Tuesday, September 22, 2015

Abid al-Jabiri : Membongkar Tradisi




(Dari pembongkaran tradisi hingga formasi nalar Arab)

dipersembahkan kepada :
 :
Dr. Alim Ruswantoro, M.Ag.

 Oleh :


MUHAMMAD BARIR, S.Th.I

YOGYAKARTA
2014


A.    Pendahuluan

Dalam kajian filsafat ilmu, ada tiga aspek yang tidak dapat dilepaskan, adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiganya merupakan jaringan filsafat ilmu dari sumber, olah pemikiran, hingga kemungkinan untuk dipraktekkan. Tarlepas dari mana yang lebih penting, salah satu di antara tiga aspek tersebut yakni epistemologi merupakan aspek yang tidak dapat ditinggalkan ketika berbicara mengenai proses pengetahuan. Epistemologi memiliki urgensinya sendiri dalam mengetahui karakter, metode, dan landasan pemikiran yang lahir.
Makalah ini merupakan sebuah upaya untuk mengetahui proses berfikir tersebut. tokoh yang pada kesempatan kali ini akan dibahas adalah Abid al-Jabiri. Kajian pada makalah ini akan menyoroti sumberdata, metode, dan validitas pemikiran Abid al-Jabiri dalam perspektif filsafat ilmu. Dalam makalah ini juga secara ringkas akan mengkaji biografi Abid al-Jabiri yang sebenarnya penting untuk memahami aspek-aspek kontekstual yang mempengaruhi pemikirannya.
Dari paparan-paparan di atas, berikut merupakan beberapa rumusan masalah yang menjadi acuan pembahasan dalam makalah ini:
1.      Bagaimana Biografi Abid al-Jabiri?   
2.      Bagaimana pemikiran Abid al-Jabiri?
3.      Bagaimana analisis atas epistemologi Abid al-Jabiri?



