Tuesday, September 22, 2015

Ta’wil al-Qur’an dalam Lintas Sejarah





 Dipersembahkan kepada:
Dr. Abdul Ghofur Maimoen, MA



Disusun Oleh :

Muhammad Barir, S.Th.I

YOGYAKARTA
2015


A.    Pendahuluan
Ta’wil yang menjadi salah satu konsep dalam keilmuan al-Qur’an sebenarnya telah ada dalam perjalanan sejarah masa lalu. Kata tersebut pernah digunakan dalam menggambarkan kisah nabi yusuf. Tepatnya istilah tersebut digunakan untuk menyebut upaya beliau dalam memahami mimpi teman tahanannya dan mimpi raja. Al-Qur’an menggunakan istilah ta’wil untuk menggambarkan kemampuan Nabi Yusuf tersebut yang merupakan anugerah dari Allah SWT.
Selain itu, istilah ta’wil juga digunakan sebagai konsep memahami ayat mutasyabbihat. Perdebatan tersebut mengalir berdasarkan pemahaman akan adanya dua pembagian karakter ayat al-Qur’an. Yakni mhkam dan mutasyabbih. Beberapa ulama ada yang memahami bahwa ayat mutasyabbih dapat dita’wilkan oleh orang-orang yang mendalam ilmunya (رسخون), dan beberapa ulama ada yang menganggap bahwa ayat mutasyabbih tidak dapat dita’wilkan oleh siapa pun selain Allah SWT.
Berangkat dari beberapa perdebatan di atas, terdapat dua rumusan masalah yang bisa diambil:
1. Bagaimana definisi dan konsep mengenai ta’wil?
2. bagaimana sejarah ta’wil al-Qur’an?

