Tuesday, September 22, 2015

Ilmu Qiraat dalam Tinjauan Semantika al-Qur'an




Dipersembahkan kepada :

Dr. H. Waryono, M.Ag.

 Oleh :


MUHAMMAD BARIR

YOGYAKARTA
2015



2014Ilmu qira>’ah sering diposisikan sebagai ilmu yang berada pada dimensi tekstualitas al-Qur’an. Beberapa ahli terkadang lebih melihat aspek seni dan keragaman leksikalitas berupa waqf, ‘ibtida>’,’ima>lah, dan lain sebagainya tanpa menghubungkan ilmu ini pada kedalaman ma’na al-Qur’an. Secara lebih jauh, ilmu ini ternyata memiliki hubungan langsung dengan realitas historis sebagaimana ungkapan az-Zarkasyi dalam al-Burha>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n tentang pengaruh qira>’ah terhadap hukum fikih yang dibebankan kepada mukallaf.[1] Untuk itu, membahas lebih jauh tentang pengaruh qira>’ah terhadap pembebanan hukum terlebih tentang interpretasi al-Qur’an, merupakan hal yang memiliki urgensi untuk dilakukan. Tulisan ini merupakan sedikit upaya mereview kembali gagasan tersebut untuk disajikan kepada pembaca sebagai sebuah refleksi dan stimulasi tentang sebuah khazanah kekayaan perspektif dalam studi al-Qur’an.


Keywords :  Qira>’ah dan interpretasi al-Qur’an.


A.    Pendahuluan
Pembahasan tentang ilmu qira>’ah sebenarnya tidak terlepas dari pembahasan I’ja>z al-Qur’a>n. Beragamnya cara baca tidak sekedar menjadi kekayaan bentuk pelafalan al-Qur’an, namun juga memberikan kemudahan bagi setiap lisan orang yang membacanya sesuai karakter lidah masing-masing. Selain hal tersebut, ada sisi lain dari studi ilmu qira>’ah yang juga memiliki urgensi untuk dibahas lebih lanjut, yakni tentang pengaruh qira>’ah terhadap istinba>t hukum. Sehingga ilmu qira>ah tidak hanya menjadi ilmu yang berada pada kawasan tekstualitas al-Qur’an namun juga berada dalam kajian esensialitas makna al-Qur’an.
 Berangkat dari hal tersebut, studi lebih jauh tentang aspek pengaruh qira>’ah terhadap istinbat hukum menjadi hal yang penting. Berawal dari hal ini pulalah nantinya diketahui ketegasan posisi ilmu qira>’ah sebagai salah satu aspek yang dipertimbangkan oleh para mufassir dalam proses interpretasi al-Qur’an ketika merangkai kitab tafsirnya. Dan jika setiap mufassir memiliki imam dan ra>wi> qira>’ah-nya maing-masing, tentu akan muncul berbagai perdebatan lebih lanjut tentang mana qira>’ah yang masyhur dan yang sya>ż.
Dengan munculnya berbagai perdebatan tentang otentisitas qira>’ah ini, maka salah satu aspek lain yang perlu dijabarkan dalam makalah ini adalah mengenai tradisi transformasi ilmu berdasarkan sanad yang berujung dari Rasulullah. sehingga, dalam bebrapa poin dalam makalah ini nanti, juga akan diwarnai dengan penjelasan singkat tentang imam dan rawi qira>’ah, berbagai pendapat ulama, dan penelusuran historisitas perkembangan ilmu qira>’ah.
Secara lebih jelas, poin-poin dalam pembahasan yang akan diulas dalam makalah ini dapat terlihat melalui beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa definisi ilmu qira>’ah dan bagaimana konsep lain di sekitar ilmu qiro’ah?
2.      Bagaimana perkembangan historis ilmu qira>’ah?
3.      Bagaimana pengaruh qira>’ah terhadap interpretasi al-Qur’an?
4.      Bagaimana pendekatan baru dalam studi ilmu qira>’ah?

B.  Pembahasan
1.    Definisi Ilmu Qiroah dan Integrasi antar Konsep
Secara etimologis Kata qira>’a>t (قراءات) merupakan bentuk jama’ dari qira>’ah (قراءة ) yang dalam qaidah bahasa Arab merupakan bentuk mas}dar. Sedangkan, bentuk mad}i kata ini adalah قرأ , dan bentuk mud}a>ri’nya ialah يقرأ. Kata ini dalam bentuknya sebagai mashdar dapat juga menjadiقرأَن  yang memiliki makna  تلا  - تلاوة yakni membaca. Selain bermakna membaca, kata ini juga bermakna الجمع  dan [2] الضمّ yang jika diterjemah menggunakan bahasa Indonesia berarti mengumpulkan atau menghimpun sebagaimana dalam sebuah ungkapan قرأت الماء في الحوض “saya telah mengumpulkan air di telaga”. Kemudian kitabullah al-Qur’an–menurut beberapa pendapat ulama—juga terambil dari kaidah ini yang memiliki arti sebuah bacaan dan himpunan. Al-qur’an di artikan sebagai himpunan karena di dalamnya telah terhimpun ayat-ayat dan surat-surat.[3]
Secara terminologis, Ilmu qira>’ah ini memiliki definisi yang sangat luas dan tidak jarang membuat para ulama saling berbeda pendapat. Salah satu definisi yang dianggap komprehensif oleh beberapa ulama adalah pendapat Ibn Jazary yang menyatakan dalam argumennya bahawa yang dimaksud dengan ilmu qiraat adalah:
 علم  بكيفية أداء كلمات القرأن واختلا فها بعزو الناقلة[4]
ilmu tentang tata cara memposisikan kalimat al-Qur’an dan beragam perbedaan di dalamnya berdasarkan dasar penukilan (dari Nabi)