A.    Biografi Muhammad Abid al-Jabiri
Negeri Maghrib yang kini meliput negara Maroko, Aljazair, dan Tunisia merupakan negara yang perah menjadi negara protektoriat Perancis, setelah merdeka Maroko mengenal bahasa resmi, yakni bahasa arab dan perancis, dengan masuknya negara ini, tidak hanya memberi pengaruh gerakan fisik namun juga memicu munculnya pemikiran-pemikiran terutama pemikiran Modernis, salah satu tokoh yang lahir di tengah kondisi ini adalah Muhammad Abid al-Jabiri.
Muhammad Abid al-Jaberi lahir pad tanggal 27 Desember 1953 di Firguig Maroko tenggara[1]. Menenai Tahun lahir ini dalam keterangan lain disebut secara berbeda yakni 1936.[2] Ia tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mendukung partai Istiqlal sebuah pertai pejuang kemerdekaan dari penjajahan kolonial Perancis dan Spanyol. Kedua Negara ini menjadikan Maroko sebagai Negara protektoriatnya, dari penjajahan ini pula nantinya mempengaruhi penggunaan bahasa Perancis sebagai bahasa kedua setelah bahasa Arab di Maroko.[3]
Ia mengenyam pendidikan pertamanya di madrasah Hurratul Wathaniyah (sekolah swasta Nasionalis) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Dari tahun 1951 dampai 1953 ia belajar di sekolah lanjutan pemerintah di Casablanca, setelah Maroko merdeka, ia melanjutkan studinya di perguruan tinggi setingat diploma pada seklah tinggi Arab bidang ilmu pengetahuan (Science Section). Ia sangat mengidolakan tokoh-tokoh seperti Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, Ibn Hazm, dan asy-Syatibi.  Tokoh-tokoh inilah yang pada gilirannya mempengaruhi pemikiran Abid al-Jabiri yang memilih menjadi seorang post-modernis sebagaimana Nasr Hamid, Arkoun, dan Hasan Hanafi.[4]
Sebelum bergulat di dunia akademis, Ia juga memiliki pengalaman politik bersama dengan Mehdi B. Barka seorang pemimpin sayap kiri yang kemudian bersamanya ia mendirikan Union National des forces Populaires (UNFP) yang kemudian berganti nama menjadi Union Sosialeste Des Forces Populairesi (USFP), Mehdi menyarankan agar ia menjadi Humas parta Istiqlal. di tengah padatnya politik yang dijalaninya, pada tahun 1959 ia memulai studi Filsafat di Universitas Damaskus Syiriya  setahun kemudian ia memulai studinya di Universitas Rabat yag beru didirikan. Ia dan kawan-kawanya di UNFP dijebloskan ke penjara bulan juli1964 atas tuduhan konspirsi melawan negara. Namun pada tuhun itu juga ia dikeluarkan dari penjara sekeluar dari penjara ia aktif mengajar di Universitas lanjutan. Pada tahuj 1967 ia menyelesaikan pendidikanya dan kemudian mengajar di Universitas of Muhammad V Rabat. Seluruh pendidikan formalnya diselesaikan tahun 1970 dengan menyandang gelar doctor.
Kondisi sosial masyarakat di Mesir saat itu sedang dalam goncangan di mana bangsa Arab harus merasakan penjajahan dan harus mengakui kekalahan dengan Israil dan mulai menyadari tentang keterbalikan posisi yang mereka alami dengan masa dimana Islam menjadi pusat pengetahuan menjadi cerminan kemajuan dunia. Saa itu seiring dengan munculnya kesadaran akan ketertinggalan dunia Islam, pemikir muslim terpecah menjadi dua kubu ekstrim antara pemikiran tradisionalis dan pemikiran modernis, namun Abid al-Jabiri mencoba memosisikan pada islam jalan tengah dengan bersifat eklektis.   
Al-Jabiri adalah seorang pakar Filsafat di dunia Arab Kontemporer, dia termasuk kelompok elit yang mengamati tradisi Filasafat klasik sehingga dapat merumuskan dan menyelami filsafat klasik itu secara hidup.[5] Perkenalan Abed al-Jabiri dengan dunia pemikiran filsafat dimulai dengan kanalnya ia terhadap pemikiran perancis bermula semenjak ia masih kuliyah di  Universitas of Muhammad V Rabat di Maroko sekitar decade 1950-an, saat pemkiran Marxisme berkembang pesat di dunia Arab. Dan ia sendiri saat itu tumbuh sebagaimana—yang dia akui sendiri—sebagai pengagum Marxisme, namun kekaguman ini kian teerkikis saat ia membaca karya Yves Lacoste tentang Ibn Khaldun. Filsafat adalah hal yang membangun pemikiran abid al-Jabiri tidak heran jika ia banyak mengunggulkan akal dalam pemikiranya, kekaguman terhadap filsafat ini juga terlihat dengan kekagumanya atas Ibnu Rusyd seorang tokoh filsafat Islam yang hidup di era keemasan pemikiran dan pengetahuan Andalusia.
Al-Jabiri banyak menyusun karya di bidang ilmiyah di antaranya ialah tulisan rutinnya di beberapa harian ternama di Timur Tengah seperti al-Syarq al-Ausath. Tercatat ada 17 buku yang menjadi buah tangannya. Ia juga sering mengisi seminar baik di Timur tengah dan Eropa. Ia dalam seminar bahkan pernah berada dalam satu forum dengan Syaikhuna Allamah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Fatimah Mernisi di Berlin Jerman dalam tema Civil Society in the Muslim World.
Karya beliau banyak yang telah terbit namun juga ada yang belum diterbitkan di antaranya ialah sebagaimana yang disebut di atas yakni harian timur tengah al-Syarq al-Ausath, ia juga menulis tentang pemikiran Ibn Khaldun dalam karyanya Fikru Ibn Khaldun, Ashobiyah wa ad-Daulah karya ini ditulis 1971. Beliau juga melakukan kritik atas pendidikan dimaroko dalam bukunya adlwa ala Musykil at-Ta’lim tulisan ini ia tulis tahun 1973. Ia jiga meluncurkan dua jilid buku epistemology ilmu pengetahuan yakni Madkhol ila falsafah al-Ulum (pengantar filsafat ilmu), dan banyak buku lainya, dan buku yang menjadi magnum opusnya ialah buku I dan II tentang kritik nalar Arab yakni Naqd al-aql al-Aroby dan Bunyah al-‘Aql al-Arabi[6], kehebohan karya ini sampai-sampai membuat jurnal ilmiyah al-Mustaqbal al-Araby menganggap karya ini sebagai perestroika (perombakan) Arab karena berani membongkar epistemologi yang telah mapan.  

