Saturday, December 28, 2013

MEMBANGUN INDONESIA YANG EGALITER

Oleh: Muhammad Barir*

Indonesia dengan kompleks dan beragamnya perbedaan yang ada di dalamnya membutuhkan sebuah tatanan baru. Banyaknya permasalahan tidak hanya membutuhkan penyelesaian jangka pendek, namun juga dibutuhkan prinsip yang dapat menjaga stabilitas jangka panjang yang lebih penting. Kedamaian (as-silm),—sebuah istilah yang dibangun Gus Dur—tidak dapat diraih oleh seseorang dengan cara membangun dirinya sendiri, namun kedamaian yang sejati hanya akan bisa dirasakan dengan membangun kebahagiaan kolektif.
Nilai-nilai kesetaraan meliputi nilai keadilan dan jiwa moderat sebenarnya merupakan hal yang diperlukan dalam membangun masyarakat yang multikultural yang bisa hidup harmonis di tengah kenyataan perbedaan. Indonesia sebenarnya merupakan bangsa yang multikultural yang ramah akan adanya perbedaan, namun seringkali hal ini terciderai oleh kepentingan individu yang coba merusak kepentingan kolektif.
Jika mengikuti pola Islam dan Teologi Pembebasan yang dibangun Asghar, bangsa Indonesia mesti dibebaskan dari belenggu diskriminasi. Pada awalnya, perbedaan yang ada dalam sebuah tatanan masyarakat mengimplikasikan pembentukan dua pola masyarakat, pertama adalah pola masyarakat diskriminatif dan kedua adalah pola masyarakat yang majmuk dan dapat bersatu (unity of mankind). Karena munculnya pola masyaratak diskriminatif akan mengakibatkan penindasan, maka hal terpenting adalah menarik masyarakat diskriminatif ke arah masyarakat yang egaliter. Dari sini, perbedaan yang ada di Indonesia yang darinya lahir berbagai tragedi kemanusiaan yang diakibatkan diskriminasi baik yang berhubungan dengan agama, ras, dan lain sebagainya perlu disikapi dengan menarik masyarakat dari pola masyarakat diskriminatif menjadi masyarakat yang moderat dan mau menghargai perbedaan. Kemudian Indonesia yang egaliter juga memerlukan kesadaran tiap individu bahwa dirinya adalah kesatuan dengan manusia lainya, menjunung tinggi kepentingan kolektif dengan tidak membawa kepentingan individu untuk merusak kepentingan bersama.
Dari kesemua pembahasan di atas, sebagaimana kata Asghar, bahwa cahaya Islam haruslah disibakkan1. Bagaimanapun Islam bisa bertahan sampai saat ini adalah karena Islam bisa menghargai berbagai macam keseragaman kehidupan. Dan karena sikap inilah Islam mendapat gelar خيرأمةsebaik-baik umat” (QS. Ali Imran [3]: 110) dan Islam juga mendapat gelar أمة وسط “umat yang moderat”.2 Gelar yang sudah melekat inilah yang perlu disibakkan dan ditanamkan pada jati diri setiap manusia.
Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa “orang-orang yang penyayang akan disayang oleh dzat yang penyayang. Sayangilah yang ada di bumi, maka yang di langit akan sayang kepada kalian.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Baihaqi). Syaikh Nawawi al-Bantani mengomentari hadis di atas dengan menyatakan bahwa seseorang yang menyebarkan kasih sayang di dunia baik kepada manusia, hewan, tumbuhan, dan ciptaan lainya akan disayang oleh Allah yang maha rahman.3
1 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.59

2 Nur Cholis Setiawan, Pribumisasi al-Quran (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012), hlm.223.

3 Abdulwahid Hasan, sebuah pengantar dalam Machasin, dalam: Machasin, Islam Dinamis, Islam Harmonis (Yogyakarta: LKIS, 2012), Hlm. vii.

No comments:

Post a Comment