Thursday, June 13, 2013

Ruangan Sang Kiyai


Trilogy anak tangga terakhir
Oleh: Muhammad Barier


 


Ruangan Sang Kiyai






Pagi ini udara terlalu sejuk untuk sekedar menggetarkan tubuhku yang hanya terbungkus baju tipis agak usang ini. Aku duduk di sebuah batu halus berwarna hitam agak besar, mencoba memandangi nuansa sekitar yang masih gelap karena matahari masih terlelap di ufuk timur.
Setelah cukup lama, matahari pun muncul dari celah perbukitan mencoba memberikan kehangatan bagi alam, menyapa segenap mahluk hidup di jagad ini. Aku sendiri di pagi ini serasa memiliki semangat baru untuk terus melangkahkan kaki ku dalam perjalanan ini. Aku mulai berdiri dari batu hitam yang sedari tadi bersamaku dan aku mulai melangkah pergi meninggalkanya.
~
Suasana pagi hari ini didominasi warna biru dan hijau, hijau dan biru, biru dan hijau, warna itu saja yang sedari tadi tertangkap oleh kedua bola mataku. Aku berjalan dengan merasa nyaman, ya,, pagi ini adalah pagi yang cerah. Ku terus berjalan sampai akhirnya aku melintasi sebuah kali besar yang di kanan kirinya terdapat bendungan yang tinggi dan agak lebar sehingga orang bisa berjalan di atasnya, bendungan ini pun tinggi kira-kira setinggi rumah. Ku mencoba melintasi bendungan itu berjalan searah air mengalir.
Ku terus berjalan di atas bendungan itu sampai akhirnya ku melihat anak tangga kecil dan beberapa perumahan di bawah dan aku pun turun, beberapa orang nampak olehku dengan kesibukanya masing-masing, seperti orang yang melintas barusan, seorang paruh baya yang sedang membopong hasil ia mencari rumput, maupun ibu-ibu di seberang jalan yang nampak sedang menjemur pakaian, ya,, biarlah semua orang larut dalam kesibukanya.
Ku terus berjalan sampai ku keluar dari perkampungan dan ku memasuki hutan bambu, ku lihat bambu di sini adalah bambu yang bagus dan tinggi, warna hijaunya seolah turut mewarnai hatiku untuk tenang dan suara denyitannya seolah bernyanyi untuk menyambut kehadiran ku. Sampai akhirnya langit yang sedari tadi cerah berubah mendung karena hadirnya awan.
Saat Ku keluar dari hutan bambu, ku menemukan beberapa tambak penduduk, ku berjalan di jalanan tanah sempit pembatas tambak dan Hujan pun turun dari langit menetesi daun eceng gondok yang banyak terapung di atas permukaan air tambak itu. Ku berlari menari tempat berteduh dan akhirnya ku temukan sebuah gubuk kecil. Ku mendekati gubuk itu dan ternyata di sana telah duduk saorang anak kecil dengan seragam batik dan bercelana pendek, nampaknya ia adalah anak yang juga bernasip sama denganku, ia hanya ingin berteduh dari hujan ini. Nampaknya ia adalah anak yang baru pulang dari sekolah.
~
 Cukup lama kami di tempat itu, kami pun berbincang sedikit dan baru ku tahu ia adalah anak desa sebelah dan ku juga tahu bahwa pasti orang tuanya cemas memikirkanya. Hujan tak menunjukan bahwa ia akan berhenti, sampai akhirnya sore pun datang dan hujan pun sedikit mereda. Ku antar anak itu pulang. Kami berjalan melewati jalanan becek berlumpur. Ku copot sepatunya dan ku jinjingkan karena sering kali sepatu itu menancap di tanah liat jalanan yang becek itu.
