Oleh: Muhammad Barir*
Kesehatan di Indonesia masih memiliki
banyak permasalahan, salah satunya mengenai penanganannya yang tidak
merata. Rumah sakit, peralatan medis, obat-obatan, dan tenaga medis
masih menjadi hal yang langka di beberapa tempat. Banyak wilayah di
Indonesia yang bahkan tidak memiliki puskesmas. Koran Kompas juni
2004 menggambarkan betapa sulitnya di desa Kertajaya, Simpenan,
Sukabumi mendapatkan penanganan medis ketika terjadi wabah malaria
tahun 2004. Rumah Sakit terdekat berjarak 20 KM namun akses ke sana
bermasalah karena akses jalan sulit di lewati kendaraan roda empat,
bahkan di beberapa desa lain akses keluar-masuk hanya bisa di lalui
oleh perahu. Karena kondisi inilah,
penduduk memilih enggan pergi ke dokter.1
Kesulitan akses ini sebenarnya merupakan tanggung jawab pemerintah.
Pembangunan dan pemajuan tehnologi tidak berhasil dilaksanakan oleh
pemerintah padahal Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa, namun
rakyatnya mengalami kemiskinan yang luar biasa.
Peran aktif pemerintah terhadap dunia
medis juga perlu diwujudkan dengan apresiasi pemerintah terhadap
dokter puskesmas. Hal inilah yang mengakibatkan bagi dokter
professional akan lebih memilih bekerja di rumah sakit kota dan
enggan bekerja di desa, padahal kasus riwayat penyakit di desa
tidaklah kalah dengan di kota. Sudah saatnya digalakan desentralisasi
agar pelayanan medis bisa merata. Bagi dokter dan pengelola rumah
sakit, sudah seharusnya menjadikan pertolongan dan keselamatan
masyarakat menjadi priyoritas. Dalam penelitian tanggapan publik yang
dilakukan republika 1997 menyimpulkan bahwa rumah sakit berubah
menjadi makin komersil dan hilang sisi sosialnya.2
Bahkan pada tahun 2013 seorang balita harus diusir dari rumah sakit
dengan alasan ruangan penuh, dan berkat kasusnya diangkat ke media,
pihak rumah sakit yang bersangkutan mau menerima balita tersebut.
Dari kesemua permasalahan di atas,
pemerintah memiliki banyak tugas kedepanya, terutama dalam
merealisasikan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, bab 2, pasal 2 tentang
asas dan tujuan kesehatan bahwa: “Pembangunan kesehatan
diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan,
manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban,
keadilan, gender dan non diskriminatif dan norma-norma agama”.
Realisasi asas dan tujuan di atas menjadi penting mengingat masih
banyaknya aktifitas penanganan medis yang menyimpang dari tujuan
asalnya dengan menjadikan kesehatan sebagai lahan komersil. Jangan
sampai butir kalimat-kalimat dalam asas dan tujuan kesehatan hanya
melekat pada lembaran kertas, namun juga harus dapat direalisasikan
dalam institusi-institusi kesehatan.
Kesehatan merupakan anugerah tuhan
dan siapa pun berhak merasakanya. Untuk itu, sudah sewajarnya
kesehatan tidak hanya diperuntukan bagi orang kaya, namun untuk
semua. Bagi orang yang berlebih membantu mereka yang kekurangan.
Pemerintah dan dinas kesehatan memiliki tugas berikutnya dalam
mensukseskan program BPJS sebagai jaminan kesehatan dengan
mengumpulkan dana dari masyarakat yang berkecukupan dalam membantu
biaya kesehatan masyarakat yang kekurangan. Kesehatan merupakan rizki
untuk itu, kesehatan juga harus dibagi agar bisa dirasakan oleh
semua. Hal ini sebagaimana dalam al-Qur’an:
“Dan Allah
melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal
rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau
memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar
mereka sama
(merasakan)
rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?”3
QS. An-Nahl
(16):71
Ayat ini pada awalnya menggambarkan
bahwa seorang budak pun juga
berhak untuk
merasakan rizki Allah, begitu pula bagi orang miskin yang tidak
memiliki uang, maka tugas pemerintah dan orang yang memiliki
kelebihan finansial untuk membantunya agar bisa turut merasakan
kesehatan. Dalam harta seorang manusia terdapat harta yang menjadi
hak saudaranya. Penumpukan kekayaan dilarang oleh al-Qur’an karena
kelebihan harta adalah untuk menutupi kekurangan yang lain. Hal
tersebut sebagaimana QS. Adz-Dzariyat (51): 19 telah jelas
dipaparkan: “Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian.”,
inilah
yang menjadikan penumpukan kekayaan merupakan hal yang ditentang oleh
agama. Padahal memberi orang lain akan berdampak positif yang
kembalinya ialah kepada sang pemberi. Dalam
pembahasan terdahulu telah dijelaskan mengenai penumpukan kekayaan
hanya akan berdampak negatif karena akan menciptakan ketimpangan
sosial. Ketimpangan sosial ini pada akhirnya mengakibatan
ketidakseimbangan kolektif. ketidakseimbangan inilah yang disebut
Asghar dengan istilah “strata
sosio-ekonomi yang menindas”.
