Oleh:
Muhammad Barir*
- BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN1
Fazlur Rahman
lahir di Hazarah di Barat laut negara Pakistan. Fazlur Rahman lahir
pada hari minggu, 21 September 1919, tahun ini menarik karena
bertepatan dengan tahun-tahun kebangktan kesetaraan dengan lahirnya
ILO (Internationa
Labour Organization).
Tempat lahir Fazlur Rahman saat itu merupakan tempat yang cukup
strategis bagi perkembangan Pemikiran Islam, karena pada masa-masa
itu bermunculan tokoh-tokoh sentral seperti Syah Waliyullah sampai
Muhammad Iqbal. Mengenai pakistan sendiri menjadi negara yang
berdaulat pada 14 Agustus 1947.
Keluarga Fazlur
Rahman sangat berperan penting terhadap perkembanganya. Ayahnya yang
bernama Maulana Syahab merupakan seorang ulama tradisionalis, namun
berbeda dengan ulama lainya yang saat itu berfikiran konservatif,
Maulana Syahab menunjukan sikap terbukanya dengan mau menerima
pendidikan modern yang dianggap oleh ulama sezamanya sebagai hal yang
dapat meracuni moral dan keimanan.
Pendidikan Fazlur
Rahman melalui berbagai jenjang yang ia lalui baik di tanah lahirnya
maupun di pelosok negeri lain. Pada mulanya, Fazlur Rahman belajar
langsung dari ayahnya dalam ilmu agama seperti menghafal al-Qur’an
Fikih dan lain sebagainya hingga pada usia 14 tahun ia menjalani
pendidikan lanjutan di Lahore pada tahun 1933. Setelah itu ia mulai
merasakan pendidikan tinggi di Punjab Unversity, di perguruan tinggi
ini ia mengambil sastra Arab dan berhasil meraih gelar BA pada tahun
1940. Tidak puas dengan gelar tersebut, ia juga berhasil meraih gelar
Master di Universitas yang sama. Tidak berhenti sampai di sini pada
akhirnya ia memutuskan sesuatu yang tidak pernah difikirkan oleh
kebanyakan orang saat itu—yakni karena menganggap Barat adalah
kafir—yakni ia memilih Inggris sebagai negara berikutnya yang
menjadi tujuan ia menuntut ilmu. Ia berhasil masuk Oxford University
pada tahun 1946 dan menyandang gelar P.hD dalam bidang sastra pada
tahun 1950. Waktu studi ia gunakan untuk mendalami bahasa asing
seperti Perancis, Latin, Yunani, Jerman dan sebagainya.
Masa-masa
berikutnya adalah masa-masa membangun pengalamannya sebagai pengajar,
ia membuktikan jerih payahnya dengan berkesempatan menjadi Dosen
bahasa Persia dan filsafat di Durhem Unifersity pada tahun 1950-1958.
Kemudian ia beralih ke McGill University sebagai
Associate Professor
dalam Islamic
Studies.
Hal ini ia dapatkan berkat keuletanya dalam melakukan kajian islam
progressif dengan berani mengambil sikap bertolak dengan kebanyakan
muslim saat itu yang lebih konservatif.
Situasi negerinya
yang dulu terkesan konservatif pada akhirnya berubah ke arah modern
setelah tapuk pemerintahan jatuh ke tangan Ayyub Khan, oleh karena
hal tersebut, ia merasa terpanggil untuk turut membenahi negerinya.
Di Negaranya ia langsung ditunjuk sebagai direktur lembaga riset
Islam selama satu periode mulai dari tahun 1961-1968. Kedudukan
tersebut ia gunakan untuk merintis terbitnya Journal
of Islamic Studies
yang menjadi wadah gagasan islam.
Masa-masa Rahman
tidak sepenuhnya dilalui dengan tenang. Pada akhirnya ia dihadapkan
dengan permasalahan, yang bermula dari diterjemahkan karyanya
bertajuk “Islam” kedalam bahasa Urdu dan diterbitkan di majalah
Fikr-u-Nazr yang di dalamnya Rahman berargumen bahwa “al-Qur’an
dalam satu sisi merupakan wahyu tuhan namun dalam sisi lain juga
melalui lisan Nabi”. Hal tersebut sontak membuat kemelut di
Negerinya dan ia pun memutuskan untuk pergi ke Inggris.
