Tuesday, September 22, 2015

Membedah Tafsir Kebencian Zaitunah Subhan




Studi Perkembangan Tafsir Gender di Indonesia tahun 1990-an
Muhammad Barir, S.Th.I.

Persembahan untuk Dr. Abdul Mustaqim

A.    Pendahuluan
Tulisan ini merupakan sebuah upaya dalam mengetahui fenomena penulisan pemikiran tafsir yang berkembang di Indonesia. Dengan mengangkat Karya “Tafsir Kebencian” yang ditulis oleh Zaitunah Subhan. Penelitian ini ditujukan untuk menelusuri fenomena persentuhan antara al-Qur’an dengan realitas sosial sebagaimana isu gender yang ternyata mampu memberikan warna baru dalam khazanah penafsiran di Indonesia. Dalam teori resepsi, al-Qur’an yang hidup di masyarakat yang bergerak akan terus direspon dan difahami sehingga memunculkan tiga konsekuensi utama yakni: karya pemikiran, perilaku, dan produk materi. Salah satu di antara ketiga aspek tersebut, yakni karya pemikiran akan menjadi titik fokus kajian pada tulisan ini dengan beracuan pada beberapa pertanyaan utama yakni: bagaimana konteks yang melahirkan pemikiran tafsir Zakiyah Subhan?, Bagaimana gambaran dari pemikiran tafsir tersebut?, dan Bagaimana motivasi, pra-pengetahuan, dan asumsi-asumsi yang membangunnya?.
Keywords : al-Qur’an, perkembangan isu Gender di Indonesia, dan Tafsir Kebencian.
 
B.     Konteks Indonesia dan Memuncaknya Isu Gender
Tahun 1980-an merupakan tahun awal terbangunnya pilar-pilar kajian gender[1] di Indonesia.[2] –Tentunya dengan tanpa meragukan adanya kemungkinan masuknya kajian gender pada tahun-tahun sebelumnya—Pada tahun ini, didirikan sebuah lembaga bernama PSW (Pusat Studi Wanita). Lembaga ini didirikan oleh pemerintah yang bekerjasama dengan berbagai lembaga universitas dengan bertujuan untuk meningkatkan kwalitas dan mengangkat harkat martabat wanita. Lembaga ini kemudian berkembang dengan mengusung ideologi kesetaraan antar kelamin yang pada akhirnya nanti menjadi motor pembuka isu gender di Indonesia.[3]
Kemudian pada 1989, Majalah Pesantren, LKPSM NU DIY mulai melirik isu ini untuk dijadikan salah satu kajian tersendiri. Berkembangnya wacana gender juga turut didukung oleh pihak luar berkenaan dengan kerjasama antara Indonesia-Belanda “Indonesian-Netherlands in Islamic Studies” di pusat kebudayaan Belanda Erasmushuis yang menggagas seminar tentang dunia wanita tekstual dan kontekstual pada 1991. Dengan banyaknya pintu yang membuka masuknya kajian gender, karya-karya tentang isu tersebut banyak bermunculan yang salah satunya adalah “Tafsir Kebencian” yang ditulis antara 1996 hingga 1998.[4]
Pada awal dekade 1990-an wacana gender semakin berkembang melalui dua pintu. Pintu pertama adalah adalah mahasiswa Indonesia yang kembali dari studi di luar negeri dan pintu kedua adalah penterjemahan karya-karya yang berbau feminis dan gender. Salah satu di antara karya yang masuk di Indonesia adalah tulisan Fatimah mernisi dan Amina Wadud Muhsin yang berjudul Woman in The Quran. Tulisan Amina Wadud di terjemah di Bandung dan terbit pada tahun 1994. Tulisan tersebut berbaur di antara tulisan-tulisan kaum kiri Islam lainnya seperti Riffat Hassan dan Asghar Ali Engineer.[5]
