Tuesday, September 22, 2015

Historiogreafi Sahabat Nabi





response paper karya Fuad Jabali
Oleh : Muhammad Barir, S.Th.I



Tentang Penulis    :
Fu'ad Jabali, mendapatkan gelar magister dalam Masyarakat dan Kebudayaan Islam dari School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London, dan doktor dalam Sejarah Islam dari Institute of Islamic Studies, McGill University. Sekarang dia mengajar Sejarah dan Peradaban Islam di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Komentar Tokoh :
"Untuk mengikuti perpindahan para Sahabat ke wilayah-wilayah urban yang baru ditaklukkan, Fu'ad Jabali tahu bahwa hanya dari bahan-bahan yang muncul belakanganlah, jati diri para sahabat dapat diungkap. Banyak motif menunggangi kepentingan mereka yang sangat disibukkan oleh konsolidasi posisi kelompok dalam lingkungan ideologis yang bergolak, sebuah sejarah yang benar-benar terjadi, yang terbebaskan dari seluruh praduga teologi-politik"
-          Mohammed Arkoun    -
[Profesor Emerites Sejarah Pemikiran Islam, La Sarbonne (Paris III) Scientific Director of the Magazine "ARABICA"]


Sahabat Nabi: Siapa, ke Mana, dan Bagaimana?
Sejauh apa yang para cendekiawan asumsikan terhadap sahabat Nabi, tidak banyak di antara mereka yang tergerak untuk mengkritisi dan malah secara taken for granted menganggap kredibilitas sahabat telah final dan tidak perlu dipertanyakan. Menjadi suatu hal yang terbilang cukup kritis, Fuad Jabali berhasil melacak data sejarah yang berkaitan dengan para sahabat, mengumpulkan, dan kemudian melakukan penyaringan dari buku-buku biografi (tara>jim) mulai dari abad ke-8 M hingga abad ke-14 M. Ia memerlukan waktu dua tahun dengan membaca sekitar 14.000 literatur tentang Sahabat. Hasil dari apa yang ia upayakan ini ternyata mendapatkan apresiasi yang besar dalam dunia akademis, terlebih atas konstribusi data-data penelitian ini yang berhasil menguak terhadap sejarah penyebaran hadis ke berbagai Negara termasuk Mesir, Irak, Suriah, dan lain sebagainya dan menemukan data-data penting lainnya tentang Sahabat yang sebelumnya sempat tercecer dan masih berserakan.
Buku yang juga diterbitkan di Belanda oleh EJ Brill Leiden ini—meminjam bahasa Jalaluddin Rakhmad—telah membuka kembali diskusi seputar kemuskilan sejarah Islam. Segera setelah membaca buku ini, kita akan merasa dikagetkan dengan kenyataan bahwa fakta-fakta sejarah selama ini telah ditutup-tutupi. Lebih mencengangkan lagi adalah bahwa aktor yang paling bertanggung jawab dalam pemalingan sejarah adalah ahli hadis. Konsep Sahabat tidak lagi didasarkan pada kedekatan spiritualitas, namun didasarkan atas kepentingan sepihak bangunan tertentu. Menurut ahli hadis siapapun bisa menyandang gelar sahabat tanpa peduli itu anak kecil, orang yang sudah lama masuk Islam, orang yang masuk Islam karena terdesak, orang yang sudah lama bergaul dengan Nabi, maupun orang yang hanya sedetik berpapasan dengan Nabi, siapa pun itu bisa menyandang predikat sahabat. Karena kriteria seperti ini, tercatat ada 100.000 orang yang diklaim sebagai Sahabat. Berangkat dari sinilah Fuad Jabali merasa berkepentingan dalam mendefinisikan ulang konsep sahabat.
Membangun konsep Sahabat untuk era belakangan bukanlah suatu hal yang tabu mengingat definisi Sahabat pun juga baru muncul pada abad ke-3 Hijriyah. Kebanyakan penulis telah meletakkan pena dan menutup bukunya dalam masalah ini. Di luar hal tersebut Fuad Jabali memberanikan diri untuk mengupas tuntas tema Sahabat. Secara lebih jauh ada tiga aspek yang menjadi fokus perhatian dalam peneitiannya. 1. Pola hunian (pembagian wilayah hidup) sahabat?, 2. Sikap Sahabat dalam peristiwa fitnah (pembunuhan Us|man hingga perang siffin), dan 3. Runtutan benang merah antara aliansi politis dengan aliansi geografis.
