Tuesday, September 22, 2015

Kesadaran Asketis : Menengok Pandangan Weber dan Muhammad Yunus



Muhammad Barir,S.Th.I
catatan Penelitian Lisafa 2015,
Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta



A.    Introduction
Kesadaran asketik (ascetic awareness) dalam pengertian lampau dianggap sebagai sebuah bagian dari mitologi normatif dan diasumsikan jauh dari nilai pragmatis historis. Hal ini tentunya tidak dapat diambil secara keseluruhan (taken for granted) sebagai sesuatu hal yang final. Banyak orang mengartikan kesadaran asketik hanya sebatas ruh zuhudiyah sebagai ungkapan kebencian terhadap kenikmatan dunia. Padahal di dalam kesadaran asketis terdapat sisi lain yang menjadi nilai esensial berupa sifat kesederhanaan, kejujuran, dan sekaligus kedisiplinan. Bahkan Max Weber menyatakan bahwa kesadaran asketik di Jerman difahami sebagai sebuah bentuk motivasi etos kerja masyarakat untuk selalu berkarya dan berdaya cipta.[1]
Orang akan sepakat bahwa penyebab utama kemiskinan di era modern adalah monopoli kapitalisme. Berangkat dari sini, jalan satu-satunya untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan cara menghilangkan penyebab kemiskinan itu sendiri dengan menghadirkan tandingan dari sistem monopoli dan kapitalisme. Konsep yang paling sesuai sebagai tandingan dua hal tersebut yang dicari-cari sebenarnya telah ada bahkan jauh sebelum monopoli dan kapitalisme itu ada.
Para pendahulu telah mencoba untuk mengentaskan kemiskinan dengan beragam cara. Salah satunya ialah dengan menggunakan kekerasan massif sebagaimana Revolusi Perancis tahun 1789 dengan runtuhnya penjara Bastille yang merupakan lambang monarki absolut tahta raja Louis XVI yang berlanjut dengan putusnya kepala diktator tersebut di papan pancung Guillotin pada tahun 1793 dan sejak itulah hak-hak istimewa para bangsawan dihapus dan kedudukan warga negara disejajarkan.[2] Namun ternyata, kekejaman tidaklah bisa dihilangkan dengan kekejaman yang lainnya, penindasan tidak bisa dihapus dengan penindasan lainnya. Pernyataan tersebut terbukti bahwa revormasi tidak hanya membawa nilai positif namun malah juga menjadi pintu gerbang lahirnya kapitalisme.
Pada era kemudian, lahirlah Marx dengan strukturalisme dialektisnya. Marx mencoba menjelaskan bahwa di dalam budaya kapitalisme terdapat tiga penyimpangan kondisi masyarakat dalam alienasi. Masyarakat pekerja akan terasing dari produk mereka sendiri, terasing dari dirinya sendiri, dan terasing dari masyarakat sosialnya. Menurut Marx, seorang pekerja pabrik dengan aturan kapitalis akan teralienasi dengan barang yang mereka produksi sendiri.[3] Hal-hal tersebutlah yang hanya akan mengakibatkan sekat antara borjuis dengan proletar dan dari sini akan mengakibatkan strata kelas ekonomi.[4] Saat ini, perjuangan kelas (class struggle) perlu dibangkitkan kembali dengan berupaya menumbuhkan kesadaran baru.
Berbeda dengan apa yang dilakukan Marx dan Frederic E. dalam megentaskan kemiskinan dan penindasan, artikel ini akan menampilkan sisi lain perjuangan kelas dengan wajah yang berbeda. Dengan melakukan eksplorasi lebih jauh peranan agama dengan mengkaji ulang makna kesadaran asketik dengan turut menyertakan fenomena tersebut dalam tradisi Islam dan bagaimana peran dan urgensinya dalam menata ulang permasalahan budaya individual-konsumtif beralih menjadi budaya sosial-produktif. 
Menurut Fazlur Rahman, masyarakat muslim bisa maju dengan dirinya sendiri tanpa terpaku pola yang diterapkan oleh Barat, namun untuk melakukan perubahan sistem sosial tersebut harus diikuti oleh perubahan cara berfikir masyarakat pula. Dalam era ini dianggap penting untuk terus bergerak menuju kemajuan dan merumuskan sistem yang lebih kongkrit untuk mengentaskan kemiskinan dan menghilangkan penderitaan.[5] Dari sini, membangkitkan topik yang menjembatani antara peran agama dengan proyek pengentasan kemiskinan merupakan salah satu terobosan dalam mengintegrasikan agama dengan isu-isu sosial sehingga Agama tidak sekedar difahami sebagai ajaran normatif namun juga memiliki peran dalam wilayah historis.
Jika berbicara dari sudut pandang praktik keseharian pemeluknya, Islam merupakan salah satu Agama yang juga memiliki nilai kesadaran asketik dengan munculnya thoriqoh Sanusiyah di Libya yang didrikan oleh Muhammad bin Ali as-Sanusi yang mengkolaborasikan antara budaya tasawwuf dengan budaya etos kerja. Beberapa aspek tentang thoriqoh ini masih berserakan dan belum banyak diketahui behkan oleh kalangan muslim sendiri, sehingga memunculkan asumsi bahwa dalam Islam masih tersisa banyak hal menarik tentang kesadaran asketis.
