Monday, June 10, 2013

TAHAJUD, SADR, DAN USR DALAM AL-QURAN: kajian maanil quran




oleh: Muhammad Barir

A.    Tahajjud:
Menurut Raghib al-Asfahani, هجد h-j-d dalam bentuk jama’  هجودbermakna bangun dari tidur  أستيقظ-يقظ [1], Ibn Mandhur memaknai kata tersebut dengan sahiro  (سهر) yakni begadang tidak tidur dimalam hari,[2] berbeda dengan keduanya, Quraisyihab menjelaskan kata tahajjad berasal dari hujud  yang memiliki makna “tidur” namun kata ini difahaminya secara berbeda dengan makna dasarnya, walaupun kata hujud dimaknai tidur, namun kata ini secara relasional telah memiliki makna yang khusus ketika ayat al-Qur’an datang sebagaimana pendapat al-biqa’I bahwa kata ini dimaknainya sebagai meninggalkan tidur.[3] kata tahajjud dalam al-Qur’an terdapat dalam surat al-Isra’ (17): 79[4]
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.
Dalam tafsir jalalain dijelaskan:
"فَتَهَجَّدْ" فَصَلِّ "بِهِ" بِالْقُرْآنِ "نَافِلَة لَك"
فَرِيضَة زَائِدَة لَك دُون أُمَّتك أَوْ فَضِيلَة عَلَى الصَّلَوَات الْمَفْرُوضَة[5]
Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa kata "فَتَهَجَّدْ"  dalam al-Qur’an tidak dimaknai dengan makna dasar, yakni “bangun tidur”, namun kata tersebut lebih dimaknai dengan makna relasional yakni “bangun tidur untuk sholat malam”
kata tahajjud yang dalam konteks ayat tersebut dimaknai bangun tidur yang diwakili oleh kata  "فَتَهَجَّدْ" dan tidak menggunakan kata أستيقظ , يقظ yang sama-sama memiliki makna bangun tidur, namun sebenarnya kedua kata ini memiliki makna dan tempat penggunaanya masing-masing dan saling memiliki perbedaan, karena tahajjada sebagaimana dikatakan oleh Ibn Mandhur bermakna sahiro  (سهر) yakni begadang tidak tidur dimalam hari,[6] jadi bangun tidur yang dimaksud oleh term tahajjud adalah bangun di malam hari sedangkan Istaiqaz{a lebih dipakai secara umum.  
Kata tahajjud ternyata di dalam al-Qur’an juga memiliki sinonimitas makna, yakni dengan redaksi نَاشِئَةَ (nasyi’ah).
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلا
“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan”.
Belum jelas mengenai perbedaan antara tahajjud dengan nasyi’ah, namun sebagaimana dalam tafsir al-Qurtubi memaparkan pernyataan Ali Ibn Husain (cicit Rasulullah). Ali Ibn Husain suatu ketika melaksanakan sholat antara Maghrib dengan Isya’ kemudian ia menyatakan bahwa apa yang ia lakukan adalah Nasyi’ah al-Lail.[7] Jika melihat redaksi ayat, yang menyatakan bahwa nasyi’ah al-lail dapat membuat “suasana batin lebih berkesan” (wa aqwamu qila) maka seolah pernyataan Ali Ibn Husai terkesan lebih lemah sebagaimana sayyidah A’isyah yang menyatakan bahwa nasyi’ah al-lail harus didahului tidur, namun argument Ali Ibn Husain seolah sesuai dengan pendapat Ibn Abbas, Umar, dan Zubair bahwa seluruh malam adalah nasyi’ah. sedangkan Ibn Mujahid membatasinya sebagai sholat setelah isya’.[8]
Dari pemaknaan kata tahajjud mengenai perdebatan tentang tahajjud, maka ada dua makna yang seolah sama namun menentukan. Pertama, “bangun dari tidur” makna ini akan memunculkan pemahaman bahwa sholat tahajjud harus dilakukan dengan syarat harus tidur terlebih dahulu, dan kedua, sebagaimana pernyataan Ibn Mandzur bahwa tahajjud juga memiliki makna sahira yang berarti “begadang”, dari sini bagi ulama yang meyakini makna tersebut maka tahajjud bisa dimaknai boleh dilakukan tanpa tidur sebelumnya.