Sedangkan ulama lain yakni Abdul Fatta>h al-Qa>d}i> berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ilmu qira>’ah adalah:
هو علم يعرف به كيفية النطق بالكلمات القرأنية وطريق أداءها إتّفاقا و اختلافا مع عزو كل وجه لنا قله
qira>’ah adalah ilmu untuk mengetahui tata cara mengucapkan kalimat Qur’ani dan metode memposisikannya sesuai dengan kesepakatan maupun perbedaannya yang dinisbatkan pada setiap kemungkinan wajah dimana ia dinukil

Dari dua argumen di atas, menurut Abdul Qayyu>m as-Sindy bagaimanapun qira>ah merupakan sunnah muttaba’ah yang dinukil oleh para sahabat dan bersumber dari Nabi baik berdasarkan bacaan maupun ketetapan langsung Beliau.[5] Salah satu kitab yang terkenal mengulas Ilmu qira>’ah  adalah kitab at-Taisi>r karya Abu Amr ad-Da>ni dan al-Iqna>’ karya Abi Ja’far.[6]  
Dalam ilmu qira>’ah, terdapat beberapa istilah sebagai konsep lain yang saling memiliki korelasi. Beberapa istilah tersebut adalah:
al- Qira>’ah        : merupakan perbedaan cara baca yang disandarkan pada imam qira>’ah. Contoh bacaan qira>’ah adalah يَغْفِلَّكُمْ  ( bacaan Abi> Amr)   ما أنتم بمصرخيِّ (bacaan Hamzah).
ar-Riwa>yah       : merupakan perbedaan cara baca yang disandarkan pada rowi yang mengambil qaidah baca dari Imam qira>’ah. Bacaan berdasarkan rawi bisa diketahui sebagaimana dalam contoh seperti  قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ [7]  ayat ini menurut pandangan Imam Na>fi’ melalui jalur Warasy dianggap berat sehingga harakat hamzah harus dipindah kepada huruf da>l dan kemudian huruf hamzah dihilangkan sehingga cara bacaannya menjadi قَدَفْلَحَ.[8] 
at}- T}hori>qah      : merupakan perbedaan cara baca yang disandarkan pada orang yang mengambil qa>idah baca dari ra>wi. 
al-Wajh              : merupakan perbedaan cara baca yang diperbolehkan dan wajar sesuai ilmu nah}wu.
al-Us}u>l              : merupakan hukum bacaan secara global sesuai dengan syarat-syaratnya.
al-Farsy             : merupakan perbedaan cara baca yang hanya terdapat dalam tempat-tempat tertentu dalam al-Qur’an dan cukup langka.[9]
Salah satu yang mewarnai perdebatan antara ulama adalah mengenai posisi qira>’ah dengan al-Qur’an. Secara umum terdapat tiga pendapat mengenai hal tersebut:
a)      Menurut Badruddi>n az-Zarkasy, al-Qur’an dan qira>’ah merupakan dua hal yang berbeda yang tidak dapat disamakan. Al-Qur’an wahyu sedangkan qira>’ah hanya perbedaan cara pelafalan.
b)      Menurut Muhammad Sali>m Muh}sin, al-Qur’an dan qira>’ah merupakan dua istilah yang menunjukan satu arti.
c)      Menurut Muhammad Isma>il, al-Qur’an dan qira>’ah tidaklah sama secara keseluruhan, namun keduanya juga tidak berbeda secara keseluruhan dengan masih memiliki korelasi satu sama lain.[10]

Syarat qira>’ah shahihah yang diterima berdasarkan kriteria para ulama:
a)      qira>’ah dengan kwalitas mutawa>tir.[11]
b)      Tidak bertentangan dengan kaidah bahasa Arab.
c)      Tidak bertentangan dengan Rasm ‘Us|ma>ni>.[12]