Dari ketiga aspek tersebut, penelitian ini bisa dikatakan sebagai model penelitian dengan pendekatan historiografi. Memadukan antara ilmu sejarah dengan kajian wilayah meruakan hal yang penting. Hal ini pulalah yang pada gilirannya akan mengantarkan pada terbukanya misteri-misteri yang selama ini belum terungkap. Terlebih tentang pertanyaan mengapa Ali lebih memiliki kedekatan dengan Sahabat yang bermukim di Irak?, kenapa tidak Bashrah atau Kuffah?. Begitu pula pertanyaan kenapa Muawiyah memutuskan untuk tetap tinggal di Suriah dan menjadikannya sebagai basis kekuasaan?. Bagaimana pengaruh tempat-tempat tersebut dalam peristiwa terbunuhnya Us|man, perang unta, dan perang Siffin. Hal inilah yang memunculkan asumsi adanya pengaruh wilayah dalam aliansi perpolitikan masa itu.
Salah satu hal yang menarik adalah penggunaan sifat kuantitatif dalam penelitian ini, penulis sangat detail dalam menjelaskan data meski sebagaimana pernyataannya sendiri bahwa penelitian yang bersifat kuantitatif dalam mencermati pola kategorisasi yang bersifat dinamis memiliki kelemahan dalam menentukan pembagian dan penempatan obejek (dalam hal ini adalah Sahabat). Seorang Sahabat tertentu seperti Mu’awiyah yang memiliki dua suku, yakni Saku>n dan sekaligus juga masih memiliki ikatan dengan suku Khaula>n akan masuk pada dua kategori, bagaimana kita akan memposisikan Muawiyah dalam tabel?, apakah masuk pada tabel suku Saku>n?, atau masuk pada tabel suku Khaula>n?. di luar hal ini, penulis telah berhasil keluar dari masalah tersebut dan berhasil menyusun beberapa kategori-kategori Sahabat secara kuantitatif berdasarkan, kesukuan, aliansi politik, wilayah, dan populasi. Hal ini pula yang dipuji oleh Jalaluddin Rakhmat dalam pengantarnya, bahwa penelitian yang dilakukan oleh Fuad Jabali merupakan penelitian terbaik yang pernah ia baca.    
Telaah atas “Sahabat Nabi: Siapa, ke Mana, dan Bagaimana?”
Mencoba menafsirkan judul yang dipoulerkan oleh penerbit Mizan, terdapat tiga kata tanya yang menggambarkan keseluruhan aspek yang hendak dikritisi oleh penulis (Fuad Jabali). Pertanyaan “siapa?” merepresentasikan keresahan tentang konsep dan definisi Sahabat serta siapa saja sosok yang cukup memiliki reputasi dan layak menyandang gelar tersebut?. Pertanyaan “ke mana?” menjadi landasan penelusuran tentang penyebaran Sahabat dan pengaruh geografis. Kemudian yang terakhir, pertanyaan “bagaimana?” menggambarkan tentang bagaimana sikap dan sepakterjang Sahabat dalam arus perpolitikan masa itu, terlebih dalam beberapa peristiwa besar seperti terbunuhnya Usman, Perang Jamal, dan Perang Siffin?.
Tentang pertanyaan pertama, pendefinisian Sahabat tidaklah lepas dari perdebatan antara Mu’tazilah dengan ahli hadis, Abu Zur’ah ar-Razi menyatakan bahwa pengkritik sahabat adalah zindiq, sebaliknya, Mu’tazilah sebagai ingkar as-sunnah tidak menganggap masalah mengkritisi Sahabat. Jika menelusuri data dari sahabat terakhir yang masih hidup jauh setelah wafat Rasul. Anas bin Malik pernah menyatakan bahawa dirinya merupakan Sahabat terakhir yang masih hidup yang pernah “dekat” dengan Nabi. Hal ini berbeda dengan pernyataan Abu at-T{ufail yang mengklaim dirinya adalah sahabat terakhir yang pernah “melihat” Nabi. Lalu, siapakah Sahabat? Apakah orang yang pernah dekat? Atau hanya sebatas orang yang pernah melihat?. Ahli hadis secara sederhana memilih pada pernyataan kedua, sedangkan salah satu pengikut Mu’tazilah yakni Abu al-H{usain (w 1044 M) secara lebih ketat membatasi Sahabat hanya orang-oarang yang menyertai Nabi dalam waktu yang lama, mengikutinya, mengambil hadis darinya, serta meletakkan dirinya dibawah otoritas Nabi.   
