Tuesday, September 22, 2015

Kodifikasi Hadis dan Perkembangan Keilmuannya Abad II dan III Hijriyah




tulisan ini dipersembahkan kepada :
Dr. H. Agung Danarto, M.Ag.

 

Disusun Oleh :

MUHAMMAD BARIR, S.Th.I

YOGYAKARTA
2015


A.     Pendahuluan
Penulisan Hadis telah terjdi semenjak era Nabi, namun penulisannya terbatas pada catatan pribadi masing-masing sahabat. Hadis pada era awal Islam telah tercatat dalam hafalan dan amalan para sahabat. Salah satu sahabat yang giat melakukan penulisan hadis adalah Abdullah bin Amr. Apa yang dilakukannya pada mulanya tidak berjalan dengan mulus, ia mendapat itervensi dari kafir Quraisy yang menyatakan bahwa Nabi merupakan manusia biasa yang bertutur sesuai kondisi batin sebagaimana manusia pada umumnya yang terkadang ramah, namun juga terkadang marah. Setelah mempertanyakan hal tersebut pada Nabi, kemudian Nabi meneguhkan hati Abdullah bin Amr dan menunjuk mulut beliau sendiri dengan berkata “tulislah!, demi dzat yang jiwaku berada pada tangannya, tidaklah sesutau keluar darinya kecuali itu adalah kebenaran”.[1] 
Saat itu, pencatatan hanya dilakukan secara personal ialah karena tidak ada perintah untuk menyusun hadis yang diakibatkan kekhawatiran bercampur dengan pencatatan al-Qur’an sebagaimana larangan Nabi : “Janganlah kamu tulis sesuatu dariku selain al-Qur’an”. Larangan nabi ini menjadi sebuah isyarat bahwa tidak semua sahabat bisa dan diperkenankan menulis hadis.[2]
Hadis diajarkan dari sahabat kepada sahabat lain dan juga kepada para tabi’in dalam hubungan guru dan murid. Setelah sang murid berkelana ataupun kembali ke kampung halaman, hadis diajarkan pada masyarakat di mana mereka berada. Begitulah secara terus-menerus menjadi tradisi pengajaran hadis yang mengakar kuat dari generasi ke generasi. Selain hafalan, para sahabat juga turut menjaga hadis dengan jalan mengamalkannya. Melalui ilmu dan amal, hadis terus dilestarikan hingga abad-abad berikutnya dalam perkembangan umat Islam. Hanya saja, dikemudian hari muncul perkataan yang diklaim sebagai hadis, padahal sangat meragukan. Dikemudian hari diketahui bahwa ternyata pernyataan-pernyataan yang diklaim sebagai hadis adalah palsu dari hal inilah pernyataan-pernyataan tersebut dikenal dengan istilah hadis maudu’. Tidak menutup kemungkinan juga hadis yang benar-benar dari rasulullah tidak dipalsukan, namun telah menyimpang baik matan redaksinya karena daya hafal yang terbatas para periwayat sebagai seorang manusia biasa.
Di tengah kondisi melemahnya otentisitas hadis, muncul sebuah gagasan dalam merangkaum hadis dari berbagai ulama untuk disatukan dan dibukukan. Hal ini dianggap penting dengan berbagai alasan. Hal ini terjadi ialah ketika abad ke II dan ke III hijriyah. Dangan urgensi peristiwa pembukuan hadis yang sering diistilahkan dengan kodifikasi ini, tulisan berikut menjadi sebuah upaya dalam mengenang dan mengkaji sejarah kodifikasi hadis pada abad ke II dan penyempurnaannya pada abad ke III hijriyah.
Ada dua rumusan masalah yang akan coba dijawab dalam tulisan ini, yakni:
1.      Bagaimana kondisi hadis dan upaya pengembangannya oleh kaum muslimin pada abad kedua hijriyah?
2.      Bagaimana kondisi hadis dan upaya pengembangannya oleh kaum muslimin pada abad ketiga hijriyah?