B.     Pemikiran Abid al-Jabiri
Salah satu proyek besar Abid al-Jabiri ialah kritik sistem pengetahuan bangsa Arab (naqd aql al-Araby). Upaya ini dilakukannya sebagai proses penelusuran dan penyelidikan atas landasan dasar, metode, serta pengaruh akar historisitas budaya Arab dalam tradisi penalaran. Dari sini, sangat terlihat bahwa Abid al-Jabiri begitu memperhatikan urgensi epistemologi dalam pembentukan budaya Arab yang pada gilirannya juga sekaligus membentuk budaya Arab. Meski fokus yang menjadi kajian al-Jabiri adalah nalar Arab, bukan nalar Islam, namun, karena keterkaitan antar kedua budaya ini, maka membicarakan Islam dalam kajian kritik nalar Arab merupakan sebuah keniscayaan.[7]
Dalam bukunya Takwin al-‘Arabi, al-Jabiri mendefinisikan epistemologi sebagai sejumlah konsep, prinsip, dan cara kerja untuk mencari pengetahuan dalam rentang sejarah dan kebudayaan tertentu dengan struktur tak sadar yang melingkupinya. Sementara yang dimaksud dengan Nalar Arab adalah aql al-mukawwan yang melingkupi aturan dan kaidah yang digunakan oleh orang dalam kebudayaan Arab untuk memperoleh pengetahuan. Menurut al-Jabiri keberadaan Nalar Arab ditentukan dan dipaksakan secaratidak sadar.[8] Berikut lebih lanjut mengenai pemikiran Abid al-Jabiri tentang kritik nalar Arab.

1.      Modernisasi Tradisi Islam : memposisikan turats dan tajdid
Dalam tradisi Islam, porsi akal sebelumnya telah tertutupi. Terlebih setelah imam Ghazali mengkritisi filsafat, banyak kaum muslimin menganggapnya sebagai larangan untuk bersentuhan atau sekedar mendekati ilmu tersebut. Dengan ini, umat Islam tidak lagi bisa berfikir secara merdeka dan untuk melakukan tindakan-tindakannya dalam urusan agama harus mengikuti pendapat yang telah disepakati ulama (taqlid). Tentunya pelarangan itu hanya untuk orang awam, bagi cendekia muslim diperbolehkan Ijtihad Jama’i namun namun hal tersebut pada dasarnya tetaplah taqlid. Meski mereka tidak bertaqlid dalam produk fiqih, namun mereka tetap bertaqlid karena terkukung oleh metode ushul fiqih dan qoidah yang telah dibakukan.
Salah satu hal lain yang tersisihkan oleh budaya Islam dengan ini adalah nilai sosial dan kemodernan. Kaum muslimin abad tengah (1400-1800 M) lebih menyibukkan diri memenuhi masjid dan hidup dalam jalan tasawwuf. Lebih jauh, umat Islam terkungkung oleh dikotomi ilmu agama dan non agama. hal ini berakibat pada kemandekan dan dalam urusan dunia, umat Islam hanya berjalan ditempat. Hal inilah yang menurut al-Jabiri harus dibebaskan.   
Dengan kolonialisasi, persentuhan antara peradaban Barat dengan peradaban Tumur tidak terelakkan lagi. Hal ini menyayat, namun cukup menginspirasi kaum muslimin untuk membuka mata bahwa Barat beberapa langkah telah lebih maju. Bagai gerbong, umat Islam terseok-seok mengikuti lokomotif kemajuan yang terus bergerak seiring mobilitas zaman.[9] Selain itu, Ilmu Logika menurut al-Jabiri masih berada pada kondisinya yang teralienasi atau tersisihkan karena di depak oleh ilmu-ilmu sifistik, fiqih, dan kebahasaan. Ia mengumandangkan hal tersebut adalah penghambat kemajuan Islam.

