oleh : Muhamamd Barir
A. Sepak terjang Thoriqoh as-Sanusiyah di Libya
Pada dasarnya banyak
tokoh yang berperan dalam merintis dan memajukan gerakan Toriqot as- Sanusiah namun
kami dalam makalah ini akan mengulas empat tokoh utama yang juga merupakan
pemimpin tertinggi torikot ini pada tiga generasi.
Muhammad
bin Ali as-Sanusi, beliau bisa dikatakan sebagai bapak pembaharu di Afrika
Utara mengingat gerakan paling berpengaruh dan memiliki masa yang besar di
afrika utara adalah toriqot as-Sanusiyah yang dirintisnya. lahir pada bulan dan
tanggal yang sama dengan nabi Muhammad SAW tepatnya tanggal 12 Robi’ul Awwal
1202 H/22 Desember 1787 M. Persamaan dengan nabi tidak hanya terbatas pada
tanggal dan bulan saja akan tetapi yatim piatunya ia juga menjadi kesamaan
tersendiri ia dengan nabi Muhammad SAW.
Mengenai
biografi lengkap ayahnya tidak banyak para pakar sejarah yang tahu. Ayahnya
meninggal cukup muda ketika sanusi kecil berumur dua tahun dalam usia 25 tahun
dan disusul oleh ibunya dalam waktu singkat. Dalam pengakajian nasab ayah
sanusi, diketahui bahwa nama ayahnya ialah al-Khottib al-Hasani al-Idrisi
al-Majahiri rentetan nama ini ternyata diawali dengan gelar syarif, hal ini
menunjukan bahwa as-sanusi masih keturunan rosulullah dari cucu nabi yakni
Hasan.
Ahmad
as-Syarif as-Sanusi dalam kitabnya al-Anwar al-Qudsiyyah fii Muqoddimat
at-Thoriqot as-Sanusiyah (istambul 1920-1924 M) mengemukakan bahwa nama
as-sanusi diilhami oleh nama pegunungan asanus.[1]
Karena
ayah ibunya meninggal ia diasuh oleh saudara ayahnya yakni Sayyidah Fatimah
seorang ustadzah dan muballighoh. Ketika usia 19 tahun ia mulai perjalanan menuntut
ilmu di sekitar tempat kelahiranya tepatnya pada tahun 1806 M ia pergi ke
Mazuna Aljazair Barat. Di tempat itu ia menetap selama satu tahun dan berguru
pada banyak ulama yang salah satunya ialah abu ro’s an-Nasiri yang menulis
lebih dari 50 buku dibidang tafsir, hadits, dan lain-lain. Setelah menunutut
ilmu di Aljazair ia kemudian menuju ke Fez dan menetap di sana selama 12-15
tahun. Di maroko ini ia masuk ke Jami Qorowiyun (qoirowan), ia langsung
menonjol diantara pelajar sebayanya. Kegemilangan as-Sanusi ini bahkan membuat
sultan maroko Maulay Sulaiman terkesima dan ingin mengambilnya sebagai pembantu
istana tapi as-Sanusi menolak karna cita-citanya lebih tinggi. Ketika berada di
Tripolitania ia bertemu dengan Ahmad Pasya al muntatsir seorang ulama’ yang
dikenal sangat alim dan juga merupakan tokoh politik, lagi-lagi ia dibujuk
untuk berjuang bersamanya, namun jiwa pan islamismenya membuat ia tidak mau
hanya dakwah monoton di satu wilayah saja.
Pemahaman
ketasawufan yang dianut oleh as-Sanusi ialah bercorak Ghozali, teologinya
menganut Ibnu Taimiyah, dan madhab Fikihnya menganut Imam Maliki namun
kemazhaban malikinya ini sempat dipertanyakan karena banyak pandangan fikih
yang dijalaninya berbeda dengan jiwa ajaran mazhab Maliki bahkan syakh al-Hanis[2]
berniat membunuhnya. Tidak hanya itu Syaikh Mushthofa al-Bulaki yang merupakan
mufti di Mesir menentang keras ajarannya.
Dia
mulai melirik mekah yang dinilainya merupakan tempat yang strategis dalam
menyebarkan ide-idenya mengingat mekah ialah tempat berkumpulnya ulama’ dari
berbagai belahan dinia. Sepakterjangnya di mekah bukan tanpa kendala, dia
kurang bisa mengembangkan gerakanya dengan mendirikan zawiyat[3]
karena mendapat pertentangan koalisi ulama’ disana.
