Studi Living Qur’an Fenomena Epistemologi Ilmu Pengetahuan dalam Penyusunan Tafsir Ilmiyah Salaman oleh Ilmuan ITB (Instutit Teknologi Bandung)
Karya ni dipersembahkan kepada guruku
Dr. H. Hamim Ilyas, MA.
Disusun Oleh :
Muhammad Barir,
S.Th.I
NIM 1420510012
YOGYAKARTA
2015
A.
Pendahuluan
Tulisan
ini merupakan upaya dalam memahami bagaimana masyarakat menyambut, menanggapi,
dan menerimaan al-Qur’an di tengah kehidupan mereka. Keterkotakan, keberagaman
(heterogeneous), dan karakter budaya keilmuan masyarakat yang beraneka ragam
mengakibatkan al-Qur’an dibaca, difahami, ditafsirkan, dipersepsikan secara
berbeda-beda pula. Bahkan tiap Masyarakat memiliki perilakuk kusus dalam meresepsi
al-Qur’an yang masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya. Beberapa
menafsiri al-Qur’an sebagaimana karakter dan kepentingan mazhabnya, beberapa
menafsirkan al-Qur’an sebagaimana kepentingan politisnya, dan beberapa lagi
menafsirkan al-Qur’an sebagaimana basik keilmuan dan kepakarannya. Berangkat
dari alasan terseutlah, muncul berbagai resepsi yang berbeda dalam menanggapi
hadirnya al-Qur’an.
Penerimaan
masyarakat terhadap al-Qur’an sebagai mitra kehidupan memunculkan tiga resepsi dalam
memahami laku mereka, yaitu: hermenautis, kultural, dan estetis. Ketiga aspek
itu akan menjadi titik fokus kajian ini sebagai sebuah studi living qur’an. Pada
tulisan ini, upaya mengetahui resepsi al-Qur’an akan terfokus pada masyarakat
ilmiyah ITB sebagai subjek penelitian yang melakukan resepsi terhadap al-Qur’an
melalui diskusi, penulisan, dan publikasi mereka dalam perumusan tafsir Salman.
Upaya
saintifikasi al-Qur’an dalam Penyusunan Tafsir Salman menjadi salah satu
fenomena persentuhan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan. Hal tersebut tidaklah
lepas dari munculnya sebuah cita-cita memadukan antara Islam dengan sains.
Upaya ini lahir sebagai respons atas kondisi ilmu sebelumnya terdikotomi. Dari
hal tersebut, muncul ilmu-ilmu baru sebagai upaya integrasi-interkoneksi antara
Agama dengan Sains. Lahirnya tafsir Salman yang turut ambil bagian dalam
saintifikasi ilmu ini tentunya menarik untuk diteliti lebih lanjut, terutama
mengenai keilmuan sains al-Qur’an yang dikembangkan oleh para dosen dan ilmuan
ITB (Institut Teknologi Bandung).
B.
Sejarah Saintifikasi al-Qur’an
Era tafsir
modern ditandai dengan rmasuknya ajaran mengenai kebenaran harus beriringan
dengan logika dan ilmu pengetahuan. Dari sini, cendekia muslim ternyata
terpengaruh dengan mencoba menafsiri ayat-ayat al-Qur’an yang berbau mitos
kepada makna lain yang sesuai dengan akal. Karena kesadaran akan posisi Islam
membuat beberapa cendekia muslim pada abad 19 M berupaya mendekonskruksi
pemikiran konserfatif. Menurut J.M.S. Bljon, salah satu tokoh yang pertama kali
menjadi pembuka kajian tafsir modernis adalah Sir Sayid Ahmad Khan (w. 1898 M).
Ia menulis tafsir al-Qur’an berbahasa Urdu dan diterbitkan pada tahun 1880 M.
Ia juga yang menggagas anggapan vurd af Gad “kalam tuhan” tidak boleh
bertentangan vurk af Gad “ciptaan Tuhan”. Dari sini ia mencoba
melayangkan argument bahwa tidak mungkin al-Qur’an bertentangan dengan hokum
alam semesta.[1]
Di antara
beberapa tokoh lainnya ialah perintis tafsir adabi ijtima’I, al-Mannar
yakni Muhammad Abduh (1864-1905 M). Ia menafsiri burung ababil dengan mikroba.