2.      Nalar Arab
Ada tiga sitem berfikir yang mewarnai pemikiran Arab Islam yang menjadi tema besar kajian Abid al-Jabiri. Ketiga sistem berfikir tersebut adalah Bayani, Irfani, dan Burhani. Ketiga sistem ini pula yang pada gilirannya akan dikorelasikan dengan proses dinamika pembacaan al-Qur’an dalam tradisi Arab Islam, sebuah istilah yang muncul berhubungan dengan kesadaran bahwa Islam tidak hanya lahir dengan terpengaruhi kebudayaan Arab sebelumnya, namun secara seimbang Islam juga turut mempengaruhi Kebudayaan bangsa Arab setelahnya.
Meski ketiga term yang dipakai oleh Abid al-Jabiri merupakan sebuah kritiik terhadap apa yang tidak terpikirkan oleh para cendekia sebelumnya, namun beberapa cendekia sebelum al-Jabiri pernah menyinggung tentang tiga term tersebut walau apa yang mereka upayakan masih sebatas penjabaran—sebut saja Imam Qusairi yang membagi pengetahuan menjadi tiga aspek yakni ‘ilm al-yaqin (nalar burhani), ‘Ain al-Yaqin (nalar bayani), dan haq al-yaqin (nalar irfani)—[10]. Hal ini bagaimanapun cukup memberikan andil besar terhadap kajian al-Jabiri, Brikut ketiga nalar Arab menurut pendapat al-Jabiri :
a)      Nalar Bayani
Nalar bayani atau yang dikenal dengan berfikir untuk mencapai pengetahuan atau nilai adalah dengan berpedoman pada upaya menjelaskan (explanation) berhubungan dengan tekstualitas. Ibn Manzur dalam Lisan al-Arab menyatakan bahwa bayani terdiri dari tiga huruf (ba-ya-nun) merupakan upaya menuntut suatu penjelasan kebahasaan.[11] Definisi etimologis ini tentunya tidak menjadi satu-satunya definisi, namun hanya satu diantara lima definisi yang dikemukakannya. Definisi ini kemudian diperlengkap lagi oleh al-Jabiri bahwa yang dimaksud bayani adalah tidak hanya sekedar upaya memahami dan menyampaikan suatu pesan pengetahuan, namun juga merupakan segala sesuatu yang karnanya pemahaman atas pengetahuan akan menjadi sempurna.[12] Budaya Arab dengan sistem kebahasaanya yang unggul mendorong terciptanya karakter masyarakat yang menggebu dalam berlomba-lomba berkarya dengan sastranya dan pada saatnya Al-Qur’an Hadir dengan bahasa yang menakjubkan, ia turut serta dalam khazanah kebudayaan Arab ini. Karena hal tersebut, tidak heran jika Nasr Hamid Abu Zaed menyatakan bahwa budaya Arab merupakan budaya teks.[13]
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa sumber pengetahuan dalam epistemologi bayani merupakan teks. Dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan teks sebagai titik sumbunya.[14] Abid al-Jabiri menyebut orang yang berpedoman pada nalar ini sebagai baya>niyyin (para ahli bayani). Apa yang menjadi landasan golongan ini mengacu pada ilmu-ilmu tekstualitas seperti nahwu, balagah, kalam dan keilmuan lainnya yang berlandaskan pada qanu>n al-Lughawi atau aturan-aturan kebahasaan tertentu secara baku. Berangkat dari hal tersebut, kajian pada nalar bayani terkesan lebih terbatasi oleh bingkai keilmuan internal dan lebih eksklusif.[15]  Akibat dari penggunaan sumber teks ini, metode yang dipakai oleh ahli bayan (baya>niyyi>n) adalah lebih mengacu pada metode deduktif dengan mengusung dalil al-‘ibrah bi umu>m al-lafz la> bi khusu>s as-sabab.
Pemakaian nalar bayani akan terlihat dalam pembacaan realitas al-Quran, Menurut Abid al-Jabiri, memahami al-Qur’an tidak bisa dengan pengalihan bahasa lain, karena tidak mungkin suatu teks dialihbahasakan tanpa mengalami perubahan. Dan jika al-Qur’an dialih bahasakan, bukanlah dianggap sebagai al-Qur’an, karena cakupan makna suatu kosa kata akan sangat tereduksi oleh satu pilihan makna, padahal satu kosa kata al-Qur’an terkadang memiliki bisa lebih dari satu makna. Al-Qur’an memiliki sisi dimana ia bisa dikaji dengan metode Bayani yang menurut Herder (1733-1803) bahasa bukan sekedar alat untuk berfikir, namun model yang darinya pemikiran tersebut akan terbentuk, karena “masyarakat bertutur sebagaimana mereka berfikir dan masyarakat berfikir sebagaimana mereka bertutur”.[16] Ungkapan Herder ini sangat pas dalam memahami Islam dan budaya Arab yang keduanya saling berdialog.

b)      Nalar Irfani
Kata Irfan (عرفان) dalam bahasa Arab merupakan bentuk mas{dar dari runtutan  jumlah istilahi عرف- يعرف - عرفانا yang berarti sepadan dalam bahasa Indonesia dengan ilmu atau pengetahuan. Sedangkan dalam tradisi sufistik kata tersebut عرفان   atau معرفة menunjukan tingkatan tertentu dalam tangga tasawwuf, sebuah istilah yang disematkan kepada orang yang telah sampai pada maqam mengenal Allah.[17] Nalar Irfani menunjukan model  pengetahuan yang ditiupkan ke dalam sanubari (intuisi) seseorang dengan mekanisme kasyf/ilham sebagai sumber otoritatif pengetahuan.[18]
Istilah ma’rifat ini dipakai oleh beberapa ulama dengan penggunaannya yang beragam. Dzun Nun al-Mishri membagi marifat menjadi tiga aspek. Pertama adalah ma’rifah at-tauhid (pengetahuan akan keesaan Tuhan) yang dimiliki oleh semua orang yang beriman; kedua adalah ma’rifah al-Hujjah (pengetahuan tentang pedoman hukum) yang dimiliki oleh ahli fiqih; dan ketiga adalah ma’rifah as-sifat al-wahdaniyyah (pengetahuan terhadap sifat-sifat keesaan Tuhan) yang dimiliki oleh para ahli hikmah.[19]
Al-Irfan adalah fenomena sistem pengetahuan yang dikenal oleh agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen, dan Islam bahkan oleh agama-agama pagan. Konsep irfan dalam keilmuan Islam menurut al-Jabiri bisa dilajak dari masa pra Islam. Imlikh Jamlichus pada sekitar abad II atau III yang merupakan filsuf keturunan Syiria beraliran Neo-Platonis lebih memilih tradisi filsafat Hermes daripada fislsafat aristoteles dalam menyelesaikan persoalan. Ajaran ini berkembang bahkan hingga kedatangan Islam pada pertengahan abad VII M dan menjadi mazhab oposan terhadap rasionalisme Yunani.[20] 

