Friday, June 15, 2012

SUBSTANSI NILAI EGALITER DALAM AL-QUR’AN


SUBSTANSI NILAI EGALITER DALAM AL-QUR’AN
Oleh: Muhammad Barir
Yogyakarta 5 mei 2012
Pada abad 20 telah banyak ditemukan alat komunikasi dan stransportasi mulai dari radio, televise, sampai telephon bahkan internet yang hal ini mengakibatkan hubungan antar manusia semakin lebih terbuka dan saling hidup secara lebih heterogen. Manusia tidak lagi berada pada suatu daerah dengan prinsip komunikasi yang terbatas, namun saat ini manusia tidak bisa lagi lepas diri dari kebutuhan komunikasi global hal ini dikarenakan kebutuhan manusia sendiri yang semakin besar.
Dengan menipisnya sekat yang membatasi komunikasi antar suku, etnis, daerah, atau Negara, maka terjadilah suatu kehidupan beragam dalam satu lingkup lokasi tertentu dalam arti dalam sebuah kumpulan masyarakat saat ini, telah terjadi komunikasi multikultural yang disitu sebuah suku akan dihadapkan dengan suku lain, sekelompok pemeluk agama akan dihadapkan dengan pemeluk agama lain, seorang warga Negara akan dihadapkan dengan warga Negara lain.
Hasil dari adanya komunikasi multikultural atau bahkan multi agama ini, memunculkan suatu konflik antar etis, ras, atau agama. Hal ini tentunya salah satu penyebabnya ialah tidak adanya keseimbangan dalam bersikap yang hal ini dikarenakan masih lekatnya ego golongan yang ia pakai.
Konsep kesetaraan merupakan hal yang menjadi barang berharga bagi kehidupan saat ini, karena hal inilah yang sering dipandang secara keliru atau disalah pahami oleh sebagian manusia dalam berinteraksi antar sesamanya. Munculnya konflik tuntutan kesetaraan gender, konflik jihad dengan kekerasan, konflik pertikaian antar ras, dan konflik lainya, merupakan imbas dari sikap manusia yang dijiwai oleh prasangka kebenaran tunggal, dalam arti dirinya yang benar dan lainya salah, dan karenaya yang lain haruslah dipaksa untuk mengakui kebenaranya.  Ini semua karena tidak adanya konsep kesetaraan yang benar dalam jiwa manusia tentang bagaimana seharusnya semua manusia pada dasarnya adalah sama dan setara dalam memiliki hak sebagai seorang mahluq tuhan yang harus dihargai.
Dalam kasus faktual, tidak adanya konsep kesetaraan yang benar dalam masyarakat modern saat ini bisa dilihat dalam berbagai kasus, mulai peperangan antar Negara yang rela menghancurkan Negara orang lain demi kemakmuran Negara sendiri, kemudian juga konflik antar agama, antar ras, atau antar suku.
Di Amerika, kita sering mendengar tentang konflik antar warga ras kulit hitam dengan warga kulit putih, di Indonesia juga sering terjadi konflik antar etnis seperti yang terjadi di Sambas yang melibatkan tiga etnis, yakni Madura, Dayak, dan Melayu. Kasus lain banyak pula terjadi, sebagaimana di Aceh, Ambon, maupun Papua. Beberapa peneliti mencoba membaca fenomena ini seperti Ignas Kladen dan loekman soetrisno yang merumuskan teori bahwa “konflik yang terjadi di Indonesia—atau bisa pula digeneraslisasikan dunia global—baru akan terjadi jika adanya suatu dominasi suatu suku atas suku yang lain (Agus Salim 2006) Dominasi ini adalah suatu indikasi kurangnya sikap kesetaraan antara suatu golongan yang terkadang memandang secara berbeda antara sikap dan tindakan ketika menghadapi golongan yang berbeda dengan mereka.
