Tuesday, September 22, 2015

Tuhan dalam al-Qur’an dan al-Kitab




Muhammad Barir

A.    Posisi al-Qur’an dan Bible
Sebenarnya, menyandingkan antara al-Qur’an dengan Bible tidaklah tepat. Hal tersebut dikarenakan bagian al-Kitab yakni perjanjian baru (new testament) sebagaimana yang dipercayai oleh umat Kristiani bahwa wahyu bukanlah Bible, namun wahyu adalah apa yang termanifestasikan dalam segumpal darah dan daging, yakni sosok Kristus.[1] Namun, meski tidak cukup tepat, menyandingkan antara al-Qur’an dengan Bible adalah penting, sebab keduannya sama-sama hadir sebagai sesuatu yang diyakini merupakan Kitab Suci. Selain itu, kuduanya saat ini adalah salah satu peninggalan yang tersisa yang sampai pada kita dari masa dimana baik Islam maupun Kristen menyampaikan ajarannya pada umat kala itu.
Umat Islam menempatkan al-Qur’an sebagai kitab sakral (par excellence), qadim, dan suci. Penafsiran terhadapnya diperketat dengan syarat-syarat yang telah dibakukan oleh kesepakatan ulama. Hal tersebut tidak terjadi pada Bible. Kitab ini diterima dan disadari oleh umat kristiani sebagai karya yang ditulis. Lima kitab (Pentateuch) dapat ditafsiri dan diterjemah ke dalam berbagai bahasa dengan kaidah yang lebih longgar, sebuah kebebasan yang tidak sulit ditemukan dalam sejarah al-Qur’an. Penterjemahan Bible bersentuhan dengan Septuagint.[2] Dengan menggunakan hermeneutika, Bible bisa dikatakan lebih dekat pada mobilitas zaman dan lebih kontekstual. Dengan masing-masing kelemahan dan keunggulan ini, baik al-Qur’an dan Bible keduanya menjadi salah satu rujukan dalam hokum, keshalehan (piety), dan ibadah (liturgy).


B.     Tuhan dalam al-Qur’an dan al-Kitab
Tuhan dalam pengertian dan keyakinan pemeluk Yahudi memang memiliki perbedaan dengan apa yang menjadi keyakinan hampir keseluruhan pemeluk Islam, namun ada sedikit kesamaan jika kita melihat keterangan dalam Kitab Keluaran 3: 14 di mana Tuhan yang saat itu ditanya oleh Musa tentang siapa namanya hanya menjawab Ehyeh asher Ehyeh “Aku adalah Aku”. Dalam bahasa Ibrani, istilah seperti itu merupakan sebuah idiom yang disengaja oleh seseorang untuk menutupi jati dirinya atau dalam bahasa maknawiah, ungkapan “Ehyeh asher Ehyeh” menunjukan Tuhan ingin berkata pada musa bahwa “janganlah kau berfikir tentang aku, namun pikirkanlah dirimu sendiri.”[3] Dari kisah ini, secara umum menyebut nama Tuhan merupakan hal yang dianggap tabu bagi pemeluk Yahudi bahkan dalam penulisan pun mereka menggunakan inisial YHWH dalam mengungkapkan istilah Yahweh.
Tidak hanya dalam tradisi Yahudi, dalam Islam pelarangan memikirkan Tuhan juga pernah menjadi acuan pelarangn ilmu kalam umat Islam mengenal tafakkaru fi khalq Allah wa la tafakkaru fi dzat Allah “pikirkanlah ciptaan Allah, jangan pikirkan dzat (wujut materi) Allah”. Kesamaan ini menunjukan bahwa antara umat Yahudi dengan Islam memiliki kesamaan perlakuan dalam memproyeksikan Tuhan sebagai sesuatu yang sacral dengan member sekat antara Ia dengan manusia. Secara lebih jauh, antara keduanya mengajukan Tuhan sebagai sosok yang tidak dapat dijangkau akal.


[1] Wilfred Cantwell Smith, Kitab Suci Agama-Agama (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 76.
[2] Septuagint adalah terjemahan kitab suci bahasa Yahudi ke dalam bahasa yunani yang dilakukan beberapa abad sebelum masehi.
[3] Keluaran 3: 14,  lihat Karen Armstrong, Sejarah Tuhan (Bandung: Mizan, 2011), hlm. 53.

No comments:

Post a Comment