2.      Fase Perkembangan Ilmu Qira>’ah
Beberapa ulama berbeda tentang awal mula munculnya ilmu qira>’ah, secara umum ada dua perbedaan tentang hal tersebut sebagaimana berikut:
a)      Ilmu qira>’ah telah ada sebelum hijriyah. Berdasarkan h{adis yang turun di Makkah yang menjelaskan tentang nabi yang meminta Jibril untuk mengajarkan tujuh cara abaca al-Qur’an.
b)      Ilmu qira>’ah ada pasca hijrah di Madinah. Bebrapa ulama berargumen bahwa alasan diturunkannya Perbedaan car abaca menjadi tujuh huruf adalah karena untuk mempermudah brbagai logat dan lisan umat yang beragam. Sedangkan hal ini menjadi kebutuhan ialah ketika era Madinah karena di era inilah kabilah-kabilah baru masuk Islam. Di era sebelumnya juga belum terdapat perbedaan dalam praktik baca sebagaimana di era Madinah yang mulai bermunculan perbedaan car abaca seperti perbedaan sahabat Ubai bin Ka’ab dengan salah satu sahabat dan perbedaan Umar dengan Hisya>m bin Haki>m.[13]
Saat itu, Umar yang menjumpai Hisya>m membaca al-Qur’an, tercengang ketika mendengar beberapa bacaan yang tidak sesuai sebagaimana yang ia terima dari Rasulullah ketika diajarkan langsung oleh Beliau. Umar kemudian menarik jenggot hisyam dan menyeretnya ke hadapan Rasu>llah namun Rasulullah hanya tersenyum dan memberi tahu Umar tentang diperbolehkannya membaca al-Qur’an dengan cara baca lain karena bacaan sahabat Hisya>m juga berasal dari Rasu>lulla>h.[14]

Di luar perdebatan mengenai kapan awal mula muncul ilmu qiraah, beberapa ulama membagi perjalanan historis dan perkembangan ilmu qira>’ah menjadi delapan fase:[15]
a)      Fase pertama      : fase transformasi bacaan dari Jibri>l kepada Rasu>lulla>h.
b)      Fase kedua         : fase pendidikan cara baca kepada para Sahabat.
Dikatakan bahwa Nabi mengajarkan cara baca dengan sedikit demi sedikit. Setiap proses belajar mengajar, Nabi membimbing sahabat sepuluh ayat. Dan nabi tidak akan menambah sepuluh ayat berikutnya kecuali ketika sudah difahami dan diamalkan.
c)      Fase ketiga         : fase penyampaian cara baca al-Qur’an dari sahabat kepada
                             sahabat lainnya.
Pada fase ini, Sahabat saling mengajar dan belajar al-Qur’an antar mereka. Tentunya hal tersebut dilakukan berdasar sabda dari Nabi dan restu beliau. Pada masa ini pendidikan al-Qur’an juga telah sampai keluar Makkah. Di antara sahabat yang termasuk memiliki izin mengajarkan al-Qur’an adalah Abdullah Ibn Ummi Maktum dan Mus’ab bin Ami>r.
d)     Fase keempat     : fase pendidikan cara baca al-Qur’an dari sahabat kepada tabi’in.
e)      Fase kelima        : fase penyaringan cara baca al-Quran dari bacaan lain yang
menyimpang.
f)       Fase keenam       :  fase pembukuan atau kodifikasi ilmu qira>at.
Para uama berbeda pendapat mengenai siapa yang pertama kali membukukan kitab tentang ilmu qiraat. Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang pertama kali membukukan ilmu qiroat adalah Abu Ubaid al-Qasim bin Sala>m (w. 224 H), sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa yang pertama kali menyusun buku metodologi ilmu qiroat adalah Abu> Hati>m as-Sijista>ni (w. 255 H).
g)      Fase ketujuh       : fase munculnya ide untuk membatasi qira>’ah.
h)      Fase kedelapan   : fase pembekuan qira>’ah menjadi tujuh bacaan (qira>’ah Sab’ah).
                                              Kodifikasi ilmu ini menjadi sebuah kajian khusus mulai dirintis pada abad ke IV Hijriyah dengan salah satu tokohnya Abu Bakar Ibn Muja>hid.[16] Dengan dikumpulkanya antara ketujuh imam sebagaimana berikut :
1)      Na>fi’ bin Abdirrah}ma>n (w. 169 H),
2)      Abdulla>h bin Kas}i>r (w. 120 H),
3)      Abu> Amr (w. 154 H),
4)      Abdulla>h bin Ami>r (w. 118 H),
5)      ‘As}i>m (w. 127 H),
6)      H}amzah bin H}abi>b (w. 156 H), dan
7)      Ali bin H}amzah al-Kisa>’I (w. 189 H).[17]

Disebutkan dalam kitab al-Burha>n fi Ulu>m al-Qur’a>n bahwa qira>’ah ibn Kas}i>r, Nafi, Abi Amr merupakan qira>’ah yang disandarkan kepada Ubay bin Kaab, sedangkan qira>’ah Ibn Amir merupakan qira>’ah yang kembali kepada Us|ma>n bin ‘Affa>n, dan qira>’ah ‘As}im, H{amzah, serta kisai merupakan qira>’ah yang bersandar pada qira>’ah sahabat Us|ma>n, Ali, dan Ibn Mas’u>d.[18]