Kami akhirnya memasuki perkampungan anak itu, dan sampailah kami di pintu gerbang sebuah pesantren, terpasang di papan sebuah tulisan Pesantren Sabilul Anwar, kami pun disambut oleh seorang laki-laki yang ku rasa tak terlalu tua dan seorang ibu-ibu yang ternyata adalah kedua orang tua anak tadi dan ketika ku pamit ternyata mereka meminta ku dengan sangat  untuk beristirahat sebentar di kediaman mereka.
Ku dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan yang berkarpet dan di kelilingi beberapa rak buku. Sang ibu terlihat masuk ke dapur dan tak lama kembali lagi ke ruangan itu dengan membawa bebrapa sajian buah dan makanan, anak tadi mengikuti di belakangnya dengan membawa gelas yang berisi air teh yang ku tahu bahwa itu adalah teh ialah dari warnanya. Keduanya pergi hanya meninggapkan aku dan sang ayah.
Aku pun berbincang dengan sang ayah yang ternyata pengasuh pesantren Sabilul Anwar, ia atau kiyai Fukair adalah menantu dari pemilik pesantren yang dulu yakni al maghfirah Kiyai Shomad, itu lah nama mertuanya. Ia berjumpa pertama kali dengan kiyai shomad adalah di ruangan ini, jadi ruangan ini ternyata punya nilai yang bersejarah baginya.
Pada awalnya kiyai Fukair dikampungnya adalah pemuda yang dikenal nakal dan suka menganggu para gadis di desa, ia tobat karena ayah seorang gadis yang pernah diganggunya melabrak ibunya dan ibunya semenjak itu sakit dan tak lama kemudian meninggal karena memikirkan kelakuan anaknya. Fukair muda saat itu tak tahu kalau ibunya meninggal karena ia sedang asik bersama teman-temannya di tempat yang biasa ia jadikan tempat berkumpul sambil menikmati kopi panas. Sampai akhirnya seorang kakek datang menggelandangnya dari warung dan mendorongnya di tubuh ibunya yang tak bernyawa lagi. Semenjak saat itu ia memutuskan untuk serius mensucikan dirinya dan bahkan ia akan menundukan wajah di depan gadis yang melintas di sekitarnya. ya,, ia serius akan taubatnya.
Ia mencoba berfikir jika ia benar-benar ingin mengenal tuhan maka ia butuh washilah dan pengetahuan, untuk itu ia memilih untuk pergi nyantri di sebuah pesantren, pesantren di tengah hutan jauh dari perkotaan dengan lingkungan yang masih asri alamnya dan asri jiwa penduduknya. Sampai ia menemukan pesantren itu Sabilul Anwar sebuah pesantren yang nantinya mengenalkanya pada jalan menuju cahaya-cahaya kebenaran.
Saat itu ia hanya berharap tidak lain kepada kiyai, ia tidak mau bertemu dan belajar kepada siapapun kecuali kepada sang kiyai, untuk itu ia pergi ke ndalem kiyai tersebut dan mencarinya. Sebelumnya ia diperingatkan oleh santri senior bahwa bagi seorang pemula harus terlebih dahulu belajar kepada ustadz-ustadz muda, namun anjuran itu tak ia hiraukan.
Setelah ia bertemu kepada sang kiyai ia di ajak sang kiyai ke dalam sebuah ruangan yang dikelilingi rak buku, dan saat iutlah ia menjelaskan bahwa ia ingin diajar langsung oleh kiyai tersebut. Setelah mendengarkan keinginanya, sang kiyai ternyata langsung berdiri dan pergi meninggalkanya di ruangan itu, cukup lama ia sendiri menunggu sang kiyai tak kunjung datang, sampai malam pun tiba, sang kiyai masih tak menampakan jati dirinya, ia tak tidur semalaman, sampai pagi harinya ketika subuh ia pergi sholat dan kembali lagi ke tempat itu, ia tak makan dan tak minum. Siang itu ia tertidur di ruangan itu, sedikit ia membuka mata dan ternyata sang kiyai sedang menyentuhnya dan berkata “bangun-bangun, sudah masuk waktu sholat dhuhur, ayo sholat dulu..!” setelah membangunkanya, sang kiyai langsung pergi lagi dari ruangan itu, ia pun sholat dan kembali keruangan itu, begitu seterusnya sampai tiga hari ia di sana dan di hari ketiga, sang kiyai menemuinya dan memberinya makan karena telah tiga hari ia tak makan.
