Saturday, November 7, 2015

Studi Islam: New Trend in the Study of Islam and Muslim Society




Muhammad Barir, S.Th.I
1420510012
Studi al-Qur’an dan Hadis (SQH), Agama dan Filsafat, Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga

Dipersembahkan kepada Ahmad Rafiq, Ph.D

A.    Fikr al-Isla>miy (Islamic religious Knowledge) menuju Dira>sah al-Isla>miyyah (Islamic Studies)

Amin Abdullah adalah salah satu sarjana Islam yang berupaya mencari pembagian periode yang dapat menunjukkan perkembangan dan perubahan keilmuan Islam dari generasi ke generasi. Ia membagi pertumbuhan Pengetahuan Islam melalui tiga tahapan, pertama adalah tahap awal yaitu ulu>m ad-di>n, kedua adalah fikr al-Isla>m, dan ketiga adalah dira>sah al-Isla>miyyah.
 Amin Abdullah mencoba melakukan pembagian pemikiran Islam melalui tiga tahapan era. Pertama adalah era yang disebut dengan tradisional, kedua adalah era yang dinamakan dengan modern, dan ketiga adalah era yang dinamakan dengan post-modern. Era pertama diwakili oleh al-Ghazali, Izuddin Abd as-Salam, Syatibi, dan al-Juwaini. Era kedua diwakili oleh Muhammad Abduh, Thabathabai, Yusuf Qaradhawi, Ibn As-Shur dan as-Shadr. Era ketiga diwakili oleh Nasr Hamed, Ibrahim Moosa, Farid Esack, dan Hasan Hanafi.