3.      Pengaruh Qira>’ah terhadap Interpretasi al-Qur’an
Interpretasi atau sebuah upaya menafsiri memiliki posisi pada tangga ketiga dalam tangga ilmu filsafat setelah, mengetahui (to know) dan memahami (to understanding). Interpretasi tidak sekedar mengetahui, namun secara lebih jauh, interpretasi merupakan upaya pembacaan dalam menggali makna. Menurut Abu> Ish}a>q asy-Sya>t}ibi, dalam sebuah proses Ijtiha>d[19], seorang mujtahid harus mengenal bacaan qira>’a>t. hal tersebut dikarenakan sebuah proses Ijtiha>d memiliki hubungan dengan istinba>t}, dan tidaklah mungkin istinba>t} dapat dilakukan kecuali dengan mengetahui seluk-beluk kaidah bahasa al-Quran termasuk qira>’a>t.[20] selain itu, Mus}t}ofa Muh}ammad H}usain az|ahabi mensyaratkan bagi seorang mufassir untuk faham ilmu qira>’ah karena posisi ilmu tersebut dalam seleksi bacaan yang benar dari sekian banyak wajah qira>’ah.[21]
Beragamnya perbedaan qira>’ah tidak hanya mempengaruhi gaya stilistika al-Qur’an baik lafad maupun pelantunannya, namun perbedaan qira>’ah juga secara langsung akan mempengaruhi penafsiran dan interpretasi makna al-Qur’an. Dalam beberapa tempat, terdapat ayat-ayat yang memiliki perbedaan cara baca dan sekaligus perbedaan tersebut mengakibatkan pada perbedaan pendapat tentang penafsiran al-Qur’an.

a)  Perbedaan qira>’ah yang berimplikasi terhadap salah satu rukun wudhu
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memiliki perbedaan dan perbedaan ini dijadikan dasar dan alasan oleh para ulama dalam istinbat hukum untuk mendukung argumen hukum golongannya masing-masing. Salah satu ayat yang diperdebatkan oleh para ulama adalah ayat keenam dari surat al-Ma>idah. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
Ayat ini merupakan salah satu dasar hukum tentang pemberlakuan rukun wudhu. Ulama berbeda pendapat tentang hukum bacaan dalam term  أَرْجُلَكُمْ, bagi ulama dari sekte imamiyah, term tersebut menjadi dasar bahwa di dalam wudhu diharuskan untuk megusap kaki, hal ini berbeda sebagaimana pendapat jumhur yang menyatakan bahwa kaki harus dibasuh bukan diusap. Golongan sekte imamiyah menyatakan bahwa term tersebut dibaca jar  أَرْجُلِكُمْ karena athaf kepada رُءُوسِ “kepala” sehingga pemberlakuan hukum pada kaki adalah diusap sebagaimana pemberlakuan hukum pada kepala.
Sebaliknya, menurut Ali as{-S{a>bu>ni, hukum bacaan berdasarkan ilmu nahwu dari term di atas adalah nashab karena athaf kepada wajah dan tangan. Alasan kenapa term tersebut tidak jatuh setelah term وَأَيْدِيَ adalah dikarenakan untuk menentukan urutan-urutan dalam wudhu dan bukan merupakan kesalahan munasabah al-Qur’an.[22]
Bacaan tentang term tgersebut yang ber-I’ra>b nashab juga didasari oleh bacaan Na>fi’, Ibn Ami>r, dan Kisa>’i. hal tersebut sebagai mana penjelasan al-Qurt{u{bi dalam tafsirnya jami>’ al-Ahka>m al-Qur’a>n. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa wudhu yang sempurna ialah dengan membasuh kaki. Ia membandingkan dengan membasuh tangan bahwa batas pembasuhan  kaki ialah sampai mata kaki, hal tersebut akan lebih sempurna sebagaimana tangan yang dibasuh sampai kedua siku.[23]
Atas beragamnya perbedaan qira>’ah ini, sebenarnya meski terkesan mempersulit pembaca untuk menimbang bacaan yang benar, namun dari kedua bacaan tersebut baik yang nas{ab maupun yang ja>r menegaskan bahwa hukum perlakuan wudhu pada kaki sangat luwes. Mukallaf boleh membasuh dan juga menyapu kaki jika dalam kondisi tertentu[24], bahkan dalam cuaca yang ekstrim bagi mukallaf yang berada di suhu dingin diperbolehkan menggunakan khuf[25] dan ketika wudhu cukup mengusap khuf tanpa menyentuhkan air pada kulit. 

b) Perbedaan qira>’ah yang berimplikasi terhadap perbedaan alasan diperbolehkan tayammum.
Selain itu, dalam terusan ayat di atas (surat al-Ma>i’dah 5: 6) juga terdapat term lain yang diperdebatkan oleh para ulama yakni redaksi أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ[26], dalam redaksi tersebut terdapat dua bacaan yang berbeda, sebagian ulama menggunakan lafad لامَسْتُمُ “bersetubuh” dan sebagian yang lain menggunakan   لَمَسْتُمُ”menyentuh”. Hal ini berimplikasi pada alasan bersuci baik tayammum maupun wudhu, mana yang diperbolehkan bertayamum, apakah bersetubuh atau menyentuh lawan jenis begitu pula yang membatalkannya.[27]
Sementara yang membaca panjang, mereka mengartikan kata لامَسْتُمُ dengan bersetubuh. Sebab, mengikuti wazanمفاعلة  yang berfaidah al-musyārakah baina isnain (melibatkan dua orang dengan maksud yang sama). Argumentasinya, riwayat bahwa ketika menafsirkan ayat tersebut, ‘Ali ibn Abī  Tālib berkata, “Maksudnya kamu menyetubuhinya, tetapi Allah mengungkapkan dengan kata sindiran. Ibn ‘Abbās juga menafsirkannya dengan mendatangi dan berjimak.[28]
c)  Perbedaan qira>’ah yang berimplikasi terhadap penentuan hukuman pencuri.
Terkadang dalam beberapa hal, bacaan qira>’ah Sya>żah dijadikan penafsiran qira>’ah masyhur. Hal ini sebagaimana dalam qira>’ah Ibn Mas’u>d[29] :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْماَنَهُمَا
Bacaan qiro>’ah tersebut menjadi tafsiran ayat :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Ibn mas’ud mengambil mengambil ayat dengan bacaan pertama untuk mencari kepastian tentang mana tangan yang dipotong terlebih dahulu. Kemudian berdasarkan bacaan tadi أَيْمَنَهُمَا  iya mengambil ketetapan bahwa tangan yang dipotong adalah tangan bagian kanan terlebih dahulu. 