B.     Hadis Abad Kedua Hijriyah
1.    Pengaruh Era Sebelumnya
Ada beberapa hal yang sedikit banyak telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis pada abad kedua hijriyah. Di antaranya ialah pemalsuan hadis yang telah terjadi pada era Utsman R. A. telah mengakibatkan banyak pegaruh pada perkembangan hadis era setelahnya. Pemalsuan hadis sendiri diidentifikasi sebagai dampak atas terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa golongan yang berkepentingan melakukan pembelaan atas kelompoknya masing-masing. Hadis hanya digunakan sebagai legitimasi golongan dalam mencari pembenaran.
Sejauh pengamatan beberapa cendekia hadis saat ini seperti Nuruddin Itr, terdapat beberapa catatan mengenai konteks uamat Islam pasca Nabi yang berpengaruh terhadap perkembangan hadis abad kedua hijriyah. Konteks itu pula yang pada gilirannya mengantarkan terbukannya pintu ijtihad dalam melakukan kodifikasi hadis. Di antara hal yang cukup berpengaruh adalah pertambahan waktu yang berdampak pada semakin memperlebar jarak dari masa Nabi serta semakin memperbanyak runtutan jalur periwayat dalam sanad hadis. Hadis yang jumlahnya ratusan ribu ditambah dengan runtutan perawi yang dari masa ke masa terus bertambah, semakin menyulitkan para penghafal hadis. Di samping hal tersebut diperparah dengan semakin menurunnya daya hafal di kalangan umat Islam sebagaimana disebutkan oleh az-Zahabi dalam Tazkirah al-Huffaz.[3]
Selain kondisi di atas, hal lain yang juga mempengaruhi ide kodifikasi hadis ialah alasan pelindungan hadis dari perselisihan antar mazhab. Perpecahan ini sendiri terjadi dan muncul ke permukaan ialah dari era Utsman RA dan memuncak pada masa Ali RA dengan terjadinya perang Siffin. Pada mulanya perpecahan ini ditandai dengan munculnya tiga aliran besar yakni murji’ah, syi’ah, dan khawarij, sedangkan hingga abad kedua hijriyah, perpecahan mazhab ini pun semakin melebar, tidak hanya pada aspek teologis, namun juga pada aspek fikih. Dengan alasan politis, posisi hadis menjadi sasaran empuk yang digunakan sebagai alat mendukung kelompoknya. Semakin banyak mazhab memiliki dukungan hadis, semakin banyak pula hati umat Islam dapat diraih.

2.         Kodifikasi dan Upaya Pelestarian Hadis
Abad ke II Hijriyah sering diistilahkan oleh Syuhudi Ismail sebagai “’asr al-Kitabah wa at-Tadwinعصرالكتابة والتدوين “masa penulisan dan pengkodifikasian”.[4] Pada saat itu titah kholifah Umar bin abd Aziz berupa sepucuk surat diberikan kepada hampir ke semua wilayah kekuasaan bani Umayyah terutama kepada para ulama agar segera membukukan setiap hadis yang dihafalkannya.
Surat perintah mengenai pembukuan hadis juga sampai ke pada gubernur Madinah yang juga merupakan seorang ulama’, yakni Abu Bakar Muahmmad Ibn Amr Ibn Hazm (w. 177 H ) atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Hazm.[5] Setelah menerima perintah tersebut, Ibnu Hazm pun langsung menyusun Hadits yang sebelumnya dikumpulkan dari catatan dan hafalan para ulama. Sebagaimana yang tertera pada shahih Bukhari, isi surat yang dilayangkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz saat itu sedikit banyak berbunyi: “Perhatikanlah hadis-hadis Rasulullah SAW yang kamu jumpai dan tulislah karena aku sangat khawatir akan terhapusnya ilmu seiring hilangnya para ulama’.”[6]
Selain Umar bin Abdul Aziz dan Ibn Hazm, tokoh yang tidak kalah penting dalam pengkodifikasian hadts ialah abu Bakar Muhammad Ibnu Muslim Ibnu Ubaidillah Ibnu Syihab Az-Zuhri atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Syihab Az-Zuhri (w. 124 H). Tokoh ini berperan sangat signifikan dalam kodifikasi hadits. Ia berusaha mengumpulkan seluruh hadits yang ada di Madinah dan setelah dirasa cukup, kemudian menyebarkan naskah hasil pengumpulan tersebut ke setiap penguasa dari berbagai daerah. Dengan usahanya ini, hadits mengalami perkembangan yang cepat dan pesat.[7]

