Saturday, December 28, 2013

KESETARAAN, HAM, ATAU MISI KEMANUSIAAN ?

Oleh: Muhammad Barir


Misi kemanusiaan merupakan nilai yang diklaim oleh kalangan reformis sebagai nilai yang telah ada pada Islam sebelum HAM dideklarasikan pada 10 Desember 1948. Farid Esack, sepakat bahwa memang kesetaraan merupakan hal yang tak henti-hentinya diserukan oleh kaum muslim Afrika Selatan dalam menggempur politik Apartheid, namun dalam satu sisi berkenaan dengan HAM, ia tidak sepenuhnya sepakat bahwa Islam telah memilikinya sebelum dideklarasikan oleh Barat. Ia mengkritisi ulama-ulama untuk tidak mengaku-ngaku kepada Barat bahwa Islam telah memiliki konsep HAM dengan berkata: “jika anda pikir itu berharga, maka kami sudah memilikinya sejak dulu”. Ann Elizabeth Mayer menyatakan bahwa HAM masih memiliki ambiguitas dengan Islam. Hal tersebut karena HAM dikhawatirkan menjadi alasan bagi manusia untuk bertindak bebas tanpa batas.1 Dari sini seolah-olah HAM menjadi hal baru yang mencoba mendobrak batasan-batasan norma yang sudah ditanamkan Islam sejak dulu.
Berbeda dengan masih rancunya konsep HAM, konsep kesetaraan sebagai misi kemanusiaan menjadi hal yang lebih bisa diterima dan disepakati oleh kalangan muslim bahwa Islam telah memiliki dasar-dasarnya sendiri. Prinsip kesetaraan juga sesuai dengan tradisi Islam sebagai agama yang moderat yang memiliki ummat yang moderat pula أمة وسط . Ajaran tentang kesetaraan dan anti diskriminasi ini menjadi serangkaian program pembebasan masyarakat tertindas yang semenjak dulu sudah diperjuangkan. Farid Esack mengilustrasikan betapa perjuangan tentang penegakan kesetaraan di Afrika telah banyak diwarnai dengan tinta dan darah.2 Semua pengorbanan tersebut rela diberikan demi terciptanya suatu kesetaraan di antara manusia.
Sebenarnya konsep kesetaraan perlu digali lebih dalam dengan mencoba memahami lebih jauh substansi dan ide yang ada dalam simbol-simbol Islam. Simbol-simbol tersebut seperti kain ihram, ka’bah, dan shaf sholat yang tidak hanya memiliki nilai profan, namun juga memiliki nilai substansial tentang kesetaraan. Bagi orang kaya maupun miskin akan menggunakan kain ihrom yang sama, begitu pula bagi pejabat dan rakyat biasa. Semua orang dari golongan apa pun berhak menempati shaf terdepan. Adanya ka’bah menjadi simbol tersendiri tentang kesatuan umat dalam menyelaraskan arah dan tujuan hidup.
Berkenaan dengan itu, Asghar dalam pembahasan sebelumnya telah memaknai Tauhid dengan kesatuan manusia (unity of mankind), jika mengenang era klasik, seolah-olah gagasan Asghar ini mengulang argument Ibnu Arabi pada abad VI hijriyah tentang wah}dah al-wuju>d yang mengajarkan bahwa keesaan tuhan berada di dalam diri manusia.3 Menurut Ali Syari’ati, tujuan pokok segala hal adalah untuk eksistensi manusia.4 Dari sini dapat difahami bahwa setiap praktek syariah vertikal yang dilakukan manusia akan berimplikasi positif jika dapat berbuah pada nilai humanistis horizontal. Kegiatan termasuk ritual ibadah memang sering difahami dan dihayati sebagai bentuk penghambaan kepada tuhan, namun seiring hal ini, Ritual yang sempurna adalah ritual yang tidak hanya berorientasi pada dimensi vertikal, namun juga tercermin dan berimbas pada nilai-nilai horizontal kemanusiaan.



1 Farid Esack, Sprektum Teologi Progresif di Afrika Selatan dalam: Abdullahi Ahmed an-Naim dkk., “Dekonstruksi Syariah II” (Yogyakarta: LKIS, 2009), 205.

2 Banyak tokoh yang meninggal dalam perjuangan menegakkan kesetaraan, di antaranya adalah Abdullah Haroon yang memotori penyebaran ribuan lembar deklarasi anti apharteid di Afrika Selatan pada tanggal 7 Mei 1961. Sebelum dibunuh ia di tahan selama empat bulan oleh polisi keamanan. Farid Esack, Sprektum Teologi Progresif di Afrika Selatan dalam: Abdullahi Ahmed an-Naim dkk., “Dekonstruksi Syariah II” (Yogyakarta: LKIS, 2009), 200.

3 Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 146.

4 Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 341.

No comments:

Post a Comment