Berangkat dari sini, beberapa hal yang berkenaan dengan agama, filsafat, dan pengentasan kemiskinan merupakan aspek yang tidak hanya menarik, namun juga penting untuk dikaji secara lebih dalam lagi. Studi tentang tema ini juga bisa diawali dengan mencoba mengetahui lebih jauh tentang bagaimana teori yang berkembang serta sejarah tentang kesadaran asketik? dan bagaimana pengaruh kesadaran asketik pada problematika kemiskinan saat ini?. Terdapat dua kata kunci dalam tulisan ini, yakni asketis dan kemiskinan.

B.     Kesadaran Asketis: Makna dan Perkemangannya dalam Tradisi Islam
Asketik (dalam bahsasa Inggris = ascetic) merupakan kata sifat yang menggambarkan perilaku tertentu. Kata ini berasal dari bahasa Yunani asketikos yang pada mulanya istilah ini digunakan untuk menyebut seorang petapa yang mengasingkan diri, namun belakangan istilah ini difahami sebagai faham ascetic–isme yang menunjukan sebuah ajaran anti budaya konsumtif dengan melepaskan nafsu basyariyah. Secara lebih jauh, kesadaran asketik juga bisa dimaknai dengan kepatuhan, disiplin, dan hidup sederhana.[6] Dalam tulisan ini kesadaran asketis akan ditampilkan dalam dua porsinya sebagai kesadaran tentang kesederhanaan manusia dan kedua sebagai kesadaran etos kerja manusia sebagai mahluk aktif-produktif.
Dalam perjalanan sejarah, kesadaran asketik pernah menjadi pemicu munculnya perubahan. Menurut Max Weber, Kesadaran Asketik bahkan dituding merupakan sebab terjadinya kapitalisme. Pemeluk Kristiani Barat yang dulu memiliki kepercayaan tentang keharusan untuk terus berkarya demi Tuhan dan bukan demi diri pribadi, mengakibatkan karya mereka terus mereka sumbangkan ke dalam kas dana sosial dan tidak mereka jadikan pemuas konsumsi sendiri. Dengan berlimpahnya hasil usaha ini, mengakibatkan Barat kebanjiran modal dan modal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum kapitalis.[7]
Islam dan Kesadaran Asketik
Kesadaran asketis yang telah ada pada Islam dapat dibuktikan melalui sosok Muhammad SAW. Nabi merupakan contoh sosok asketik terbaik sepanjang sejarah yang sederhana namun pekerja keras. Pasca penaklukan Makkah, Nabi merupakan satu-satunya sosok pemimpin yang tertinggi dari Hijaz sampai Yatsrib dan runtuhlah semua bangunan kekuasaan-kekuasaan lain di bawah panji Islam. Dengan prestasi dan kedudukan ini, Muhammad SAW sangat mungkin mendeklarasikan dirinya sebagai raja saat itu juga dan membangun kehidupan hedonis, menumpuk kekayaan pada dirinya dengan menarik upeti dari rakyat seperti kebanyakan budaya raja saat itu, namun anehnya Muhammad SAW lebih memilih hidup di dalam salah satu ruangan di sudut masjid dengan berbantal batu dan bertikar pelepah kurma.
Kesederhanaan yang dimiliki Muhammad SAW di atas adalah ajaran dan sumber nilai kesadaran asketis dalam budaya Islam. Muhammad SWA yang berprofesi sebagai pedagang berusaha memposisikan dirinya sebagai sosok manusia yang membutuhkan penghidupan dan terus berkarya dengan bekerja keras tidak pasif-konsumtif namun aktif-produktif. Sekedar memenuhi kebutuhan hidup, Muhammad SAW sebagai sosok pekerja keras menolak budaya konsumtif dan lebih memilih mengisi hari-harinya dengan berpuasa dari fajar hingga Maghrib tiba di petang hari.
Berangkat dari sini, Islam memiliki ajaran tentang kesadaran asketik yang unik sebagaimana yang tercermin dari sosok Muhammad SAW sebagai representasi dari Islam itu sendiri. Untuk itu, menggali dan mengkaji tentang bagaimana konsep utuh kesadaran asketik versi Islam dari kedua sumbernya merupakan hal yang bermanfaat bagi perkembangan kajian akademis dan perkembangan bangunan masyarakat modern yang ideal di tengah maraknya budaya konsumtif. Asumsi pada hipotesis ini juga akan berguna dalam menonjolkan dua sisi yang sempat tercecer namun sebenarnya ada pada Islam, yakni sisi Islam sebagai Agama yang mengajarkan nilai sufistik kesederhanaan dan juga Islam sebagai Agama yang visioner dalam membangun etos kerja pada masyarakatnya. Para peneliti sebelumnya hanya menilai Islam dari sisi yang pertama dan melewati sisi kedua, sehingga menampilkan kedua sisi ini diharap mampu menjadi penyeimbang dan koreksi kritis studi yang telah lalu.