Selain itu, muncul karya Tafhim al-Qur’an[2]
pula Ahmad Khan (lahir 1817[3]) yang menafsiri Q.S. asy-Syu’ara’ (26): 63
tentang nabi Musa yang memukul tongkat dita’wilkan menjadi nabi Musa yang
bepergian melalui laut dengan menggunakan tongkatnya setelah mengkorelasikan
kata dharaba dengan makna berjalan.[4]
Abduh mencoba
menafsiri surat al-Fil dengan beracuan pada kata thair yang
bermakna “burung”. Menurutnya kata ini bersesuaian dengan kata thara
atau “terbang”, kemudian dari kata terbang inilah muncul asumsi bahwa kisah
Abrahah dan tentaranya yang gugur sebelum mencapai Makkah bukan karena serangan
burung Ababil yang datang dari neraka, namun karena virus yang berterbangan
melalui udara.[5]
Al-Qur’an menggunakan istilah demikian karena saat itu bangsa Arab belum
memiliki kapasitas keilmuan yang bisa memahami hal-hal yang dapat dicapai oleh
ilmu pengetahuan saat ini.
Di antara
penafsiran-penafsiran di atas, banyak lagi bentuk penafsiran ilmiyah lainnya.
Tokoh-tokoh saintifik yang juga mendalami al-Qur’an juga mulai bermunculan. Di
antara mereka adalah Harun Yahya, Dzakir Naik, dan Zaglul an-Najjar. Ayat-ayat
al-Qur’an dikaitkan dengan ilmu perbumian (geologi), ilmu air, ilmu fisika,
kimia, dan kedokteran. Beberapa bahkan sampai malakukan penelitian khusus
tentang ilmu biologi yang telah ada pada al-Qur’an sebagai sebuah mu’jizat.
Penggunaan ilmu
bantu seperti biologi, astronomi, geologi, dan lain sebagainya juga menjadi
penanda tersendiri tentang perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan.
Perkembangan metodologis juga kemudian diadopsi sebagai alat bantu dalam
interpretasi al-Qur’an. Munculnya tafsir ilmiyah berawal dari gagasan bahwa
antara al-Qur’an dan akal tidaklah bertentangan. Ajaran yang terkandung di
dalamnya sejalan dan pasti dapat dibuktikan dengan rasio yang sampai saat ini
kebenaran al-Qur’an ternyata sejalan dengan pembuktian lmiyah yang ada,
menjadikan karakter ilmi ini sebagai karakter tersendiri dalam membuktikan
kmu’jizatan Ilmiyah. Dan sekaligus ini menjadikan penjelasan tersendiri tentang
hubungan pendekatan ilmiyah dengan mu’jizat ilmiyah. Bahwa mu’jizat ilmiyah
bisa diketahui melalui interpretasi al-Qur’an dengan pendekatan ilmiyah.
Pada dasarnya
tafsir ilmi yang tidak bertentangan dengan Ilmu pengetahuan terbukti setelah
satu persatu ayat-ayat al-Qur’an diklaim dan dinyatakan memiliki kebenaran. Dan
semakin mempererat dan mempertegas nilain I’jaz al-Ilmi yang menjelaskan
bahwa al-Qur’an sudah melampaui akal manusia dalam hal ilmu pengetahuan pada
masa lampau yang tidak mungkin orang pada saat itu bisa membuat ayat seperti
ayat al-Qur’an, karena belum ada ilmu saat itu, diketahuinya kemu’jizatan
ilmiyah al-Qur’an ialah tidak lain merupakan hasil dari penafsiran ayat
al-Qur’an dengan pendekatan Ilmiyah yang menunjukan bahwa al-Qur’an datangnya
ialah tidak mungkin berasal dari manusia. Menjadi perbedaan yang cukup kontras,
al-Biruni memperketat upaya saintifikasi al-Qur’an. Menghubungkan al-Qur’an
dengan sains adalah kesalahan jika pada akhirnya teori sains itu gugur yang
mengakibatkan munculnya keragu-raguan umat terhadap al-Qur’an itu sendiri.