Orang yang menumpuk kekayaan tidaklah ia akan merasakan kenikmatan,
namun sebaliknya, hal tersebut sebagaimana dalam
surat at-Taubah (9): 34-35:
وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ
وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
يَوْمَ
يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ
فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ
وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ
لأنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ
تَكْنِزُونَ
dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya
pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka
akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu
dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung
dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah
harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah
sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.
Dalam
pembahasan sebelumnya terdapat kisah teladan yang ditunjukan oleh
sahabat Ans}ar
saat Islam mengalami masa-masa sulit, Rasulullah ketika itu harus
hijrah ke Madinah sebagai cara untuk menyelamatkan umatnya, saat itu,
terlihat jelas betapa pentingnya arti memberi dan menerima tidak
hanya dalam penyetaraan materi, namun juga dalam penyatuan rasa
saling memiliki antar sahabat Nabi. Hal tersebut tergambar dari
keiklasan Sabat Ans}ar
yang mau memberi kepada sahabat Muhajjiri>n
padahal mereka tahu bahwa sahabat
Muhajjiri>n
ketika itu tidak akan bisa membalas kebaikan mereka secara materi
karena mereka tidak membawa sepeser apapun ketika pergi dari Mekah.4
Memberi
tanpa ingin balas budi dari yang diberi inilah yang menjadikan tolok
ukur kebesaran jiwa sahabat
Ans}ar.
Selanjutnya,
menurut Farid Esack, menyatakan bahwa kemampuan untuk selalu siap
membantu orang lain pada saat orang lain tidak pernah bisa berbuat
sebaliknya pada kita, itulah jalan cinta. Seorang sahabat Farid Esack
yang bernama Ashiek menyatakan bahwa pepohonan mengembangkan
cabang-cabangnya untuk tetap bisa bertahan hidup, namun suatu ketika
seseorang datang dan berteduh di bawah pohon tersebut. Pepohonan
telah memberikan keteduhan terhadap seseorang tersebut, padahal
pepohonan itu mengembangkan cabang dan dahan dalam proses perimbunan
tidak bermaksud menaungi seseorang tadi, namun ia malakukan hal
demikian adalah untuk dirinya sendiri.5
Hal ini menggambarkan bahwa seorang manusia yang berbuat kebaikan
kepada sesamanya sebenarnya hal itu adalah akan kembali pada dirinya
sendiri.
Kisah inspiratif lain datang dari
seorang tamu rasulullah yang kelaparan dan rasulullah sendiri tidak
memiliki apapun untuk dimakan peristiwa ini terekam dalam S}ahih
Bukhari no. 3514:
Pada suatu ketika datanglah seorang
laki-laki kepada Nabi SAW
lalu beliau datangi istri-istri beliau. Para istri beliau berkata;
"Kami tidak punya apa-apa selain air". Maka kemudian
Rasulullah SAW
berkata kepada orang banyak: "Siapakah yang mau mengajak atau
menjamu orang ini?". Maka seorang laki-laki dari Ans}ar
berkata; "Aku".
Sahabat Ans}ar
itu pulang bersama laki-laki tadi menemui istrinya lalu berkata;
"Muliakanlah tamu SAW
ini". Istrinya berkata; "Kita tidak memiliki apa-apa
kecuali sepotong roti untuk anakku". Sahabat Ans}ar
itu berkata; “Suguhkanlah makanan kamu itu lalu matikanlah lampu
dan tidurkanlah anakmu". Ketika mereka hendak menikmati makan
malam, maka istrinya menyuguhkan makanan itu lalu mematikan lampu dan
menidurkan anaknya kemudian dia berdiri seakan hendak memperbaiki
lampunya, lalu dimatikannya kembali. Suami-istri hanya
menggerak-gerakkan mulutnya (seperti mengunyah sesuatu) seolah
keduanya ikut menikmati hidangan. Kemudian keduanya tidur dalam
keadaan lapar karena tidak makan malam.
Ketika pagi harinya, pasangan suami
istri itu menemui Rasulullah SAW.
Maka beliau berkata: "Malam ini Allah tertawa atau
terkagum-kagum karena perbuatan kalian berdua". Maka kemudian
Allah menurunkan firman-Nya dalam QS al-Hasyr ayat 9 yang artinya:
"Dan mereka lebih mengutamakan orang lain (Muhajirin) dari pada
diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka
berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
itulah orang-orang yang beruntung".6
Hadis di atas menjadi sesuatu yang
bermakna pada kita bahwa memberi tidaklah menunggu pada saat kita
memiliki, namun hal itu bisa dilakukan pada saat kita sedang
mengalami kekurangan.
Berbagi merupakan bentuk cinta, bukan pengorbanan. Karena pengorbanan
mengindikasikan keberatan hati, sedangkan cinta mengindikasikan
kerelaan hati. Cinta dalam memberi tidaklah karena bentuk fisik dari
orang yang menerima, namun cinta dalam memberi berasal dari
kecantikan ruhani orang yang memberi, memberi tidak hanya memberi
material namun juga memberi dengan berbagi kesehatan bagi mereka yang
sakit.
No comments:
Post a Comment