B.     Definisi dan Konsep mengenai Ta’wil
Ada dua istilah yang sering dipakai ulama dalam merepresentasikan sebuah upaya pengungkapan makna atas al-Qur’an. Kedua istilah itu adalah tafsir dan ta’wil. Secara etimologis, kata “tafsir” berasal dari bahasa Arab Fassaro-yufassiru tafsiron, yang bermakna memberi petunjuk (Idzoh) dan memberi penjelasan (tibyan), dalam lisan al-Arab dijelaskan bahwa bentuk mashdar al-Fasr bernakna “menyingkap sesuatu yang tertutup” dan dalam bentuk mashdar at-tafsir bermakna menyingkap sesuatu makna yang musykil dan pelik dalam al-Qur’an.[1] Menurut Ibn Faris (w 395 H) dalam karyanya al-Maqayis fi al-Lughah tafsir yang terdiri dari fa’-sin-ra’ yang mengandung arti keterbukaan dan kejelasan. Dari sini, kata fasara bersesuaian dengan kata safara, hanya saja yang pertama mengungkap sesuatu hal yang bersifat konseptual, sedang yang kedua mengungkap hal-hal materi yang bersifat inderawi. Sedangkan, kata fasara yang mengikuti bentuk wazan fa’ala menjadi fassaro-tafsiran, menunjukan makna kesungguhan dan pengulangan dalam mengungkap makna.[2]
Ta’wil berasal dari kata ‘aul yang bermakna kembali. Ta’wil merupakan upaya untuk mengembalikan maksud ayat pada makna yang sebenarnya. Beberapa ayat al-Qur’an dianggap banyak memiliki makna majazi, sehingga penta’wil mencoba menggeser makna dari sisi tekstualitas redaksi ayat. Menurut Quraish Shihab, ta’wil adalah mengembalikan makna kalimat kea rah yang bukan makna harfiyahnya. Terlepas dari pemaknaan ini, beberapa ulama ada yang menyamakan antara tafsir dengan ta’wil dan ada pula yang membedakannya. Beberapa mufassir juga bahkan menamai kitab tafsirnya dengan menggunakan istilah ta’wil. Hal ini sebagaimana ath-Thabari (839-923 M) yang menamai kitabnya dengan “Jami’ al-Bayan fi Ta’wil ayat al-Qur’an”. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Muhammad Ibrahim al-Qasimy (1866-1914 M) yang menamai karyanya dengan Mahasin at-Ta’wil. [3]
C.    Sejarah Ta’wil
1.      Ta’wil Era Sahabat
Abdullah Ibn Abbas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abbas menjadi salah satu nama yang paling populer yang sering dikaitkan dengan pen-ta’wil-an al-Qur’an. Kemampuan yang ia miliki telah diakui bahkan oleh sahabat senior seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Kota suci Makkah menjadi awal perkembangan pemikiran Ibn Abbas sebagai guru yang juga menghasilkan ulama’-ulama’ baru seperti Said bin Jubair dan Mujahid bin Jabr.[4]
Ibn Abbas merupakan sepupu Rasulullah. Hal tersebut bisa ditelusuri melalui namanya, yakni Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdi Manaf al-Quraisyi al-Hasyimi. Ibunya bernama Umul Fadl lubanah bint al-Harits al-Hilaliyah.[5] Ibn Abbas lahir di Syi’b. Mengenai waktu lahir Ibn Abbas, terdapat perbedaan pendapat antara ahli sejarah, menurut Husain ad-Dhahabi dalam Tafsir wa al-Mufassirun ibn Abbas berusia 13 tahun ketika Rasulullah wafat (633 M)[6] itu artinya ia lahir sekitar tahun (620 M) yang bertepatan dengan tahun pertama Hijriyah dan juga bertepatan dengan peristiwa pembaikotan kaum Quroisy kepada kaum Hasyim, namun menurut Imam Mana’ al-Khattan ia mengungkapkan bahwa ada dua pendapat, yakni Ibn Abbas lahir 3 tahun sebelum Hijriyah dan menurut sebagian lainya Ibn Abbas lahir 5 tahun sebelum Hijriyah. Di antara dua pendapat ini, ia lebih condong untuk memilih pendapat pertama.
Beberapa argument mengenai kredibilitas dan reputasi Ibnu Abbas banyak diutarakan oleh sahabat dan orang-orang setelahnya. Ali bin Abi Tholhah (w. 143 H)—salah satu orang yang mengumpulkan berbagai riwayat penafsiran Ibn Abbas—menjuluki Ibn Abbas dengan Orang yang bisa melihat hal ghoib secara jelas dibalik tabir.[7] Selain julukan tersebut, Ibn Abbas  juga memiliki beberapa julukan lain seperti Habrul (Pemuka, sang tokoh), bahrul (lautan) dan masih banyak lagi julukan yang ia sandang seperti turjuman al-Qur’an. Ia dikatakan sebagai juru tafsir paling baik oleh Baihaqi dalam kitabnya ad-Dala’il. Kapabilitas Ibn Abbas dibidang al-Qur’an juga pernah diungkap oleh Mujahid yang berkata, “Ibn Abbas disebut dengan al-bahr (laut) karena ilmunya yang luas.”[8]
Nama Ibn Abbas yang dikaitkan dengan istilah ta’wil bukan tanpa sebab. Hal tersebut berkaitan dengan kisah Ibn Abbas dengan Rasulullah. Suatu ketika Nabi pernah merangkul dan mendo’akanya, “ya Allah ajarkanlah kepadanya Hikmah”. Dalam mu’jam Baghawi dan lainya, terdapat pernyataan Umar mengenai kisah Ibnu Abbas dengan Rasulullah, Umar berkata pada Ibnu Abbas: “sungguh saya pernah melihat Rosulullah pernah mendo’akanmu, lalu membelai kepalamu dan meludahi mulutmu dan berdo’a “ya Allah berilah ia pemahaman dalam urusan agama dan ajarkanlah ia ta’wil.”[9]
Suatu ketika Umar pernah mengumpulkan sahabat senior untuk meminta mereka menafsiri surat an-Nasr. Kebanyakan mereka menafsiri surat tersebut sebagai surat yang menjelaskan kemenangan kaum muslimin dalam peristiwa Fathu Makkah. Setelah semua sahabat senior menyampaikan argumennya, sahabat Umar malah memberikan kesempatan kepada Ibn Abbas yang saat itu masih berusia muda untuk menafsiri surat an-Nasr. Setelah menyampaikan argumennya, apa yang disampaikan oleh Ibn Abbas  membuat terkejut semua sahabat saat itu. Ia tidak mencoba menafsiri ayat-ayat dalam surat an-Nasr secara tekstual, namun lebih memilih memalingkan pemahamannya pada makna lainnya yang ada dibalik surat tersebut. menurutnya, surat an-Nasr adalah berita tentang akan segera wafatnya Rasulullah, karena Islam telah disempurnakan dan kaum Muslimin telah meraih kemenangan.[10]
Jika diruntut berdasarkan karakter Ibn Abbas, Ta’wil yang ia bangun juga terpengaruh oleh kecenderungan dan ketertarikannya pada syair-syair. Bahkan Ibnu Abbas sendiri menyatakan bahwa jika seseorang kesulitan memahami bahasa al-Qur’an, maka periksalah dalam syair-syair. Ibnu Abbas pernah mengungkapkan makna 200 kata yang ia jelaskan berdasarkan syair pra-Islam untuk menjawab pertanyaan Nafi’ ibn Azraq, salah seorang muridnya.
Pada mulanya, ulama tidaklah berkepentingan untuk memisah definisi tafsir dengan ta’wil, namun seiring berjalannya masa, ta’wil yang dahulu menjadi sinonimitas tafsir kemudian didikotomi. Tasir lebih merujuk makna eksternal, sedangkan ta’wil merujuk pada makna internal dengan penelusuran makna alegoris dan metaforis. Pembedaan ini tampaknya dilakukan untuk menghantam  berbagai kecenderungan liar yang melalui penjelasan alegoris telah memaksa gagasan aneh masuk pada makna al-Qur’a’an. Penafsiran-penafsiran liar yang berkembang yang sangat dibenci oleh kalangan ortodok kemudian diistilahkan dengan ta’wil. Ulama mulai menganggap penting untuk memberi sekat antara tafsir dengan ta’wil agar bisa memantau perkembangan penafsiran yang mengalami pergeseran.[11]
  