Argument tersebut seiring fenomena yang terjadi di India mengenai penafsiran
al-Qur’an secara astrologi.[6]
Pada tahun
1980-an, Liga Dunia Muslim di Makkah membentuk sebuah komite khusus yang
bertugas untuk melakukan kajian terhadap mu’jizat saintifik dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Komite tersebut disponsori oleh banyak ilmuan dan cendekia muslim dari
berbagai keahlian untuk tujuan melakukan eksplorasi dan membuktikan adanya
hubungan antara al-Qur’an dengan sains.[7]
Menurut Zaglul an-Najjar, presiden komite tersebut, kebenaran ilmiyah ada dalam
al-Qur’an dan suatu saat akan terbukti, ia mengkutip ayat: QS al-An’am 6:67: “Untuk tiap-tiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada
(waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui.”[8] Hal tersebutlah yang ternyata juga terjadi di
Indonesia dengan upaya ilmuan-ilmuan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang
membuat gagasan melakukan penyusunan tafsir Ilmiyah Salman.
C.
Penulisan Tafsir Salman[9]
Bermula dari
pertengahan tahun 2010, ketua pengurus Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman ITB,
Dr. Syarif Hidayat meminta beberapa dosen ITB yang menekuni kajian Ilmu
Pengetahuan untuk menyusun karya tafsir. Beliau meminta dalam penyusunan karya
tersebut disertai kajian yang memadukan antara tafsir klasik dan tafsir yang
bersudutpandang ilmu pengetahuan modern. Tim tersebut terdiri dari :
1.
Dr.
Yan Orgianus (ketua),
2.
Dr.
Sutarno,
3.
Prof.
Mitra Djamal,
4.
Prof.
Hermawan, K. D.,
5.
Dr.
Moedji Raharto,
6.
Dr.
Yustiono,
7.
Prof.
Umar Fauzi,
8.
Mas
Samsoe Basaroedin,
9.
Salim
Rusdi,
10.
Irfan
Anshory, dll.
Peletakan dasar
dari rangkaian penyusunan tafsir kemudian disidangkan di lantai dua gedung
Masjid Salman ITB pada akhir September 2010. Beberapa rangkaian agenda yang
disiapkan untuk penyusunan tersebut adalah: a) pengadaan diskusi tiap pekan
yang menghadirkan ahli tafsir dan pakar bahasa Arab, b) menuliskan dan
mempublikasikan hasil diskusi melalui bulletin jum’at dan website www.salmanitb.com, c) membukukan hasil dari dsikusi dan penulisan menjadi Tafsir
Salman.
Diskusi rutin
dalam perumusan tafsir Salman pun dihelad dengan ketua Dr. Yan Orgianus dan
wakilnya Prof. Mitra Djamal. Dalam pelaksanaan diskusi, selaku pemakalah utama
adalah Irfan Anshory. Diskusi berlangsung pada setiap senin pagi dengan diskusi
perdana pada bulan Oktober 2010. Hasil dari diskusi kemudian dipublikasikan
melalui buletin al-Misykat. Diskusi terus berlangsung lancer hingga 2011 sampai
kemudian salah satu anggota tim penyusun yakni Irfan Anshory harus berpulang ke
rahmatullah.
Upaya
penyusunan tafsir Salman kemudian mendapat respon dari pihak luar. Salah
satunya datang dari Malaysia. Pada tangga 22 April 2011 pagi, datang
serombongan Pusat Penyelidikan Fiqh Sains dan Teknologi UTM (Universiti
Teknologi Malaysia). Delegasi ini tertarik dengan upaya penyusunan tafsir
Salman dan berniat untuk menerbitkannya dalam bahasa Malaysia dan bahasa
Inggris. Dukungan terus mengalir dari berbagai pihak hingga akhirnya tafsir
tersebut diterbitkan pada Oktober 2014.
D.
