Mataram Islam, maka seharusnya mesti dibuat icon tertentu yang memiliki nilai simbolis dan filosofis tentang budaya luhur Islam Ala Yogyakarta yang kemudian dipilihlah simbol masjid untuk mengimbangi arsitektur modern bandara nantinya.

Dalam Majlis Ulama Yogyakarta tersebut juga menambahkan usul lain perihal nama bandara yang akan berdiri di wilayah Barat Yogyakarta tersebut. Anggota diskusi mengusulkan nama lokal yang memiliki nilai historis keagungan Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Setelah berdiskusi kemudian dipilihlah nama Bandara Sultan Agung. Hal tersebut menjadi keinginan Ulama Yogyakarta yang notabene juga menjadi bagian dari masyarakat Yogyakarta dalam melihat bandara-bandara besar di tempat lainnya yang menggunakan nama pahlawan atau orang yang berjasa besar dalam sejarah daerahnya masing-masing.

Lip_Barier

Monday, February 27, 2017

AKU DAN PULAU SEBERANG

Muhammad Barir Irfanie

Langit Yogyakarta hari itu tak secerah biasanya. Musim hujan yang tak menentu dan pertambahan jumlah penduduk mengubah jati diri Jogja. Separuh dari ketenangannya telah tergerus zaman. Perubahan budaya telah melunturkan warna warni Yogyakarta yang ku kenal. Di tengah renungan akan Yogyakarta, ku ditugaskan untuk harus meninggalkan kota ini. Tidak lama, tapi cukup untuk sekedar bercengkerama dengan suasana baru.

Malam sebelum keberangkatanku, langkah kakiku menuju kos Henrico. Seorang teman yang akan menghabiskan banyak moment di perjalanan nanti. Banyak obrolan malam itu, tentang kerjaan dan hal-hal lain yang sayang untuk dilewatkan. Tapi kali ini tak bisa terlalu malam, karna besok sebelum mentari terang kami sudah harus beranjak pergi.

Azan menggema, menyusuri gang demi gang pemukiman padat di kawasan Demangan Yogyakarta. Setelah sejenak menjalankan perintah Tuhan kami langsung mandi dan berkemas. Satu persatu anak tangga kami turuni. Kami membagi dua kardus berisi berkas kantor satu orang satu. Kamar kos Henrico di lantai dua. Pemiliknya orang kristiani yang ramah. Tapi anjing-anjing di depan kos tak seramah pemiliknya. Gonggongan mereka seolah menjadi bahasa yang dapat diartikan sebagai gertakan. Meski aku tak takut, tapi aku khawatir terkena liur basah yang berlendir itu. Apa yang kurasa juga dirasakan Henrico, tapi dia lebih jago dalam menghindari mereka. Berjalan dengan tenang melewati dua ekor anjing yang tak lepaskan pandangan matanya. Langit pun menguning. Stasiun tugu Yogya menungguku di sana.

Setelah berjalan tidak kurang 500 meter, kami dijemput mobil dan langsung melesat menuju stasiun. Saat itu suasana tidak terlalu ramai, masih ada 30 menit sebelum keberangkatan. Kami rasa segelas teh hangat dan mie Jawa cukup untuk sekedar menemani penantian.

Kumpulan embun pagi membuat pandangan di kejauhan terlihat berkabut. Kereta kami datang dengan bunyi khasnya. Menapaki dua besi rel yang tampak kehitaman karena basah. Tak lama rel itu menguning karena mentari dengan genitnya mulai mengintip dari balik awan. Sinar-sinarnya mengucapkan salam perpisahan kepada kami. Dalam hati, ku bertanya tentang apa yang akan ku alami beberapa hari kemudian.

~-~

Surabaya menjadi tujuan pertama kami sebelum menyeberang ke Pulau Madura. Aku dan Henrico sampai. Tanpa istirahat, kami langsung bergegas menuju suara seruan. Kedatangan kami pas dengan kumandang azan sholat Jumu'ah. Melaksanakan Jumu'ah di kondisi perjalanan tidak wajib, tapi i'tikad baik temanku untuk ingin merasakan suasana sholat Jumu'ah di Surabaya membuatku mengiyakan ketika ia mengajakku.

Tugas di lembaga lingkungan yang akan kami jalankan cukup penting untuk masa depan banyak wilayah di Indonesia. Tugas kami adalah memastikan kesiapan Universitas Trunojoyo Bangkalan sebelum kedatangan pakar lingkungan dari kementarian. Mereka adalah para asesor AMDAL yang akan melakukan penilaian terhadap beberapa konsultan yang akan menangani berbagai proyek besar.