2.      Ta’wil era Klasik, disintegrasi, dan Kemunduran :
Persinggungan Ta’wil dengan Pertikaian Mazhab Kalam dan Filsafat
Harun Nasution membagi periode perkembangan Islam dalam empat kerangka. Pertama adalah periode klasik yang dimulai pada era kenabian hingga 1000 M. kedua adalah periode disintegrasi pada 1000-1200 M yang ditandai dengan runtuhnya Abbasiyah. Ketiga adalah periode  pertengahan yang berlangsung dari 1200 -1800 M yang dianggap sebagai era kemerosotan, dan keempat adalah era Modern yakni era setelah tahun 1800 M.[12] era ini akan terus bergerak seiring masa sejarah.
Pada era klasik, terutama setelah kewafatan Rasulullah, umat Islam mulai terpecah. Mereka terkotak-kotak pada kelompok fikih, kalam, filsafat, dan politis. Perdebatan dan perbedaan menjadi hal yang lumrah dan mulai bermunculan pada era ini. salah satu perdebatan yang muncul adalah mengenai aspek Teologis yang berhubungan dengan pemaknaan konsep-konsep dalam ayat al-Qur’an. Pembagian ayat menjadi muhakam dan mutasyabbih idiikuti dengan perdebatan tentang boleh-tidaknya pemaknaan ayat-ayat yang dianggap mutasyabbih. di antara beberapa ulama mencoba menghindarinya secara pasif dengan ebrkata allahu a’lan bi ash-shawab, beberapa lagi dengan tegas menggunakan makna tekstual tanpa berani memalingkannya, dan beberapa lagi mencoba memalingkan maknanya pada makna yang bisa difahami. Hal ini sebagaimana pemaknaan ayat-ayat teologies yang menjelaskan mengenai dzat Allah yang digambarkan dengan tangan (al-Fath [48]: 10), bertempat (al-Furqan [25]: 29 ), dan berwajah (ar-Rahman [55]: 27). Beberapa ulama mencoba pasif, beberapa menggunakan makna teks, dan beberapa mencoba melakukan ta’wil.
Era ini juga sekaligus menandai munculnya pemahaman ahli Kalam terhadap al-Qur’an yang kemudian menjadi legitimasi dogtrin yang mereka percayai sebagai dasar dalam alirannya. Di antara mazhab yang menggunakan ta’wil sebagai upaya menginterpretasi al-Qur’an adalah Mu’tazilah yang menafsiri tentang melihat Allah di akhirat. Hal tersebut terdapat dalam al-Qiyamah (75) : 22-23. Mu’tazilah berpendapat bahwa kata nadzirah tidak bisa difahami melalui makna dasarnya, namun harus dipalingkan.[13]
Selain itu, munculnya tafsir al-Kasyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil karya Mahmud bin Umar bin Muhamamd bin Umar al-Khawarizmi yang terkenal dengan sebutan Imam Zamakhsyari (lahir 467 H)[14] juga disinyalir merupakan upaya menanamkan doktrin Mu’tazilah dalam karya tafsir. Dalam menafsiri kata “kalam” pada an-Niza (4) : 164. (“dan Allah telah berkata kepada Musa secara langsung”) Zamakhsyari menggunakan ta’wil tentang bagaimana kata kalam yang sejatinya bermakna “berkata”, kemudian dirubah maknanya menjadi “menguji”. Di luar kontroversinya, keindahan bahasa pada tafsir ini menjadi nilai tersendiri yang cukup berharga. Bahkan ulama sunni, Nashr ad-Din ibn Sa’id al-Baydhawi (w 1270) sangat menyayangkan keindahan bahasa tafsir al-Kasyaf di tengah ke-mu’tazilah-annya. Untuk itu  ia menyusun kitab tafsir yang merangkum keindahan gaya bahasa al-Kasyaf dan membuang aspek ke-Mu’tazilah-annya. Karya tersebut ia namai Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil.[15]
Selain munculnya tafsir yang berbau teologis, muncul pula tafsir yang diwarnai oleh gagasan filsafat. Salah satu tokoh filsafat yang mencoba melakukan penafsiran adalah al-Farabi (w. 339 H). keberanian al-Farobi dalam menafsiri ayat al-Qur’an ini seiring beredarnya karya Fusus al-Hikam yang memuat beberapa pemahamannya tentang filsafat yang ia kaitkan dengan al-Qur’an. Dalam al-Hadid ayat 3: “Allah merupakan dzat yang awal dan yang akhir”, ia mencoba mengaitkan makna ayat dengan teori emanasi tentang Tuhan adalah akal pertama yang darinya seluruh mahluk tercipta secara bertahap. Dari penafsiran ini pula muncul argument tentang kekekalan alam semesta.[16]