Menengok Thoriqah Sanusiyah dan Pemberdayaan Masyarakat di Libya
Munculnya gerakan asketik dalam Islam juga terjadi pada tahun 1800-an dengan munculnya sebuah thoriqoh unik yang bermula dari Afrika Utara. Didirikan oleh as-sanusi al-kabir yang bernama Muhammad bin Ali as-Sanusi (w. 1859). Thoriqoh ini berjasa besar terhadap pemberdayaan masyarakat miskin di Afrika Utara. Keberhasilan gerakan ini mengantarkan nama as-Sanusi al-Kabir sebagai bapak pembaharu. Strategi Thoriqah ini dalam pemberdayaan masyarakat adalah dengan mendirikan lembaga zawiyah.[8]
Lembaga Zawiyah mulai pertama kali didirikan di kota Jagbub, kemudian mengalami perkembangan yang pesat sehingga kemudian as-Sanusi mendirikan zawiyah II di Kufro ketika ia berkunjung ke sana. Pada masa berikutnya, di Qiru juga didirikan zawiyah yang merupakan karya puteranya al-Mahdi. Zawiyah-zawiyah yang didirikan di beberapa tempat sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial kemasyarakatan dan ekonomi penduduk setempat.
Salah satu konsep pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan di zawiyah adalah tehnik pengelolaan lahan dan irigasi. Banyak lahan yang dulunya tandus disulap menjadi lahan subur. Berbagai tanaman serta tumbuhan pada akhirnya dapat menghijau di tanah petani dan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari mereka. hal ini karna pengelolahan sistem pengairan yang baik oleh as-Sanusiyah seperti di kota Firafra yang dulunya tandus berubah menjadi suatu oasis baru di tengah padang pasir.
Kesadaran asketik yang ditanamkan pada para pengikut thoriqoh sanusiyah adalah budaya sederhana namun terus produktif dengan banyak berkarya baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Di Zawiyah para pengikut as-Sanusi diajari kerajinan tangan dan berbagai keterampilan seperti membuat karpet, patri, bangunan, menenun, menyablon, menjilid buku, membikin tikar, dan lain-lain, bahkan menurut Ahmad Syarif di Jagbub terdapat tukang yang pandai membuat senjata api. Zawiyah juga kerap dikunjungi oleh para saudagar yang berdagang menjual apapun untuk ditukar dengan peralatan dan hasil tanah zawiyah.
Di Zawiyah didirikan Universitas dan perpustakaan. Dengan program ini masyarakat badui mulai keluar dari dunia kegelapan sebelumnya dan merasakan terangnya ilmu pengetahuan. Para santri belajar dengan selalu diberikan asupan motivasi dari guru-gurunya. Mereka diajari kerja keras dan tidak mengharap bantuan orang lain. Santri-santri zawiyat diberikan makanan, tempat tinggal, dan pakaian yang layak, pada pagi hari mereka diberi kurma dan susu, pada siang hari mereka mendapat hidangan roti dan sop, dan ketika sore diberikan teh. Setiap jum’at mereka diberi daging. setiap tahun para santri akan mendapat dua baju, dua kopiah, dua celana kombor, dua pasang sepatu, dan mendapat jubah bulu dua tahun sekali.  
Hampir tidak pernah ada hari-hari sepi di zawiyah, selalu saja ada yang dikerjakan disana. Dengan adanya zawiyat masyarakat yang berada di sekitarnya menjadi tersugesti untuk bekerja keras. Dalam lingkungan zawiyah tidak akan sulit menemukan para santri yang hilir-mudik mengaji, di lain sudut ada para pengikut yang bekerja membuat kerajinan-kerajinan, dan pada sudut lain juga terdapat masyarakat yang mengolah tanah serta tak luput juga suasana yang di tambah sejuk dengan zikir yang selalu berkumandang dari masjidnya. Keharmonisan ini bahkan membuat kagum beberapa tokoh yang berkunjung ke zawiyah-zawiyah seperti Ahmad Muhammad Husnaini pada tahun 1922 yang kemudian menulis buku berjudul The lost Oasis dan juga pada tahun 1920 kufra dikunjungi Rosita Forbes yang kemudian menulis The secret of Sahara.
Ketika gubernur Cirenaica Rosyid pasya berkunjung ke Zawiyah, ia diantar oleh seorang kepercayaan al-Mahdi untuk berkeliling zawiyah, ia bertanya kepada orang kepercayaan al-Mahdi tersebut:
“Apakah sayid al-Mahdi mempunyai senjata?”
“tentu” (jawab orang itu) ia mempunyai beberapa gudang senjata dan tuan boleh melihatnya.”