Kitab yang lahir pada abad ke-2 Hijriyah
Az-Zuhri, Abu Bakar bin Abdurrahman, dan lainnya menulis dan membukukan hadis-hadis yang mereka jumpai di wilayah masing-masing. Saat itu, penghimpunan dan penulisan masihlah dilakukan secara sederhana di dalam kitab-kitab jami’[8] dan mushannaf [9]seperti Jami’ Ma’mar bin Rasyid (w. 154 H), Jami’ Sufyan ats-tsaufi (w. 161 H), Jami’ Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Musannaf Abdur Razaq (w. 211 H), dan Musannaf Hammad bin Salamah.[10]
Selain kitab-kitab tersebut, kitab monumental yang lahir pada abad kedua hijriyah adalah muwattha’ karya imam Malik (w. 179 H).[11] Berbeda dengan ide kodifikasi yang lahir pada masa pemerintahan bani Umayyah, kitab Muwattha’ malah lahir ialah pada masa awal pemerintahan bani Abbasiyah yakni pada masa khalifah ke-II, Ja’far al-Mansur yang mendapat usulan dari Muhammad Ibn al-Muqaffa’. Kitab ini berisi 500 hadis pilihan hasil seleksi dari 100.000 hadis.[12]
Meski hanya menghimpun sekitar lima ratus buah hadis, namun  kitab ini memberikan pengaruh besar terhadap kepengarangan saat itu. Beberapa orang bahkan sampai berbondong-bondong membuat kitab yang memiliki nama sama dengan karya Imam Malik tersebut. Meski demikian, kebesaran nama Kitab ini telah berhasil menenggelamkan kitab-kitab lainnya. Imam Syafi’I memberikan argument khusus mengenai kwalitas kitab Muwattha’, sebagaimana pernyataannya: “Kitab yang paling Shahih setelah kitabullah adalah muwattha’”.[13]
Mengenai nama kitab muwattha’, terdapat kisah antara Imam Malik dengan 70 ulama’ Madinah. Sebagaimana keterangan as-Suyiti, karya Imam Malik telah melewati bebrapa tahap uji dari 70 ulama Madinah. Setelah selesai diuji, kitab tersebut kemudian “disepakati” (muwatta’) oleh mereka. Dari kata itulah, nama kitab karya Imam Malik kemudian dikenal hingga sekarang. Kata muwattha’ juga memiliki ma’na “pemudahan” dan “perbaikan” mengakibatkan kitab ini dapat dimaknai sebagai kitab yang memudahkan umat Islam dalam menjalani syari’ahnya dan kitab yang memperbaiki kitab-kitab fiqih sebelumnya.[14]