Malamnya sang kiyai menyuruh santri itu memilih di antara deretan kitab yang ada di rak untuk diserahkan padanya. Cukup aneh karena bagi sang santri ia sama sekali buta huruf arab dan sama sekali merasa bahwa dunia pesantren adalah dunia yang baru, ia hanya menatap sorot mata sang kiyai yang seolah tahu tentang berbagai hal yang tak ia ketahui, ia kemudian mengambil sembarang kitab untuk diserahkan pada sang kiyai.
Sang kiyai menyuruhnya untuk membeca satu baris, setelah ia hanya bisa membaca tanpa tahu sama sekali artinya, sang kiyai tidaklah menyalahi hasil bacaanya dan tidak pula menyuruhnya untuk mengartikanya, sang kiyai langsung pergi meninggalkanya. Tiap hari sang santri hanya membaca satu baris dan didengarkan sang kiyai, setelah selesai kiyai langsung pergi dan begitu seterusnya.
Kisah ini berlanjut sampai suatu hari sang kiyai berhalangan hadir untuk mengisi pengajian yang dihadiri santri senior, dan sang santri yang tidak bisa apa-apa itu disuruh mewakilinya, sang santri semakin bingung atas ulah kiyainya itu, tapi kembali, ia hanya melakukan dan tak banyak bertanya dan ternyata dalam pengajian itu ia hanya membaca semua kitab tanpa mengartikanya. Ia merasa gagal, namun para santri yang dia ajar merasa puas, karena dia telah bisa membaca kitab yang tak berharokat, dan selama ini begitulah cara kiyai mengajar tanpa mengartikan, sanri itu bisa meniru gaya sang kiyai mengajar dan tanpa ia sadari ia telah bisa membaca kitab tanpa harokat, ia tak tahu dari mana ia bisa membacanya.
Ruangan sang kiyai telah banyak memberikan warna di hidup santri itu, tiap waktu ia habiskan hanya dengan buku dan sampai pada akhirnya seiring berjalanya waktu, ia telah memakan habis isi semua buku yang ada diruangan itu dan ia bisa memahami semuanya. Dan begitilah cara kiyai mengajarkan ilmunya pada sang santri dengan tanpa berkata satu kalimat apa pun dengan izin tuhannya.
Suatu ketika sang kiyai berkata kepada santrinya bahwa ia telah cukup usia untuk menikah dan bertanya kepadanya siapa wanita yang ingin ia nikahi, dan ternyata di pesantren itu tak satu pun wanita yang ia kenal, selama ini waktunya belajar tak menyisahkan hal lain termasuk berkenalan atau pun sekedar menatap para gadis. Ia pun menyatakan bahwa ia rela dinikahkan dengan siapa pun bahkan jika sang kiyai memerintahkan dengan seekor kera,, Saat itulah sang kiyai merasa bahwa satu-satunya wanita yang pantas hidup dengan santri ini ialah putri kesayangannya.
~
Itu merupakan sepenggal kisah perjalanan kiyai fukair dengan kiyai shomad, pejuang keagamaan di daerah itu, dan aku pun tak tahu jika mereka adalah orang yang sangat disegani, ribuan santri berdatangan baik dari sekitar desa yang dekat maupun dari pulau seberang yang jauh.
Aku berpamitan dengan keluarga ini dan ku lanjutkan perjalananku mencari sebuah tempat kembali, mencari rumah dimana ku dilahirkan.

No comments:

Post a Comment