Tahun 2001 menjadi masa-masa emas bagi PSW dan para pendukung gerakan gender di Indonesia. Melalui Impres tahun 2001, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjabat sebagai presiden menekankan pentingnya peran dan konstribusi kaum wanita dalam memajukan Negara “gender mainstreaming into national development”. Istilah “gender mainstreaming” dimaksudkan sebagai usaha dalam membuka akses jaminan kerja beriringan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai lembaga pemerintah mulai dari kementerian, kemiliteran, polisi, dan institusi-institusi lokal. Sistem kerja dari program “gender mainstreaming” adalah perencanaan (planing), perumusan (formulation), penerapan (implementation), pengawasan (monitoring), dan evaluasi (evaluation).[6]   
C.    Zaitunah Subhan, Akademisi Aktivis Gender[7]
Zaitunah Subhan lahir di Gresik Jawa Timur, sebuah kabupaten di pesisir utara tepatnya di pertemuan dengan Surabaya di sebelah timur dan bertemuan dengan kabupaten Lamongan di sebelah barat, sedangkan di Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo. Zaitunah Subhan lahir pada tanggal 10 Oktober 1950. Pendidikan formalnya dijalani di SRN yang ditempuh selama enam tahun. Ia juga memulai pendidikan keislaman di PP Maskumambang Grasik dengan jenjang pendidikan ibtidaiyah (setingkat SD) hingga tsanawiyah (setingkat SMP) yang ditempuh selama tiga tahun. Menginjak Aliyah (jenjang setingkat SMA), Ia melanjutkan perjalanan menimba ilmunya di Ihya’ul Ulum yang ditempuh selama dua tahun di Gresik.
Pada tahun 1967, ia memulai menapakan kaki di tingkat perguruan tinggi, tepatnya di IAIN Sunan Ampel yang sekaligus menjadi angkatan pertama dan lulus berpredikat sarjana muda (BA). Kelulusan ini kemudian diikuti kelulusannya empat tahun setelahnya dengan berhasil meraih gelar (Dra) jurusan Pebandingan Agama. Dengan prestasi akademis yang ia miliki, Zaitunah Subhan diutus sebagai duta belajar ke Kairo Mesir jenjang dirasat al-ulya atau setingkat magister yang ia selesaikan selama empat tahun tepatnya pada tahun 1978.
Sekembalinya dari Mesir (1978), ia kemudian mengabdikan diri kepada almamaternya sebagai tenaga dosen dan menjadi lektor kepala pada tahun 1999. Pada tahun 1989, ia pernah mengikuti intensive course (Woman and Development kerjasama INIS dengan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Kemudian pada 1996, ia berkesempatan untuk terbang ke Australia dalam rangka turut serta dalam konferensi internasional yang tahun 1995-1999.di selenggarakan di Adelaide. Selain itu, di dalam negeri juga pernah mengikuti Konferensi bertajuk “international women: conference women in Indonesia society;acces, empowerment and opportunity”.
Selama menempuh studi keislaman di kampus IAIN, Zaitunah Subhan aktif dalam kegiatan berorganisasi dengan menjadi ketua KPSW (Kelompok Pengembangan Studi Wanita) IAIN Sunan Ampel dari 1991-1995, dan ketua PSW (Pusat Studi Wanita) di kampus yang sama. Di laur kampus ia aktif dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekia Muslim Indonesia) selaku ketua divisi hubungan antar oraganisasi wanita Orwil Jawa Timur tepatnya pada tahun 1995-2000. Ia juga mengasuh kelompok pengajian agama Islam di instansi pemerintah dan BUMN serta menjadi anggota Pokja P2W Pemba Jatim. Di tengah kesibukan mengajar, berorganisasi, dan mengabdi kepada masyarakat, ia turut mencurahkan waktunya untuk melanjutkan studi tingkat doctoral (s3) bebas terkendali angkatan pertama tahun 1996/1997. Studi ini merupakan tugas Direktorat Perguruan Tinggi Agama IslamDirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI. Studi ini diselesaikan pada tanggal 29 Desember 1998.