Berangkat dari banyaknya variasi definisi Sahabat ini, memilih salah satu di antaranya, atau bahkan menyusun ulang makna terbaik yang dapat mendefinisikan konsep Sahabat merupakan hal yang cukup rumit, namun hal tersebut perlu dilakukan karena mengkaji Sahabat tidak sebatas mengkaji gelar, namun juga berhubungan dengan mengkaji konsep keadilannya (‘ada>lah as{-S{ah{a>bah). Dalam bukunya, Fuad Jabali tidak secara eksplisit menjelaskan definisi Sahabat yang ia pilih, namun secara tidak langsung ia telah memilih untuk mengarahkan pembaca pada dilema tentang tidak semua orang yang semasa dengan Nabi merupakan Sahabat atau tidak semua Sahabat merupakan orang yang adil.
Untuk menjawab pertanyaan kedua, pembagian Sahabat berdasarkan wilayah geografis sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibn Sa’d yang pernah menjadi  juru tulis al-Waqidi merupakan hal yang bagus. Hal ini pula yang kemudian menginspirasi Fud Jabali dalam mengikuti jejak Ibn Sa’d. Secara lebih komprehensif, Fuad Jabali menyusun daftar tempat hunian para sahabat. Ada empat wilayah pemukiman Sahabat yang ia kaji secara intensif:
1.      Bashrah
Bashrah didirikan pada 635 M oleh Utbah bin Ghazwan atas perintah Umar. Di Basrah, populasi sahabat mencapai 335 orang. 43 di antaranya tidak dapat dilacak kesukuannya, sedangkan 292 orang lainnya dapat dilacak kesukuannya. Suku Sahabat di Bashrah dapat dibagi menjadi dua, pertama adalah Arab Utara yang memiliki 13 suku dengan 237 orang dan Arab Selatan yang memiliki 10 suku dengan 72 orang. Di antara jumlah tersebut, dimungkinkan Sahabat memiliki dua kesukuan sebagaimana yang dijelaskan di awal.
2.      Kufah
 Sebagaimana Basrah, Kufah dulunya merupakan sebuah base camp militer. Didirikan pada 636 M atas perintah Umar bin Khattab. Pada mulanya ‘Umar tidak mengizinkan Kufah dijadikan tempat menetap sehingga bangunan di Kufah hanya berbentuk bangunan sementara dari rotan. Namun, karena terjadi kebakaran besar yang melanda tempat tersebut, pada akhirnya ‘Umar mengizinkan membangun bangunan dari bata secara lebih permanen hingga pada akhirnya Kufah menjadi hunian dan meluas menjadi perkampungan. Di Kufah, populasi Sahabat berjumlah 335 orang. Di antara jumlah tersebut, 40 orang tidak dapat dideteksi kesukuannya, sedangkan 295 orang berhasil diketahui kesukuannya. Suku di Kufah dapat dibagi kedalam dua wilayah. Pertama adalah Arab Utara yang memiliki 13 suku dengan 191 orang dan kedua adalah Arab Selatan yang memiliki 12 suku dengan 128 orang.    
3.      Suriah
Setelah penaklukannya, Suriah dibagi kedalam empat provinsi yang diistilahkan dengan jund. Keempat provinsi tersebut masing-masing adalah : Palestina, al-Urdu>n, Damaskus, dan Hims. Di Suriah, populasi Sahabat mencapai 439 orang. 88 di antaranya tidak dapat dilacak kesukuannya, sedangkan 351 lainnya dapat dilacak kesukuannya. Suku yang terdapat di Suriah berasal dari Arab Utara dan Arab Selatan. Suku yang berasal dari Arab Utara sebanyak 15 suku dengan 167 orang, sedangkan Arab Selatan sebanyak 27 suku dengan beranggotakan 253 orang.
4.      Mesir
Ada tiga sebutan yang biasa digunakan untuk menyebut tempat tinggal di Mesir. Ketiganya ialah Mis{r, Fustat, dan Aleksandria. Kota Fustat menjadi basis Amr bin As{ dan tentaranya. Populasi Sahabat di mesir adalah sebanyak 259 orang dengan 28 orang yang dapat tidak diketahui kesukuannya, dan 231 lainnya dapat diketahui kesukuannya. Suku Sahabat yang tinggal di Mesir dapat dikategorikan pada suku Arab Utara yang memiliki 11 suku dengan beranggotakan 55 orang. Sedangkan suku yang berasal dari Arab Selatan memiliki 21 suku dengan  beranggotakan 123 orang.