Selain karya al-Farabi, karya yang dinilai paling kontroversial adalah kitab Fakhruddin ar-Razi (w 1209). Obsesinya atas filsafat dan teologi mengakibatkan ia sering melekatkan argument kedua keilmuan tersebut ke dalam tafsirnya. Apa yang dilakukan oleh ar-Razi ini mengakibatkan pembaca kebingungan dalam memisahkan antara penafsiran dengan tanggapan individual dari ar-Razi. Lantaran kecenderungan seperti ini, as-Suyuti memberikan argument keras bahwa “di dalam Mafatih al-Ghayb terkandung berbagai hal kecuali tafsir”.[17]
Dalam dunia sufistik, muncul pula karya yang lahir dari upaya penta’wilan. Karya tafsir mistik ini disusun oleh Muhyiddin Ibn Arabi (w. 1240 M). Asumsi dasar dalam Tafsri al-Qur’an al-Karim adalah kenyataan alam yang merepresentasikan wujud tunggal. Meski pernah terdapat kesimpangsiuran tentang siapa penulis yang sebenarnya berkenaan dengan munculnya nama Abdur Razak al-Kashani yang diduga sebagai pengarang sebenarnya, namun bagaimanapun murid Ibn Arabi ini telah bisa membahasakan gaya tasawuf gurunya kedalam tafsir al-Qur’an.[18]
Dengan penafsiran-penafsiran sebagaimana di atas. Ta’wil berkembang tidak hanya sebagai upaya melakukan interpretasi atas ayat al-Qur’an, namun ta’wil juga menjadi alat untuk memberikan dukungan serta legitimasi atas mazhab dan pemahaman yang diikuti oleh mufassir. Dengan demikian, pada era klasik, ta’wil menjadi semacam jembatan yang digunakan untuk mempertemukan pemikiran dengan al-Qur’an. Al-Qur’an tidak lagi terbebas untuk berbicara berdasarkan dirinya sendiri melainkan terkungkung oleh minat, pemahaman, dan tujuan seorang mufassir.
3.      Ta’wil era Modern sebagai Upaya Demitologi al-Qur’an
Era tafsir modern ditandai dengan rmasuknya ajaran mengenai kebenaran harus beriringan dengan logika dan ilmu pengetahuan. Dari sini, cendekia muslim ternyata terpengaruh dengan mencoba menafsiri ayat-ayat al-Qur’an yang berbau mitos kepada makna lain yang sesuai dengan akal. Karena kesadaran akan posisi Islam membuat beberapa cendekia muslim pada abad 19 M berupaya mendekonskruksi pemikiran konserfatif. Menurut J.M.S. Bljon, salah satu tokoh yang pertama kali menjadi pembuka kajian tafsir modernis adalah Sir Sayid Ahmad Khan (w. 1898 M). Ia menulis tafsir al-Qur’an berbahasa Urdu dan diterbitkan pada tahun 1880 M. Ia juga yang menggagas anggapan vurd af Gad “kalam tuhan” tidak boleh bertentangan vurk af Gad “ciptaan Tuhan”. Dari sini ia mencoba melayangkan argument bahwa tidak mungkin al-Qur’an bertentangan dengan hokum alam semesta.[19]
Di antara beberapa tokoh lainnya ialah salah satu perintis tafsir adabi ijtima’I, al-Mannar yakni Muhammad Abduh (1864-1905 M) yang menafsiri burung ababil dengan mikroba. Selain itu, muncul karya Tafhim al-Qur’an[20] pula Ahmad Khan (lahir 1817[21])  yang menafsiri Q.S. asy-Syu’ara’ (26): 63 tentang nabi Musa yang memukul tongkat dita’wilkan menjadi nabi musa yang bepergian melalui laut dengan menggunakan tongkatnya.[22]
Abduh mencoba menafsiri surat al-Fil dengan beracuan pada kata thair yang bermakna “burung”. Menurutnya kata ini bersesuaian dengan kata thara atau “terbang”, kemudian dari kata terbang inilah muncul asumsi bahwa kisah Abrahah dan tentaranya yang gugur sebelum mencapai Makkah bukan karena serangan burung Ababil yang datang dari neraka, namun karena virus yang berterbangan melalui udara.[23] Al-Qur’an menggunakan istilah demikian karena saat itu bangsa Arab belum memiliki kapasitas keilmuan yang bisa memahami hal-hal yang dapat dicapai oleh ilmu pengetahuan saat ini.
Di antara penafsiran-penafsiran di atas, banyak lagi bentuk penafsiran ilmiyah lainnya. Tokoh-tokoh saintifik yang juga mendalami al-Qur’an juga mulai bermunculan. Di antara mereka adalah Harun Yahya, Dzakir Naik, dan Zaglul an-Najjar. Ayat-ayat al-Qur’an dikaitkan dengan ilmu perbumian (geologi), ilmu air, ilmu fisika, kimia, dan kedokteran. Beberapa bahkan sampai malakukan penelitian khusus tentang ilmu biologi yang telah ada pada al-Qur’an sebagai sebuah mu’jizat.