Saintifikasi al-Qur’an Tafsir Salman sebagai Kajian Living Qur’an
Terilhami dari
ayat QS al-An’am 6:6 ”pada setiap berita
terdapat waktu dimana kelak kamu akan mengetahui”, penyusunan Tafsir Salman
mengambil langkah sebagai sebuah fenomena living qur’an. Terdapat tiga resepsi
dalam memahami Saintifikasi al-Qur’an dalam penyusunan Tafsir Salman sbagai
kajian Living Qur’an. Pertama adalah dengan mencari resepsi hermenautisnya, dan
diikuti dngan mencari resepsi cultural, dan resepsi estetis. Pertama adalah mendudukan
Saintifikasi al-Qur’an Tafsir Salman sebagai bagian dari ilmu pengetahuan.
Beberapa ayat menjelaskan mengenai pentingnya penggunaan akal. Akal yang
diciptakan Tuhan adalah alat untuk mencari kebenaran sehingga tidak mungkin
agama bertentangan dengan akal. pendayagunaan akal yang sering diistilahkan
dengan tadabbur, ta’akkul, tafakkur, dzul al-bab, ulun an-nuha, ulul
abshar dan lain sebagainya yang
benyak terurai dalam ayat al-Qur’an yang mendasari resepsi hermeneutis upaya
penyusunan Tafsir Salman. Di antara teks tafsir tersebut adalah QS Muhammad
47:24 :
“Maka
apakah mereka tidak merenungi Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci?”
|
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
|
24
|
Terdapat satu
ayat yang secara eksplisit dikutip dalam muqaddimah Dr. Yan Ogianus dalam Tafsir
Salman, yakni QS Ali Imran 3:104:[10]
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
|
104
|
Ayat ini mengiringi ide awal pnulisan tafsir
salman. Ayat ini merupakan pernyataan tertulis dalam menanggapi permintaan
Ketua Pengurus Yayasan Pembina Masji (YPM) Salman, Dr. Syarif Hidayat dalam membuat
tafsir yang mengkombinasikan antara pemikiran klasik dan ilmiyah modern. Menurutnya,
ide yang baik harus disalurkan agar menjadi baqiyat as-shalihat “kebaikan
yang terus-menerus”. [11]
Namun, ayat ini belum cukup untuk bisa dikatakan sebagai ayat utama yang
melandasi semangat integrasi al-Qur’an dengan sains. Gagasan yang disampaikan
dalam Tafsir Salman memperlihatkan upaya para penulis dalam mengungkap temuan
ilmiyah saat ini yang “diklaim” sebelumnya telah terlebih dahulu diungkap dalam
al-Qur’an yang hadir 14 abad yang lalu. sehingga semangat yang melandasi
perumusan Tafsir Salman lebih sesuai dengan semangat ayat QS al-An’am 6:67:
Untuk tiap-tiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada
(waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui.
|
لِكُلِّ
نَبَإٍ مُسْتَقَرٌّ وَسَوْفَ تَعْلَمُونَ
|
67
|
Dalam resepsi kultural,
penyusunan Tafsir Ilmiyah Salman secara tidak langsung telah membangun tradisi
baru di tengah aktivitas Institut Negeri Bandung. Selama dua tahun diadakan
diskusi rutin akhir pekan, kemudian juga dilakukan studi banding[12]
Dalam diskusi Salman, dilakukan penggiliran topik ilmiyah yang ditandai dengan
penunjukan pemateri dan disertai satu pakar kebahasaan dan satu dari pakar bidang
keilmuan tertentu untuk menafsiri ayat al-Qur’an sesuai dengan keahliannya.
Seiring berjalanya diskusi, gagasan-gagasan yang lahir kemudian ditulis secara
notulensi dan dipublikasikan melalui bulletin dan website, sebelum pada
akhirnya diluncurkan Tafsir Salman. Beberapa artefak juga lahir dari upaya
saintifikasi al-Qur’an ini, di antaranya adalah buletin Jum’at, dan website
khusus sebagai sumber informasi tentang kegiatan dan hasil riset ilmiyah
Saintifikasi Tafsir Salman.
Diskusi dan
perumusan Tafsir Salman sebagai sebuah program yang berkelanjutan telah
melahirkan karya tafsir dengan karakter dan cirri khas tertentu. Di antaranya
adalah logo “Salman” yang begitu dominan dan juga menjadi gambar dalam sampul
Tafsir salman. Nama tafsir sendiri diidentikkan dengan nama Masjid Salman yang
diberikan oleh Bung Karno pada tahun 1964.[13]
Logo salman sendiri ditulis dengan khat khufi. Logo ini pula yang juga menjadi
logo masjid dan website Salman. Khat yang bertulis Salman tersebut dalam sampul
ditulis dalam pola ornament seperti rajutan anyaman. Di sekelilingnya, terdapat
empat lafadz al-hamdulillah di kanan, kiri, bawah, dan atasnya.