Pada tahun 1970 ia
berangkat ke Chicago sebagai kelanjutan dari kisahnya. Di sana ia
masuk di Universitas of Chicago dan langsung dinobatkan sebagai guru
besar di Universitas tersebut dalam bidang Pemikiran Islam. Di sini
ia menggoreskan sejarah dengan menjadi muslim pertama yang berhasil
meraih medali Giorgio
Levi Della Veda yang
melambangkan puncak prestasi dibidang peradaban Islam dari Gustave e
Von Grunebaum Center for Near Eastern Studies UCLA. 18 tahun semenjak
kepergianya ke Chicago ia gunakan hidupnya sebagai pemikir. Di
Chicago ia habiskan masa hidupnya dengan mengembangkan pemikiran
Islam Reformatif dan ia pun berkesudahan hayat pada 26 Juli 1988.
- LEGAL SPESIFIK DAN IDEAL MORAL
Dalam al-Qur’an
hal yang paling dicari oleh interpretator saat ini adalah makna
hakiki yang dibutuhkan dalam penyelesaian problem saat ini. Mereka
meyakini bahwa semboyan al-Qur’an sebagai kitab yang tidak lekang
dimakan zaman adalah benar rahmah
li
al-
a>lami>n,
yang
sha>lih
li kulli zama>n wa maka>n. Namun
yang menjadi problematika adalah ternyata hukum tekstual dalam
al-Quran saat ini sudah mulai luntur dengan banyaknya aturan hukum
yang bahkan sama sekali berbeda dengan keharusan hukum yang telah
ditentukan oleh Nas}.
Dari sini pemikir
kontemporer mencoba memahami bahwa memang hukum legal spesifik
sebagaimana hukum yang ada pada teks telah jarang dipakai, karena
perkembangan zaman yang tidak bisa menolak kehidupan heterogenous
yang mengumpulkan manusia dari berbagai faham dan keyakinan, namun
sekalipun hukum legal spesifik akan sulit diterima, mereka
beranggapan bahwa nilai substansial yakni deal moral al-Qur’an
masih dapat diterapkan pada saat ini.
Setiap hukum
memiliki alasan yang mengakibatkan hukum itu diciptakan. Menurut
asyatibi dinamakan dengan ma>qas}id
al-Syari>’ah.2
Hal
ini yang juga dinamakan dan dibangun ulang oleh Fazlur Rahman dengan
istilah Ideal moral. Ideal moral yang menjadi makna-cum-magz}a
ini merupakan substansi lahirnya suatu hukum legal formal. Dari
adanya hal ini menunjukan bahwa sanggahan bahwa al-Qur’an tidak
relevan dengan konteks kekinian adalah keliru. Al-Qur’an tetaplah
sesuai dengan nilai kmanusiaan, tanpa terbatas tempat dan masa.
- SUBJEKTIFITAS DAN OBJEKTIFITAS: G. GADAMER DAN E. BETTI
Salah sau hal
penting dalam melakukan interpretasi adalah mampu mengungkap
sebagaimana kenyataan. Dari pernyataan ini kemudian muncul dua
pandangan, menurut E. Betti bahwa dalam melakukan interpretasi
terhadap sesuatu pemikiran harus didasari dengan objektif tanpa
mencampuri dengan kepentingan interpreter, hal ini ia ungkapkan
dengan:”
the
forms hat
we
try to understand and interpret now
are
to be led back to the creative mind”,3
“bentuk-bentuk
yang coba kita fahami dan tafsirkan harus dibawa kembali pada pikiran
yang menciptakanya.”
Di luar pendapat
E. Betti ini, H. G. Gadamer berpandangan berbeda dengan menyatakan
bahwa tidak mungkin seseorang bisa berpikiran objektif mengingat
seorang interpreter pasti telah memiliki pra pemahaman yang meliputi
gagasan-gagasan.4
Tanpa adanya pra pemahaman ini, seorang interpreter tidak akan mampu
memahami suatu pemikiran, dan ketika proses memahami inilah akan
melebur pemahaman interpreter dengan pemahaman pencipta pemikiran.
- DOUBLE MOVEMENT
Fazlur Rahaman menyatakan bahwa untuk
memahami dan menafsiri al-Quran, dibutuhkan kajian terhadap sisi
historis dengan menyajikan problem kekinian ke konteks turunya
al-Qur’an. Hal tersebut sebagaimana pernyataanya: The
process of interpretation proposed here consists of a double
movement, from the present situation to Qur’anic times, then back
to the present. “proses
memahami al-Qur’an yang dimaksud di sini terdiri dari gerakan
ganda, dari situsi saat ini menuju pada masa al-Qur’an, kemudian
kembali pada masa saat ini”.5
Pada tahap awal, diperlukan kejelian
dalam mengungkap peristiwa masa rasulullah kemudian mencari bagaimana
peristiwa itu “direspon” oleh al-Quran. Pada tahap kedua setelah
respon al-Quran ditemukan, kemudian respon tersebut dicari nilai
ideal moralnya dan ditarik kembali pada konteks kekinian untuk
ditubuhkan pada masa kini (embodied). Lahirnya metode ini, dapat
terlihat jelas dipengaruhi pandangan Fazlur Rahman tentang penyatuan
tradisi (Turos|)
dengan pembaharuan (Tajdi>d).