D.    Pandangan Zaitunah tentang Tafsir
Dalam dinamika penulisan tafsir al-Qur’an, meski ulama telah memberi garis bawah tentang apa yang dinamakan tafsir[8], namun beberapa mufassir tertentu mengambil jalannya sendiri dan memilih makna tertentu tentang tafsir. Hal ini sebagaimana Abduh yang dalam muqaddimah kitab tafsir al-Mannar melayangkan keberatannya terhadap ulama terdahulu yang memaknai tafsir secara sempit. Tafsir klasik ia anggap hanya dapat mengungkap aspek lughawi dengan hanya membatasi kajiannya dalam aspek nahwiyah, balaghah, dan lainnya, sedangkan di lain sisi, manusia masih haus akan solusi atas permasalahan sosialnya. Dari sini, lahir tafsir adabi ijtima’iy.
Pemaknaan mufassir terhadap konsep tafsir akan menjelaskan arah dan karakter pemikiran mufassir itu sendiri. Beberapa mufassir mungkin ada yang mengikuti kaidah umum tentang makna tafsir, namun beberapa mufassir yang lain memilih memahami tafsir secara berbeda dengan pemaknaan umum. Jalan tersebut juga yang dipilih oleh Zaitunnah Subhan, ia memiliki definisi khusus tentang apa yang dinamakan dengan tafsir. Menurutnya tafsir berfungsi untuk memahami al-Qur’an baik makna maupun keindahannya. Al-Qur’an menyimpan segala macam petunjuk dan ajaran yang meliputi segala aspek kehidupan manusia di dunia. Dengan alasan tersebut, tafsir merupakan anak kunci untuk membuka simpanan yang tertimbun dalam al-Qur’an”.[9]
Dari pemaknaan Zaitunah di atas, tersirat bahwa jalan yang ia ambil dalam memahami al-Qur’an memiliki dua kategori. Pertama ialah al-Qur’an memiliki petunjuk dan kedua adalah, bahwa petunjuk itu mencakup semua aspek kehidupan dunia, yang menarik, Zaitunah tidak mencantumkan akhirat yang eskatologis. Corak yang ia bangun terlihat bersifat humanis antroposentris yang memunculkan asumsi bahwa Zaitunah ingin menunjukkan bahwa al-Qur’an sebenarnya diperuntukkan kepada manusia. Sediki mirip dengan pandangan Abduh tentang al-Qur’an dalam muqaddimah al-Mannar yang ia anggap sebagai hidayah untuk umat manusia dalam setiap tempat dan waktu.[10]
E.     Deskripsi Tafsir Kebencian
Karya Zitunah ini merupakan penelitian disertasi Program doktoral di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis sekitar tahun 1997. Pada mulanya, judul disertasi ini adalah Kemitra Sejajaran Pria dan Wanita dalam Perspektif al-Qur’an. Karena karya ini didominasi oleh upaya melakukan dekonstruksi atas asumsi-asumsi seperti dominasi, hegemoni, dan diskriminasi, maka dari hal tersebutlah muncul istilah Tafsir Kebencian: “Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur’an”. Untuk mengetahui, mengenal, dan memahami Tafsir Kebencian berikut akan dipaparkan beberapa aspek mulai dari metode, corak, sistematika, sumber-sumber yang mempengaruhi, hingga karakteristik Tafsir Kebencian.
1.      Metode yang dipakai
Metode tafsir yang dipakai dalam tafsir ini ialah metode tafsir maudhu’i. Karakter metode tafsir maudhu’i sendiri ialah lebih bersifat induktif. Karakter ini menuntut penelusuran ayat di mulai dari realitas. Di sisi lain, Zaitunah sendiri masih menyertakan argument mufassir terdahulu yang menggunakan metode deduksi yang mendasari penelusuran makna melalui teks. Meski sempat mengutip pendapat farmawi, namun Zaitunah tidak mengambil rumusan farmawi secara total, meglainkan mengkritisinya menjadi formula lain. Dari enam langkah yang dirumuskan oleh Farmawi, ia mengadopsi beberapa di antaranya dan mengganti yang perlu hingga kemudian ia merumuskan empat langkah menurut fersinya sendiri:
a)      Mengelompokkan ayat dalam tema tertentu.
