Sunday, November 1, 2015

a Response of “Reading the Quran as a Resident Alien”


karya Whitney Bodman Hardford Seminary, 2009. Blacwell Published. USA.

Oleh : Muhammad Barir, S.Th.I : 1420510012
makalah ini dipersembahkan untuk Ahmad Rafiq, Ph.D.
Studi al-Qur’an dan Hadis
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yoryakarta,
2015

Dalam dunia Islam, sebagaimana menjadi suatu hal yang wajar, bahwa al-Qur’an dibaca, difahami, dipelajari, dan ditafsiri oleh kalangan cendekiawan Islam sendiri. Pra-pengetahuan yang terbangun sejak pendidikan terdasar hingga perguruan tinggi membawa alam pikir mereka untuk berperan dalam proses interpretasi. “Namun”, bagaimana jika proses ini dilalui bukan oleh seorang muslim, tapi oleh seorang outsider dari kepercayaan lain dan dengan pra-pengetahuan lain yang berupa memori, pengalaman, dan ekspektasi di luar dunia islam?. Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang diangkut oleh Whitney Bodman dalam “Reading the Quran as a Resident Alien”.
Pernyataan Frank Clooney[1] yang dikutip oleh Bodman menunjukkan tentang adanya kesadaran sebagai seorang asing yang masuk dalam alam kebudayaan baru akan mengimplikasikan adanya dua cara baca bagi mereka. Dalam satu sisi, keinginan melepas subjektifitas dan mencoba menempatkan diri sebagaimana seorang muslim membaca al-Qur’an, membawa mereka ke dalam cara berfikir dengan mengikuti metode tafsir seorang muslim yang memegang tradisi dan kepercayaan teologisnya. Di sisi lain, upaya yang dilakukan seorang outsider untuk melepas jati dirinya dengan menjadi orang lain tidaklah senuhnya diperlukan. Memori, pengalaman, dan ekspektasi sebelumnya yang membangun jatidirinya dalam agama lain akan membantu dalam mempertemukan dua tradisi dalam sebuah pembacaan komparatif.
Apa yang dipikirkan oleh Boodman dengan mengutip Frank Clooney, jika ditarik ke dalam dunia Islam, maka akan muncul nama  Abid al-Jabiri dengan metode al-Wash dan al-Fashl tentang bagaimana interpreter mengakui objektifitas teks dan bagaiumana ia juga menggunakan subjektifitasnya. Namun bagaimanapun, apa yang difikirkan Boodman dikatakan memiliki nilai otentisitas dan keunikannya sendiri karena posisinya sebagai seorang resident alient yang datang dari dunia yang sama sekali berbeda yang membantu memperkaya sudut pandang yang saat ini ada.
Pada tahapan tentang memaknai teks, Bodman dengan kembali mengutip Clooney, menyatakan tentang adanya hal unik yang terdapat dalam teks agama. Teks agama memiliki plot atau alur yang tersusun secara integral dan koheren, mempertimbangkan hubungan antara tradisi dan nilai deskripsi teks, serta secara tahap-demi tahap dikonfirmasi dengan bahasa agama sehingga makna teks tidak sampai tereduksi oleh jastifikasi.
Berangkat dari kerangka Clooney, secara lebih rinci, terdapat empat tahapan yang ditawarkan oleh wodman dalam proses memahami teks. Pertama adalah memahami teks dengan proses penafsiran melalui analisa dinamika internal dan mempertimbangkan konteks mikro. Kedua adalah dengan mempertimbangkan konteks makro berupa tradisi dan kepercayaan yang berkembang dalam komunitas yang menggunakan tradisi itu. Ketiga adalah dengan membawa makna dan konteks teks ke dalam konteks kontemporer. Dan yang terakhir adalah membaca teks sebagaimana ia menjadi sebuah proyek teologi.
Kesimpulan dari bagaimana seorang membaca al-Qur’an oleh Wodman diuraikan dengan empat term, yakni accurately, historically, theologically, dan contextually. Otentisitas Woodman terletak pada term ketiga yakni theologically. Seorang interpreter tidak bisa melupakan bahwa teks kitab suci adalah bahasa agama yang otoritatif. Teks tidak dapat tercampuri oleh jastifikasi. Keadilan teks terkadang bisa saja tidak sejalan dengan keadilan yang sepintas ada di akal manusia yang terbatas karena teks berdiri sendiri sebagai wadah komunikasi antara Tuhan sebagai author dengan Manuisia sebagai reader dan  audience.


[1] Hlm. 692.

No comments:

Post a Comment