c)      Nalar Burhani
Al-Burhan dalam bahasa Arab diarikan sebagai al-hujjah al-fasilah al-bayyinah (argumentasi yang definiif dan jelas), dalam bahasa inggris demonstration yang pemaknaannya adalah merujuk pada bahasa latin demonstratio yang bermakna isyarat, sifa, penjelasan, dan penampakan. Menurut istilah epistemologis, al-Burhan bermakna aktifitas mental yang menetapkan kebenaran suatu proposisi dengan metode deduksi, atau mengaitkan suatu proposisi dengan proposisi yang lain yang bersifat aksiomatik (kebenaran yang telah disepakati) dan terbukti kebenarannya.[21]
Sumber keilmuan yang otoritatif dalam epistemology burhani adalah eksperimentasi akal dengan kerangka teoritis dalil-dalil logika yang dalam. Episteme burhani ini dikenal dengan silogisme atau al-qiyas al-jami’ yang mengandalkan nalar dan eksperimentasi. Peran nalar antara lain dalam melihat realitas adalah memproduksi pengetahuan dalam menyingkap sebab (idrak as-sabab) atau menemukan hokum kausalitas dibalik sesuatu. Aristoteles yang mengklasifikasikan sebab menjadi empat macam, yakni : materi, bentuk, pelaku, tujuan.[22]
3.      Relasi antar Nalar Arab
Dalam interaksinya, masing-masing nalar Arab tidak selalu berdiri sendiri, namun juga dalam beberapa perkembangannya, antara satu nalar dengan nalar lain saling berhubungan. Ada tiga model interaksi nalar Arab yang sekaligus menunjukan tahapan fase perkembangannya. Fase pertama merupakan fase dimana antara masing-masing Nalar berdiri sendiri dengan eksistensinya masing-masing. Meski nalar Arab merupakan sesuatu yang terpengaruhi oleh budaya atau secara lebih tegas nalar Arab merupakan bentukan budaya (muntaj s|aqa<fi), namun nalar Arab sekaligus juga memiliki tujuan membentuk budaya pemikiran baru (mutij s|aqa<fi). Pada fase ini, masing-masing alar saling berlomba dalam mempengaruhi budaya penalaran Arab.[23]
Fase kedua merupakan fase di mana antar masing-masing nalar sudah mulai saling bersentuhan. Hal ini ditandai dengan upaya al-Harith al-Muhasibi yang mencoba menyatukan antara nalar bayani dengan irfani, al-Kindi yang berusaha menyatukan antara bayani dengan burhani, dan ihwan as-safa yang berusaha menyatukan antara nalar burhani dengan irfani.[24] Dari sini, merupakan hal yang wajar jika filsafat ihwan as-safa lebih terkesan mengkaji aspek metafisika dan eskatologis yang keduanya bersifat esoteris melalui nalar burhani.
Pada fase ketiga merupakan fase penyusunan ulang relasi antar epistem.[25]  Mengenai lebih jauh tentang bagaimana penyusunan ulang ini, al-Jabiri memberikan perhatian khusus terhadap nalar Burhani sebagai nalar yang lebih unggul dan sebaliknya, ia terkesan ingin mendepak nalar irfani yang selama ini dinilai kurang memiliki relevansi untuk masa depan epistem Arab. Mengenai nalar bayani, ia tetap menganggapnya sebagai bagian yang mendukung terhadap proses epistem burhani.