d)     Perbedaan qiroah yang berimplikasi terhadap hukum bersetubuh dengan Istri setelah  Haid.
Salah satu ayat yang mengalami perbedaan bacaan di kalangan ulama adalah ayat dalam surat al-Baqarah ayat 222. Surat ini berbicara tentang masalah keharusan mandi sebelum menggauli istri yang baru selesai masa Haid.
وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
“dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”
Berbeda dengan bacaan Na>fi’ dan Abu> Amr, menurut bacaan H{amzah dan Kisa>’I, ayat tersebut menggunakan term  يَتَطَهَّرْنَ sehingga diperlukan mandi bagi istri sebelum menggaulinya.[30] Pendapat tersebut dari sudut pandang penafsiran sekaligus menjadi penjelasan lafad يَطْهُرْنَ yang sebelumnya bermakna suci (tidak sedang haid) kemudian  menjadi penentu hukum bahwa istri yang telah keluar dari masa haid memiliki keharusan untuk mandi besar sebelum digauli. Hal ini tentunya merupakan penafsiran sebuah qiroat terhadap qiroah lainnya. Menurut Quraish Shihab, kata يَتَطَهَّرْنَ  pada ayat di atas mengandung makna “sangat suci”,[31] hal ini menjurus bahwa untuk diperlukan mandi besar bagi perempuan untuk bisa berpredikat مُتَطَهِّرَة.     

Dari sekian banyak perbedaan para imam qira>’ah tentang cara baca al-Quran, az-Zarkasyi merangkum perbedaan tersebut menjadi tujuh hal:[32]
a)      Perbedaan ‘I’ra>b yang tidak mempengaruhi makna
b)      Perubahan  ‘I’ra>b yang mempengaruhi makna seperti وادّكر بعد أُ مّة  menjadi  وادّكر بعد أَمّة.   Susunan ini terdapat dalam surat Yusu>f 12: 35 yang artinya :
“Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat kepada Yusuf, sesudah beberapa waktu lamanya: ‘Aku akan memberitakan kepadamu tentang orang yang pandai menakbirkan mimpi itu, maka utuslah aku kepadanya’." Menurut Ali as{-S{a>bu>ni>, term ‘ummah dalam ayat di atas memiliki makna  مدّة طويلة“masa yang panjang“[33]
c)      Pergantian huruf pada kalimat dengan disertai perubahan makna namun tidak mempengaruhi gaya penulisan Pada khat. Sebagaimana contoh
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا
“lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali.”
Term نُنْشِزُهَا juga dibaca نُنْشِرُهَا mengganti za’ dengan ra>.
d)     Perubahan tampilan kalimat namun tidak mempengaruhi makna. Sebagaimana contoh dalam surat Ya>si>n 36: 29
إِنْ كَانَتْ إِلا صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ خَامِدُونَ
“Tidak ada melainkan satu teriakan suara saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati”.
Term صَيْحَةً pada ayat di atas tidak dipakai oleh beberapa bacaan qira>’at yang mengganti term tersebut dengan الزَقْيَة.
Pendapat az-Zarkasyi dan beberapa ulama lainnya tentang penggunaan dua kata yang menunjukan satu makna (mura>dif)[34] sebenarnya masih diperdebatkan. Ibn Faris menyatakan argumennya bahwa di dalam al-Qur’an tidak terdapat sinonimitas. Setiap kata memiliki maknanya sendiri.[35]
e)      Perubahan tampilan kalimat dan mempengaruhi makna. Sebagaimana contoh dalam surat al-Wa>qi’ah 56: 29:
وَطَلْحٍ مَنْضُودٍ
“dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya)”
Term طَلْحٍ pada ayat di atas tidak dipakai oleh beberapa bacaan qira>’at yang mengganti term tersebut dengan طلْع. [36]
f)       Perbedaan qiro’at dengan mendahulukan term yang akhir dan mengakhirkan term yang awal. Hal ini sebagaimana bacaan ‘Umar terhadap surat qa>f 50: 19:
 وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ
Dan datanglah sakaratulmaut dengan sebenar-benarnya.
Sahabat ‘Umar membaca term tersebut dengan
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْحَقِّ بالْمَوْتِ
g)      Perbedaan bacaan dengan bentuk menambah atau mengurangi Sebagaimana contoh dalam surat Sa>d 38: 23:
إِنَّ هَذَا أَخِي لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً
“Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina.”
Dalam bacaan lain, ayat di atas memiliki tambahan term lain
إِنَّ هَذَا أَخِي لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً أنثى
Demikian juga dalam contoh:
لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
“bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”
Ayat di atas ditambahkan huruf mi>m menjadi:
لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي من تَحْتَهَا