3.      Rihlah dan Tradisi Keilmuan Hadis abad II Hijriyah
Seiring dengan upaya-upaya pelestarian hadis di atas, muncul berbagai khazanah keilmuan baru dan kekuatan karakter dunia hadis pada abad kedua hijriyah. Ilmu Jarh wa at-ta’dil yang embrionya telah ada pada abad pertama telah berkembang dan melahirkan kajian dan keilmuan tersendiri dengan tokohnya Syu’bah bin Hajjaj (w. 160 H), Sufyan ats-Tsauri, dan lain-lain. Tidak hanya pada aspek sanad, karena banyaknya pemalsuan isi hadis, kajian terhadap aspek matan pun mulai diperhatikan dengan mencermati muatan hadis secara kaidah kebahasaan dan muatan isi kandungan dengan mengungkap illat-illat hadis.
Khazanah intelektual lainnya yang kemudian mentradisi adalah rihlah ahli hadis. Para ulama hadis diharuskan untuk melakukan perjalanan ke berbagai tempat sebagai kriteria bertemu langsung terhadap ulama yang memiliki baik hafalan maupun tulisan berkenaan dengan hadis.[15] Perjalanan-perjalanan seperti ini pada akhirnya menjadi tradisi dan lahirlah istilah-stilah khusus bagi ahli hadis yang melakukan perjalanan pencarian hadis seperti ar-Rahal, ar-Rahlah, al-Jawwal, dan Ilaihi Kanat ar-rihlah. Istilah-istilah tersebut melengkapi peradaban hadis era ini, dan mengukuhkan az-Zuhri sebagai peletak dasar ulum al-hadis. Hanya saja, fondasi az-Zuhri tentang ulum al-qur’an tidaklah sampai pada kita secara material, namun dua kitab Imam Syafi’I yakni ar-Risalah dan al-Umm yang di dalamnya sedikit banyak menyertakan hadis dan kritiknya secara metodologis telah sedikit menutupi keterbatasan ini dan menjadi manuskrib historis yang telah diperbanyak hingga sampai pada kita.[16]    