D.    Kesimpulan
Ta’wil sebagai sebuah term tertentu dalam pemaknaan al-Qur’an telah ada embrionya semenjak era Rasulullah. Hal tersebut sebagaimana munculnya Abdullah Ibn Abbas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abbas menjadi salah satu nama yang paling populer yang sering dikaitkan dengan pen-ta’wil-an al-Qur’an. Untuk era pertama, antara tafsir dan ta’wil tidaklah dibedakan, keduanya menempati tempat yang sama. Namun pada era setelahnya kedua istilah tersebut dibedakan.
Munculnya pembedaan istilah antara tafsir dengan ta’wil berkenaan dengan adanya kelompok yang menjadikan ayat al-Qur’an sebagai alat legitimasi kepentingan golongan dan kelompoknya. Apa yang dilakukan kelompok dhohiri juga memberikan imbas tentang pengambilan jarak para mufassri dengan para penta’wil. Pada era tersebut beberapa jenis penta’wilan terjadi dalam dunia sufi, mazhab, dan pada akhri-akhir eabad 20 telah berimplikasi pada penta’wilan yang dilakukan oleh para pecinta ilmu pengetahuan.
Era tafsir modern ditandai dengan rmasuknya ajaran mengenai kebenaran harus beriringan dengan logika dan ilmu pengetahuan. Dari sini, cendekia muslim ternyata terpengaruh dengan mencoba menafsiri ayat-ayat al-Qur’an yang berbau mitos kepada makna lain yang sesuai dengan akal. Karena kesadaran akan posisi Islam membuat beberapa cendekia muslim pada abad 19 M berupaya mendekonskruksi pemikiran konserfatif. Menurut J.M.S. Bljon, salah satu tokoh yang pertama kali menjadi pembuka kajian tafsir modernis adalah Sir Sayid Ahmad Khan (w. 1898 M). Ia menulis tafsir al-Qur’an berbahasa Urdu dan diterbitkan pada tahun 1880 M. Ia juga yang menggagas anggapan vurd af Gad “kalam tuhan” tidak boleh bertentangan vurk af Gad “ciptaan Tuhan”. Dari sini ia mencoba melayangkan argument bahwa tidak mungkin al-Qur’an bertentangan dengan hokum alam semesta.[24]