B.     Shadr
Shadr memiliki beberapa makna, dalam lisan al-Arab, shadr memiliki salah satu makna yakni bagian atas segala sesuatu, pedan sesuatu, dan permulaan sesuatu.[9] Sedangkan dalam bentuk lain shudrah-shadr bermakna dada, shadara-yashduru-shadran/shadaran bermakna kembali atau terjadi,[10]
Kata Shadr terdapat dalam al-Qur’an sebanyak 46 kali dengan rincian sebagai berikut:
     يَصْدُرُ  satu kali dalam al-Zalzalah (99):6
     يُصْدِرَ  satu kali dalam al-Qosshosh (28): 23
صَدْرًا   satu kali dalam an-Nahl (16): 106
صَدْرٌكَ  empat kali al-A’raf (7): 2, Huud (11): 12, Al-Hijr (15): 97, Al-Insyirah (94): 1
 صَدْرَهُ tiga kali
صَدْرِي dua kali
الصدور  dua puluh kali
صدوركم empat kali
صدورهم sepuluh kali[11]

Berbagai Lafadz Shadr dalam al-Qur’an
1.      Shadr bermakna keluar
al-Zalzalah (99):6
يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ
Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.
Menurut Ali as-Shobuni, proses Shadr adalah proses kembalinya mahluq-mahluq dari proses Hisab menuju proses penerimaan shuhuf (buku catatan amal perbuatan), apabila ia menerima dengan tangan kanan maka ia akan dimasukan surga dan apabila ia menerima dengan tangan kanan, maka ia akan dimasukan kedalam neraka. Proses shadr ini terjadi paska hisab untuk setelahnya akan masuk pada proses mizan.