Ternyata Rosyid Pasya tercengang ketika orang kepercayaan al-Mahdi mengantarkannya ke sebuah ruangan perpustakaan. Ia baru tahu bahwa yang dimaksut gudang senjata oleh orang kepercayaan al-Mahdi tersebut ialah perpustakaan yang menyimpan berbagai macam buku yang menjadi senjata untuk kemajuan umat.[9]

C.    Peran Kesadaran Asketis dalam Problematika Kemiskinan saat ini
Jika berbicara tentang problematika kemiskinan, maka yang tergambar dalam alam pikiran kita adalah penyakit, anak jalanan yang jauh dari pendidikan dan deretan rumah dengan lingkungan kumuh. Sayangnya, gambaran-gambaran tersebut malah lebih banyak terjadi di Negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Menurut sumber PBB, separuh penduduk Bangladesh merupakan masyarakat dibawah garis kecukupan. 10 % di antara jumlah tersebut terjadi di ibu kota Dacca yang memiliki jumlah penduduk dua setengah juta jiwa. Di kota tersebut rawan terjadi kriminalitas, pengemis di mana-mana dan tempat prostitusi menjamur. Terlibat di dalam lingkaran hitam tersebut 34 % wanita dan 12 % anat-anak mulai usia 12 hingga 17 tahun.[10] 
Dari kasus ini, ada dua hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, kemiskinan yang terjadi di Bangladesh tidak bisa dijadikan alasan untuk mengeneralisir dan mengklaim Negara berpenduduk mayoritas Islam selalu identik sebagai Negara miskin. Kedua, Islam tidak dapat disalahkan ketika pemeluknya mengalami kemiskinan. Hal yang menimpa pemeluk Islam dalam penelitian tersebut—walau tidak terjadi di semua Negara dengan mayoritas Islam—agaknya berbanding terbalik dengan cita-cita kemajuan Islam. Jika melakukan interpretasi al-Qur’an dengan mengambil kata rizki  رزق kita akan menemukan sebuah replika konsep etos kerja. Dalam sebuah surat dalam al-Quran tepatnya surat Huud ayat 6:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya”
Kata دَابَّةٍ memiliki arti hewan melata, beberapa ulama pesantran memaknai kata tersebut dengan gegeremetan yang bergerak di muka bumi, hal ini dimaksudkan bahwa hewan atau siapapun yang ingin memperoleh rizki dari Tuhan harus terus bergerak dan berupaya semaksimal mungkin untuk menghidupinya dan keluarganya.
Dalam wawasan al-Qur’an, Quraish Shihab mengambil salah satu argument ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya yang menjelaskan bagaimana naluri kepemilikan itu kemudian mendorong manusia bekerja dan berusaha. Hasil kerja tersebut apabila mencukupi kebutuhannya—dalam istilah agama—disebut rizki (rezeki), dan bila melebihinya disebut kasb (hasil usaha). Kalau demikian kerja dan usaha merupakan dasar utama dalam memperoleh kecukupan dan kelebihan. Sedang mengharapkan usaha orang lain untuk keperluan itu, lahir dari adat kebiasaan dan di luar naluri manusia.[11]
Memang, kebiasaan dapat membawa manusia jauh dari hakikat kemanusiaannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa jalan pertama dan utama yang diajarkan Al-Quran untuk pengentasan kemiskinan adalah kerja dan usaha yang diwajibkannya atas setiap individu yang mampu. Puluhan ayat yang memerintahkan dan mengisyaratkan kemuliaan bekerja. Segala pekerjaan dan usaha halal dipujinya, sedangkan segala bentuk pengangguran dikecam dan dicelanya.
Al-Alusi pernah menafsiri surat al-Ma’a>rij (70): 24 dengan menceritakan sebuah tentang kisah Abu Dzar, dari Abu Bakar bin Abu Syaibah, Al Ma'rur bin Suwaid berkata:

"Suwaid pernah melewati Abu Dzar di Rabżah, saat itu dia mengenakan kain burdah. Sebagaimana dia, budaknya juga mengenakan pakaian yang sama. Suwaid lalu bertanya: "Wahai Abu Dzar, sekiranya kamu menggabungkan dua kain burdah itu, tentu akan menjadi pakaian yang lengkap." Kemudian Abu Dzar berkata: "Dahulu aku pernah adu mulut dengan saudaraku (seiman), ibunya adalah orang 'Ajam (non Arab), lalu aku mengejek ibunya hingga ia pun mengadu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Ketika aku berjumpa dengan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Wahai Abu Dzar, sungguh dalam dirimu masih terdapat sifat jahiliyah." Maka aku membantah, "Wahai Rasulullah, barangsiapa mencela laki-laki, maka mereka (para lelaki itu) akan mencela bapak dan ibunya." Beliau bersabda lagi: "Wahai Abu Dzar, sungguh dalam dirimu masih terdapat sifat Jahiliyah, mereka semua adalah saudara-saudaramu yang dijadikan Allah tunduk di bawah kekuasaanmu. Oleh karena itu, berilah mereka makan sebagaimana yang kamu makan, berilah mereka pakaian sebagaimana pakaian yang kamu kenakan, dan janganlah kamu membebani mereka di luar kemampuannya. Jika kamu memberikan beban kepada mereka, maka bantulah mereka."[12]

Kisah Abu Dzar tersebut seolah jauh dari kebudayaan masyarakat saat ini yang penuh dengan ketamakan hedonis. Menurut Gus Dur (Abdurrahman Wahid) Sebuah proses maha besar yang melibatkan jutaan jiwa warga masyarakat, sedang terjadi dalam bentuk yang sama sekali tidak terduga, liberalisasi. Sajak tombo ati yang merupakan terjemahan Bisri Musthofa dari kata mutiara Ali bin Abi Thalib yang berisi “perintah agama” untuk berdzikir tengah malam, mengerti dan memahami isi kandungan kitab suci al-Qur’ân, bergaul erat dengan para ulama dan berpuasa untuk menjaga hawa nafsu, adalah hal-hal utama dalam asketisme (khalwah) yang merupakan pola hidup ideal bagi seorang muslim, yang menempa dirinya menjadi “ orang baik dan layak” (shaleh). Jika anjuran itu diikuti oleh kaum muslim dalam jumlah besar, tentu saja keseluruhan kaum muslimin akan memperoleh “kebaikan” tertentu dalam hidup mereka. Gambaran itu sangat ideal, namun modernisasi datang untuk menantangnya.[13] Sehingga kesadaran asketis merupakan penyeimbang zaman yang tanpanya dunia akan mengalami kegoncangan.