Daftar Pustaka
Ali bin Abi Tholhah, Tafsir Ibn Abbas, Terj. Muhyiddin Mas Rida dkk. (Jakarta: Pustaka Azam, 2009).
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975).
Mana’ al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Halim Jaya, 2007).
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013).
-------------, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004).
Muhammad Husain ad-Dhahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (Kairo: Darul Hadis, 2005).
Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (Bandung: Mizan, 2010).
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012).
----------, “Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Alvabet, 2013).
Kamaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Bandung : Miazan, 2011).


[1] Mana’ al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Halim Jaya, 2007), Hlm. 456.
[2] Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 9.
[3] Selain definisi-definisi tersebut, banyak lagi definisi yag menjelaskan tentang ta’wil. Salah satunya adalah Abu al-Qasi bin Habib an-Nisaburi (406-1016 M) bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna ayat namun tetap dengan berpegang pada ayat sebelum dan sesudahnya. Dalam melakukan penta’wilan diperlukan sebuah istinbat.  Dari definisi ini, dapat diketahui bahwa tidak semua penafsir adalah penta’wil.  Beberapa cendekia muslim sangat menekankan kehati-hatian atas ta’wil ini, bahkan Nasr Hamed (1943-2010 M) dalam mafhum an-Nash juga turut membatasi bahwa bagaimanapun ta’wil harus tetap berpegang pada teks, sehingga ta’wil tidak dapat meloncat dari teks. Ibid. 220. Sementara, para Pakar menyebut bahwa ta’wil mengandung empat unsure 1. Nash/teks, 2. Maqashid asy-syari’ah, 3. Kondisi atau kenyataan yang dibicarakan oleh Nash, dan 4. wawasan seorang penta’wil. Ibid. hlm. 225. Sehingga, darisini dapat diketahui bahwa Tafsir adalah proses mengurai dalam menjelaskan, sedangkan ta’wil adalah upaya mengembalikan makna pad aide awal gagasan. Lihat : Kamaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Bandung : Miazan, 2011), hlm. 211.
[4] Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 71.
[5] Mana’ Kholil Al-Qotton, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Halim Jaya. 2002). Hlm. 522.
[6] Muhammad Husain ad-Dhahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (Kairo: Darul Hadis, 2005), Hlm. 61.
[7] Ali bin Abi Tholhah, Tafsir Ibn Abbas, Terj. Muhyiddin Mas Rida dkk. (Jakarta: Pustaka Azam, 2009), Hlm. vii.
[8] Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (Bandung: Mizan, 2010), hal. 296.
[9] Mana’ Kholil Al-Qotton, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Halim Jaya. 2002). Hlm. 523.
[10] Ibid. Hlm. 523.
[11] Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Alvabet, 2013), hlm. 396.
[12] Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975), hlm. 5.
[13] Abdul Razak dan Rasihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 203.
[14] Muhammad Husain Az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun Juz I (Kairo: Daar al-Hadits, 2005), hlm. 362.
[15] Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Alvabet, 2013), hlm. 396.
[16] Muhammad Husain Az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun Juz I (Kairo: Daar al-Hadits, 2005), hlm. 367.
[17] Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Alvabet, 2013), hlm. 396.
[18] ibid, hlm. 402.
[19] Ibid, hlm. 404.
[20] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012), hlm. 52
[21] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975), hlm. 158.
[22] Abdul Mustaqim, “Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 30.
[23] Lihat  Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 225 dan Abdul Mustaqim, “Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 30.
[24] Ibid, hlm. 404.

No comments:

Post a Comment