Wednesday, June 12, 2013

KECAMBAH DAN JEMBATAN SEBELAH SURAU:

sebuah trilogy anak tangga terakhir


Oleh: Muhammad Barier*





~
Ku berjalan sore ini dengan tenang di bawah sinar lembut matahari yang mulai bergradasi dari kuning ke merah… ku tetap mencari harapan untuk menemukan jalan pulang, walau terasa sulit bagiku menemukan jalan, namun ku tetap percaya bahwa bumi akan terus mendampingi langkahku, angin akan mengabarkan berita perihal kisah taqdirku, dan bintang-bintang kan terus membimbingku pada jejak hijau perjalanan ku.
Saat ini ku berjalan di tepian sungai yang jernih airnya. sungai ini mengalir di tengah padang rerumputan, ku melihat bayangan ku yang sedang berjalan memantul di atas air bagai sebuah lukisan siluet hitam di atas kanvas kuning dan ku terus pandangi bayangan itu, dan semakin ku pandang, ku merasa bayangan itu hidup sebagai teman dan bercerita banyak hal.
Ku berjalan dengan kepala yang terus menunduk, Ku tersentak seraya tak menyangka tat kala ku melihat sebuah jalan setapak. “Andai kau melihat apa yang ku lihat wahai sahabat” mungkin jalan ini tak berarti bagi mu, mungkin ini hanya hal kecil bagimu, namun jalan ini sangat berarti bagiku, jalan ini adalah harapan ku dan kesempatan ku kembali pulang.
dalam batin ku berkata bahwa jalan ini menunjukan adanya perkampungan di depan sana, dan jika benar ku sudah berada setahap lebih dekat menuju rumah.. dan ku yakin itu.
Dan ternyata benar, tak lama ku menemukan tanda kehidupan. Dari jauh ku melihat seorang kakek dengan sepeda unta sedang mengayuh dengan sisa tenaga dan terlihat sedikit ngos-ngosan. semakin dekat ku melihat semakin jelas bahwa di sakunya terselip sepucuk kertas.. ia berhenti di depan ku dan beristirahat duduk di pagar beton sebuah jembatan kecil. Seraya lewat, ku menyapanya selamat sore, dan ia pun melambaikan tangan seraya berkata: “sini-sini mas”, tatapan mata itu tak kan terlupakan, mata yang baru ku lihat namun seolah sudah pernah ku lihat sebelumnya, dengan segala kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya. Ku mendekat dan duduk disampingnya.
Belum sempat ku berkata, ia berucap: “aku sudah lelah menjalani hidup, berbagai penghargaan dan pujian telah tiada artinya” aku bertanya tentang ke mana ia akan pergi, namun ia hanya berucap: “aku pergi melakukan kewajibanku”, ku tak tahu siapa ia yang ku tahu hanyalah bahwa ia adalah Sosok yang misterius dengan setelan jas klasik dan kopyah yang sudah kuning ujungnya yang mungkin terlalu banyak terkena air entah dari mana.
Ia pun berlalu dengan berjuta tanda Tanya. Ku terdiam di tempat itu sendiri dengan memandang langit senja ini. Dari kejauhan, ku mendengar adzan maghrib berkumandang, merinding ku rasa ketika ku mendengar suara itu, ku berjalan mencari dari mana suara itu berasal, ya,, dan ku melaksanakan shalat berjamaah saat itu setelah ku menemukan bahwa surau itu tak jauh dari jembatan di mana ku berjumpa dengan si tua tadi. Suasana saat ini sudah berubah kebiruan, ku duduk di depan surau dengan tertegun, tak ada yang bisa ku pikirkan, karena saat ini ku sudah tak miliki apa-apa.