Budaya konsumtif murupakan salah satu hal yang sering dianggap sepele padahal akan memberikan pengaruh besar. Pemerintah atau ulil amri yang kuat akan berperan penting dalam melewati ujian ini. Sebaliknya, pemerintah yang lamah harus siap-siap menunggu waktu untuk menerima kenyataan. Karena eratnya hubungan antara kebijakan/tindakan pemerintah di bidang ekonomi dengan pencapaian kesejahteraan, maka jalur politik sangat mempengaruhi terhadap tercapainya pengentasan kemiskinan.
Gus Dur pernah melontarkan sebuah pertanyaan tentang Indonesia dan kesejahteraan. Pertanyaan tersebut berbunyi “dapatkah diharapkan akan tercapai kesejahteraan yang merata bagi bangsa kita?”[14] walau kalimat tersebut seolah merupakan sebuah pertanyaan, namun pertanyaan tersebut bukanlah untuk dijawab melainkan untuk dilakukan. Jawabannya nanti bisa diketahui tentang beranih atau tidaknya bangsa Indonesia banting setir/kemudi dalam upaya mencapain kesejahteraan. Kalau tidak, berarti kita rela membiarkan sebagian besar bangsa kita hidup di bawah garis kemiskinan atau tidak jauh dari garis tersebut. Inginkah kita hal itu akan terjadi, manakala kita ingat tujuan mendirikan negeri ini?
Dalam konteks ke-Indonesiaan, Dengan diberlakukannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 2015, karakter budaya bangsa sedang dipertaruhkan. Ujian yang paling tampak adalah ujian budaya konsumtif. Lulus dan tidaknya bangsa dalam ujian ini sangat bergantung pada kesadaran bangsa itu sendiri, apakah masyarakat terlena dengan pernak-pernik keindahan beragam produk yang berharga murah, ataukah bangsa tersebut bisa menjaga keseimbangan dengan tetap teguh menjaga nilai dan norma yang dimilikinya. Ujian ini juga sekaligus menjadi sarana belajar ulang tentang tata cara mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Merupakan salah satu hal penting untuk saat ini adalah introspeksi pola yang ditawarkan Hasan Hanafi tentang Pembaharuan (tajdid) yang harus selalu diimbangi dengan tradisi (turats) yang kuat.
Salah satu hal lain yang perlu dipertimbangakan dalam memberdayakan masyarakat adalah cara dan prosedur yang tepat dalam membangkitkan etos kerja rakyat miskin. Sedekah yang diberikan oleh sikaya bukan merupakan satu-satunya jalan yang terbaik. Sedekah terkadang malah akan membuat masyarakat miskin terlena. Salah satu hal yang perlu difikirkan oleh pemerintah adalah mengenai pembentukan lembaga pemberdayaan masyarakat dengan modal dan beberapa pelatihan skill yang dibutuhkan dalam membangun usaha mandiri rakyat menengah ke bawah.
Selain hal tersebut, penyediaan pasar bagi para pedagang kecil juga perlu diperhatikan. Dengan banyaknya monopoli berwajah minimarket saat ini yang tersebar di mana-mana terkesan mematikan para pedagang kecil. Dengan fasilitas yang lebih lengkap dan kebebasan memilih barang kebutuhan membuat pembeli akan lebih memilih pergi ke minimarket daripada harus ke tokok kecil yang serba seadanya. Hal ini perlu dilakukan agar pendapatan tidak hanya berputar terus-menerus pada pemodal.
Kekayaan yang hanya berputar pada satu pihak tentunya akan menghisap darah pihak lainnya. Untuk itu usaha dan kerja individu harus diarahkan untuk pembangunan sosial. Namun hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk melayani masyarakat lain agar bermalas-malasan. Sumbangan berupa pemberian uang langsung tidaklah bisa mencetak masyarakat produktif, namun sebaliknya, hal tersebut malah akan mencetak kader rakus dengan budaya konsumtif.
