Saturday, December 28, 2013

KEMANUSIAAN DI MATA KEADILAN HUKUM DI INDONESIA

KILAS BALIK TRAGEDI MESUJI
Oleh: Muhammad Barir*

Semua manusia di mata hukum adalah setara. Keadilan dalam institusi yudisial hukum sering disimbolkan dengan timbangan yang artinya antara keadilan dan keseimbangan merupakan dua hal yang saling melengkapi. Sedangkan simbol lain adalah mata yang ditutup oleh kain yang artinya, dalam tegaknya keadilan tidaklah melihat siapapun sosok yang diadili. Tanpa kesetaraan, keadilan tidaklah dapat ditegakan, sehingga posisi kesetaraan berada pada fondasi yang menyokong tegaknya keadilan.
Siapa pun berhak mendapat keadilan dengan tidak dibenarkanya praktek apartheid dan diskriminasi dengan alasan ekonomi maupun politik. Pemerintah wajib memberikan fasilitas-fasilitas yang setara terhadap mereka yang tidak mampu dan mereka yang tergolong dalam kelompok-kelompok minoritas. Bagi seorang hakim maupun pengacara, mengadili menjadi kewajiban mereka sebagaimana nilai universal dalam QS. Al-Hujurat (49):9.1 Pengadilan merupakan wadah yang menampung segala permasalahan masyarakat, namun pada kenyataanya, banyak masyarakat yang enggan menggunakan wadah itu dan lebih memilih memendam-dalam permasalahan hidupnya. Hal ini disebabkan di antaranya karena rasa ketidakpercayaan dan persepsi bahwa pengadilan seringkali identik dengan seorang pemodal, penguasa, dan pendukung mayoritas. Walaupun ada istilah berperkara tanpa biaya (prodeo/ free of charge) yang seolah pengadilan merupakan lembaga putih yang pro rakyat kecil, namun kenyataanya rakyat kecil tak bermodal akan kesulitan jika bersengketa dengan mereka yang memiliki modal.
Dalam beberapa peristiwa, penegakan hukum menjadi momok tersendiri bagi rakyat ketika berhadapan dengan pemodal. Rakyat yang bersengketa dengan pemodal akan kesulitan mempertaruhkan nasibnya di muka hukum. Jika melihat beberapa kasus sebagaimana dengan peristiwa sengketa lahan di Mesuji Lampung, yang hingga tahun 2012 mendapat sorotan dari publik karena menelan banyak korban jiwa dan diduga ada ketelibatan aparat di dalamnya. Kasus ini terkait sejumlah pengelolaan lahan di kawasan hutan tanaman industri Register 45 Way Buaya di Kampung Talang Pelita Jaya, Desa Talang Batu, Kecamatan Mesuji Timur, Lampung. Dalam kasus ini, konflik terjadi antara warga dengan sebuah perusahaan. Catatan laporan khusus yang diterima Komisi III DPR menjabarkan, kasus Mesuji bermula dari adanya penerbitan ijin Hutan Produksi Hutan Tanaman Industri (HPHTI) oleh Menteri Kehutanan pada 1998 di Tulang Bawang. Persoalan mulai timbul karena tidak adanya hubungan baik antara pihak perusahaan dengan masyarakat adat sehingga di dalam sosialisasi luasan atau batasan areal tidak terselenggara dengan baik.2
Dalam menyelesaikan persoalan, perusahaan dituding cenderung menggunakan cara-cara represif, yaitu diduga dengan melibatkan institusi Polri sebagaimana terekam dalam video yang dibawa perwakilan warga Mesuji pada saat melapor ke Komisi III DPR RI pada tanggal 14 Desember 2011. Dalam video itu, digambarkan telah terjadi pembantaian warga oleh aparat keamanan dan perusakan rumah warga. Menurut warga, konflik lahan tersebut diduga telah menewaskan sekitar 30 orang.3
Kasus yang serupa di Mesuji juga terjadi di Pulau Padang, Riau. Terkait dengan kasus ini, sekitar 80 warga Pulau Padang, Kecamatan Marbau, Kabupaten Meranti, Riau sudah hampir satu bulan melakukan aksinya ”berkemah” di depan Gedung MPR/DPR/DPD di Jakarta. Mereka menyatakan akan tetap melanjutkan aksinya di depan Gedung Parlemen hingga Kementerian Kehutanan mencabut ijin operasi hutan tanaman industri (HTI) untuk sebuah Perusahaan di Pulau Padang. Mereka menuntut penghentian operasional secara permanen oleh Menteri Kehutanan terhadap PT RAPP dan pencabutan Surat Keputusan (SK) No. 327 Tahun 2009 terkait dengan surat ijin operasi untuk PT RAPP. Di dalam SK tersebut ada wilayah HTI Pulau Padang seluas 41.205 hektar.4 Hal ini mereka lakukan karena mereka menganggap bahwa maju ke bangku pengadilan merupakan hal yang sia-sia, sebab bagaimana pun pengadilan tetap akan memenangkan PT karena telah dilindungi SK Menteri Kehutanan.
