Saturday, December 28, 2013

KESETARAAN JAMINAN KESEHATAN DI INDONESIA

Oleh: Muhammad Barir*

Kesehatan di Indonesia masih memiliki banyak permasalahan, salah satunya mengenai penanganannya yang tidak merata. Rumah sakit, peralatan medis, obat-obatan, dan tenaga medis masih menjadi hal yang langka di beberapa tempat. Banyak wilayah di Indonesia yang bahkan tidak memiliki puskesmas. Koran Kompas juni 2004 menggambarkan betapa sulitnya di desa Kertajaya, Simpenan, Sukabumi mendapatkan penanganan medis ketika terjadi wabah malaria tahun 2004. Rumah Sakit terdekat berjarak 20 KM namun akses ke sana bermasalah karena akses jalan sulit di lewati kendaraan roda empat, bahkan di beberapa desa lain akses keluar-masuk hanya bisa di lalui oleh perahu. Karena kondisi inilah, penduduk memilih enggan pergi ke dokter.1 Kesulitan akses ini sebenarnya merupakan tanggung jawab pemerintah. Pembangunan dan pemajuan tehnologi tidak berhasil dilaksanakan oleh pemerintah padahal Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa, namun rakyatnya mengalami kemiskinan yang luar biasa.
Peran aktif pemerintah terhadap dunia medis juga perlu diwujudkan dengan apresiasi pemerintah terhadap dokter puskesmas. Hal inilah yang mengakibatkan bagi dokter professional akan lebih memilih bekerja di rumah sakit kota dan enggan bekerja di desa, padahal kasus riwayat penyakit di desa tidaklah kalah dengan di kota. Sudah saatnya digalakan desentralisasi agar pelayanan medis bisa merata. Bagi dokter dan pengelola rumah sakit, sudah seharusnya menjadikan pertolongan dan keselamatan masyarakat menjadi priyoritas. Dalam penelitian tanggapan publik yang dilakukan republika 1997 menyimpulkan bahwa rumah sakit berubah menjadi makin komersil dan hilang sisi sosialnya.2 Bahkan pada tahun 2013 seorang balita harus diusir dari rumah sakit dengan alasan ruangan penuh, dan berkat kasusnya diangkat ke media, pihak rumah sakit yang bersangkutan mau menerima balita tersebut.
Dari kesemua permasalahan di atas, pemerintah memiliki banyak tugas kedepanya, terutama dalam merealisasikan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, bab 2, pasal 2 tentang asas dan tujuan kesehatan bahwa: “Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan non diskriminatif dan norma-norma agama”. Realisasi asas dan tujuan di atas menjadi penting mengingat masih banyaknya aktifitas penanganan medis yang menyimpang dari tujuan asalnya dengan menjadikan kesehatan sebagai lahan komersil. Jangan sampai butir kalimat-kalimat dalam asas dan tujuan kesehatan hanya melekat pada lembaran kertas, namun juga harus dapat direalisasikan dalam institusi-institusi kesehatan.
Kesehatan merupakan anugerah tuhan dan siapa pun berhak merasakanya. Untuk itu, sudah sewajarnya kesehatan tidak hanya diperuntukan bagi orang kaya, namun untuk semua. Bagi orang yang berlebih membantu mereka yang kekurangan. Pemerintah dan dinas kesehatan memiliki tugas berikutnya dalam mensukseskan program BPJS sebagai jaminan kesehatan dengan mengumpulkan dana dari masyarakat yang berkecukupan dalam membantu biaya kesehatan masyarakat yang kekurangan. Kesehatan merupakan rizki untuk itu, kesehatan juga harus dibagi agar bisa dirasakan oleh semua. Hal ini sebagaimana dalam al-Qur’an:
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?”3 QS. An-Nahl (16):71

Ayat ini pada awalnya menggambarkan bahwa seorang budak pun juga berhak untuk merasakan rizki Allah, begitu pula bagi orang miskin yang tidak memiliki uang, maka tugas pemerintah dan orang yang memiliki kelebihan finansial untuk membantunya agar bisa turut merasakan kesehatan. Dalam harta seorang manusia terdapat harta yang menjadi hak saudaranya. Penumpukan kekayaan dilarang oleh al-Qur’an karena kelebihan harta adalah untuk menutupi kekurangan yang lain. Hal tersebut sebagaimana QS. Adz-Dzariyat (51): 19 telah jelas dipaparkan: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”, inilah yang menjadikan penumpukan kekayaan merupakan hal yang ditentang oleh agama. Padahal memberi orang lain akan berdampak positif yang kembalinya ialah kepada sang pemberi. Dalam pembahasan terdahulu telah dijelaskan mengenai penumpukan kekayaan hanya akan berdampak negatif karena akan menciptakan ketimpangan sosial. Ketimpangan sosial ini pada akhirnya mengakibatan ketidakseimbangan kolektif. ketidakseimbangan inilah yang disebut Asghar dengan istilah “strata sosio-ekonomi yang menindas”. Orang yang menumpuk kekayaan tidaklah ia akan merasakan kenikmatan, namun sebaliknya, hal tersebut sebagaimana dalam surat at-Taubah (9): 34-35:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لأنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.