Menurut Farid Esack, kemampuan untuk selalu siap membantu orang lain pada saat orang lain tidak pernah bisa berbuat sebaliknya pada kita, itulah jalan cinta. Seorang sahabat Farid Esack yang bernama Ashiek menyatakan bahwa pepohonan mengembangkan cabang-cabangnya untuk tetap bisa bertahan hidup, namun suatu ketika seseorang datang dan berteduh di bawah pohon tersebut. Pepohonan telah memberikan keteduhan terhadap seseorang tersebut, padahal pepohonan itu mengembangkan cabang dan dahan dalam proses perimbunan tidak bermaksud menaungi seseorang tadi, namun ia malakukan hal demikian adalah untuk dirinya sendiri.[15] Hal ini menggambarkan bahwa seorang manusia yang berbuat kebaikan kepada sesamanya sebenarnya hal itu adalah akan kembali pada dirinya sendiri.
Beragam cara yang bisa dilakukan untuk memberi. Di antaranya adalah memberi lapangan kerja, memberi jaminan kesehatan, maupun memberi jaminan pendidikan. hal-hal seperti itu penting dilakukan daripada memberi bantuan tunai langsung yang hanya akan membuat manja masyarakat yang terus-menerus mengulurkan tangan. salah satu negara yang berhasil meningkatkan perekonomiannya adalah Bangladesh.

Grameen Bank dan Solusi Pemberdayaan Bangladesh
Momen yang menjadi titik balik suksesnya Bangladesh adalah ketika Negara ini diterjang bencana alam. Bermula pada tahun 1976, seseorang bernama Muhammad Yunus berusaha mencari solusi dengan mencari modal dari Bank of Bangladesh. Setelah berhasil meyakinkan Bank of Bangladesh karena ia tidak memiliki banyak aset, maka ia hanya meminjam modal bank dengan memberikan jaminan diri dan nyawanya. Kemudian hal berikutnya yang ia lakukan adalah membagi-bagikan pinjaman tersebut kepada masyarakat kecil yang terkena bencana untuk dijadikan modal usaha. Sedikit demi sedikit usaha yang ia namai grameen Bank ini sukses dan ia dinobatkan sebagai peraih nobel pada tahun 2006.[16]
Apa yang dilakukan oleh Muhammad Yunus menunjukan bahwa majunya suatu perekonomian tidak perlu menunggu waktu untuk memiliki modal, namun hal penting yang perlu dilakukan adalah kemauan dan langsung memulai untuk melakukan suatu tindakan real. Bahkan Grameen Bank yang dirintis Muhammad Yunus berhasil menjadi penyumbang terbesar kedua pendapatan Negara setelah devisa pekerja di luar negeri.

Indonesia dan Tantangan Masa Depan Penanggulangan Kemiskinan
Dilansir dari data perwakilan World Bank di Jakarta, Indonesia sedang berada di ambang era yang baru.  Sesudah mengalami krisis multi-dimensi (ekonomi, sosial, dan politik) pada akhir tahun 1990-an, Indonesia sudah kembali bangkit. Secara garis besar, negeri ini telah pulih dari krisis ekonomi yang menjerumuskan kembali jutaan warganya ke dalam kemiskinan pada tahun 1998 dan telah menurunkan posisi Indonesia menjadi salah satu negara berpenghasilan rendah. Belum lama ini Indonesia telah berhasil kembali menjadi salah satu negara berkembang berpenghasilan menengah. Angka kemiskinan yang meningkat lebih dari sepertiga kali selama masa krisis telah kembali pada kondisi sebelum krisis.  Sementara itu, Indonesia telah mengalami transformasi besar di bidang sosial dan politik, berkembang dengan demokrasi yang penuh semangat dengan adanya desentralisasi pemerintahan, serta keterbukaan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan masa lalu.[17]
Dengan adanya keterbukaan pemasaran produk baik dari dalam, terlebih dari luar negeri. Saat ini, Indonesia dihadapkan dengan masalah tawaran produk global. Indonesia merupakan salah satu Negara dengan masyarakat yang memiliki tingkat konsumsi tinggi. Hal ini mengakibatkan perusahaan luar negeri melirik Indonesia sebagai lahan investasi yang sangat empuk. Dengan adanya hal tersebut, mental masyarakat harus terus dipersiapkan agar tidak terlalu mudah tergiur tawaran beragam fasilitas yang ada.
Dalam ujian globalisasi, masyarakat yang berhasil adalah masyarakat yang dapat terus berkarya dan berproduksi, namun juga terus menjaga hasrat konsumsi. Utuhnya kestabilan sosial dengan sistem desentralisasi juga menjadi cirri masyarakat yang berjiwa maju. Beberapa fasilitas publik di Indonesia saat ini masih terpisah dan jauh dari jangkauan masyarakat pedesaan. Dalam banyak kasus, masyarakat masih sulit menjangkau rumah sakit. Kebanyakan rumah sakit dengan fasilitas yang memadai hanya terdapat di jantung kota. Bagi masyarakat pedesaan akan kesulitan untuk membuka akses fasilitas tersebut, belum lagi ketika mereka dihadapkan dengan kondisi darurat. Akibat hal tersebut, orang akan berfikir untuk hidup di kota dengan lengkapnya fasilitas dan bekerja di sana. Dari sinilah salah satu alasan kenapa tingkat kemiskinan di desa lebih tinggi.