Semangat
dan kecerdasanya perlu diacungi karena besarnya pengaruhnya dalam mewarnai
corak keislaman di hampir seluruh wilayah afrika utara sampai orang-orang
menjulukinya as-sanusi al-kabir. dia terus menganjurkan pengikutnya
untuk selalu bergerak mencari tempat yang strategis dan langsung mendirikan zawiyat
ketika menemukanya. Dia juga membenci sifat kemalasan sehingga zawiyat-zawiyat
yang didirikanya tidak pernah sepi dari berbagai aktifitas, baik yang bernuansa
keagamaan maupun yang bersifat peningkatan ekonomi dengan adanya pabrik-pabrik
sebagai sarana pendukungnya. Dia meninggal dunia di jagbub pada tahun 1859
sebagai pendiri pertama thoriqot as-Sanusiyah.
Sayyid
al-mahdi, beliau adalah putera yang paling besar as-sanusi al-kabir. Ia lahir
di Baidak pada tahun 1844, ia memperoleh pendidikan pertamanya di mekah. Selain
belajar ilmu pengetahuan ia juga belajar tehnik berkuda dan tak ketinggalan
panahan pun ia pelajari. Karna berada di lingkungan kegiatan toriqot ia pun
terasah kemampuan birokrasi dan kebijaksanaanya. Pada usia tiga belas tahun ia
sudah bekerja membantu pergerakan toriqot dengan mengirim da’I dan menerima
utusan dan ia juga turut menjadi tenaga pengajar.
Sayyid
al-Mahdi menggantikan ayahnya saat ia belum genap berusia enambelas tahun suatu
usia yang terbilang sangat muda untuk diberi suatu amanat besar. Ia memimpin
toriqot as-Sanusiyah mulai tahun 1859. Ditanganya gerakan toriqot as-Sanusiyah
berkembang pesat, banyak zawiyah berdiri memenuhi afrika utara.
Ada
cerita menarik mengenai kemunculan sayyid al-Mahdi sebagai orang besar. Namanya
sering dikaitkan dengan nama imam Mahdi yang di rama lkan akan muncul sebagai
penegak keadilan di muka bumi. Sayyid al-Mahdi lebih bersifat apriori atas
klaim yang diberikan masyarakat padanya. Sudah menjadi keyakinan toriqotnya
bahwa mereka tidak percaya akan adanya imam. Masyarakat banyak yang meyakini
akan kemahdianya walaupun Muhammad Ahmad dari donggola telah mengaku menjadi
nabi pada tahun 1881-1882.
Al-Mahdi
banyak disanjung dan dihormati baik oleh ulama’, bangsawan, maupun oleh tokoh
pergerakan. Ia pernah di ajak untuk jihad membela islam oleh at-ta’aisyi dan
juga pernah diajak perang melawan agresi Perancis di Tunisia pada tahun 1882
oleh Urabi Pasya, pemimpin gerakan nasionalis dan revolusi mesir. Al-Mahdi
menolak kesemua ajakan mereka, dia lebih memilih bersikap datar demi menjaga keutuhan
toriqotnya. Yang menakjubkan ialah bahwa ia ternyata tidak hanya dihormati oleh
ulama’ islam namun ia juga dihormati oleh pembesar-pembesar Perancis mungkin
itu merupakan buah dari sikap datarnya. Muhammad Fu’ad Syukri dalam karyanya al-sanusiyah
din wa ad-daulah (Cairo, 1945) menyatakan bahwa pembesar Perancis Duvreyer
pada tahun 1861 ingin mengunjungi beberapa zawiyah di Fazan dengan membawa
surat dari Suktan Usmanaiyah Abdul Majid dan dikawal dengan satuan tentara.
Kunjungan tersebut ternyata ditolak oleh kepala zawiyah—hal ini semakin
memperjelas posisi as-sanusiyah dalam dunia politik saat itu—dan keputusan itu
pun dihormati oleh Peerancis.[4]
Sikap
vakumnya ini barang kali terbaca ketika gubernur Cirenaica Rosyid pasya
berkunjung ke Zawiyah, ia diantar oleh seorang kepercayaan al-Mahdi untuk
berkeliling zawiyah, ia bertanya kepada orang kepercayaan al-Mahdi, “Apakah
sayid al-Mahdi mempunyai senjata?”