C.    Hadis Abad Ketiga Hijriyah
Masa abad ketiga menjadi masa emas kemajuan hadis meski diiringi dengan tragedi politis. Masa ini berlangsung pada kekholifahan al-Makmun akhir hingga awal al-Muqtadir pada masa dinasti Abbasiyah. Masa ini menurut Syuhudi Ismail juga dikenal dengan sebutan “Masa pemurnian, perbaikan, dan penyemprnaan”  Pada maa ini kiranya terjadi hal yang menjadi kekelaman dan penodaan sejarah di mana para ulama tidak terkecuali ulama hadits banyak yang disiksa demi menunaikan kepentingan ideologi penguasa, tragedi ini dikenal dengan tragedi mihnah yang terjadi abad VIII.
Meski terjadi tragedi mihnah, hadis tetap dapat berkembang bahkan mangalami masa keemasan berkat upaya dari kodifikasi di era sebelumnya. Hadis dan keilmuannya berhasil disempurnakan. Di era ini pula muncul kitab yang disebut musnad. Kitab ini menghimpun hadis-hadis yang digolongkan berdasarkan nama sahabat-sahabat.[17] Hadis Anas RA misalnya, akan dikumpulkan dalam satu tempat dengan nama musnad Anas RA.
Setelah munculnya kitab musnad, muncul pula kitab yang dikhusus hanya menghimpun hadis shohih. Upaya pertama dalam hal tersebut salah satunya dilakukan oleh Imam Bukhari dengan kemunculan kitab jami’ ash-Shahih yang menghimpun 7397 hadis dengan pengulangan[18]. Murid-murid beliau kemudian melanjutkan upaya ini dengan menyusun karya sunan, yakni kitab yang berisi sunnah-sunnah Nabi SAW[19].
Pada periode ini hidits mulai dimodifikasi dalam penyusunan kitabnya sehingga pada periode ini muncul kitab-kitab dengan model-model tertentu yang diantaranya ialah kitab shohih yang memuat hadits-hadits shohih, kitab hadis sunan yang tidak hanya meuat hadits shohih tapi juga hadits dho’if ringan. Selain itu, pada periode ini juga ada kitab hadits musnad yang memuat seluruh hadits dengan penyusunan berdasar urutan baik urutan bab atau nama rowi.[20]
Dengan adanya penyusunan kitab yang bervariasi maka demi kemashlahatan ditaruhlah penetapan standar kitab yakni:
1.      Al-kutub al-Khomsah
a) Shohih Bukhori, b) Shohih Muslim, c) Shohih Abu Dawud, d) Shohih Tirmidzi, dan e) Shohih Nasa’i.
2.      Al-kutub as-Sittah
a) Shohih Bukhori, b) Shohih Muslim, c) Shohih Abu Dawud, d) Shohih Tirmidzi, e) Shohih Nasa’I, f) Ibnu Majah.
Selain itu untuk standar urutan keenam ulama’ juga ada yang berpendapat Muatho’ Imam Malik, Sunan ad-Darimi[21], al-muntaqo susunan Ibn Jarud.
3.      Al-kutub as-Sab’ah
a) Shohih Bukhori, b) Shohih Muslim, c) Shohih Abu Dawud, d) Shohih Tirmidzi, e) Shohih Nasa’I, f) Ibnu Majah, g) Musnad Ibnu Hambal.
Selain kitab himpunan hadis, muncul pula kitab mengenai keilmuan hadis, di antaranya adalah kitab dengan tema-tema berikut:
1.      Kitab tentang biografi para rawi karya Yahya bin Main (w. 234 H),
2.      Kitab thabaqat para rawi karya Muhammad bin Sa’d (w. 230 H),
3.      Kitab tentang illat, seperti Al-Ilal wa ma’rifah karya Ahmad bin Hambanl (w. 241 H),
4.      Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh karya Ahmad bin Hambanl (w. 241 H), dan
5.      Kitab ulumul hadis secara terpisah berdasarkan topik-topik baik sanad maupun matan seperti upaya Ali bin Abdullah al-Madini (w. 234 H) yang merupakan guru Imam Bukhari. Kitab lain yang juga memuat pengantar ilmu hadis adalah karya ilal al-hadis  yang menjadi bab penutup pada kitab sunan Tirmidzi. Meski kitab ini merupakan bagian kitab induknya, namun dalam beberapa kesempatan, Imam Tirmidzi mengajarkan kitab ini secara terisah. Kitab ini membahas ilmu jarh wa at-ta’dil, peringkat rawi, tata tertib penerimaan dan penyampaian hadis, riwayat hadis dengan makna, hadis mursal, hadis hasan, hadis gharib, dan tema lainnya. [22]

Era ini meski menjadi era keemasan dalam bidang hadis, bukan berarti pada era ini ilmu hadis telah final dan pena kepengarangan telah ditinggalkan. Masih banyak kelemahan-kelemahan tertama mengenai konsep-konsep spesifik yang baru ditemukan di era setelahnya. Di luar kelemahan dan kelebihan, era ini telah meninggalkan warisan berharga yang sampai pada kita saat ini seperti kutub as-sittah dengan tokoh utama dalam keilmuan hadis yakni Imam Bukhari dan Imam Muslim yang menjadi lambang reputasi dan menjadi tolok ukur kwalitas hadis.

Kesimpulang 

Perkembangan hadis abad ke-2 sebenarnya masih memiliki korelasi dengan era sebelumnya. Pada masa ini yang menjadi titik momentum terbangunnya upaya kodifikasi hadis dilandasi dengan berbagai alasan tentang keadaan hadis yang memprihatinkan dengan banyaknya pemalsuan dan hilangnya hafalan seiraing wafatnya ulama’-ulama yang kompeten dalam bidang hadis.
Pada abad setelahnya, tradisi hadis terbentuk dengan lahirnya pengukuhan enam kitab induk. Pada era ini pula terbangun tradisi rihlah yang mengawali tradsi kritis di bidang hadis yang tidak hanya mendahulukan aspek mu’asharah (kebayaan masa) namun juga menuntut aspek mu’asyaroah (hubungan pergaulan/pertemuan langsung).
Pada kedua era tersebut, karya besar banyak lahir baik dibidang kajian riwayah maupun diroayah. Bahkan pada kedua era tersebut lahir kitab monumental seperti muwatta’ karya imam Malik yang berisi hadis-hadis pilihan dari sekian banyak hadis. Hal tersebut sekaligus menandai bahwa era tersebut merupakan era perkembangan di luar kritik oleh kaum orientalis seperti Joynball yang menjadikan era ini sebagai era penentuan awal mula lahirnya pemalsuan hadis.