b)      Mendeskripsikan pemikiran para mufassir tentang ayat-ayat yang telah dirumuskan.
c)      Memperkuat argumen dengan hadis-hadis.
d)     Membuat kesimpulan dengan analisis kritis.[11]

2.      Corak Tafsir
Corak dalam Tafsir Kebencian terlihat cukup terpengaruh oleh Abduh. Hal tersebut bisa ditelusuri melalui pandangannya tentang makna tafsir. Ia memaknai tafsir adalah pengungkapan makna terhadap ayat al-Qur’an yang orientasinya ialah kembali kepada realitas kehidupan umat manusia. Dari hal ini, corak adabi ijtima’i kemudian diambil dan digunakan dalam mengangkat isu sosial mengenai gender. Corak sosial yang memiliki karakter relasi antar manusia dihubungkan dengan mengangkat relasi antara perempuan dan laki-laki.
3.      Sumber-sumber yang Dipakai
Mengenai sumber penafsiran, Zaitunah melandasi interpretasi al-Qur’an berdasarkan kombinasi atara argumentasi sejarah dan teks. Argumentasi sejarah mengenai gender ditelusuri sebagai penjelasan dan penjabaran suatu ayat tertentu. Ia juga menyertakan hadis-hadis yang berkaitan dengan isu gender. Selain mendasari interpretasinya secara otentis, ia juga mengadopsi pemikiran dan penelitian ulama yang telah lalu. Ada tiga kitab tafsir karya mufassir Indonesia yang juga banyak menjadi rujukan dalam Tafsir kebencian. ketiganya adalah tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Yunus, al-Azhar karya Hamka, dan al-Qur’an dan Tafsirnya yang disusun di bawah pengawasan Departemen Agama RI.[12] Selain kitab tafsir ia juga merujuk karya Hamka tentang perempuan yang berjudul “Kedudukan Perempuan dalam Islam”. Alasan pemilihan ketiga tafsir di atas ialah didasari upaya Zaitunah dalam menampilkan tafsir-tafsir yang mewakili tiap generasi di Indonesia. Dalam pembagian generasi tafsir, ia menggunakan pendapat Howard M. Federspiel yang menyatakan bahwa tafsir Mahmud Yunus mewakili masa 1920-an, Hamka yang mewakili generasi 1970-an[13], dan tafsir depag yang mewakili generasi 1990-an.
Selain menggunakan tiga kitab tafsir di atas, penulisan Tafsir Kebencian juga terpengaruh oleh tokoh-tokoh feminis seperti Rifat Hasan dan Fatima Mernisi.[14] Selain itu, dalam aspek metodologis, ia terpengaruh oleh Abduh yang menyatakan bahwa al-Qur’an tertutup oleh orang Islam sendiri.[15] Dari ungkapan inilah corak tafsir adabi ijtima’i digunakan sebagai kunci untuk membuka ketertutupan umat tersebut. istilah-istilah “kunci, pintu, membuka, dan ketertutupan” yang dipakai oleh Zaitunah menggambarkan tentang pengaruh Abduh pada pemakaian term-term tersebut dalam tafsirnya.
4.      Karakteristik Tafsir Kebencian
Tafsir Kebencian yang lahir di tengah asumsi diskriminasi antara wanita dan laki-laki mengakibatkan karya tersebut memiliki karakteristik Gender. Sebuah konstruksi yang menginginkan terciptanya keadilan sosial dan menempatkan wanita dalam posisi yang setara dengan laki-laki. Karakter ini pula yang mengakibatkan penggunaan analisis gender. Sebuah analisis yang secara praktis digunakan untuk menelusuri penyebab-penyebab terjadinya ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin.[16] Dengan mengetahui karakteristik tafsir ini, akan diketahui pula pra-pengetahuan yang membangun Tafsir Kebencian, motivasi, dan orientasi yang menjelaskan akan dibawa ke mana arah interpretasi al-Qur’an.