4.      Ilmu Qira>’a>t  Terbentuk dan Membentuk Bahasa Arab, Sebuah Tinjauan Semantika
Ilmu qira>’a>t  berbeda dengan ilmu kebahasaan pada masanya, antara penggunaan kata pra-Qur’anik, Qur’anik, dan Pasca Qur’anik masing-masing menunjukan penyimpangan dan karakteriswtik bahasa al-Qur’an dengan bahasa keseharian bangsa Arab. Oleh karena itu sangat berbeda bentuk dan ragam karakter kata dalam ilmu tersebut bukan merupakan penyimpangan dan tidaklah bisa dikatakan salah karena al-Qur’an tidak terikat oleh bahasa Arab, bahkan al-Qur’an memiliki peran dalam penanaman dasar pembentukan bahasa Arab pada masa setelahnya.
Selain itu beragamnya qira>’a>t merupakan sesuatu yang disandarkan pada rasulullah yang langsung menerima arahan Jibril. Walau terikat dengan bahasa Arab, posisi ilmu ini menunjukan bahwa bahasa al-Qur’an merupakan bahasa yang independen dari bahasa Arab selain al-Qur’an. Hal ini sebagaimana ilustrasi berikut:
Al-Qur’an
Bahasa
Pewahyuan
Qira>’a>t
Bahasa
Arab
 







Dari diagram di atas, terlihat pentingnya bahasa pewahyuan untuk menggandeng bahasa Arab agar pesan ilahi dapat difahami oleh manusia terutama yang hidup di mana dan kapan al-Qur’an diturunkan. Proses interkoneksi ini penting untuk menjamin otentisitas al-Qur’an sebagai wahyu yang membumi. Hal ini juga menjadi sanggahan terhadap orientalis yang menyatakan validitas al-Qur’an diragukan karena bertentangan dengan kaidah bahasa Arab. Al-Qur’an sama sekali tidak terikat dengan bahasa Arab, bahasa al-Qur’an merupakan representasi keunikan integritas dua bahasa sehingga perbedaan bahasa al-Quran dengan bahasa keseharian yang dipakai bangsa Arab tidak dapat menggugurkan otentisitas al-Quran.
Dalam proses interpretasi al-Qur’an, terlebih dalam memahami qira>’a>t, salah satu hal yang penting adalah mengetahui perbedaan penggunaan kata pada masa sebelum pewahyuan (pre-qur’anic), masa pewahyuan (qur’anic), dan masa setelah pewahyuan (pasca Qur’anic).[37]  Mengetahui penggunaan kata ini penting untuk melakukan pillihan makna karena kata yang sama ketika digunakan pada tempat dan masa yang berbeda dapat memiliki arti yang berbeda pula.
Dengan adanya hubungan antara qira>’a>t dengan penggunaan kata oleh mayarakat Arab, maka semantika merupakan salah satu perspektif baru dalam memahami ilmu ini, secara lebih jauh juga turut dikaji beberapa aspek mengenai alasan pemilihan diksi-diksi kata dalam qira>’a>t. dari sini, penggunaan ilmu historisitas bahasa seperti filologi merupakan salah satu hal yang tidak ada salahnya untuk dicoba dalam memperkaya keilmuan al-Quran dan sebagai upaya integrasi-interkoneksi antar ilmu.[38]  

5.      Kesimpulan
Dari perbedaan-perbedaan tersebut, dapat dikatakan bahwa perbedaan qira>’at dari masing-masing imam tidak hanya mempengaruhi tampilan bacaan luar, namun juga berimplikasi dalam interpretasi ayat al-Qur’an, bahkan berhubungan dengan tindak amaliyah mukallaf. Sehingga mengetahui qira>’ah sah{i>h{ah merupakan salah satu hal urgen untuk dipertimbangkan dalam interpretasi al-Qur’an. Hal ini juga tidak melupakan urgensi ilmu lain dalam kaidah bahasa yang juga sebenarnya akan sangat membantu dalam memahami ilmu qira>’ah.
Ilmu qira>’ah memiliki perbedaan dengan ilmu nah}wu karena kompleksitas kajian yang ada di dalamnya. Terlebih yang membedakan ilmu ini dengan ilmu nahwu adalah anomali-anomali bacaan yang memerlukan pemahaman dan pengetahuan khusus yang tidak didapat dari ilmu nah}wu. Alasan ilmu qira>’ah begitu berbeda dengan ilmu nah}wu adalah karena kaidah kebahasaan Arab telah berelasi dengan al-Qur’an dan mengikuti prosedur dan cara pengucapan berdasarkan historisitas pewahyuan. Dari sinilah letak urgensi mempelajari Ilmu Qiro’ah yang tidak dapat dikesampingkan.
Walaupun ilmu ini merupakan ilmu tauqi>fi sebagaimana ungkapan az-Zarkasyi dalam al-Burha>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n,[39]  namun bagaimanapun tauqi>fi yang dimaksud di sini adalah sebuah ketetapan tentang keragaman bacaan yang bermacam-macam hukum yang terkandung di dalamnya masih bisa berubah seiring banyaknya opsi qiro’ah lain bahkan di luar tujuh imam yang sudah dibakukan oleh ulama seperti Abu Bakar Ibn Muja>hid. Lebih jauh lagi, perubahan realitas historis dimungkinkan juga bisa mempengaruhi perubahan pilihan qira>’ah yang paling sesuai.

Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).
al-Qat{t{a>n, Mana>’ Khali>l. Mabah{is fi>  Ulu>m al-Quran (Kairo: Maktabah Wahbah). 
al-Qurt{ubi>, Abu> Abdilla>h Muh{amamd bin Ah{mad al-Ans{a>ri. Jami>’ al-Ah{ka>m al-Qur’a>n Jilid III (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).
an-Naisa>bury, Muslim bin H{ajja>j. S{ah{i>h{ Muslim, No. 1357. CD Lidwa Pustaka
as{-S{a>bu>ni>, Ali. S{afwah at-Tafa>sir (Beirut: Maktabah al-‘As{riyyah, 2008). 
asy-Sya>t}ibi, Abu Ish}a>q. al-Muwa>faqa>t jilid II (Kairo: Da>r al-H}adi>s 2006).
az|-z|ahabi, Mus}t}ofa Muh}ammad H}usain. at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n Juz I (Kairo: Da>r al-H}adi>s, 2005).
Ba>qi’, Muh{ammad Fu’a>d Abdul. al-Mu’jam al-Mufahrasy li al-fa>z{ al-Qur’a>n (Kairo, Da>r al-H}adi>s, 2007).
Fakhrudin, Ali. “Relasi Gender dalam Keragaman qira>’a >tdalam Jurnal Suhuf Vol. III 2010.
Izutsu, Toshihiko. God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1964).
Manz{ur, Ibn. Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
Muh{ammad bin Abdulla>h az-Zarka>syi, Badruddi>n. al-Burha>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Daru Ahya’I Kutub al-‘Araby, 1957).
Munawwir, al-Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif 1997).
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010).
Muzakki, Lihat Ahmad. Stilistika al-Qur’an (Malang: UIN Malang Press, 2009).
Qayyu>m bin Abdul Ghafu>r as-Sindy, Abdul. ‘Ulu>m al-Qira>’a >t (Beirut: al-Maktabah al-Amda>diyah, 2001).
Rizq, Sayyid. Fi> ‘Ulu>m al-Qira>’a>t: Madkhal, Dira>sah, wa at-Tah}qi>q (Makkah: Fais}aliyyah, 1985).