C.    Analisis atas Epistemologi Abid al-Jabiri
Al-Jabiri melihat kenyataan bahwa sebelumnya bangsa Arab seringkali memposisikan tipe penalaran dengan tidak sesuai kadarnya. Porsi yang diberikan antara masing-masing nalar tidak ditakar dengan seimbang, namun bagaimanapun seiring perubahan generasi, budaya penalaran ini pada akhirnya terus bergeser secara tidak disadari (la’iy). Tampak bahwa Ia banyak melakukan kritikan baik terhadap nalar bayani terutama irfani di satu sisi dan terlihat sangat antusias dalam mewacanakan nalar bayani di sisi lainnya.  Berdasarkan analisis sosio-historis perkembangan nalar Arab, al-Jabiri menempatkan nalar sebagai “struktur berfikir” (episteme) yang menguasai gerak budaya Arab yang masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan.

1.      Kritik atas Epistem Bayani
 Seiring berjalannya waktu, nalar bayani tradisional yang berupa budaya lisan pada akhirnya berubah menjadi budaya tulis. Hal ini terus berkembang hingga proses peletakan aturan-aturan dan pembentukan kaidah baku dalam interpretasi teks untuk pertamakalinya dicanangkan oleh asy-Syafi’I (w. 204 H). meski demikian, apa yang dilakukan oleh asy-Syafi’I belum dirasa memuaskan. Menurut al-Jahidz, upaya asy-Syafi’I baru pada tingkat memahami makna teks secara sepihak dan belum berusaha melibatkan pendengar, padahal al-bayan pada sisi pedagogik menuntut tersampainya pesan pada pendengar sehingga pendengar harus dilibatkan, bahkan sebagai tujuan.[26]  
Menurut asy-Syatibi, seorang tokoh kelahiran Cordova Spanyol, nalar bayani harus diperbarui dengan melakukan pembacaan realitas. Untuk mensukseskan tujuan tersebut, epistem burhani tidak cukup hanya dengan beracuan pada teks yang menggunakan analisis kebahasaan dengan berbagai transformasinya, namun juga harus disertai dengan dalil-dalil burhani. Berangkat dari hal ini, Asy-Syatibi menawarkan tiga metode, pertama adalah al-Istintaj (qiyas jama’I atau silogisme), istiqra’ (induksi), dan maqasid asyariah. Untuk lebih jauh memahami aspek metodologi epistemologi bayani, menurut al-Jabiri ada hal-hal yang harus diperhatikan, dalam hal ini, unsure-unsur yang mengkonstruk sistem pengetahuan bayani yaitu pasangan lafadz-makna, ashl-far’, dan khabar-qiyas.[27]
Salah satu kelemahan episteme bayani adalah dalam membaca realitas yang terus berkembang dengan metode qiyas bayani. Permasalahan baru yang tidak terdapat dalam teks dirumuskan dengan menggunakan qiyas (silogisme) dengan menyimpulkan pemikiran melalui premis-premis. Dari hal tersebut, hukum yang muncul bukanlah hal baru dan akan bersifat mengekor pada teks. Qiyas sangat beracuan pada illat hukum, membandingkan dan mencocok-cocokkan kesamaan antara pesan teks dengan realitas, karena ini, al-Jabiri melihat bahwa hokum yang dihasilkan oleh qiyas bayani adalah petunjuk yang tak pasti (dhanny adz-dzilalah).
2.      Kritik atas Epistem Irfani
Salah satu hal yang menjadi perhatian al-Jabiri dalam pemikirannya adalah mengenai wahyu. Meski kajian al-Jabiri bisa dikatakan murni sebagai kajian filosofis, namun pengaruh Islam sebagai agama yang dianut oleh bangsa Arab membuat al-Jabiri banyak berbicara tentang konsep wahyu. Kajian al-Jabiri terhadap wahyu inilah yang sekaligus menjadi alat yang ia gunakan untuk mengkritisi Nalar Irfani. Secara sederhana, gambaran penggunaan nalar irfani dalam penafsiran adalah sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan Syiah yang menggunakan qiyas irfani dalam penafsiran al-Qur’an. Hal ini sebagaimana penafsiran pada surat ar-rahman ayat 19-22. Menurut kalangan Syiah, kata bahrayni ditafsirkan dengan Sayyidina ali dan Fatimah, barzakh sebagai Muhammad SAW, dan lu’lu wal marjan sebagai sebagai sayyidina Hasan dan Husain.[28]
Di luar sikap eklektif al-Jabiri yang menyandingkan secara seimbang antara tradisi dan modernitas, nalar irfani dalam arti negatif sering dituding sebagai aspek yang bertanggungjawab atas ketertinggalan dunia Islam saat ini. Nalar ini dianggap sebagai nalar irasional dan melakukan penyingkiran akal dalam proses mencari kebenaran.[29] Secara lebih jauh, Bangsa Arab klasik ia anggap tidak menggunakan porsi yang seimbang dalam menggunakan masing-masing nalar dengan lebih menekankan nalar Irfani. Dalam membahas alasan diutusnya nabi-nabi, al-Jabiri menyatakan bahwa bangsa Arab pra Islam lebih terkesan mengunggulkan nalar irfani hingga pada akhirnya datanglah rasul membawa ajaran yang rasional, namun setelah rasul wafat, maka bangsa ini kembali pada dunia irasionalnya. Kemudian pada saatnya mereka akan kembali pada ajaran yang benar dengan diutusnya rasul yang lain, namun setelah rasul tersebut wafat, maka mereka kembali pada budaya irasionalnya. Hal ini berlanjut hingga diutusnya nabi Muhammad. Inilah gambaran bahwa Nalar Irfani sangat berpengaruh dan telah mengakar dalam dunia Arab yang memang telah berjalan turun temurun dari generasi ke generasi.
Begitu melekatnya nalar irfani dalam dalam budaya Arab membuat al-Makmun yang merupakan salah satu Khalifah dari bani Abbasiyah memanfaatkannya dalam mendeklarasikan logika. Sebelumnya, Ia berusaha mencari cara agar ajaran logika Yunani dapat diterima oleh masyarakat. Pada akhirnya dalam sebuah ceramah, ia mengklaim bahwa pada suatu malam ia bermimpi bertemu dengan seseorang beralis tebal yang menyambung dari ujung ke ujung, bermuka merah, dan menyebut dirinya sebagai aristoteles. Si lelaki tadi berpesan pada al-Makmun bahwa kebenaran bisa di peroleh dari Nash, kemudian Ijma’, dan terakhir adalah dengan menggunakan akal.[30] Tindakan ini adalah bentuk politis agar ajaran logika bisa diterima oleh masyarakat yang saat itu sangat antusias terhadap hal-hal mistis.