F.     Asumsi-Asumsi yang Dibangun dalam Tafsir Kebencian
Salah satu argument yang dikutip dalam Tafsir Kebencian adalah ucapan sahabat Ali bin Abi Thalib, “persilahkan al-Qur’an berbicara”.[17] Ucapan sahabat Ali tersebut seharusnya menjadi pegangan setiap kali seseorang berusaha memahami al-Qur’an, namun menurut Zaitunah, para mufassir yang kebanyakan adalah laki-laki telah terjebak pada pra pengetahuan berupa adatnya, budayanya, dan kodratnya sebagai seorang laki-laki. Wanita menurutnya seringkali dikonotasikan dalam arti negatif dan keterbatasan kodratnya dijadikan alasan dalam mereduksi peran dan fungsi wanita baik dalam keluarga maupun dalam ranah sosial.[18]
Implikasi dari penafsiran kaum bias gender pada akhirnya merambah ke dalam wilayah hukum. Aspek hukum inilah yang pada gilirannya digunakan sebagai alat untuk mengeksekusi hak kesetaraan kaum wanita. Di Sumatera abad ke VXII generasi kepemimpinan empat sultan wanita—Din Syah (1641-1678 M), Nur Alam (1675-1678 M), Inayat Syah (1678-1688 M), dan Kamalat Syah—harus terputus karena fatwa haram pemimpin wanita oleh seorang hakim agama di Makkah.[19] Hal tersebut menjadi kain penutup mata atas kenyataan adanya dua sisi yang ada pada diri manusia yakni kodrat dan fungsi.
Secara kodrati, wanita memang berbeda dengan laki-laki, namun di sisi lainnya, wanita memiliki akses yang sama dalam mengisi fungsi sosial, kebudayaan, pendidikan dan fungsi-fungsi lainnya. Dua aspek ini, yakni “wanita, antara kodrat dan fungsinya” merupakan asumsi utama Zaitunah Subhan dalam tafsirnya. Ia membagi dua istilah yang merepresentasikan dua sisi pada manusia, pertama adalah kemitraan dan kedua adalah kesejararan. Kemitraan ia anggap merupakan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam aspek fungsional. Secara bersama-sama hidup, beraktivitas, dan berkarya dengan saling beriringan. Aspek kedua, yakni kesejajaran ia anggap sebagai kesetaraan pada aspek kodrati. Baik perempuan dan laki-laki meski keduanya dibedakan menurut gen, namun tetaplah sama sebagai manusia ciptaan Tuhan.
Dengan pemahaman seperti ini, akses menuju produktifitas wanita akan semakin terbuka. Sehingga laki-laki tidak melulu berada pada wilayah produksi, sedangkan wanita berada pada wilayah reproduksi. Laki-laki tidak melulu berada pada wilayah publik, sedangkan wanita berada pada wilayah domestik. Keduanya saling mengisi. Kedudukan dan keberadaannya akan dihargai secara sama rata sama rasa. Keduanya, baik laki-laki dan perempuan akan sama-sama bergantian saling mengisi fungsi dan perannya.