Dari arah belakang ku mendengar langkah kaki yang mulai mendekat, Surau ini lantainya dari kayu dengan ditopang tiang bambu, tak heran, jika ada orang yang berjalan akan terasa goncanganya. Suara itu terus mendekat, saat ku toleh ku lihat sesosok paruh baya dengan sarung biru dan kaos yang berkerah yang terlihat tak cukup rapi. Kaos itu pun terasa terlalu kecil jika membandingkan dengan pemakainya yang sedikit gendut dengan perut yang cukup buncit.
Orang tersebut menyapa ku, aku di Tanya: “gimana mas jamaah di surau tadi?” aku hanya berkata:”cukup ramai”, dan ia hanya tertawa, ternyata sosok ini bercerita banyak hal dan ia juga banyak tertawa, bahkan terasa bahwa ia lebih banyak tertawa dari pada bercerita. Ia mengisahkan salah satunya ialah tentang keagamaan di daerahnya, bahwa di daerah situ ada seorang tua yang cukup disegani dan dihormati, seorang yang sederhana, seorang yang hanya dengan lirikan mata ia bisa membuat hati yang beku menjadi cair bahkan lebih dari sekedar air.
Di lain itu, ia juga menceritakan tentang seorang kepala sekolah di desa itu yang juga menjabat sebagai kepala desa yang dikenal angkuh dan lebih suka berfoya-foya. Beberapa waktu lalu kepala sekolah tersebut baru mengeluarkan seorang murid yang orang tuanya tak kuasa membayar biaya sekolahnya. Di saat panen padi di desa itu sedang gagal, ia malah menghabiskan banyak uang di luar kota pergi berfantasi entah kemana padahal saat itu warga sangat memerlukan bantuanya.
Ku hanya tersenyum mendengar semua itu mencoba mengiyakan segala ucapanya, tak terasa, isya’ telah datang menghampiri, dan aku pun sholat juga,, dan kenapa seorang manusia harus sholat?..
~
Sehabis sholat, ku duduk di jembatan itu yang entah mengapa ku seolah tertarik padanya, seolah ia punya mahnet yang cukup kuat untuk menarik kaki ku untuk melangkah. Ku duduk di tempat itu seraya ditemani lampu kecil kemuning dengan tiang bambu yang cukup tegak. Ku melihat di bawah jembatan, yang ternyata airnya surut, dan ku juga melihat sebuah kecambah kecil yang mampu tumbuh di bawah samping jembatan yang gelap.
Ya tuhan,, ku mendengar dari kegelapan jalan setapak itu tangisan seorang laki-laki, semakin lama ku melihat sebuah tubuh mulai muncul menampakan diri, dan ternyata itu adalah seorang manusia, lebih tepatnya ialah seorang yang bertubuh tegap tinggi besar dan seolah merupakan orang yang berpendidikan, ia mendekatiku dan sebelum ku Tanya ada apa sebenarnya hal yang menimpanya, ia pun bercerita: “andai kau tahu,, andai kau tahu betapa bodohnya aku,, orang tua itu yang besok akan pergi naik haji, ia hanya ingin menyampaikan surat yang ada di sakunya pada ku, isinya tak lebih dari permintaan izin untuk tidak mengajar selama ia pergi, namun betapa jahatnya aku, mengapa tak ku hirukan ia?, mengapa aku lebih memilih mendampingi kepentingan orang-orang kotor dalam sidang yang hanya menghabiskan waktu?.. andai kau tahu bahwa ia rela mengayuh sepeda berkilo-kilo di tengah usianya yang begitu tua. Andai kau tahu perihal kematianya yang tak kuasa ku tahan tat kala pengumuman itu berkumandang di masjid dekat kelurahan,, andai kau tahu nasib si tua itu yang terjungkal dari sepeda di sebuah tebing itu, padahal ia hanya ingin pulang karena usahanya untuk menemuiku telah sia-sia, dan itu semua adalah karena keangkuhan ku…..
Ia terus menangis, dan aku pun pergi melangkah hanya dengan menatap langit. dan bintang-bintang dan cukuplah kecambah dan jembatan sebelah surau menjadi saksi.


No comments:

Post a Comment