“tentu”
(jawab orang itu)”ia mempunyai beberapa gusang senjata dan tuan boleh
melihatnya”
Ternyata
rosyid pasya mengerti bahwa yang dimaksut gudang senjata oleh orang kepercayaan
al-Mahdi tersebut ialah perpustakaan yang menyimpan berbagai macam buku yang
menjadi senjata untuk kemajuan umat.[5]
Rosyid pasya tidak marah akan hal ini dan malah menganggapnya sebagai permainan
humor yang indah. Tapi kejadian ini bukan tidak menutup kemungkinan bahwa
gerakan as-Sanusiyah tidak memiliki persenjataan dan bahkan banyak peneliti
menganggap bahwa gerakan ini memiliki ribuan senjata tajam dan ratusan senjata
modern.
Beliau
meninggal pada tahun 1902 dan karena anaknya yang paling tua Sayid Idris
terbilang masih muda, yakni saat itu masih berumur 12 tahun, belum dapat
mengemban amanat memimpin toriqot, padahal tugas berat harus diemban mengingat
Perancis yang mulai merasa terancam berinisiatif menyerang gerakan as-Sanusiyah
dan kondisi itu menuntut pemimpin yang harus pergi berperang dan yang
meneruskan kepemimpinan selanjutnya ialah Sayid Ahmad as-Syarif kemenakan
al-Mahdi.
Sayid
Ahmad as-Syarif lahir di Jagbub pada tahun 1873, di tempat itu ia memperoleh
pendidikan dari pamanya, al-Mahdi serta ayahnya ar-rif’I. ia sering mengiringi
al-Mahdi dalam menangani thoriqoh as-sanusiyah maka dia tahu betul tentang
system dan berbagai perso’alan yang dihadapi oleh toriqoh.
Jika
da’wah al-Mahdi condong pada peningkatan kesosialan dan keagamaan masyarakat
beda halnya dengan as-syarif yang berda’wah melalui jalan peperangan. Dimulai
dengan menghadapi perancis pada 1902, serta dibingungkan dengan Turki yang
luluh terhadap Itali dengan menyerahkan Libia melalui perjanjian Lausanne pada
tahun 1912. Dengan ditandatanganinya perjanjian Lausanne berarti masyarakat
libiya harus berperang sendiri melawan sekutu. As-Sanusiyah yang merupakan gerakan
terbesar di Libia pun berperan lebih sebagai suatu Negara dari pada gerakan
toriqoh.
Pada
perang dunia ke-I, pasukan Italia banyak ditarik untuk bergabung dengan pasukan
sekutu, strategi propaganda pun dilakukan oleh Italia dan Inggris dengan
mengadudomba antara Libia dengan Mesir. Keadaan yang semakin kacau membuat
asy-Syarif meninggalkan posisi sebagai pimpinan perang dan politik, dia memilih
kembali menjadi pemimpin keagamaan. Pada tahun 1918 ia mengungsi ke Turki—itu
artinya ia melepaskan tanggungjawab sebagai pemimpin as-Sanusiyah—Ketika
as-Syarif pergi meninggalkan Libia, posisi pemangku gerakan as-Sanusiyah pun
dipegang oleh Sayyid Muhammad idris yang sudah dewasa. dan di Turki ia disuruh
kembali ke Libia oleh at-Taturk dengan alasan membantu masyarakat Libia untuk melepaskan
cengkraman penjajah, Padahal motif sebenarnya ialah kecemasan at-Taturk terhadap
as-Syarif yang diduga lebih condong kepada keluarga Ottoman, tapi kepergianya
ke Turki bukan tidak menuai hasil, ia banyak mendapat pengikut di sana.[6]
Ia
kemudian pergi ke damaskus, tapi ia kembali ditimpa kenyataan pahit bahwa
pemerintah Damaskus menyuruhnya untuk meninggalkan Damaskus dalam tempo 24 jam.
Ia kemudian pergi ke Hijaz dan menghabiskan sisa hidup di sana sampai ia
meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1933.
B. METODE SYIAR DAN CORAK POLITIK AS-SANUSIYAH
Salah
satu bagian inti dari gerakan as-Sanusiyah ialah doktrin-doktrin dan corak
berfikirnya, gerakan as-Sanusiyah walau pun berawal dari semangat keagamaan, namun
dalam perjalananya gerakan ini tidak dapat terhindarkan dari gesekan-gesekan
dunia perpolitikan maka dari itu kami membagi sendiri-sendiri antara corak
berfikir keagamaan dan corak berfikir politik gerakan ini.