G.    Penafsiran-Penafsiran Zaitunah terhadap Ayat-ayat al-Qur’an
Salah satu ayat yang ditafsiri oleh Zaitunah adalah surat an-Nisa’ 4: 34 yang berbunyi:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
Ayat ini diterjemahkan dengan : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)”. Terjemahan ini sebagaimana terjemahan departemen agama RI dan beberapa terjemahan lainnya. Lebih lanjut, kata qawwam pada ayat ini diterjemah sebagai pemimpin, namun ternyata kata ini juga terdapat pada ayat lain yakni an-Nisa’ 135 dan al-Maidah 5: 8. Hal yang aneh adalah pada kedua ayat tersebut kata qawwam tidak diterjemahkan dengan arti pemimpin, tapi “berdiri karena Allah” dan “lurus karena Allah”.[20]
Menurut Zaitunah, penafsiran seperti itu mengandung bias. Lebih lanjut menurutnya, penafsiran yang tepat adalah pengayom dan penanggung jawab. Bagi wanita pun kepemimpinan tetap layak untuk disandangnya. Ia memberikan sebuah contoh sosok Ummu Waraqah. Seorang perempuan yang menjadi pemimpin bagi keluarga dan menjadi guru bagi beberapa sahabat laki-laki. Hal tersebut sebagaimana kapabilitasnya sebagai seorang hafizah dan qariah yang baik dan bagus bacaannya. Suatu ketika, Rasulullah pernah menyuruh seseorang lelaki tua untuk melantunkan iqamat dan menunjuk Ummu Waraqah mengimami keluarganya untuk shalat.[21]
Ia mengkritisi ulama terdahulu yang mengaitkan term nisa’ dengan nasiya=lupa. Perempuan hanya diproyeksikan sebagai mahluk yang lemah, lunak, dan lembek. Dalam sisi lainnya, laki-laki diproyeksikan sebagai mahluq yang keras, kuat, dan tajam ingatannya. Dalam tafsir kebencian, Zaitunah juga melakukan kontekstualisasi atas kata wanita di Indonesia. sebagamana di Arab yang orang akan memiliki pilihan secara paradegmatik untuk mengungkap sosok wanita dengan beragam term diksi. Seperti untsa, nisa’, dan mar’ah, di Indonesia juga demikian. Terdapat dua kata yang sering dipakai dalam menunjukkan sosok jeniskelamin lawan laki-laki. Kedua kata tersebut adalah wanita dan perempuan.
Kata wanita berasal dari bahasa sangsekerta “wan”, yang berarti nafsu, sedangkan perempuan sebagaimana tertulis dalam prasasti Ganda Suli berasal dari kata “parpuanta” yang berarti yang dituankan atau dihormati. Dengan demikian diksi perempuan lebih terhormat jika dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan dalam kakawin arjuna wiwaha XXXII, kata wanita bermakna positif yang berasal dari kata “wani ditata” atau keberanian untuk ditata.[22] 
Dalam menafsiri ayat di atas, Zaitunah Subhan menarik sebuah kesimpulan yang cukup berani dengan memilih memaknai ulang kata nisa’ dan rijal sebagaimana makna dasarnya. Menurutnya, kedua kata tersebut tidak bisa dimaknai sebagai laki-laki dan perempuan secara biologis, namun secara sifat. nisa sebagaimana makna dasarnya adalah lembek, domestik, dan mudah lupa. Sedangkan rijal yang diambil dari kata rijl (kaki) menurut makna dasarnya adalah yang berjalan kaki (lawan dari domestik), bergerak, dan beraktfitas di ruang publik.[23] Sangat mungkin seorang wanita memiliki sifat rijal, sebaliknya, juga sangat mungkin bagi laki-laki memiliki sifat nisa’, sehingga, pemimpin bisa disandang baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan.
Menurut Zaitunah, al-Qur’an tidak mungkin bertentangan dengan realitas. Realitas itu salah satunya adalah sejarah. Dan berdasarkan sejarah, tercatat adanya perempuan-perempuan yang pernah menjadi pemimpin suatu bangsa dan perempuan-perempuan yang memiliki peran penting dalam berbagai peristiwa-peristiwa besar dunia. Di antara perempuan-perempuan itu adalah ratu Bilkis yang memimpin Saba’ dan Bint Kisra’ yang memimpin Persia. Di Nusantara pada abad ke VII sebelum kerajaan Mataram membangun Prambanan dan Borobudur, terdapat ratu di Kerajaan kalingga yang merupakan seorang perempuan bernama Simha. Selain itu, kerajaan majapahit yang termasyhur dengan wilayah yang hampir meliputi seluruh wilayah nusantara dengan 24 negara bagian yakni Majapahit pun pernah dipimpin oleh ratu perempuan yang bernama Tribuana Tungga Dewi. Dia adalah cucu Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit yang berkuasa pada tahun abad XIV.