Data-data di atas yang menunjukan pergerakan penyebaran Sahabat berimplikasi atas terkuaknya informasi penyebaran periwayatan hadis Nabi. Dari data ini pula, tidak heran jika para pencari hadis (t{a>lib al-H{adi>s) seperti Imam Bukhari dan Muslim rela meluagkan waktu bertahun-tahun dengan menyusuri berkilo-kilo meter jarak tempuh guna melakukan deteksi hadis Nabi. Apa yang menjadi upaya Fuad Jabali dalam bukunya ini menjadi temuan yang akan sangat bermanfaat dalam dinamika kajian hadis baik dari sisi sejarah maupun dari sisi metodologis kajian rija>l al-H{adi>s.
Hal yang penting untuk dijelaskan dalam penelitian Fuad Jabali adalah mengetahui alasan penyebaran para Sahabat. Untuk menjawab hal ini, peperangan dalam penyebaran ajaran Islam atau yang sering diistilahkan dengan jihad merupakan alasan teologis yang terasa cukup relevan, namun diluar hal itu, tidak dapat ditutup-tutupi, bahwa alasan kepindahan para Sahabat tidak lepas dari alasan ekonomi. Dalam traedisi perang, dengan ekspansi dan penaklukan daerah, seseorang akan memperoleh hak atas tanah yang ditaklukan. Dalam masalah ini, Suriah merupakan tujuan favorit dalam ekspansi. Sahabat lebih memilih Suriah karena kemapanan hidup di sana yang sudah terdapat populasi dan tempat permukiman. Kondisi ini bertolak belakang dengan Irak. Di Irak, Sahabat harus membangun ulang permukiman dan berjihad di sana memiliki resiko besar karena harus berhadapan dengan tentara Persia yang kuat yang saat itu hanya bisa ditandingi oleh kerajaan Romawi. Hal ini mengakibatkan sahabat-sahabat elit seperti Mu’awiyah memilih berperang di Suriah dan Ali berperang di Irak. Dari sini pula lah yang nantinya akan memiliki pengaruh terhadap perang Siffin.
Mengenai pertanyaan ketiga tentang sikap Sahabat, salah satu hal kontroversial dalam penelitian ini adalah terletak pada salah satu pernyataan Fuad Jabali pada kesimpulan yang ia ambil. Menurutnya, Perang Siffin merupakan perang kepentingan antara kubu Ali yang dikatakan sebagai kelas elit dengan kubu Mu’awiyah sebagai kelas tertindas. Hal ini pula yang dikritisi oleh Jalaluddin Rakhmat dengan menyatakan bahwa pernyataan Fuad Jabali adalah pemutar balikan fakta. Terlepas dari kritik Jalal, apa yang dikatakan Fuad Jabali sebenarnya tidak menunjukan bahwa ia ingin membela Mu’awiyah. Berdasarkan data Fuad jabali kubu Ali merupakan kubu yang mendekati kebenaran, di dalamnya terdapat orang-orang yang masuk Islam semenjak awal perjuangan dan turut membela Nabi dalam perang Badar. Selain itu, ia juga menjelaskan adanya penyesalan Sahabat yang mendukung Mu’awiyah karena memerangi Ali dan penyesalan sahabat yang netral karena tidak turut membela Ali diakhir karirnya. 
Terlepas dari kritik dan koreksi atas karya ini, sebagaimana koreksi yang disampaikan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam pengantar buku terbitan dalam bahasa Indonesianya, secara keseluruhan karya ini mampu mengantarkan para peminat, peneliti, dan cendekiawan hadis pada suatu cara pandang baru dalam memahami sosok Sahabat Nabi. Tak ubahnya sebagaimana makhluk, suatu karya mungkin tidak bisa meninggalkan kekurangan dan kelebihan namun yang pasti suatu karya akan meninggalkan manfaat dan pelajaran baik bagi penulis sendiri maupun bagi para pembacanya. Telah banyak tokoh yang merekomendasikan karya ini sebagai acuan dalam studi hadis kontemporer. Mulai dari Arkoun hingga Azyumardi Azra. Hal ini menunjukan suatu kualitas dan nilai yang terdapat dalam karya Fuad Jabali ini. Barakallah ‘alaina..!, walla>hu alam bi as{-s{awa>b..

No comments:

Post a Comment