1. CORAK BERFIKIR KEAGAMAAN
Corak
keberagamaan as-Sanusiyah tentunya banyak diilhami dari pemikiran Muhammad bin
Ali as-Sanusi yang terkonstruksi dari pengalamnya dalam menimba ilmu dan
pengalamanya dalam mengikuti toriqoh-thoriqoh terdahulu.
Banyak
sudah thoriqoh yang ia pernah pelajari diantaranya ialah Qodariyah,
Syadhiliyah, Jazuliyah, Darqowiyah, Nasiriyah, dan lain sebagainya. Dari
berbagai pengalaman mengikuti thoriqot, ilmu yang ia dapat kemudian ia
kembangkan kedalam thoriqotnya dan pemikiranya tertuang dalam kitab yang
menjadi pegangan thoriqot ini yakni salsabil dan bugyatul maqoshid.
Thoriqot
yang dibawa as-Sanusiyah cenderung merupakan thoriqot yang mengkombinasikan unsur
ajaran ulama klasik dan ulama’ modern mengingat dalam thoriqot ini banyak
ditemui dzikir-dzikir yang dibaca sesuai dengan bilangan yang telah ditentukan
yang menggambarkan adanya jiwa mistisime dan dalam gerakan ini juga ditumbuhkan
metode berfikir secara rasional yang menggambarkan adanya jiwa modernisme.
Pengikut-pengikutnya
terbagi menjadi tiga tingkatan yang Pertama, pengikut yang dibimbing
oleh seorang syaikh. Kedua, pengikut yang memiliki mursyid tapi sudah
diberi kebebasan menentukan arah pemikiranya. Ketiga, orang yang
memiliki kedalaman ilmu sehingga dapat menentukan jalanya sendiri. Mengingat
as-Sanusiyah juga memiliki masyarakat, gerakan ini juga menganggap mereka
sebagai pengikut tapi belum menjadi ikhwan. Mereka adalah orang yang mendukung
gerakan, baik membantu dengan tenaga maupun dengan meteri.
Pemikiran
yang juga membuat gerakan ini berbeda dengan yang lainya ialah bahwa
as-Sanusiyah mengkombinasikan tiga unsur yang sebenarnya silit untuk disatukan.
Yakni madzhab Fikih yang dianut mengikuti Imam Maliki, Tasawuf yang dianut mengikuti
al-Ghozali, dan Theologinya mengikuti Ibnu Taimiyah.
Argument
as-Sanusiyah mengenai Ijtihat juga dipandang bertentangan oleh ulama yang hidup
pada masa itu. dimana ulama Sunni pada tuju abad lalu telah mengetuk palu
keputusan bahwa pintu ijtihad telah ditutup, namun as-Sanusiyah dalam doktrin
gerakanya menyatakan bahwa selama seseorang memiliki alat dan telah memenuhi
syarat maka pintu ijtihad terbika baginya.
2. CORAK BERFIKIR POLITIK
Gerakan
ini menjadi besar salah satu faktor pendukungnya ialah kecerdasan berpolitik.
Berawal dari pemahaman as-Sanusi al-Kabir bahwa Islam itu satu tak terbatas
pada pemisahan antar Negara dan antar benua—pemahaman ini yang kemudian juga
dipegang oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afgan sebagai ajaran Pan
Islamisme—as-Sanusi selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain,
dari satu kota-ke kota dan dari satu Negara
ke Negara lain. Ia juga selalu dekat dengan tokoh siapapun baik pemuka
agama, Negara dan baik sekutu. Mengapa hal tersebut dilakukan? Pada dasarnya
semakin banyak melakukan kedekatan terhadap pemimpin daerah akan semakin
mempermudah jalan di daerah tersebut dan itu yang coba dirintis oleh as-Sanusi
dengan melakukan pendekatan terhadap penguasa agar kemudian dapat mendapat izin
mendirikan Zawiyat, dan mengenai dibangunya Zawiyat diberbagai Negara adalah
untuk merealisasikan Pan Islamisme.