2.      Shadr bermakna pulang dalam hubungan kisah Nabi Musa ketika di sumber mata air madyan
al-Qosshosh (28): 23
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya".
 Ayat ini menjelaskan tentang kisah nabi musa yang bertemu dengan dua wanita di mata air madyan yang tidak mampu meminumkan air pada ternaknya sampai penggembala sebelum mereka selesai dan pulang.
3.      Shadr bermakna dada yang hubunganya dengan simbol
An-Nahl (16): 106
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Huud (11): 12
فَلَعَلَّكَ تَارِكٌ بَعْضَ مَا يُوحَى إِلَيْكَ وَضَائِقٌ بِهِ صَدْرُكَ أَنْ يَقُولُوا لَوْلا أُنْزِلَ عَلَيْهِ كَنْزٌ أَوْ جَاءَ مَعَهُ مَلَكٌ إِنَّمَا أَنْتَ نَذِيرٌ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebahagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan sempit karenanya dadamu, karena khawatir bahwa mereka akan mengatakan: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya perbendaharaan (kekayaan) atau datang bersama-sama dengan dia seorang malaikat?" Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah Pemelihara segala sesuatu.
Thoha (20): 25
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي
Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku,
Menurut Ali ash-Shobuni yang dimaksud melapangkan dada adalah meluaskan cahaya keimanan dan nubuwwah yang ada di dalamnya.
C.    Usr
Dalam al-Qur’an kata Usr dengan akar katanya terdapat dalam 12 ayat sebagaimana berikut:
Al-baqarah 185, Al-baqarah 280, At-taubah 117, Al-Kahfi 73, Al-furqan 26, al-Qamar 8, ath-Thalaq 6, ath-Thalaq 7, mudatsir 9, al-Lail 10, al-Insyrah 5, al-insyirah 6.[12]
Berbagaimakna Usr
1.      Bermakna hari yang sulit (hari peperangan) at-Taubah 09:117
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka,
Maksud dari hari sulit tersebut ialah ketika perang, sebgaimana asbab an-Nuzul dari ayat ini:
Imam Bukhari dan lain-lainnya meriwayatkan sebuah hadis melalui Kaab bin Malik yang menceritakan, aku belum pernah ketinggalan dalam suatu peperangan pun selalu bersama dengan Nabi saw. kecuali hanya dalam perang Badar. Dan ketika perang Tabuk  diserukan, yaitu peperangan yang terakhir bagi Nabi saw. kemudian orang-orang diserukan untuk berangkat ke medan perang dan seterusnya. Di dalam hadis ini terdapat kata-kata: kemudian Allah menurunkan firman-Nya yang berkenaan dengan penerimaan tobat kami, yaitu firman-Nya, "Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin..." (Q.S. At-Taubah 117) sampai dengan firman-Nya, "Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (Q.S. At-Taubah 118) Dan diturunkan pula firman-Nya, "Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar." (Q.S. At-Taubah 119).[13]
2.      Usr mempersulit persahabatan
قَالَ لا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا
Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".
Ayat ini menjelaskan permintaan nabi musa kepada khidhir untuk bersabar dan mau menerimanya sebagai sahabat dan tidak mempersulitnya sebagaimana dalam tafsir jalalain[14]:
(Musa berkata, "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku) yakni atas kealpaanku sehingga aku lupa bahwa aku harus menurutimu dan tidak membantahmu (dan janganlah kamu membebani aku) memberikan beban kepadaku (dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku)" kerepotan dalam persahabatanku denganmu, atau dengan kata lain, perlakukanlah aku di dalam berteman denganmu dengan penuh maaf dan lapang dada.
3.              Usr dengan pengulangan bermakna satu kesulitan sebagaimana dalam surat al-Insyirah 94:5 dan 6:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,  sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Penjelasan ayat ini sebagaimana penjelasan imam qurtubi bahwa:
إِنَّ مِنْ عَادَة الْعَرَب إِذَا ذَكَرُوا اِسْمًا مُعَرَّفًا ثُمَّ كَرَّرُوهُ , فَهُوَ هُوَ . وَإِذَا نَكَّرُوهُ ثُمَّ كَرَّرُوهُ فَهُوَ غَيْره .
“sesungguhnya, dari kebiasaan arab bahwa jika suatu isim ma’rifat diulang, maka isim yang diulang tersebut sama dengan asalnya (bermakna satu), dan jika bentuk nakirah menunjukan sesuatu yang lain”
Maksud dari penjelasan tersebut adalah bahwa jika isim makrifat diulang berarti pengulangan tersebut tidak berfungsi untuk menaukiti, namun jika isim nakirah diulang menunjukan adanya pen-taukid-an. Hal ini sebagaimana hadis qudsi dan hadis marfu’:
وَقَالَ اِبْن عَبَّاس : يَقُول اللَّه تَعَالَى خَلَقْت عُسْرًا وَاحِدًا , وَخَلَقْت يُسْرَيْنِ , وَلَنْ يَغْلِب عُسْر يُسْرَيْنِ . وَجَاءَ فِي الْحَدِيث عَنْ النَّبِيّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي هَذِهِ السُّورَة : أَنَّهُ قَالَ : [ لَنْ يَغْلِب عُسْر يُسْرَيْنِ ] . وَقَالَ اِبْن مَسْعُود : وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ , لَوْ كَانَ الْعُسْر فِي حَجَر , لَطَلَبَهُ الْيُسْر حَتَّى يَدْخُل عَلَيْهِ وَلَنْ يَغْلِب عُسْر يُسْرَيْنِ[15]
Ibn Abbas berkata: allah bersabda “aku menciptakan satu kesulitan dan aku menciptakan dua kemudahan”. Dan hal  tersebut juga dijelaskan dalam hadis nabi SAW berkenaan dengan surat tersebut [satu kesulitan tidak dapat mengalahkan dua kemudahan] dan ibn Masud berkata: demi dzat yang diriku berada dalam genggamanya, ketika ada kesulitan yang menghadang, maka carilah kemudahan yang ada padanya, sehingga engkau masuk di dalamnya, dan tidak mungkin satu kesulitan mengalahkan kemudahan.


[1] Raghib al-Asfahani, Mu’jam al-Mufradat li alfadh al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr), hm. 534. Lihat pula Ibn Mandhur, Lisan al-Arab jilid 7(Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2009), 527.
[2] Ibn Mandhur, Lisan al-Arab jilid 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2009), 529.
[3] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah vol. 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hm 535.
[4]Muhammad Fuad Abdul Baqi’,  Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an (Kairo: Dar al-Hadis, 2001), hlm. 822.
[5] Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Jalalain (CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology Company, 2002)
[6] Ibn Mandhur, Lisan al-Arab jilid 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2009), 529.
[7] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah vol. 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hm 535.
[8] Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir (CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology Company, 2002)

[9] Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, dalma maktabah syamilah
[10] Ahmad Warson Munawwir, kamus al-Munawwir: Arab Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progresif 1997) hlm. 768.
[11] Muhammad Fuad Abdul Baqi’,  Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an (Kairo: Dar al-Hadis, 2001), hlm.
[12] Kata Usr berdasarkan akar kata dalam CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology Company, 2002
[13] Asbab an-nuzul at-Taubah 09:117 dalam CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology Company, 2002
[14]Jalaluddin as-suyuti dan jalaluddin al-Mahalli, tafsir jalalain dalam CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology Company, 2002

[15] Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, dalam CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology Company, 2002

No comments:

Post a Comment