sebuah trilogy anak tangga terakhir
Oleh: Muhammad Barier*
~
Ku berjalan sore ini dengan tenang di bawah sinar lembut matahari
yang mulai bergradasi dari kuning ke merah… ku tetap mencari harapan untuk
menemukan jalan pulang, walau terasa sulit bagiku menemukan jalan, namun ku
tetap percaya bahwa bumi akan terus mendampingi langkahku, angin akan
mengabarkan berita perihal kisah taqdirku, dan bintang-bintang kan terus
membimbingku pada jejak hijau perjalanan ku.
Saat ini ku berjalan di tepian sungai yang jernih airnya. sungai
ini mengalir di tengah padang rerumputan, ku melihat bayangan ku yang sedang
berjalan memantul di atas air bagai sebuah lukisan siluet hitam di atas kanvas
kuning dan ku terus pandangi bayangan itu, dan semakin ku pandang, ku merasa
bayangan itu hidup sebagai teman dan bercerita banyak hal.
Ku berjalan dengan kepala yang terus menunduk, Ku tersentak seraya
tak menyangka tat kala ku melihat sebuah jalan setapak. “Andai kau melihat apa
yang ku lihat wahai sahabat” mungkin jalan ini tak berarti bagi mu, mungkin ini
hanya hal kecil bagimu, namun jalan ini sangat berarti bagiku, jalan ini adalah
harapan ku dan kesempatan ku kembali pulang.
dalam batin ku berkata bahwa jalan ini menunjukan adanya perkampungan
di depan sana, dan jika benar ku sudah berada setahap lebih dekat menuju
rumah.. dan ku yakin itu.
Dan ternyata benar, tak lama ku menemukan tanda kehidupan. Dari
jauh ku melihat seorang kakek dengan sepeda unta sedang mengayuh dengan sisa
tenaga dan terlihat sedikit ngos-ngosan. semakin dekat ku melihat semakin jelas
bahwa di sakunya terselip sepucuk kertas.. ia berhenti di depan ku dan
beristirahat duduk di pagar beton sebuah jembatan kecil. Seraya lewat, ku
menyapanya selamat sore, dan ia pun melambaikan tangan seraya berkata:
“sini-sini mas”, tatapan mata itu tak kan terlupakan, mata yang baru ku lihat
namun seolah sudah pernah ku lihat sebelumnya, dengan segala kebijaksanaan yang
terkandung di dalamnya. Ku mendekat dan duduk disampingnya.
Belum sempat ku berkata, ia berucap: “aku sudah lelah menjalani
hidup, berbagai penghargaan dan pujian telah tiada artinya” aku bertanya
tentang ke mana ia akan pergi, namun ia hanya berucap: “aku pergi melakukan
kewajibanku”, ku tak tahu siapa ia yang ku tahu hanyalah bahwa ia adalah Sosok
yang misterius dengan setelan jas klasik dan kopyah yang sudah kuning ujungnya
yang mungkin terlalu banyak terkena air entah dari mana.
Ia pun berlalu dengan berjuta tanda Tanya. Ku terdiam di tempat itu
sendiri dengan memandang langit senja ini. Dari kejauhan, ku mendengar adzan
maghrib berkumandang, merinding ku rasa ketika ku mendengar suara itu, ku
berjalan mencari dari mana suara itu berasal, ya,, dan ku melaksanakan shalat
berjamaah saat itu setelah ku menemukan bahwa surau itu tak jauh dari jembatan
di mana ku berjumpa dengan si tua tadi. Suasana saat ini sudah berubah
kebiruan, ku duduk di depan surau dengan tertegun, tak ada yang bisa ku
pikirkan, karena saat ini ku sudah tak miliki apa-apa.
Dari arah belakang ku mendengar langkah kaki yang mulai mendekat, Surau
ini lantainya dari kayu dengan ditopang tiang bambu, tak heran, jika ada orang
yang berjalan akan terasa goncanganya. Suara itu terus mendekat, saat ku toleh
ku lihat sesosok paruh baya dengan sarung biru dan kaos yang berkerah yang
terlihat tak cukup rapi. Kaos itu pun terasa terlalu kecil jika membandingkan
dengan pemakainya yang sedikit gendut dengan perut yang cukup buncit.