B.     Increasing of Islamic Studies  
Andreas Grunschloß dari George August University of Gottingen mengemukakan bahwa dalam studi agama terutama Judaism, Christianity, dan Islam mengalami pertumbuhan sebab ikatan ketiga agama tersebut dalam kajian kesarjanaan melalui pendekatan trans-Diciplinarry. Argemen tersebut membuka pengertian bahwa dalam  terbangunnya studi Islam memang terpengaruh oleh kajian orientalis.  Perkembangan kemudian yang berpengaruh dalam keberlangsungan dan perubahan ulum ad-din menuju dirasah al-Islamiyyah adalah sudut pandang yang dipakai yang menurut Lien Iffah Nafatun Fina dari Hartford Seminary USA memiliki tiga motor pendukung:
1.    Pendekatan Intra-disipliner,
2.    Pendekatan Multi-disipliner, dan
3.    Trans-Disipliner
Memperkembangkan kajian dari dalam, mempertimbangkan aspek perkembangan historis, dan menghubungkan kajian melalui tradisi lain merupakan tiga aspek yang menjadi faktor dan indikasi pendidikan dalam era post-modern yang menurut Amin Abdullah berada pada ranah studi. Hal tersebut pula yang mengantarkan pemikiran Islam untuki dapat berubah berangkat dari ulum ad-din menuju pada dirasah al-Islamiyyah. Dari Islamic religious knowledge, Islamic thought, hingga Islamic Studies.
Dengan ketiga hal tersebut, Islam yang telah secara integral dan terkoneksi melalui cabang berbagai keilmuan tersebut telah dapat dikatakan berada pada tahapan yang lebih maju. Namun terlepas dari itu semua sebagaimana argument Mohammad Damami, bahwa teori ini sebenarnya bagaikan kapas yang masih melayang-layang di udara. Penerapan dalam perguruan tinggi Islam belum berhasil. Untuk penggunaan pendekatan intra, trans, dan multi disipliner sebenarnya telah dapat dijangkau, hanya mengenai aspek integralistik dari teori tersebut kurang mendapat tempat. Sebagaimana upaya paradigm jarring laba-laba yang dipakai Amin Abdullah yang menjadikan al-Qur’an dan Hadis sebagai poros mengharuskan baik al-Qur’an maupun Hadis untuk dapat selalu relevan dalam berbagai sudut pandang, mulai dari sosiologi hingga ilmu eksakta seperti fisika, biologi, dan kedokteran. Sedangkan upaya itu semua hingga saat ini masih tergolong tidak terealisasikan. Bebrapa upaya yang telah ada kebanyakan hanya merupakan legitimasi dan mencocok-cocokkan.  
C.     Antropologi dan Perkembangan Kajian Normativitas menuju Historisitas
     Martin Ramsted dari Max planck Institute dalam tulisannya “the Emergence of a New Field of Study” menyatakan bahwa studi sebagaimana kajian keagamaan saat ini telah dapat dijangkau karena telah keluar dari aspek normativitasnya. Salah satu kajian yang berkembang adalah antropologi. Antropologi yang menjadikan manusia dan kebudayaannya sebagai objek kemudian berkembang dan menghasilkan beberapa cabang ilmu seperti antropologi sosial hingga filologi yang menurutnya merupakan cabang dari antropologi.[1]
Dengan keterbukaan tersebut. kajian normatif yang selama ini mengacu kepada teks terlah mengalami perkembangan dan perubahan. Teks yang telah dimaknai ternyata dapat berimplikasi pada realitas kehidupan terutama dalam aspek hokum dan kontrol sosial. Pengaruh ini menunjukkan bahwa agama juga memiliki tempat dalam realitasnya dan oleh karenanya kajian teks juga harus melihat apa yang ada di balik teks (beyond the text). Hal ini pula yang menurut Martin Ramsted juga telah diterapkan yang salah satunya oleh Abdullah Ahmad an-Naim.
.
D.     A Religion-Social-Cultural Text: The Reception of the Qur’an in Indonesia
Ahmad Rafiq dalam presentasinya “The Joy of the Scripture: claiming the past in contemporary reception of the Quran in Indonesia” mencoba mengungkapkan nilai sosial kultural yang terdapat dalam teks sebagai salah satu elemen terpenting agama. al-Qur’an yang lahir dari tradisi Arab hadir ke dalam sebuah tradisi tradisi baru mengalami pergeseran tradisi yang unik dan mengidentifikasikan dirinya pada sesuatu yang khas yang berbeda dengan original tradisi asalnya.
Terdapat tiga resepsi yang menjadi acuan dalam memahami fenomena tersebut. petama adalah resepsi eksegetis. Kedua adalah resepsi estetis, dan ketiga adalah resepsi fungsional. Ketiga teori ini semakin mempertajam teori sebelumnya yakni resepsi hermeneutis, resepsi cultural, dan resepsi estetis.
Mengenai eksegetis, Jane Dammen McAulife mendefinisikannya sebagai bentuk tafsir atau upaya interpretasi tekstual. Di luar itu ia membedakan antara eksegesis klasik dan kontemporer yang telah mempertimabangkan konteks sebagai pembanding makna. Sedangkan eksegesis yang dikaitkan dengan “resepsi” terhadap al-Qur’an lebih mengarah pada upaya memahami makna al-Qur’an dan menerimanya dalam kehidupan. Seperti contoh Muhammad SAW yang mengajarkan hanya sepuluh ayat kepada sahabat dan tidak menambahkannya sebelum kesepuluh sahabat tersebut menghafal dalam ingatannya, memahami makananya, dan menerapkan dalam tingkah kesehariannya.
Mengenai resepsi estetis, al-Qur’an difahami dan diterima sebagai sebuah bentuk keindahan baik dalam tulisan, suara, dan keruntutan pesan-pesan dan jumlah bait-baitnya yang rapid an tertata. Hal tersebut sebagaimana rima-rima yang ritme dan nadanya sama sebagaimana lima ayat pertama surat al-Alaq yang berakhiran sama dan tertata jumlah nadanya.
Mengenai resepsi fungsional, contoh yang tepat adalah resepsi terhadap al-Qur’an dalam fungsi-fungsi tertentu seperti fungsi sosial, psikologis, maupun pengobatan. Hal tersebut sebagaimana contoh dari ungkapan abu Said al-Khudri yang menceritakan tentang pengobatan sahabat yang disengat kalajengking dengan bacaan al-Fatihah.




[1] Martin Ramsted, the Emergence of a New Field of Study in International Conference and Graduate Workshop at UIN Sunan Kalijaga University, Yogyakarta, 27 Oktober,2015.

No comments:

Post a Comment