Daftar Pustaka
Nuruddin Itr, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012).
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
M. Syuhudi Ismail, Pengantaar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa 1991).
Abdul Fattah dkk., Ulum al-Hadis III (Jakarta: Depag RI. 1997).
Nurun Najwa, “Kitab al-Muwatta’ Imam Malik” dalam Studi Kitab Hadis, Alfatih Suryadilaga (ed.) (Yogyakarta: Teras, 2009).


[1] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 29.
[2] Ibid, hlm. 29.
[3] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 49.
[4] pengkodifikasian yang dimaksud pada era ini ialah pengkodifikasian secara resmi oleh pemerintah, tapi diluar itu ada pengkodifikasian yang dilakukan secara perseorangan oleh shohabat-shohabat besar dimana mereka secara perseorangan melakukan pencatatan terhadap hadits sebagai pedoman pribadi.
[5] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 108.
[6] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 49.
[7] M. Syuhudi Ismail, Pengantaar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa 1991), hlm. 100.
[8] Kitab jami’ (jawami’ dalama plural)  bermakna himpunan-kumpulan-cakupan. Kitab ini berdasarkan makna-makna tersebut merupakan kitab yang di dalamnya terhimpun berbagai topik keagamaan seperti aqidah, hukum, akhlaq dan lain sebagainya.
[9] Kitab mushannaf (ashnaf dalam plural) merupakan kitab yang dihimpun berdasarkan tema. Hadis dengan tema umum akan digolongkan, dipisahkan, dan dipilah sesuai dengan hadis yang setema.
[10] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 50.
[11] Abdul Fattah dkk., Ulum al-Hadis III (Jakarta: Depag RI. 1997), hlm. 72.
[12] Nurun Najwa, “Kitab al-Muwatta’ Imam Malik” dalam Studi Kitab Hadis, Alfatih Suryadilaga (ed.) (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 9.
[13] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 50.
[14] Nurun Najwa, “Kitab al-Muwatta’ Imam Malik” dalam Studi Kitab Hadis, Alfatih Suryadilaga (ed.) (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 8.
[15] Sebagaimana dalam keilmuan hadis setelahnya, criteria mu’asyaroh dan mu’asharah menjadi penting dalam menguji ketersambungan periwayatan. Muasharah adalah kriteria yang mensyaratkan kemungkinan hidup semasa antar para rawi dan muasyarah adalah criteria yang menyaratkan kemungkinan bertemunya antar rowi secara tatap muka.
[16] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 50.
[17] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), Hlm. 53.
[18] Pengulangan hadis dalam jami’ ash-Shahih sebenarnya didasari alasan yang salah staunya adalah bahwa antara hadis yang memiliki matan sama tersebut sebenarnya diriwayatkan dengan sanad berbeda. Dengan alasan ini, pencantuman hadis dinilai perlu demi menjelaskan keragaman versi antar rawi.
[19] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012). 53
[20] pengkodifikasian yang dimaksud pada era ini ialah pengkodifikasian secara resmi oleh pemerintah, tapi diluar itu ada pengkodifikasian yang dilakukan secara perseorangan oleh shohabat-shohabat besar dimana mereka secara perseorangan melakukan pencatatan terhadap hadits sebagai pedoman pribadi.
[20] Ismail, M. Syuhudi, Pengantaar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa 1991), hlm. 111.


[22] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 53.

No comments:

Post a Comment