3.      Membangun Nalar Arab berbasis Nalar Burhani 
Apa yang dilakukan oleh Abid al-Jabiri ini sebenarnya lebih pada upaya untuk mendeklarasikan sebuah model penalaran baru yakni Nalar Burhani yang sebelumnya terhegemoni oleh nalar irfani dan bayani. Nalar burhani beracuan pada hukum kausalitas. Bagaimanapun, munculnya teks adalah bermula dari sebuah keadaan sehingga teks hanyalah proyeksi dari realitas yang terjadi sebagaimana seseorang yang mengalami peristiwa tertentu akan berusaha menjelaskan peristiwa tersebut dengan teks, namun teks sangat terbatas dan tidak dapat mewakili dari keseluruhan peristiwa yang terjadi. Gagasan al-Jabiri sebenarnya tidak bisa lepas dari al-Farabi yang menyatakan bahwa makna hadir lebih dahulu daripada teks, bahasa hanya sebuah ekspresi dari ide dan bukan ide itu sediri. Sangat ironis jika ide terpenjara oleh kekakuan teks.[31] Selain itu nalar bayani juga sangat rentan ketika dihadapkan dengan sebuah permasalahan realitas yang tidak terdapat pada teks.
Meski al-Jabiri mengkritisi model penalaran bayani, bukan berarti ia menolaknya secara apriori, bahkan ia merumuskannya dalam metode memahami pengetahuan. Menurutnya, teks tetap berperan penting dalam memahami suatu pesan karena teks merupakan salah satu instruen utama yang digunakan seseorang untuk menyampaikan realitas. Karena hal tersebut, al-Jabiri menyandingkan antara pendekatan struktural (al-ma’a<lijah al-bunya<niyyah) dengan analisis historis (at-tah{a<yul at-ta<rikhi).[32]
Untuk mendapatkan suatu pengetahuan, ada lima tahapan yang harus ditempuh dalam penalaran sebagaimana yang ada dalam isagoge Aristoteles. Kelima unsur tersebut disebut dengan lima konsep universal 1) jenis (genus), yakni konsep universal yang memiliki kesamaan hakikat, 2)  nau’ (spises), konsep universal yang searti namun berbeda hakikat hakikat, 3) fasl (differentia), yakni sifat yang membedakan secara mutlak, 4) khas (propirum), sifat khusus yang dimiliki suatu benda, namun hilangnya sifat ini tidak akan mempengaruhi hilangnya hakikat suatu benda, dan 4) ard (aksidensi) sifat khusus yang tidak dapat diterapkan pada semua benda.