Gerakan
as-Sanusiyah juga menerapkan system non blok ketika disuguhi dengan tawaran
untuk berkoalisi, as-Sanusiyah pernah menolak kedatangan Rohlfs dari rusia
menuju jagbub pada tahun 1876 yang disinyalir memiliki maksud politik,
as-Sanusiyah juga pernah menolak tawaran mahdi dari Sudan yang mengutus Thohir
Wad-Ishaq yang membawa surat berisi permintaan pengakuan untuk mendukung
terpilihnya Mahdi Sudan menjadi Kholifah ke empat dari pemimpin Sudan. as-Sanusiyah
juga menolak utusan generasi kedua Mahdi Sudan yakni at-Ta’aysi. Sejarah juga
mencatat penolakan as-Sanusiyah terhadap Urabi Pasya pemimpin nasionalis dan
revolusi Mesir untuk mengusir penjajah. Berbagai penolakan ini menunjukan
posisi as-Sanusiyah yang ingin netrlal walaupun harus berteman dengan penjajah.
Pada
akhir masa kejayaan gerakan ini, kekonsistenan akan sikap netral ini tidak
menuai hasil, pada akhirnya—walau telah berusaha bersikap menghindari perang dengan sekutu—peperangan fisik tak
terbendungkan lagi dengan sekutu yang mengakibatkan kekalahan as-Sanusiyah di Libia ketika berhadapan
dengan Itali dan di Mesir oleh Inggris.
C. GERAKAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Toriqot as-Sanusiyah merupakan Thoriqoh
Dakwah (Missionary), tapi apa yang diajarkanya tidak melulu bersifat
keagamaan dalam thoriqot ini para pengikutnya diajarkan hidup mandiri dan
bekerja keras.
Di Jagbub terdapat zawiyah yang merupakan
karya al-Mahdi al-Kabir, di Kufro dan Qiru juga terdapat zawiyah yang merupakan
karya puteranya al-Mahdi. Zawiyah-zawiyah yang didirikan di beberapa tempat sangat
berpengaruh terhadap perkembangan sosial kemasyarakatan dan ekonomi penduduk
setempat. banyak lahan yang dulunya tandus kemudian karena didirikan Zawiyat
yang berubah menjadi lahan subur dengan berbagai tanaman serta tumbuhan yang
dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, hal ini karna pengelolahan
sistem pengairan yang baik oleh as-Sanusiyah seperti di Firafra yang dulunya
tandus berubah menjadi suatu oasis baru di tengah padang pasir.
Di Zawiyah para pengikut as-Sanusi
diajari kerajinan tangan dan berbagai keterampilan seperti membikin karpet,
patri, bangunan, menenun, menyablon, menjilid buku, membikin tikar, dan lain-lain,
bahkan menurut Ahmad Syarif di Jagbub terdapat tukang yang pandai membuat
senjata api. Zawiyah juga kerap dikunjungi oleh para saudagar yang berdagang
menjual apapun untuk ditukar dengan peralatan dan hasil tanah zawiyah.
Di Zawiyah didirikan Universitas dan
perpustakaan dan dengan program ini masyarakat badui merasakan terangnya ilmu
pengetahuan dan kerohanian yang dipandu oleh ulama terkemuka. Para santri
belajar dengan selalu diberikan asupan motivasi dari guru-gurunya. Mereka
diajari kerjakeras dan tidak mengharap bantuan orang lain. Sekolah-sekolah yang
didirikan di zawiyat memberikan makanan, tempat tinggal, dan pakaian yang
layak, pada pagi hari mereka diberi kurma dan susu, pada siang hari mereka
mendapat hidangan roti dan sop, dan ketika sore diberikan teh. Setiap jum’at
mereka diberi daging. setiap tahun para santri akan mendapat dua baju, dua
kopiah, dua celana kombor, dua pasang sepatu, dan mendapat jubah bulu dua tahun
sekali.
Hampir tidak pernah ada hari-hari sepi
di zawiyah, selalu saja ada yang dikerjakan disana, menjadikan masyarakatnya tersugesti untuk
bekerja keras karna dipengaruhi oleh lingkungan. dalam zawiyah akan ditemukan
para santri yang hilirmudik mengaji, di lain sudut ada para pengikut yang
bekerja membuat kerajinan-kerajinan, dan pada sudut lain juga terdapat
masyarakat yang mengolah tanah serta tak luput juga suasana yang di tambah
sejuk dengan zikir yang selalu berkumandang dari masjid. Keharmonian ini sudah
banyak dirasakan oleh beberapa tokoh yang berkunjung ke zawiyah-zawiyah seperti
Ahmad Muhammad Husnaini pada tahun 1922 yang kemudian menulis buku berjudul The
lost Oasis dan juga pada tahun 1920 kufra dikunjungi Rosita Forbes yang
kemudian menulis The secret of Sahara.