[1] Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Ilmiyyah, 2007), Hlm. 326.
[2] Kata qara’a dengan makna ini lebih menekankan makna sesuatu yang memuat sesuatu yang lain sebagaimana contoh:  بعضَه  إلى بعض و ضممت جمعت lihat Ibn Manz{ur, Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah), hlm.157.
[3] Abdul Qayyu>m bin Abdul Gaffu>r as-Sindy, ‘Ulu>m al-Qira>’at (Beirut: al-Maktabah al-Amda>diyyah, 2001), hlm. 15.
[4] Abdul Qayyu>m bin Abdul Gaffu>r as-Sindy, ‘Ulu>m al-Qira>’at …, hlm. 16.
[5] Abdul Qayyu>m bin Abdul Ghaffu>r as-Sindy, ‘Ulu>m al-Qira>’at …, hlm. 16.
[6] Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Ilmiyyah, 2007), Hlm. 220.
[7] Al-Mu’minu>n 23: 1.
[8] Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Daru Ahya’I Kutub al-‘Araby, 1957), Hlm. 338.
[9]  Abdul Qayyu>m bin Abdul Ghaffu>r as-Sindy, ‘Ulu>m al-Qira>’at …, hlm. 16.
[10]  Abdul Qayyu>m bin Abdul Ghaffur as-Sindy, ‘Ulu>m al-Qira’at …, hlm. 22.
[11] Kriteria mutawa>tir dalam ilmu ini penting karena posisi al-Qur’an sebagai dasar utama sebagaimana ungkapan Sayyid Rizq yang menyatakan bahwa derajat sanad dalam al-Qira>’a>t merupakan derajat yang tertinggi karena tidak ada sanad lain yang melebihi kedudukan sanad al-Quran dan tidak ada yang lebih mutawa>tir disbanding dengannya. lihat Sayyid Rizq, Fi> ‘Ulu>m al-Qira>’a>t: Madkhal, Dira>sah, wa at-Tah}qi>q (Makkah: Fais}aliyyah, 1985), hlm. 283.
[12]  Abdul Qayyu>m bin Abdul Ghaffur as-Sindy, ‘Ulu>m al-Qira’at …, hlm. 23.
[13] Abdul Qayyu>>m bin Abdul Gaffur as-Sindy, ‘Ulu>m al-Qira’at …, hlm. 31.
[14] Lihat Muslim bin H}ajja>j an-Naisa>bu>ry, S}ah}ih} Muslim, No. 1357. CD Lidwa Pustaka.
[15] Abdul Qayyu>>m bin Abdul Gaffur as-Sindy, ‘Ulu>m al-Qira’at …, hlm. 33-34.
[16] Nama lengkapnya Ah}mad bin Mu>sa bin al-Abba>s at-Taymi, lihat Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Ilmiyyah, 2007), Hlm. 226.
[17] Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Ilmiyyah, 2007), Hlm. 226-227.
[18] Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Daru Ahya’I Kutub al-‘Araby, 1957), Hlm. 338.
[19] Ijtiha>d bisa dimaknai dengan mengerahkan segenap upaya melalui akal untuk melakukan istinba>t. beberapa ulama sering mengaitkan term Ijtiha>d, dengan jiha>d dan muja>hadah. Meski ketiga term tersebut terkesan memiliki akar kata yang sama, namun ketiganya dapat dibedakan.  Jika Ijtiha>d dengan menggunakan akal, beda halnya dengan jiha>d yang menggunakan fisik, dan muja>hadah yang menggunakan hati.
[20] Abu Ish}a>q asy-Sya>t}ibi, al-Muwa>faqa>t jilid II (Kairo: Da>r al-H}adi>s 2006), hlm. 410.
[21] Mus}t}ofa Muh}ammad H}usain az|ahabi, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n Juz I (Kairo: Da>r al-H}adi>s, 2005), hlm. 230.
[22]  Ali as{-S{abu>>ni, Shafwah at-Tafa>sir (Beirut: Maktabah al-‘Asriyyah, 2008),  hlm. 279.
[23] Abu Abdillah Muhamamd bin Ahmad al-Anshary al-Qurthubi, Jami>’ al-Ah{ka>m al-Qur’a>n Jilid III (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), hlm. 61.
[24] Mana>’ Khali>l al-Qat{t{a>n, Mabah{is fi>  Ulu>m al-Quran (Kairo: Maktabah Wahbah)  hlm. 171.
[25] Khuf merupakan sejenis sepatu atau kaus kaki yang terbuat dari kulit yang digunakan untuk menghangatkan tubuh bagian kaki ketika musim dingin.
[26] Selain dalam surat al-Ma>idah 5:6, term serupa juga dapatditemukan jika kita membuka surat an-Nisa> 4: 43. Term yang berakar kata لمس  dalam al-Qur’an terdapat dalam lima tempa, pertama adalah dalam al-Ji>n 72: 8, al-an’a>m 7: 27, an-Nisa>’ 4: 43, al-Ma>’idah 5:6, dan al-H}adi>d 57:13. Lihat: Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’, al-Mujam al-Mufahrasy li al-fa>z{ al-Qur’a>n (Kairo, Da>r al-H}adi>s, 2007|), hlm. 752.
[27] Badruddi>n Muhammad bin Abdulla>h az-Zarkasyi, al-Burha>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Da>r Ahya>’I Kutub al-‘Araby, 1957), Hlm. 326.
[28] Ali Fakhrudin, “Relasi Gender dalam Keragaman qira>’a >tdalam Jurnal Suhuf Vol. III 2010, hlm. 39
[29] Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi, al-Burha>n fi Ulu>m al-Qur’a>n Juz I …, Hlm. 350.
[30] Badruddi>n Muhammad bin Abdulla>h az-Zarka>syi, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Daru Ahya’I Kutub al-‘Araby, 1957), Hlm. 326.
[31]  Quraish Shihab, Tafsi>r al-Misba>h (Tangerang: Lentera Hati, 2007), Hlm. 478.
[32] Badruddi>n Muhammad bin Abdulla>h az-Zarka>syi, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Daru Ahya’I Kutub al-‘Araby, 1957), hlm. 232.
[33] Ali as{-S{abu>>ni, Shafwah at-Tafa>sir (Beirut: Maktabah al-‘Asriyyah, 2008),  hlm. 554.
[34] Ibnu Jinni menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tara>duf adalah kata-kata yang berbeda namun memiliki titik temu persamaan. Menurut ar-Ra>zi tara>duf adalah lafad yang menunjukan makna sesuatu dengan satu ungkapan. Literature bahasa Arab yang pertama kali menggunakan istilah tara>duf adalah karya Abi> al-H}asan Ali> bin Isa> ar-Ramma>ni> dalam kitab Alfad} al-Mutara>ddifah wa al-mutaba>’idah fi al-Ma’na.  istilah ini lebih popular berkat Abu> al-H}usain Ah}mad bin Fa>ris dalam kitab as}-S}a>hibi>. Lihat Ahmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 48.
[35] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 78.
[36] Term طلْع  bisa memiliki beberapa makna, salah satunya ialah mayang Kurma’ lihat al-Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif 1997), hlm. 860.
[37] Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1964), hlm. 37.
[38] Tunas gagasan teori integrasi-Interkoneksi pertamakali muncul tahun 1980-an melalui tiga tokoh yakni Harun Nasution (rector UIN Syarif Hidayatullah era itu), Manawir Syadzali (menteri Agama era itu), dan Mukti Ali (Rektor UIN Sunan Kalijaga era itu). Pada era selanjutnya, Amin Abdullah mengembangkan gagasan tersebut menjadi teori khusus dalam pembentukan paradigm jarring laba-laba di perguruan tinggi. Lihat M. Amin Abdullah, Islamic Studies (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 107.
[39] Badruddi>n Muhammad bin Abdulla>h az-Zarka>syi, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Daru Ahya’I Kutub al-‘Araby, 1957), Hlm. 225.

No comments:

Post a Comment