Selain itu, desentralisasi yang perlu dibuka adalah bidang industri. Pembukaan lapangan kerja sebanyak-banyaknya perlu diperluas hingga menyentuh masyarakat pedesaan sehingga tidak terjadi penumpukan perputaran uang hanya berputar di daerah perkotaan. Industri yang baik juga harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. dan untuk mendongkrak kemampuan masyarakat salah satu solusinya adalah dengan pendidikan untuk meningkatkan skill dan produktifitas.
Ada empat elemen yang dapat mendongkrak kemajuan ekonomi suatu daerah, yakni pusat pemerintahan, rumah sakit/fasilitas publik, universitas/tempat pendidikan, dan industri. Kebanyakan Negara maju telah mempertimbangkannya sebagai prosedur berdirinya sebuah daerah. Majunya empat hal tersebut bisa dijadikan acuan dalam manial majunya suatu kota. Hal tersebut dapat dilihat dengan mencermati Negara-negara maju yang telah menerapkannya dan dapat dipastikan diiringi dengan majunya keempat elemen tersebut. Sedangkan daerah yang tidak begitu maju biasanya dipengaruhi dengan tidak majunya atau bahkan tidak adanya salah satu atau kesemua dari keempat elemen tersebut.
Tidak selalu kesadaran asketik hanya bisa tumbuh sebagai sebuah kontrol individu. Kesadaran asketik juga diharapkan mampu tumbuh di dalam birokrasi pemerintah. Sosok Umar bin Abdul Aziz yang sederhana malah lebih berhasil membangun kepercayaan rakyanya dibanding dengan pemimpin hedonis. Konsep berfikir seperti tawaran Machiavelli (1469-1527) yang mempengaruhi ideologi politik Jerman melalui karyanya “the Prince” tidaklah selalu bisa dibenarkan—walau juga tidak selalu bisa disalahkan—.  Dalam beberapa kasus, pemimpin yang realistis dan mengabaikan kedekatan kepada rakyatnya malah harus melepaskan jabatannya dengan tidak terhormat.   
Kesadaran asketik memberikan bangunan semangat etos kerja dan upaya meningkatkan kwalitas individu untuk berkarya membangun keseimbangan sosial. Dengan keseimbangan sosial, kesetabilan suatu masyarakat juga akan dapat terkontrol dan terjaga. Untuk membangun tatanan masyarakat ke depan diperlukan komitmen bersama untuk mengumpulkan karya dan hasil individu demi kepentingan sosial terutama untuk memajukan keempat elemen kemajuan suatu daerah yang tentunya dilakukan dengan desentralisasi atau pemerataan.
Manusia yang hidup di dunia memang memerlukan dunia sebagai lahan usahanya, namun bukan menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya. Bagaimanapun berlebihan dalam segala hal merupakan tindakan yang tidak sewajarnya. Bahkan hal mubahpun jika dilakukan dengan berlebihan bisa memberikan dampak negatif. Yang baik adalah menempatkan sesuatu sebagaimana kadar dan porsinya masing-masing.
D.    Kesimpulan
Ada tiga aspek yang bisa dipetik dari proses berfikir dengan kesadaran asketik. pertama, perubahan haluan dari budaya pasif-konsumtif ke arah aktif produktif merupakan salah satu tawaran pengentasan kemiskinan. Dalam beberapa kasus, miskin tidaklah diakibatkan karena kecilnya penghasilan seseorang, namun diakibatkan besarnya pengeluaran seseorang. Godaan yang muncul pada generasi saat ini adalah tersedianya berbagai tawaran fasilitas-fasilitas media hiburan yang sebenarnya menjadi kebutuhan skunder namun disugestikan kepada publik sebagai kebutuhan primer. Budaya konsumtif seperti ini tentu perlu diluruskan dengan sifat kesederhanaan sebagaimana prinsip dasar Agama ukhrowi. dari sini juga akan tampak peran agama sebagai kontrol sosial dalam realitas historis.
Kedua, menumbuhkan budaya aktif-produktif. Manusia sebagai khalifatullah di atas bumi berkewajiban menjaga dan terus bergerak sebagaimana term da>bbah yang berarti melata dalam arti terus bergerak menuju rizki dari Tuhan. Prinsip masyarakat produktif ini juga penting untuk menjaga kesetabilan ekonomi secara sosial. Berkarya tidak hanya bagi diri sendiri namun juga bagi orang lain dengan memajukan pendidikan, kesehatan, tempat tinggal dan biaya hidup yang belum bisa dijangkau oleh masyarakat miskin.