Henrico adalah fasilitator terlatih yang menyiapkan berbagai dokumen dan semua hal yang berkaitan denagan elektronik sistem. Aku bertugas mendata peserta dan membantu mengawasi jalannya uji kompetensi tes dan wawancara. Memanggil peserta satu persatu dan mempertemukannya dengan para asesor di ruang uji. Kami siap. Tidak banyak yang ku pikirkan di perjalanan ini.

Jembatan Suramadu nampak diujung sana. Terlihat megah dengan berjuta memori dalam pembangunanya. Kami menyebrangi jembatan yang sebenarnya mulai diusulkan sejak 1991.

Samsuri, seorang sopir yang mengantarkan kemi menangis. Ia masih ingat betapa susah hidup di Madura sebelum jembatan Suramadu tegak berdiri. Kompromi para pengusaha kapal feri selalu bisa mensiasati agar pembangunan Suramadu tertunda.

Kiai yang menurut masyarakat Madura derajatnya lebih tinggi dibanding presiden menjadi cultural broker. Sebuah istilah yang oleh Cliffor Geertz digunakan untuk menyebut seorang sosok yang menjadi penentu perubahan dan keberlangdungan budaya masyarakat. Momen sidang penentuan jadi-tidaknya Suramadu di bangun akhirnya datang. Beberapa kiai Madura berangkat menggunakan mobil. Beberapa mobil mewah masuk dermaga feri. Nampak dari dalam salah satu mobil mewah tampak seorang kiai melakukan dzikir dengan tenang dan nyamannya. Di sisi yang lain, tampak sebuah mobil yang usang. Dari dalamnya, keluarlah seorang Kiai dengan raut muka marah dengan mengipas-kipaskan sorbanya karena panas menunggu berjam-jam antrian feri.

Bagi kiai kaya dan bermobil mewah, cukuplah menggunakan feri. Mereka menolak berdirinya Suramadu. Di sisi lain, bagi kiai yang hidup apa adanya, feri cukup mahal dan antrian ketika itu cukup menguras emosi. Kiai semacam ini adalah salah satu yang mendukung berdirinya Suramadu.

Di kemudian hari terkuak bahwa mobil-mobil mewah tersebut adalah hadiah dari pemilik usaha kapal feri untuk mempengaruhi para kiai agar tidak setuju pembangunan Suramadu. Kiai yang mendukung pembangunan Suramadu adalah mereka yang tidak mau atau tidak dapat jatah mobil mewah dari pemilik feri. Mereka hanya punya mobil apa adanya, bahkan sebagian tidak punya meski hanya sekedar sepeda motor. Peristiwa ini akan terus menjadi gurauan masyarakat Madura di malam hari saat bersama sama menghabiskan segelas kopi.

Bagaimanapun, detik itu aku telah berada di punggung Suramadu. Jembatan ini telah berdiri dengan memorinya yang tak akan pernah terhapus.

Sampai dan menginjakkan kaki di Pulau  Madura adalah yang pertamakalinya bagiku. Saat itu adalah sore hari. Kuning dan hening. Udara madura cukup segar dibanding kota seberang. Bahkan katanya Sumenep punya pulau Giliyang Dungkek yang dinobatkan PBB sebagai pulai dengan oksigen terbaik kedua di dunia.

Tidak banyak moda transportasi pilihan. Jangankan Graph, taxy pun tak ada. Bertolak dari hotel, kami harus mencari mobil angkutan desa yang orang sini namakan Keri. Kami perlu meninjau lokasi dan akses.

Kami dapat tumpangan setelah tak lama berdiri di tepian jalan. Luar biasa, pengemudinya seorang kakek. Jalanan Madura cukup lengang dan besar. Kondisi aspal masih bagus karena pembangunan kota Bangkalan pasca Suramadu. Terkejut, di sebelahku Henrico yang tegang. Supir Keri kebut-kebutan. Aku ketawa sekencang-kencangnya. Sopir yang tua tak menghalangi semangat kacong Madura yang terkenal pemberani dan nekat itu. Mobil berhenti di sebuah persimpangan. Kami turun.

Selain Keri, becak adalah moda transportasi yang digunakan untuk menyusuri jalanan yang lebih kecil. Udara lembab membuat jalanan berkabut. Meski kecil, jalanan ini cukup rapi. Trotoar dan pemandangan hamparan sawah yang luas diikuti hijau gunung di kejauhan. Di beberapa titik tardapat toko-toko modern dan tradisional. Rumah tinggal biasanya tidak terletak dipinggir jalan yang lebih cocok untuk menjadi lahan untuk jualan. Berbecak ria di kemuning senja dengan semilir angin terasa cukup berkesan. Menggoreskan memori yang indah untuk termaktup di perbendaharaan kisah untuk di ceritakan di hari tua.

Part f 17