Hal
ini juga menunjukan pengaruh Objektifisme E. Betti.
Pada tahap awal,
interpretasi al-Qur’an diiringi dengan memahami konteks mikro dan
makro. Konteks mikro adalah sebab turun yang memiliki ketersinggungan
dengan turunya suatu ayat, sedangkan konteks mikro adalah kondisi
sosial budaya di sekitar Arab meliputi situasi budaya, pola
interaksi, geografis, politik, dan konteks lainya yang mengitari
turunya al-Qur’an.
Dari sini, metode
Fazlur Rahman ini nampak terpengaruh oleh Syah Waliyullah ad-Dahlawi
dalam karyanya Fawz
al-Kabi>r
fi>
Us}ul
at-Tafsir. Dalam
karya ini, Syah Waliyulah menyebutkan bahwa dalam penafsiran
al-Qur’an terdapat sebab turun khusus dan sebab turun umum.6
Amin Abdullah, juga tidak kalah dengan membuat istilah asba>b
an-nuzu>l
jadid
dengan asba>b
an-nuzu>l
qadi>m.7
Term-term tersebut pada dasarnya sama dalam menyebutkan urgensi suatu
konteks sosial budaya yang dulu banyak dilupakan.
Pada gerak kedua,
yakni tahap menarik nilai ideal moral pada masa kekinian, nilai Ideal
moral dirumuskan kemudian dicari nilai relevansinya di masa sekarang
apakah dapat memberikan konstribusi terhadap masalah?. Setelah
melakukan relevansi, tahap berikutnya yang dilakukan dalam melakukan
kontekstualisasi saat ini adalah mencari kemungkinan bahwa nilai
ideal moral dapat dibumikan pada masyarakat. Dalam kontekstualisasi
tahapan yang sulit adalah penyesuaian budaya, dimana nilai idel
terkadang sulit diterima karena berbenturan dengan budaya tertentu,
seringkali sikap terburu-buru mengantarkan seorang pemikir seperti
Syahrur harus ditolak oleh komunitas tertentu karena hasil
pemikiranya dianggap tidak relevan oleh konteks tertentu. Hal
tersebut juga dialami Nasr Hamed bahkan ia sampai harus menyelamatkan
diri ke Belanda agar lolos dari hukuman mati dengan kompensasi
mengabdi di Universitas Leiden.8
Nilai ideal dalam
al-Qur’an tentang suatu hal tidak bisa tidak harus berhadapan
dengan budaya tertentu. Walaupun tujuan awal nilai ideal adalah nilai
universal al-Qur’an tentang kemanusiaan dan kedamaian, namun
terkadang nilai ini pula yang sering dianggap bertentangan dengan
nilai kemanusiaan. Diluar pernyataan E. Betti bahwa dalam mengungkap
gagasan tertentu, seseorang harus bisa membawa kembali pada pikiran
yang menciptakanya, namun kita tidaklah benar-benar tahu bagaimana
pikiran yang menciptakanya karena kita tidak bisa menjadi Dia. Dari
hal ini menunjukan bahwa kebnaran yang dipikirkan manusia bersifat
relativ, kebenaran yang absolut hanyalah milik tuhan.
1
Lihat: Mawardi,
“Hermeneutika Fazlur Rahman: Teori Double
Movement”, dalam: Sahiron
Syamsuddin, Hermeneutika al-Quran dan
Hadis (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010),
Hlm. 60.
6
Mawardi, “Hermeneutika Fazlur Rahman: Teori
Double Movement”,
dalam: Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika
al-Quran dan Hadis (Yogyakarta: Elsaq
Press, 2010), Hlm. 75.
7
Amin Abdullah,
asba>b
an-nuzu>l
jadid dengan
asba>b
an-nuzu>l
qadi>m
dalam: seminar
nasional,
“in search
for Contemporary Methods of Qur’anic Interpretation”
Yogyakarta: 25 Februari 2012.
8
Lihat Tholhatul Khoir
dan Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam
Berbagai Pembacaan Kontemporer
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 129.
sewa video liputan pemakaman
ReplyDeletelowongan caregiver jepang
info magang jepang
instalasi cctv jaktim
pertanian dijepang
pendaftaran sertifikasi jlpt bahasa jepang
Harga sewa Balai Pertemuan Bukit Permai Cibubur
ReplyDeleteDaftar gedung pernikahan bekasi