Rangkaian khat ini berwarna kuning keemasan.
Nilai estetis
lainnya dalam tafsir salman adalah penggunaan gambar-gambar yang menyertai
penafsiran mengenai ayat al-Qur’an. Fungsi dari gambar sendiri adalah sebagai
penjelas mengenai temuan ilmiah mulai dari fosil, planet, hingga peragaan
gejala alam yang diklaim berhubungan dengan ayat al-Qur’an. Penggunaan
gambar-gambar tertentu sebenarnya merupakan hal baru dalam sebuah penafsiran.
Di luar itu, penggunaan gambar dalam tafsir ini menunjukan perbedaan yang cukup
kontras dengan tafsir-tafsir sebelumnya yang bahkan ulama mengharamkan melukis
mahluk hidup.
E. Epistemologi Penulisan Tafsir Salman
Epistemologi dalam wilayah
pengetahuan umum saat ini juga telah digunakan sebagai kerangka dalam meninjau
wilayah tafsir. Di antara faktor penggunaan epistemology sebagai kerangka
filosofis dalam mengkaji al-Qur’an seiring penggunaan hermeneutika yang masuk
sebagai keilmuan baru dalam memahami al-Qur’an.
1.
Sumber
Penafsiran
Dalam kajian epistemologi
penafsiran. Al-Qur’an sekalipun difahamai melalui rasio tidaklah bisa
meninggakan unsur tekstualitasnya. Hal ini seiring pembatasan para pakar
al-Qur’an tentang peranan teks sebagai salah satu unsure terpenting dalam
al-Qur’an. Seliar apapun penggunaan rasio, teks tidaklah bisa ditinggalkan.
Bahkan sekaliber Nasr Hamed pun masih sangat berhati-hati dengan menekankan
pentingnya teks pada proses peta’wilan.[14]
Menurut Abdul mustaqim, paradigm tafsir kontemporer tidaklah bisa terlepas dari
teks, rasio, dan realitas.[15]
Dari sini, apa yang digunakan dalam
Tafsir Salman sedikit berbeda, sumber pengetahuan standar yang dipakai terdiri
dari teks, kedua adalah rasio, dan ketiga adalah temuan empiris. Bukti empiris
yang berkaitan dengan penemuan ilmiyah telah digunakan dalam Tafsir Salman
dalam memberi keterangan atas ayat al-Qur’an. Bukti Empiris tersebut berkaitan
dengan keilmuan eksakta seperti geografi, biologi, astronomi, dan lain
sebagainya.
Penggunaan kata “empiris” yang lebih
dominan dari kata realitas adalah karena patokan utama dalam melakukan
penafsiran oleh tim penyusun adalah ilmu pengetahuan yang notabene lebih
menekankan pada aspek materialistik yang telah ditemukan dan terbukti secara
ilmiyah. Pembuktian-pembuktian berhasil dilakukan seiring penelitian oleh
berbagai pakar yang telah lampau terhadap alam dan mahluk yang hidup di
dalamnya. Penggunaan empiris terkait dengan sifat Tafsir Salman yang tergolong
tafsir bernuansa ilmiyah.
2.
Metode
Penafsiran dalam Perumusan Tafsir Salman
Ada beberapa
rangkaian yang dilalui dalam perumusan Tafsir Salman. Pertama adalah proses
diskusi, kedua adalah studi banding, ketiga adalah penulisan dalam bulletin
pasca diskusi, keempat adalah posting web, kemudian kelima adalah penerbitan
dalam kitab tafsir yang dipublikasikan pada masyarakat luas. Dalam diskusi
tersebut, masyarakat luas diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan. Hal tersebut
sebagaimana pernyataan pengurus yang menggambarkan suasana ruangan saat diskusi
yang banyak didatangi oleh beberapa peserta yang sebelumnya tidak dikenal yang
turut hadir.
