Muhammad Barir
30 juni 2012
“Ukhuwah Islamiyah:
Perspektif al-Qur’an dan sejarah” Jalaluddin rahmat memberi judul demikian
dalam antologi “Menuju persatuan Umat” yang disunting haidar baqir dan menampilkan
Sembilan argumen cendekia muslim mengenai tema besarnya yakni “Islam dan
Perdamaian”. Jalaluddin Rahmat dalam buku terbitan Mizan tersebut menyadur
perkataan Imam Thabathaba’I mengenai perpecahan yang terjadi ditengah umat yang
masih memiliki benang merah dengan kandungan surat al-hujurat [49]: 11
Bila
salah satu kelompok menyerang yang lain tanpa hak, maka perangilah yang
menyerang itu sampai mereka tunduk, dan damaikanlah antara kedua kelompok itu
dengan adil, bila mereka sudah kembali kepada jalan Allah maka damaikanlah tanpa
semata-mata meletakkan senjata dan menghentikan peperangan, melainkan juga
harus dilakukan perdamaian dengan cara yang adil dengan memberikan hukum Allah
kepada pihak yang menyerang dengan mengambil darah, kehormatan, kekayaan, dan
hak-hak lain yang mereka rampas.
Dari ulasan di atas, yang dapat dipetik sebagai hikmah ialah
prinsip dasar seorang muslim yang tidak boleh tinggal diam dalam pertikaian
umat. Jalan keluar perlu dicari dengan cara sebijaksana mungkin karena muslim
adalah bersaudara dan hal tersebut harus dilakukan dengan melepas pedang serta
tanpa adanya keberpihakan. Muslim harus terus menjaga persatuan, sebagaimana
yang terkandung dalam surat Ali Imran [3]:103 yang memberi nasehat bahwa
seorang muslim tidak boleh membiarkan muslim yang lainya terlepas dari ikatan
persaudaraan, karena semua muslim akan menjadi kuat jika tetap menjaga tali
agama Allah.
Perbedaan pendapat ditengah umat yang dimulai semenjak terjadinya
perang siffin yang saat itu muncul tiga golongan dan terus bertambah sampai
saat ini menjadi banyak golongan, haruslah disikapi dengan bijak sana.
Pertemuan-pertemuan guna terus menjaga nilai silaturrahim harus terus dihelat.
Sebagaimana ungkapan Nurkholis Majid dalam artikelnya “Menegakan Ahlu al-Sunnah
wa al-Jama’ah ‘Baru’ ” dengan pernyataan:
Ukhuwah
lebih baik kita kembangkan menjadi sesuatu yang menurut istilah sekarang
disebut “Inklusif”, yakni kesediaan merangkul semuanya sambil meningkatkan
pemahaman yang lebih bersifat prinsipil dan ideologis.
Pernyataan di atas seolah menjadi penepuk bagi muslim untuk terus
menyadari bahwa perbedaan diantara mereka hanyalah bersifat furu’, dan mereka
tetaplah terikat dalam kesamaaan yang bersifat prinsipil.
Jika dicermati, berbagai kasus mengenai pertikaian umat sebenarnya
tidaklah banyak dipicu oleh faktor keagamaann namun faktor luar, yakni
perpolitikan, kalaupun ada yang difaktori oleh nilai dasar agama itu hanyalah
perbedaan pemikiran yang meluas menjadi emosi sehingga tidak bisa dicukupkan
dengan jalan Hikmah, Mau’idhoh Hasanah, sarta Jadil hu bi al lati Hia Ahsan.
Sebagaimana ketika shohabat Ali ketika bertikai dengan Mu’awiyah
dalam perang Siffin, alasan terjadinya perang ternyata ialah faktor tuntutan
Mu’awiyah tentang penuntasan kasus pembunuhan shohabat Utsman yang hal itu
merupakan alasan politik guna merebut kekuasaan, namun pertanyaan besarnya
ialah mengapa alasan politik tersebut bisa memunculkan tiga golongan besar
dalam bingkai keagamaan. Jika dulu umat Islam bisa terpecah, itu artinya sekarang
pun umat Islam bisa bersatu dalam arti implisit dalam sikap inklusifis.
No comments:
Post a Comment