Orang tersebut menyapa ku, aku di Tanya: “gimana mas jamaah di
surau tadi?” aku hanya berkata:”cukup ramai”, dan ia hanya tertawa, ternyata
sosok ini bercerita banyak hal dan ia juga banyak tertawa, bahkan terasa bahwa
ia lebih banyak tertawa dari pada bercerita. Ia mengisahkan salah satunya ialah
tentang keagamaan di daerahnya, bahwa di daerah situ ada seorang tua yang cukup
disegani dan dihormati, seorang yang sederhana, seorang yang hanya dengan
lirikan mata ia bisa membuat hati yang beku menjadi cair bahkan lebih dari
sekedar air.
Di lain itu, ia juga menceritakan tentang seorang kepala sekolah di
desa itu yang juga menjabat sebagai kepala desa yang dikenal angkuh dan lebih
suka berfoya-foya. Beberapa waktu lalu kepala sekolah tersebut baru
mengeluarkan seorang murid yang orang tuanya tak kuasa membayar biaya
sekolahnya. Di saat panen padi di desa itu sedang gagal, ia malah menghabiskan
banyak uang di luar kota pergi berfantasi entah kemana padahal saat itu warga
sangat memerlukan bantuanya.
Ku hanya tersenyum mendengar semua itu mencoba mengiyakan segala
ucapanya, tak terasa, isya’ telah datang menghampiri, dan aku pun sholat juga,,
dan kenapa seorang manusia harus sholat?..
~
Sehabis sholat, ku duduk di jembatan itu yang entah mengapa ku
seolah tertarik padanya, seolah ia punya mahnet yang cukup kuat untuk menarik
kaki ku untuk melangkah. Ku duduk di tempat itu seraya ditemani lampu kecil kemuning
dengan tiang bambu yang cukup tegak. Ku melihat di bawah jembatan, yang
ternyata airnya surut, dan ku juga melihat sebuah kecambah kecil yang mampu
tumbuh di bawah samping jembatan yang gelap.
Ya tuhan,, ku mendengar dari kegelapan jalan setapak itu tangisan
seorang laki-laki, semakin lama ku melihat sebuah tubuh mulai muncul menampakan
diri, dan ternyata itu adalah seorang manusia, lebih tepatnya ialah seorang yang
bertubuh tegap tinggi besar dan seolah merupakan orang yang berpendidikan, ia
mendekatiku dan sebelum ku Tanya ada apa sebenarnya hal yang menimpanya, ia pun
bercerita: “andai kau tahu,, andai kau tahu betapa bodohnya aku,, orang tua itu
yang besok akan pergi naik haji, ia hanya ingin menyampaikan surat yang ada di
sakunya pada ku, isinya tak lebih dari permintaan izin untuk tidak mengajar
selama ia pergi, namun betapa jahatnya aku, mengapa tak ku hirukan ia?, mengapa
aku lebih memilih mendampingi kepentingan orang-orang kotor dalam sidang yang hanya
menghabiskan waktu?.. andai kau tahu bahwa ia rela mengayuh sepeda berkilo-kilo
di tengah usianya yang begitu tua. Andai kau tahu perihal kematianya yang tak
kuasa ku tahan tat kala pengumuman itu berkumandang di masjid dekat kelurahan,,
andai kau tahu nasib si tua itu yang terjungkal dari sepeda di sebuah tebing
itu, padahal ia hanya ingin pulang karena usahanya untuk menemuiku telah sia-sia,
dan itu semua adalah karena keangkuhan ku…..
Ia terus menangis, dan aku pun pergi melangkah hanya dengan menatap
langit. dan bintang-bintang dan cukuplah kecambah dan jembatan sebelah surau
menjadi saksi.
No comments:
Post a Comment