Saturday, December 28, 2013

Sekilas tentang MAYORITAS, MINORITAS, ETNIS, DAN KEYAKINAN

Oleh: Muhammad Barir*

Kesetaraan Perlindungan adalah hak seseorang atau kelompok untuk mendapatkan keamanan dan ketenteraman dalam kehidupanya serta penjagaan dari tindakan yang tidak manusiawi. Tiap manusia harus saling menghargai kedamaian. Semua berhak mendapat ketenteraman baik kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas. Adanya permasalahan bukan berarti dijadikan ajang bagi pihak mayoritas untuk sewenang-wenang menghakimi pihak yang minoritas. Islam sendiri menyatakan sebagai agama pembawa rahmat seluruh alam. Hal ini dilakukan Islam dengan mengusung metode dakwah yang halus sebagaimana QS. An-Nah}l (16): 125:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Ayat ini mengajarkan kepada manusia ketika berdakwah maupun ketika memiliki perbedaan untuk menyelesaikan semuanya dengan jalan persahabatan dan persaudaraan. Inilah yang juga mendasari pernyataan Abdurahman Wahid bahwa “berbeda itu tidak musti bertentangan”, lebih lanjut ia mengungkapkan:
Asal pandangan yang menganggap Islam sebagai cara hidup memiliki keungulan atas cara-cara hidup lain, sebenarnya tidak salah. Setiap orang tentu menganggap sistemnya sendiri yang benar. Karena itu perbedaan cara hidup adalah sesuatu yang wajar. Ini termasuk dalam apa yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân : “Dan telah Ku buat kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar kalian saling mengenal (QS al-Hujurat(49):13). Perbedaan pandangan atau pendapat adalah sesuatu yang wajar bahkan akan memperkaya kehidupan kolektif kita, sehingga tidak perlu ditakuti.1