Ketiga, Peran serta pemerintah menjadi aspek penting sebagai ulil ‘amri terlebih untuk menjaga pola distribusi dengan lebih banyak membuka lapangan kerja. Keadilan dalam penyediaan pasar dan pembatasannya dianggap perlu dalam menjaga keseimbangan dan pemerataan pendapatan agar kekayaan tidak menumpuk dilumbung para pemodal kapitalis. Desentralisasi berbagai sarana publik juga menjadi salah satu hal penting dalam aspek ini, termasuk di dalamnya dalah pemerataan hingga fasilitas kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja yang sampai menyentuh ke desa-desa.
Jika dilihat dari beberapa aspek, tulisan ini memang terkesan idealis. Hal tersebut wajar karena bagaimana pun setiap tindakan manusia memerlukan semangat konseptual dari mimpi-mimpi. Selain itu, tulisan ini dalam bentuknya sebagai sebuah pemikiran, tentunya masih bisa dikritisi lebih lanjut karena kebenaran manusia merupakan kebenaran relatif. Kebenaran sejati dan niscaya merupakan kebenaran Tuhan yang bersifat absolut. Menjadi hal yang patut dipertahankan adalah terus berusaha mencari kebenaran. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Daftar Pustaka
al-Alusi, Mahmud. Ru>h}ul Ma’a>ni (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2009).
Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah, (Jogjakarta: Djambatan, 1995).
Esack, Farid. On Being a Muslim (Jakarta: Erlangga, 2002).
Essay World Bank, “Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”, The World Bank Office Jakarta, Jakarta, November 2006.
Marx, Karl and Engels, Friedrich. German Ideology (New York: Prometheus Book, 1998).
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity (Chicago: The University of Chicago Press, 1984).
Rana, Muhammad Sohel. “the Advance of Grameen Bank: a Simple Story of Micro Credit”, makalah, dipresentasikan pada Diskusi Ilmiyah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga tanggal 15 Agustus 2014.
Shihab, Quraish. Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996).
Subhi, Nabil ath-Thawil. Kemiskinan dan Keterbelakangan di Negara-Negara Muslim (Bandung: Mizan, 1993).
Sungkar, Lubna. “Perang Golongan Borjuis pada Tahun 1789”, jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. XI, No. 1, Februari 2007.
Syafii, Inu Kencana. Ilmu Politik (Jakarta: Rineka Cipta, 2010).
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995).
Wahid, Abdurrahman. Islam ku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: Democracy Project, 2011).
Weber, Max. Essays in Sociology (New York: Oxford University Press, 1946).
----------------. The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (London: Routledge, 2005).


[1] Max Weber, Essays in Sociology (New York: Oxford University Press, 1946), hlm. 30.
[2] Inu Kencana Syafii, Ilmu Politik (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), Hlm. 194.
[3] Karl Marx and Friedrich Engels, German Ideology (New York: Prometheus Book, 1998). hlm. 54.
[4] dari bahasa Latin “Burgensis” yang sinonim dengan le marchand yang artinya adalah pedagang. Kaum borjuis atau kaum kota pada akhirnya identik dengan penyedia modal sebagai pemilik sumber daya. Arti borjuis menjadi lebih eksklusif yakni sekelompok pengusaha yang tidak mau disejajarkan dengan bangsa perancis yang kebanyakan adalah petani kemudian muncul istilah bourg yakni kota dan dari situlah masyarakat borjuis seringkali disebut masyarakat perkotaan, sedangkan buruh (Proletar) merupakan kelas pekerja sebagai pihak yang mengolah sumber daya. Lihat: Lubna Sungkar, “Perang Golongan Borjuis pada Tahun 1789”, jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. XI, No. 1, Februari 2007, Hlm. 62.
[5] Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: The University of Chicago Press, 1984), hlm. 90.
[6] Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995), hlm. 24.
[7] Max Weber, The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (London: Routledge, 2005), hlm 102.
[8] Tempat kegiatan yang menjadi pusat pendidikan, dakwah, markas, dan juga tempat yang menjadi pusat pengaturan pergerakan. Istilah ini memiliki kemiripan dengan istilah pesantren jika memahami zawiyat dalam konteks keindonesiaan.
[9]  Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah, (Jogjakarta: Djambatan, 1995). Hlm. 82.
[10] Nabil Subhi ath-Thawil, Kemiskinan dan Keterbelakangan di Negara-Negara Muslim (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 39.
[11] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 447.
[12] Mahmud al-Alusi, Ru>h}ul Ma’a>ni (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2009), hlm. 427.
[13] Abdurrahman Wahid, Islam ku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: Democracy Project, 2011), hlm. 281.
[14] Abdurrahman Wahid, Islam ku, Islam Anda, Islam Kita… hlm. 194.
[15] Farid Esack, On Being a Muslim (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 93.
[16] Muhammad Sohel Rana, “the Advance of Grameen Bank: a Simple Story of Micro Credit”, makalah, dipresentasikan pada Diskusi Ilmiyah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga tanggal 15 Agustus 2014. Hlm 2. 
[17] Essay World Bank, “Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”, The World Bank Office Jakarta, Jakarta, November 2006. Hlm. Ix.

No comments:

Post a Comment