Metode
perumusan tafsir bisa dilihat dari pelaksanaan diskusi dan sistematika dalam
kitab Tafsir Salman. Dalam diskusi, agenda pertama adalah mengulas tema
berdasarkan ayat, kemudian tahab interpretasi ayat dengan mempersilahkan
seorang ahli bahasa yang memang sengaja dihadirkan untuk menjelaskan makna
ayat. Kemudian diikuti dengan menjelaskan penafsiran terdahulu sebagaimana
beberapa kitab yang menjadi rujukan adalah ruh al-ma’any karya Mahmud
al-Alusi al-Baghdadi [16],
tafsir al-munir karya Nawawi al-Bantani, dan lain-lain.
Daftar kitab tafsir
rujukan dalam Tafsir Salman
no
|
Kitab tafsir
|
Karya
|
1
|
ruh al-ma’any
|
Mahmud
al-Alusi
|
2
|
tafsir al-munir
|
Nawawi
al-Bantani
|
3
|
Mafatih al-Ghayb (al-Kabir Tadsir al-Ilmy)
|
Ar-Razi
|
4
|
Al-jawahir
|
Tantawi
Jauhari
|
5
|
Tafsir al-Qurtuby
|
Anshari
al-Qurtuby
|
6
|
Mufradat al-fadl al-Qur’an
|
Raghib
al-Asfahany
|
7
|
Futuhat al-Ilahiyah
|
Sulaiman bin
Umar
|
Model
penafsiran dalam Tafsir Salman sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai model
komparasi antara ayat al-Qur’an dengan temuan saintifik. Sehingga runtutan
metode bisa digambarkan melalui rangkaian berikut:
“Ayat al-Qur’an " mencari term " mencari temuan ilmiyah yang diduga memiliki indikator kesesuaian
dengan term " melakukan komparasi " menarik pada suatu kesimpulan.”
3.
Validitas
Penafsiran
Apa yang
menjadi upaya beberapa ilmuan salman dalam penyusunan tafsir al-Qur’an bisa
dikaji validitasnya berdasarkan temuan sains yang berkembang berdasarkan waktu.
Jika ayat kauniyah dalam al-Qur’an dianggap telah dapat dikuak saat ini, asumsi
tersebut dapat mendasari validitas Tafsir Salman dari segi temuan ilmiyah
saintifik. Namun dari sisi yang lain, ayat al-Qur’an sebagai ayat inspiratif
penyusunan tafsir tersebut tidak berarti membenarkan apa yang dihasilkan oleh
penelitian tafsir salman. Hal tersebut sebagai kehati-hatian berkenaan dengan
banyaknya upaya legitimasi temuan ilmiyah.
Terlihat posisi
Tafsir Salman sendiri yang sebenarnya lebih menjadi semacam respons atas teks
al-Qur’an, namun tidak merupakan karya yang lahir dari penafsiran. Dalam
al-Qur’an sendiri terdapat dua makna yang mengikuti teks. Pertama adalah makna
dhahir dan kedua adalah makna batin. Dari sini pula lahir istilah ta’wil untuk
menyebut upaya mengungkap makna batin teks. Selain itu, upaya penafsiran
tidaklah lepas dari aspek historisitas yang mengikuti pemahaman terhadap teks.
maka tidak jarang ayat al-Qur’an yang menjelaskan kisah tertentu dikaitkan
dengan kisah-kisah lain yang bersifat hisitoris. Namun dalam menafsiri aspek
historis ini, juga terdapat mufassir yang melakukan pemaknaan berbeda. Hal
tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh Ahmad Khan yang menafsiri Q.S. asy-Syu’ara’ (26): 63
tentang nabi Musa yang memukul tongkat dita’wilkan menjadi nabi musa yang
bepergian melalui laut dengan menggunakan tongkatnya.[17]
Penulisan
Tafsir Salman jika melihat dari aspek validitasnya lebih mengarah sebagai upaya
komparasi makna al-Qur’an dengan temuan ilmiyah dengan melihat
indikator-indikator kemiripan makna dengan temuan. Sebagai contoh adalah
penafsiran kata Thariq pada QS : ath-Thariq ayat pertama yang dimaknai
dengan komet. Sebuah benda langit yang menyala dan memiliki garis edar. Antara
komet dengan ath-thariq keduanya memiliki indikator kemiripan.