BAB III
PENUTUP
Gerakan
as-Sanusiyah telah menjadi warna tersendiri dalam corak pembaharuan islam,
banyak hal yang dapat diteladani dari gerakan ini yang tidak dapat kita
kesampingkan begitu saja dan mungkin bisa kita aktualisasikan dalam keseharian
kita, walau pun kita diberi kebebasan untuk memilih jalur hidup kita
sendiri-sendiri tentang aqidah yang kita imani namun walau pun berbeda tatacara
beragama dengan mereka patutlah kita mencontoh semangat yang orientasinya tetap
sama, yakni islam.
Sejarah
telah mencatat tentang nafas gerakan ini yang menjunjung tinggi nilai universal
baik nilai keagamaan maupun nilai sosial dan nilai ekonomi. Nilai keagamaan
mereka tuangkan dalam zikir, nilai sosial mereka hembuskan dengan kekeluargaan
dan kebersamaan sebagai saudara, dan nilai ekonomi mereka tumbuhkan melalui
etos kerja dalam mencari ma’isyat fi al-ardh.
Terakhir,
tentunya banyak kekurangaan di sana-sini yang para pembaca sekalian temukan,
baik segi sistematika, penulisan, maupun segi isi makalah itu sendiri, maka
kami selaku pemakalah yang merupakan manusia biasa yang juga bisa terserang
ngantuk atau terpengaruh emosi saat melakukan penulisan maka atas itu semua
kami minta maaf sebesar-besarnya. Dan kami juga mengharap kritik maupun saran
yang membangun dari para pembaca sekalian. Trimakasih, Wassalamu alaikum….
DAFTAR PUSTAKA
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah,
Jogjakarta: Djambatan, 1995..
Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
[1] Ali, Mukti.
Alam Pikiran Islam Modern Di Timur Tengah, Jogjakarta: Djambatan, 1995.
Hlm. 67
[2] Seorang
malikiyah yang menjadi ulama’ di al-azhar kairo mesir
[3] Tempat
kegiatan yang menjadi pusat pendidikan, dakwah, markas, dan juga tempat yang
menjadi pusat pengaturan pergerakan.
Gerakan
toriqot as-Sanusiyah memiliki beberapa zawiyat yang didalamnya terdapat
pabrik-pabrik guna memebuhi kebutuhan perekonomian gerakanya. Di tempat itu
juga terdapat mesjid yang menjadi sarana dakwah dan universitas yang di damping
pesabtren sebagai tempat pengkaderan.
[4] Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern Di
Timur Tengah, Jogjakarta: Djambatan, 1995. Hlm. 78-79
[5] Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern Di
Timur Tengah, Jogjakarta: Djambatan, 1995. Hlm. 82
[6] Seperti dijelaskan di atas bahwa Attaturk atau bapak
pembaharu di Turki yakni Musthofa kemal tidak mengizinkan as-Syarif untuk
berada di Turki karna diduga as-syarif condong pada keluarga ottoman, apa
sebenarnya yang terjadi sehingga seolah-olah otoritas di Turki pacah? Berawal
dari bergulirnya perang dunia ke I, kekuasaan Turki terancam dengan serangan sekutu,
dari sini muncul tokoh yang sangat berpengaruh yang telah menyelamatkan Turki
selatan dari serangan sekutu yakni Musthofa Kemal. Dia membentuk kekuasaan yang
baru dan menentang pemerintahan pusat yang berada di Istambul, hal ini ia
lakukan bukan karena haus kekuasaan, akan tetapi memang pemerintah pusatlah
yang banyak memberi kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan nasional
Turki, sultan di Istambul telah berada dibawah kekuasaan sekutu dan harus
menuruti kehendak mereka. Dengan ditandatanganinya perjanjian Lausane maka
pemerintahan Mushthofa Kemal diakui dunia internasional dan ibukota di Istambul
dipindah ke ankara. (Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Jakarta:
Bulan Bintang. 1975. Hlm. 137-138.)
No comments:
Post a Comment