Hal lain yang sering dilalaikan oleh manusia ialah tidak adanya kesetaraan dalam strata sosial yang hal ini akan lebih tampak dari sikap penghormatan manusia kepada manusia lainya, Orang yang status sosialnya berkedudukan tinggi akan lebih dihormati dari rakyat jelata. Ini merupakan kenyataan yang perlu diarahkan ulang tentang bagai mana membentuk suatu pandangan bahwa, suatu penghormatan itu adalah berlaku bagi semua siapa pun itu, tidak terbatas pada orang kaya atau miskin, bedanya agama, budaya, atau pun bangsa. Islam pun demikian telah dengan jelas, walau ada kewajiban dakwah, namun dakwah yang dilakukan haruslah didasari dengan rasa menghormati kepercayaan lamanya dengan sikap tidak memaksa sebagaimana surat al-Nahl: 125.
Tidak adanya konsep kesetaraan yang benar terutama dalam kesalahan memahami nilai substansial agama, masih menjadi konflik fundamental di Indonesia. Bahkan MUI pun pernah mengeluarkan fatwa yang controversial dan terkesan terburu-buru, Indonesia tidaklah hanya dihuni oeh satu pemeluk agama namun Indonesia dihuni oleh multi agama. Jadi, sangatlah tidak relevan kalau kepentingan dan kehormatan agama lain sampai dikesampingkan. Hal ini berkenaan ketika tahun 2005 MUI menetapkan keputusan tentang keharaman Skularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Pengharaman golongan ini yang ditandai dengan isme berdampak negatif, karna haramnya ketiga aspek tersebut kumudian muncul generalisasi dengan merambahnya pengharaman pada aspek lainya berlanjut pada pengharaman nilai Skularitas, Liberalitas, dan Pluralitas yang pada akhirnya banyak memunculkan vonis ingkarus sunnah dan pengkafiran dimana-mana, yang menjadi hal yang ironis, bahwa ternyata alasan MUI menetapkan keputusan demikian tidaklah disertai dengan pemahaman arti definitif tentang ketiga hal tersebut sehingga terkesan terburu-buru sampai akhirnya bermula dari sini, muncul berbagai dampak negatif yang menjadi derivasi dari hal itu, yakni banyaknya klaim pengkafiran terhadap sesama muslim oleh kelompok konservatif terhadap kolompok yang dianggap telah sepakat dengan nilai liberalitas (Budhy munawar Rachman 2010) Jika mau mencermati, kelompok liberal tidaklah ingin masuk ke agama lain namun hanyalah ingin mengambil nilai yang baik dari agama lain karena barangkali ada nilai yang baik dari agama lain, dan tidak seharusnya pemeluk suatu agama lain dipandang rendah oleh suatu agama lainya. Untuk itu, pentinglah arti kesetaraan dalam menghormati.
Pada dasarnya, jika dicermati lebih lanjut, segala permasalahan-permasalahan interaksi sosial adalah dilatarbelakangi oleh kurangnya sikap menghargai dan kurangnya pemahaman akan prinsip kesetaraan yang tidak membada-bedakan sikap seiring dengan berbedanya kelompok, golongan, ras, maupun agama, yang kesemuanya layak untuk dihormati tanpa terkecuali.
Islam sendiri memiliki nilai substansial mengenai sikap dalam berinteraksi antar sesama. Bagi umat Islam, al-Qur’an merupakan pedoman utama dalam setiap aspek, dan untuk itu, sesuai dengan banyaknya permasalahan yang terjadi saat ini, diharapkan dapat ditemukan jawaban dan penyelesaianya dalam al-Qur’an. Islam merupakan agama yang tidak diperuntukan hanya oleh satu golongan, Islam adalah agama rohmatal lil alamin, tidak hanya bagi bangsa arab saja, al-Qur’an walaupun berbahasa arab itu hanyalah sebuah pengantar dan sarana dalam menyampaikan pesan tuhan yang sebenarnya adalah untuk semua.
Gus Dur atau K.H. Abdurrahman Wahid menafsirkan kata al-Silmi pada surat al-Baqarah ayat 208 “udkhuluu fi al-Silmi Kaaffah” ialah sebagai “perdamaian” (Jakarta: The Wahid Institute, 2006). jadi diharapkan manusia itu damai baik dari berbagai background keagamaan, etnis, ras, budaya, maupun bangsa yang berbeda.

No comments:

Post a Comment