Ath-Thariq dalam kaidah bahasa adalah tamu yang jarang datang namun sekalinya
datang ialah pada malam hari.[18]
Begitu pula komet yang jarang menghampiri bumi karena garis edarnya.[19]
F.
Contoh Penafsiran
Surat an-Naba’
ayat 12[20]
dan Kami bangun di atas kamu tujuh buah
(langit) yang kokoh,
|
وَبَنَيْنَا
فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا
|
12
|
Dalam melakukan
penafsiran ayat di atas, tim penafsiran Salman melakukan tiga tahap penjelasan
ayat. Pertama adalah dengan melakukan analisa kebahasaan, kedua dengan
mengungkap beberapa penafsiran mufassir terdahulu, pada tahap ketiga melakukan
penafsiran otentis dengan riset yang didiskusikan dalam forum ilmiyah, dan
keempat menarik kesimpulan pada setiap sekmentasi ayat.
1.
Analisa
Kebahasaan
a)
Kata
Banayna merupakan kata yang berasal dari kata bana-yabni-bina’an yang
bermakna “mendirikan dinding”. Kemudian kata ini dimaknai secara majazi dengan
“berputar”, “berubah”, “dasar”, dan “bertambah besar”.
b)
Kata
sab’an terambil dari kata isab’atun yang bermakna tujuh, namun
juga bisa bermakna “banyak sekali”.
c)
Kata
kata syidadan bermakna “kuat” dan “berat”.
2.
Penafsiran
Terdahulu
Konsep
membangun dalam ayat ke duabelas sebagaimana dalam ruhul ma’ani, dianalogikan
sebagaimana membangun kubah-kubah di atasnya. Sedangkan, menurut penafsiran
lainnya, konsep membangun berhubungan dengan suatu proses atau pentahapan dalam
penciptaan langit. Di dalamnya diumpamakan bahwa langit itu seperti tenda dan
bukan seperti bangunan yang diratakan. Langit diciptakan sebagai atap
sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain. Sedangkan dalam tafsir al-Munir,
maksud dari ayat tersebut adalah pembangunan langit yang terdiri dari tujuh
lapis yang tidak terpengaruh oleh zaman/masa.
3.Isyarat
Ilmiyah dalam Tafsir Salman
Langit secara
astronomis didefinisikan sebagai “batas pandangan manusia”, namun dalam ayat
ini, langit yang dimaksud adalah atsmosfer. Sebab langit dalam ayat ini
dikaitkan (di-munasabah-kan) dengan matahari (ayat13) dan hijan (ayat
14). Langit dianggap kukuh karena mampu menahan benda berbahaya dari luar bumi,
seperti lapisan ionosfer yang mampu menahan badai matahari. Langit juga menjadi
penanda waktu dalam kalenderisasi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Sumbu bumi berpresesi (mengitari) sumbu lingkaran ekliptika selama 26 ribu
tahun. Hal ini mengakibatkan posisi ekliptika kutup utara dan kutup selatan
mengalami pergeseran. Fenomena ini mengakibatkan matahari bergerak lebih cepat
sehingga kalender terus dirubah secara berkala mengikuti perubahan alam.
G.
Kesimpulan
Terilhami dari
ayat QS al-An’am 6:67 ”pada setiap
berita terdapat waktu dimana kelak kamu akan mengetahui”, penyusunan Tafsir
Salman mengambil langkah sebagai sebuah fenomena living qur’an. Ayat tersebut
member gambaran bahwa pada masa rasulullah terdapat ayat-ayat kauniyah yang
tidak dapat dicerna karena memang saat itu tidak terdapat teknologi yang dapat
membuktikan dan menggambarkannya. Terdapat tiga resepsi yang bisa dijadikan
kerangka memahami upaya penyusunan Tafsir Salman sebagai sebuah fenomena Living
Qur’an. Ketiganya adalah resepsi hermenautis, resepsi kultural, dan resepsi
estetis. Resepsi hermeneutis sebagaimana digambarkan mengenai kandungan ayat QS
al-‘An’am 6:67. Resepsi kulturalnya ialah pembentukan system gagasan tentang
al-Qur’an yang memiliki korelasi dengan ilmu pengetahuan, terbangunnya system
tradisi diskusi dan kajian rutin, serta lahirnya artefak karya tafsir yang
telah dibukukan dalam bulletin al-Misykat, web, dan Tafsir Salman. Dalam
resepsi estetisnya, tafsir salman dilengkapi dengan pencantuman gambar sebagai
bentuk penafsiran dalam membantu memahami al-Qur’an disertai dengan logo kali
grafi Salman.