Dalam pembahasan sebelumnya terdapat kisah teladan yang ditunjukan oleh sahabat Ans}ar saat Islam mengalami masa-masa sulit, Rasulullah ketika itu harus hijrah ke Madinah sebagai cara untuk menyelamatkan umatnya, saat itu, terlihat jelas betapa pentingnya arti memberi dan menerima tidak hanya dalam penyetaraan materi, namun juga dalam penyatuan rasa saling memiliki antar sahabat Nabi. Hal tersebut tergambar dari keiklasan Sabat Ans}ar yang mau memberi kepada sahabat Muhajjiri>n padahal mereka tahu bahwa sahabat Muhajjiri>n ketika itu tidak akan bisa membalas kebaikan mereka secara materi karena mereka tidak membawa sepeser apapun ketika pergi dari Mekah.4 Memberi tanpa ingin balas budi dari yang diberi inilah yang menjadikan tolok ukur kebesaran jiwa sahabat Ans}ar.
Selanjutnya, menurut Farid Esack, menyatakan bahwa kemampuan untuk selalu siap membantu orang lain pada saat orang lain tidak pernah bisa berbuat sebaliknya pada kita, itulah jalan cinta. Seorang sahabat Farid Esack yang bernama Ashiek menyatakan bahwa pepohonan mengembangkan cabang-cabangnya untuk tetap bisa bertahan hidup, namun suatu ketika seseorang datang dan berteduh di bawah pohon tersebut. Pepohonan telah memberikan keteduhan terhadap seseorang tersebut, padahal pepohonan itu mengembangkan cabang dan dahan dalam proses perimbunan tidak bermaksud menaungi seseorang tadi, namun ia malakukan hal demikian adalah untuk dirinya sendiri.5 Hal ini menggambarkan bahwa seorang manusia yang berbuat kebaikan kepada sesamanya sebenarnya hal itu adalah akan kembali pada dirinya sendiri.
Kisah inspiratif lain datang dari seorang tamu rasulullah yang kelaparan dan rasulullah sendiri tidak memiliki apapun untuk dimakan peristiwa ini terekam dalam S}ahih Bukhari no. 3514:
Pada suatu ketika datanglah seorang laki-laki kepada Nabi SAW lalu beliau datangi istri-istri beliau. Para istri beliau berkata; "Kami tidak punya apa-apa selain air". Maka kemudian Rasulullah SAW berkata kepada orang banyak: "Siapakah yang mau mengajak atau menjamu orang ini?". Maka seorang laki-laki dari Ans}ar berkata; "Aku".
Sahabat Ans}ar itu pulang bersama laki-laki tadi menemui istrinya lalu berkata; "Muliakanlah tamu SAW ini". Istrinya berkata; "Kita tidak memiliki apa-apa kecuali sepotong roti untuk anakku". Sahabat Ans}ar itu berkata; “Suguhkanlah makanan kamu itu lalu matikanlah lampu dan tidurkanlah anakmu". Ketika mereka hendak menikmati makan malam, maka istrinya menyuguhkan makanan itu lalu mematikan lampu dan menidurkan anaknya kemudian dia berdiri seakan hendak memperbaiki lampunya, lalu dimatikannya kembali. Suami-istri hanya menggerak-gerakkan mulutnya (seperti mengunyah sesuatu) seolah keduanya ikut menikmati hidangan. Kemudian keduanya tidur dalam keadaan lapar karena tidak makan malam.
Ketika pagi harinya, pasangan suami istri itu menemui Rasulullah SAW. Maka beliau berkata: "Malam ini Allah tertawa atau terkagum-kagum karena perbuatan kalian berdua". Maka kemudian Allah menurunkan firman-Nya dalam QS al-Hasyr ayat 9 yang artinya: "Dan mereka lebih mengutamakan orang lain (Muhajirin) dari pada diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung".6
Hadis di atas menjadi sesuatu yang bermakna pada kita bahwa memberi tidaklah menunggu pada saat kita memiliki, namun hal itu bisa dilakukan pada saat kita sedang mengalami kekurangan. Berbagi merupakan bentuk cinta, bukan pengorbanan. Karena pengorbanan mengindikasikan keberatan hati, sedangkan cinta mengindikasikan kerelaan hati. Cinta dalam memberi tidaklah karena bentuk fisik dari orang yang menerima, namun cinta dalam memberi berasal dari kecantikan ruhani orang yang memberi, memberi tidak hanya memberi material namun juga memberi dengan berbagi kesehatan bagi mereka yang sakit.


1 Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sakit (Yogyakarta: Resist Book, 2004), hlm. 73.

2 Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sakit (Yogyakarta: Resist Book, 2004), hlm. 57.

3 QS. An-Nahl (16):71, al-Qur’an dan Terjemahnya, Hadits Web 3.0, 2006.

4 Farid Esack, On Being a Muslim (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 93.

5 Farid Esack, On Being a Muslim (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 93.

6 Imam Bhukari, Hadis No. 3514 (CD Lidwa Pustaka, Lidwa Pustaka i-Software, 2010).

No comments:

Post a Comment