Pada masa Rasulullah, selain Khadijah dan Umu Waraqah, terdapat nama lain seperti Umu Salamah yang berhasil memberikan solusi di saat tragedy boikot Makkah ketika rombongan uslimin dari Madinah hendak berhaji. Sahabat yang tidak terima untuk kembali dengan tangan hampa membuat rasulullah marah dan yang bisa memberikan solusi ketika itu adalah Umu Salamah.[24]
 


Daftar Pustaka
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2013).
Alimatul Qibtiyah, “Self Identified Feminists among Genderm Activists and Scholars at Indonesian Universities”, makalah dipersentasikan dalam diskusi dosen UIN Sunan Kalijaga tahun ke-35 tanggal 13 Maret 2015.
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999).
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013).
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim: Tafsir al-Mannar (Kairo: Daar al-Mannar, 1947).
Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender dalam Islam”, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1 Juli-Desember 1998.


[1] Gender—“jenis kelamin” (inggris)—merupakan konsep kultural yang menurut Shorwalter mulai ramai dibicarakan pada tahun 1977. Isu ini berkembang seiring kesadaran adanya pembedaan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosiaonal antara perempuan dan laki-laki yang berkembang dalam masyarakat. Istilah gender ini menggeser penggunaan istilah-istilah sebelumnya seperti patriarchal dan sexist. Merebaknya isu ini juga dimotori oleh kalangan agamawan yang melihat noda hitam sejarah. Perempuan dipersepsikan merupakan mahluq yang mewarisi dosa sejarah bagi kalangan abrahamik yang merupakan imbas dari dosa yang pernah dilakukan oleh Hawa yang mengakibatkan diusirnya Adam dari surga. lihat Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender dalam Islam”, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1 Juli-Desember 1998. Hlm. 97-98.
[2] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2013), hlm. 307-308.
[3] Alimatul Qibtiyah, “Self Identified Feminists among Genderm Actiists and Scholars at Indonesian Universities”, makalah dipersentasikan dalam diskusi dosen UIN Sunan Kalijaga tahun ke-35 tanggal 13 Maret 2015.
[4] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2013) hlm. 307-308.
[5] Alimatul Qibtiyah, “Self Identified Feminists among Genderm Actiists and Scholars at Indonesian Universities”, makalah dipersentasikan dalam diskusi dosen UIN Sunan Kalijaga tahun ke-35 tanggal 13 Maret 2015. Hlm. 152.
[6] Ibid. hlm 153.
[7] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 257.
[8] Makna tafsir sendiri secara umum difahami sebagai upaya menyingkap (idhah) atau menjelaskan (tibyan) sebagaimana pendapat Ibn Faris (w 395 H) dalam karyanya al-Maqayis fi al-Lughah yang menyatakan tentang makna tafsir yang terdiri dari fa’-sin-ra’ yang mengandung arti keterbukaan dan kejelasan. Lihat Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 9.
[9] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 9.
[10] Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Hakim: Tafsir al-Mannar (Kairo: Daar al-Mannar, 1947), hlm. 1.
[11] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 15.
[12] Ibid, hlm. 12.

[13] Ibid, hm. 13.
[14] Feminis muslim adalah mereka (orang-orang muslim) yang mempunyai faham dalam memperjuangkan kebebasan dari dominasi kaum pria. Ibid, hm. 6.
[15] Ibid, hm. 8.
[16] Ibid, hlm. 5.
[17] Ibid, hm. 14.
[18] Ibid, hm. 2.
[19] Ibid, hm. 3.
[20] Ibid, hm. 105.
[21] Ibid, hm. 108.
[22] Ibid, hm. 20.
[23] Ibid, hm. 110.
[24] Ibid, hm. 111.

No comments:

Post a Comment