Sebagai sebuah
kajian epistemologi ilmu pengetahuan sumber utama dalam tafsir salman adalah
taks, akal, dan temuan ilmiyah. Metode yang dipakai adalah metode induktif dari
temuan ilmiyah menuju teks yang memiliki korelasi sebagai dasarnya. Validitas
Tafsir salaman bisa dikaji dengan relevansinya pada konteks kekinian yang secara
korespondensif ayat al-Qur’an dapat memiliki titik temu dalam realitas saat
ini.
Daftar Pustaka
Amal, Taufiq Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta:
Alvabet, 2013).
Baiquni
(ed.), Ahmad. Tafsir Salman (Bandung : Mizan, 2014).
F.
Eickelman, Dale. al-Qur’an, Sains, dan Ilmu Sosial (Yogyakarta: eLSAQ
press, 2010), hlm. 2.
Mustaqim, Abdul. “Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam
Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan
Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, 2006)
----------, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS,
2012).
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan
Bintang. 1975).
Shihab, Quraish. Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati,
2013).
Wawancara via telephone dengan Ust. Dani, Pengurus Yayasan Pembina
Masjid Salman ITB (Institut Teknologi Bandung) pada 21 April 2015 pkl 10:15.
Daftar Gambar
1.1
gambar sampul Tafsir Salman
1.2
penggunaan gambar-gambar dalam
Tafsir Salman
[1]
Taufiq Adnan
Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Alvabet, 2013), hlm. 404.
[2] Abdul
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012), hlm. 52
[3] Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1975), hlm.
158.
[4]
Abdul Mustaqim,
“Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an
dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga,
2006), hlm. 30.
[5]
Lihat Quraish Shihab, Kaidah Tafsir
(Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 225 dan Abdul Mustaqim, “Kontroversi
tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis
vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 30.
[6] Dale F.
Eickelman, al-Qur’an, Sains, dan Ilmu Sosial (Yogyakarta: eLSAQ press,
2010), hlm. 2.
[7]
Dale F.
Eickelman, al-Qur’an, Sains, dan Ilmu Sosial (Yogyakarta: eLSAQ press,
2010), hlm. 2.
[8]
Dale F.
Eickelman, al-Qur’an, Sains, dan Ilmu Sosial (Yogyakarta: eLSAQ press,
2010), hlm. 5.
[9] Lihat Ahmad
Baiquni (ed.), Tafsir Salman (Bandung : Mizan, 2014), hlm 5-8.
[10]
Ahmad Baiquni
(ed.), Tafsir Salman (Bandung : Mizan, 2014), hlm. 8.
[11]
Ahmad Baiquni
(ed.), Tafsir Salman (Bandung : Mizan, 2014), hlm 5.
[12] Wawancara via
telephone dengan Dani, pengurus Yayasan Pembina Masjid Salman ITB (Institut
Teknologi Bandung) pada 21 April 2015 pkl 10:15.
[14]
Quraish Shihab,
Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 220.
[15]
Abdul Mustaqim,
Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012), hlm. 66.
[16]
Ahmad Baiquni
(ed.), Tafsir Salman (Bandung : Mizan, 2014), hlm. 61.
[17]
Abdul Mustaqim,
“Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu
al-Qur’an dan Hadis vol. 7, (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan
Kalijaga, 2006), hlm. 30.
[18]
Ahmad Baiquni
(ed.), Tafsir Salman (Bandung : Mizan, 2014), hlm 238.
[19]
Ibid. 243.
[20]
Lihat Ahmad Baiquni (ed.), Tafsir Salman
(Bandung : Mizan, 2014), hlm 59-68.
No comments:
Post a Comment