Pemahaman dan kesadaran bahwa tiap manusia setara dalam perbedaan menjadi kebutuhan manusia saat ini yang hidup dalam berbagai permasalahan di dunia modern. Pergolakan dan tidak adanya perlindungan hanya akan membuat masyarakat berada pada kegamangan dan keterpurukan. Semua ini pada akhirnya hanya akan membuat kaum tertindas mencari jalan untuk dapat melampiaskan semua keresahanya dalam ekspresi-ekspresi ekstrim seperti terorisme, separatism, dan pemberontakan yang seringkali terjadi. Munculnya akspresi ekstrim tersebut menjadi buah dari rasa ketidakamanan sebagai kelompok yang tersisihkan. Machasin dalam bukunya Islam Dinamis, Islam Harmonis menyatakan bahwa agama memang berdaya, tetapi dayanya ada di atas luapan emosi. Emosi keagamaan menumpang pada luapan amarah yang disebabkan oleh keirian, kemiskinan, ketimpangan ruang kehidupan, dan kekecewaan-kekecewaan.2
Asumsi superioritas dan fanatisme egois suatu kaum mayoritas terhadap kaum minoritas seringkali menjadi buah diskriminasi. Kaum mayoritas sering kali memilih mendahulukan kekerasan sebagai jalan dalam merespon perbedaan yang muncul, sedangkan jalan lain seperti diskusi halus dan ajakan damai sering hanya menjadi sesuatu yang tidak diperhitungkan dan bahkan tidak pernah dipikirkan. Dalam beberapa kasus di Indonesia, kekerasan dengan alasan perbedaan telah merenggut banyak kerugian, baik berupa fisik, moral, maupun nyawa.
Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta pada akhir tahun 2012 bertajuk “Agama, Kekerasan, dan Politik Penodaan” menyatakan bahwa Harmoni kemajemukan keyakinan di Indonesia akhir-akhir ini sering mengalami ujian dengan munculnya sikap-sikap intoleran dari kelompok masyarakat yang merasa mayoritas. Sikap intoleran ini seringkali ditunjukkan dengan tindak kekerasan yang merenggut korban jiwa. Pemerintah yang seharusnya berkewajiban memberikan perlindungan kepada mereka malah cenderung apriori dan tidak adil dalam melihat suatu konflik yang terjadi. Pemerintah sendiri tidak dapat berbuat banyak ketika nilai-nilai kemanusiaan dilanggar dengan tumpahnya darah.
Kekerasan antar kelompok di Indonesia harus diredupkan karena saat ini sudah mulai bermunculan di permukaan. Zainal Abidin menyampaikan bahwa kekerasan yang dialami komunitas Syiah di Sampang, Madura, telah terjadi sejak tahun 1980. Rentetan kekerasan ini terus berlangsung sampai pada akhirnya memuncak dengan tragedi kekerasan dan penyerangan pada Agustus 2012 lalu yang memakan korban jiwa dan harta benda. Kekerasan ini, sedikit atau banyak, termotivasi oleh pernyataan dari tokoh-tokoh agama dengan bahasa agama. Selain didorong oleh motivasi persaingan internal keluarga yang berbeda faham antara Rois (Sunni) dan Tajul Muluk (Syiah), pemicu lainnya adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surabaya yang menyebutkan bahwa ajaran Syi’ah sebagai sesat.
Zainal Abidin menambahkan, secara umum, peristiwa kekerasan selama ini di berbagai daerah di Indonesia adalah juga disebabkan oleh UU No. 1/PNPS/1965 yang sering dipahami dan ditafsirkan dengan tanpa memperhatikan secara serius asas kebebasan berkeyakinan dan beragama, sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Kata sakti ”penodaan agama” dalam undang-undang tersebut, yang juga dirujuk dalam KUHP pasal 156 a, telah menjadi alat legitimasi untuk mengadili dan memenjarakan orang-orang yang memiliki keyakinan dan penafsiran yang berbeda dengan kelompok mainstream. Akibatnya, menurut Zainal Abidin, batasan atau pengertian antara perbedaan dengan penodaan menjadi kabur. Orang yang memiliki perbedaan penafsiran agama dengan kelompok dominan akan dituduh melakukan penodaan agama.3
Tindakan kekerasan yang mengatasnamakan kelompok mayoritas atas nama agama seringkali malah akan menciderai citra agama itu sendiri. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa “agama Islam selama ini telah menjadi korban dari sekian banyak anggapan”. Hal ini dikarenakan tindak kekerasan yang dilakukan kelompok tertentu sering kali mengatasnamakan agama. Padahal tidak semua pemeluk agama islam seperti itu, bahkan malah Muslim toleran lebih banyak.
Kelompok garis keras menurut jajang Jahroni bahkan tidak lebih dari 5% dari orang Islam di Indonesia,4 namun adanya tindakan kelompok ini secara tidak langsung telah mengeneralisasi aggapan publik bahwa Islam mengajarkan kekerasan. Hal ini tentu sangat menodai citra Islam sebagai agama pembawa rahmat seluruh alam. Islam tidak pernah mengajarkan tindak kekerasan. Bahkan Islam sendiri ketika di Madinah menjadi agama yang memberi perlindungan kepada masyarakat Yahudi dan bisa hidup berdampingan dengan mereka.
Di Indonesia tragedi lainya juga menggambarkan akan lemahnya perlindungan pemerintah terutama terhadap kaum minoritas. Ketika terjadi kerusuhan 1998, terjadi pengrusahaan milik warga tionghoa. Para gadis keturunan Tionghoa diperkosa dan tokok-toko mereka dirusak. Bagi warga tionghoa, mereka memiliki dua opsi, pertama adalah meninggalkan negara dan kedua adalah mereka bersikap seolah pro-reformasi. Mereka yang masih bertahan di Indonesia mencoreti tokok mereka dengan tulisan pro-reformasi. Saat itu warga Tionghoa menganggap apa yang terjadi ini merupakan kejahatan genosida.5
Tragedi lainya adalah tragedy Sambas pada tahun 1999 yang melibatkan tiga etnis, yakni Melayu dan Dayak melawan Madura. Dalam tragedi ini, bermula dari seorang warga etnis Madura yang dianiyaya karena dianggap mencuri, kemudian beberapa hari berikutnya, 200 orang dari etnis Madura melakukan aksi balas dendam dengan menyerang etnis Melayu di suatu desa. Beberapa hari kemudian etnis Melayu dengan dibantu Etnis Dayak membantai etnis Madura hingga menewaskan 489 orang, 168 luka-luka, ribuan rumah dibakar, hingga beberapa Masjid juga ikut dirusak. Beberapa orang dari etnis Madura yang lolos dari pembantaian ini lari kehutan. Dari kasus ini, pada tahun 2001 terjadi kasus lain, yakni tragedy Sampit. Pada tragedy Sampit, 100 kepala orang Madura dipenggal. Dari sini, banyak persepsi bahwa ritual klasik Dayak pembantaian kepala yang disebut ngayau telah dibangkitkan kembali.6
Jika dicermati, tragedi di atas merupakan pengulangan kisah yang menjadi sebab turun QS. Al-Hujurat (49):9. Dalam sebab turunya, terjadi pertikaian individu antar pemuda dari dua golongan yang berbeda. Dari pertikaian individu ini, kemudian karena merasa tidak puas, mereka yang bertengkar mengerahkan dukungan kelompoknya yang lain hingga timbullah pertikaian kolektiv. Hal ini menjadi perhatin bahwa jangan sampai kepentingan individu terbawa dan sampai menciderai kepentingan kolektif.


1 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 374.

2 Machasin, Islam Dinamis, Islam Harmonis (Yogyakarta: LKIS, 2012), Hlm. vii.


3 Zainal Abidin Bagir dkk, “Politik Penodaan dalam Kasus Syi‘ah Sampang”, diselenggarakan oleh CRCS Universitas Gadjhah Mada bersama Universitas Islam negeri Yogyakarta, dalam diskusi publik, di University Club UGM Rabu, 31 Oktober 2012.

4 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 360. Lihat pula Acep Rustandi (ed.), “Masa Depan Muslim Indonesia”, dalam CD. Wajah-Wajah Muslim Indonesia, Media Alliansi , 2004.

5 Hesti Armiwulan Sochmawardiyah, Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), Hlm. 284.

6 Hesti Armiwulan Sochmawardiyah, Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), Hlm. 286.

No comments:

Post a Comment