Beberapa kasus di atas adalah sedikit dari banyaknya permasalahan yang melibatkan antara rakyat dengan pemodal. Hal yang perlu disoroti adalah mengenai oknum penegak hukum seperti aparat yang terlibat dalam permasalahan antara keduanya dengan memihak salah satunya. Diskriminasi yang dilakukan aparat ini seolah menjadi alasan bahwa keadilan hanya boleh dinikmati oleh orang yang bermodal. Perang dalam sebuah permasalahan hukum sering dijadikan ajang perang modal, saat dimana keadilan bisa diperjualbelikan dan dilelangkan kepada orang yang berani menawar dengan harga tertinggi.
Lembaga Yudisial merupakan lembaga pengayom masyarakat. Seharusnya pengadilan menjadi pihak pertama yang berada pada garda depan dalam membantu masyarakat, menyelesaikan berbagai hal dengan penuh kebijaksanaan dan musyawarah, bukan malah masyarakat yang harus meronta-ronta oleh pengadilan yang apriori. Ketika maju di pangadilan pun bukan berarti masyarakat bisa bernafas lega. Di dalam pengadilan telah menunggu berbagai intrik dan manipulasi politik yang bisa setiap saat menjadi alasan terputar-baliknya fakta. Seseorang yang salah bisa menjadi yang dibenarkan dan begitu pula sebaliknya. Hal ini bisa dilihat dari penangkapan sekelas ketua Mahkamah Konstitusi pada 2013 terkait kasus penyuapan. Jika seorang yang menjadi ketua hakim saja bisa terjaring kasus seperti itu, lalu bagaimana dengan hakim-hakim lain yang berada dibawahnya?.
Permasalahan-permasalahan dalam institusi pengadilan saat ini sudah berlapis, mulai dari sulitnya menaruh permasalahanya di meja hukum, sampai saat sudah melalui proses pemutusan hukum inilah yang seringkali memperjauh sekat antara keadilan dengan orang-orang kecil. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa suap sama halnya dengan memakan daging saudaranya sendiri, padahal tolok ukur tegaknya keadilan suatu bangsa adalah terletak pada sebuah institusi mahkamah. Suap-menyuap yang telah membudaya dalam sebuah mahkamah berarti menunjukan runtuhnya martabat suatu bangsa karena gagal menegakkan keadilan dan karena kebrobokan mahkamah mempengaruhi harga diri bangsa, maka mahkamah yang brobok sama halnya dengan keruntuhan pilar-pilar suatu bangsa.
Hukum yang sudah dibuat adalah untuk dilaksanakan, namun seringkali dalam pelaksanaanya oknum tertentu sering tebang pilih dalam penerapan aturan. Jabatan, tingkat ekonomi, atau pangkat militer yang tinggi sering kali masih menjadi alasan lunturnya ketegasan dari penegakan hukum. Bagi masyarakat biasa yang melanggar aturan akan langsung mendapat hukuman atas tindakanya, namun bagi orang yang memiliki kedudukan tertu, baik politik, militer, maupun kedudukan publik lainya akan diundur-undur penanganan hukumnya. Padahal salah satu sebab turunya al-Qur’an telah mengkisahkan tentang pelarangan tebang pilih dalam penegakan keadilan sebagaimana QS. al-Maidah (5):42.5 Dalam sebab turun surat ini, digambarkan diskriminasi oleh suatu kaum yang melakukan ketegasan hukum pada masyarakat kecil dan lemah ketika menindak kaum yang berderajat tinggi.
Dari kesemuanya, kesetaraan keadilan di muka hukum harus ditegakan, dengan tanpa melihat perbedaan ras, suku, perbedaan sosial, maupun pendapatan ekonominya. Bagaimanapun kesetraan merupakan bagian dari keadilan. Terciptanya kesetaraan pada aspek hukum sangat berpengaruh terhadap persatuan masyarakat. Kesadaran terhadap kesatuan manusia diibaratkan sebagai tali yang mengikat beragam perbedaan, sedangkan Pengelolaan Hukum yang diskriminatif ibarat pisau yang akan memotong tali tersebut.


1 وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ


2 Dian Cahyaningrum, “permasalahan hukum konflik lahan”, dalam P3DI Vol. IV, Januari 2012. Hlm. 2.

3 Dian Cahyaningrum, “permasalahan hukum konflik lahan”, dalam P3DI Vol. IV, Januari 2012. Hlm. 2.

4 Dian Cahyaningrum, “permasalahan hukum konflik lahan”, dalam P3DI Vol. IV, Januari 2012. Hlm. 2.

5 Ayat tersebut dalam sebab turunya mengkisahkan perihal kaum yang mengganti hukuman pemukanya yang berbuat zina dengan hukuman coreng muka padahal, di tempat lain, bagi rakyat jelata yang melakukan zina ia akan dirajam sampai mati.

No comments:

Post a Comment