D.    Kesimpulan
1.      Dari biografinya, Aljabiri sebagai tokoh yang menggeluti percaturan politik memang terlihat sebagai sosok post-modernis yang berusaha mengusung nilai kemodernan dalam diri Islam itu sendiri. Meski demikian ia juga dengan agenda besarnya yakni naqd aql al-Araby bisa pula digolongkan sebagai tokoh yang beraliran reformis dengan misi merekonstruksi bangunan pemikiran terdahulu.

2.      Beberapa pemikiran al-Jabiri sangat berkaitan dengan apa yang menjadi agenda besarnya yakni naqd aql al-Araby, dengan mengkritisi tiga tradisi berfikis yang ia istilahkan dengan nalar atau struktur berfikir dalam mencari pengetahuan yakni epistem bayani, irfani, dan burhani.
3.      Dari pemikiran-pemikirannya epistemologi al-Jabiri bisa dirumuskan sebagaimana berikut:
Aspek Tradisi dan Kemodernan
a.       Membuka kembali pintu ijtihad
b.      Membongkar alienasi kelas proletar ilmu
c.       Modernisasi dan Mobilisasi Keilmuan Islam
Aspek Nalar Arab
a.       Epistemologi Bayani
1
Origin of Science
Teks, Wahyu, Nash
2
Methode
Qiyas Bayani
3
Approach
Lughawiyyah (linguistic)
4
Validity
Illat (keserupaan) dalam hubungan koherensif dengan realitas.

b.      Epistemologi Irfani
1
Origin of Science
Esoterical Experience, intuisi (bisikan kalbu)
2
Methode
Qiyas al-Irfani, riyadhoh, mujahadah
3
Approach
Sufistik
4
Validity
Kesesuaian antara Dzauq (rasa) dengan universal reciprocity

c.       Epistemologi Burhani
1
Origin of Science
Akal dan realitas
2
Methode
-          Pengartian (Ma’qulat) = abstraksi
-          Pernyataan (ibarat) = ekspresi
-          penalaran
3
Approach
Filosofis – Saintific
4
Validity
-          Korespondensi
-          Koherensi
-          Pragmatis




Daftar Pustaka
al-Jabiri, Abid. Bunyah al-Aql al-Arabiy (Beirut: Markaz Dira>sah al-wahdah al-Arabiyyah).
----------, Muhammad Abid. Formasi Nalar Arab (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003).
Abrori, “Studi Komparasi Muhammad Abed al-Jabiri dan Mohammad Arkoun”, Skripsi fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003
Dwi Haryono,Hermeneutika al-Qur’an Abid al-Jabiri” dalam Syahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta: Elsaq. 2010) Hlm. 86.
Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 180.
Choir, Tholhatul. dan Fanani, Ahwan. (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).



[1] Dwi Haryono,Hermeneutika al-Qur’an Abid al-Jabiri” dalam Syahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta: Elsaq. 2010) Hlm. 86.
[2] Abrori, “Studi Komparasi Muhammad Abed al-Jabiri dan Mohammad Arkoun”, Skripsi fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003. Hlm. 56.
[3] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). Hlm. 181.
[4] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbaga,i … 182.
[5] Abrori, “Studi Komparasi Muhammad Abed al-Jabiri dan Mohammad Arkoun”, Skripsi fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003. Hlm. 57
[6] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 180.
[7] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 180.
[8] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 183.
[9] Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur’an (Yogyakarta, LKiS), 186.
[10] al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabiy…, hlm. 252.
[11] Lihat, Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabiy (Beirut: Markaz Dira>sah al-wahdah al-Arabiyyah), hlm. 15.
[12] Lihat, Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabiy …, hlm. 14.
[13] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 184.
[14] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 184.
[15] Lihat, Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabiy …, hlm. 13.
[16] Muhammad Abid al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) hlm. 224.
[17] Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabiy (Beirut: Markaz Dira>sah al-wahdah al-Arabiyyah), hlm. 251.
[18] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 187.
[19] al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabiy…, hlm. 252.
[20] Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 187. Sebagaimana Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabiy.., hlm. 252.
[21] Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 190.
[22] Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 190-191.
[23] Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 192.
[24] Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 192.
[25] Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 192.
[26] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 183.
[27] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 185.
[28] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 189.
[29] Muhammad Abid al-Jabiri, Formasi Nalar Arab..., hlm. 232.
[30] Muhammad Abid al-Jabiri, Formasi Nalar Arab …, hlm. 365.
[31] Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai, … hlm. 197.
[32] Dwi Haryono,Hermeneutika al-Qur’an Abid al-Jabiri” dalam Syahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta: Elsaq. 2010) Hlm. 99.

No comments:

Post a Comment