Oleh: Muhammad Barir*
Kondisi kemajemukan atau pluralitas
merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Indonesia—dulu dikenal
dengan istilah Nusantara—sebagai negara kepulauan memang sejak awal
sudah menjadi negara yang terdiri dari multi ras, multi etnis, multi
agama, dan multi budaya. Bangsa Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa
yang majmuk dan heterogen1
baik dari dimensi struktur sosial, ekonomi, maupun, diferensiasi
ikatan primordial seperti: agama, ras, suku, dan lain-lain.
Heterogenitas sebagai kenyataan
sejarah telah berlangsung selama ratusan tahun. Dalam kurun waktu
itu, penduduk Indonesia berinteraksi melalui mobilitas sosial,
migrasi, perdagangan, sampai peperangan—peperangan yang terjadi di
indonesia terjadi selain diawali dari peperangan internal antar
kerajaan pribumi, juga diikuti dengan peperangan melawan ekspansi
Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang pernah menjajah Indonesia
sebelum pada akhirnya merdeka pada tahun 1945—yang pernah
dialaminya. Keragaman yang ada di Nusantara, terutama yang bercirikan
primordialistik mempunyai wajah ganda, terkadang ia menjadi alasan
adanya konflik, namun sekaligus
ia menjadi kekayaan khazanah bangsa.2
Hal ini menjadikan Indonesia dengan beragam kebudayaannya sangat
menarik menjadi kajian berbagai disiplin ilmu. Semenjak dulu sampai
saat ini berbagai pakar sosiolog dan antropolog, datang dari berbagai
penjuru dunia untuk mencermati pola hidup manusia Nusantara.
Kemajemukan bangsa Indonesia diilhami
baik oleh kondisi geografis maupun
kondisi kebudayaannya. Secara geografis, Indonesia terdiri atas
13.667 pulau baik yang dihuni maupun yang tidak dihuni. Dari segi
jumlah warga negara, pada tahun 2000 saja Indonesia sudah memiliki
jumlah total penduduk 200.092.238 jiwa. Dari segi etnis, di Indonesia
terdapat sekitar 358 suku bangsa dan 200 sub suku bangsa. Dari segi
pemeluk agama, terdapat beberapa agama yang diakui pemerintah seprti
Islam 88,1 %, Kristen dan Katolik sebanyak 7,89 %, hindu 2,5 %, Budha
1 % dan yang lain 1 %. Perhitungan ini merupakan perhitungan kasar,
karena diluar itu agama lainya seperti konghucu baru-baru ini
mendapat pengakuan berkat gagasan presiden keempat Abdurrahman Wahid
atau Gus Dur. Dari segi latar belakang kultural, Indonesia dibangun
berdasarkan landasan kultural asli nusantara, Hindu, Islam, Kristen,
dan juga Barat modern.3
Namun di sisi lain diskriminasi
menjadi salah satu permasalahan yang tidak ada habisnya, mulai dari
sisi politik, ekonomi, maupun ras. Watak diskriminatif terjadi mulai
di lingkup masyarakat terkecil seperti masyarakat desa, sampai juga
terjadi pada tataran lingkup penguasa. Berbagai ketimpangan di
Indonesia mengantarkannya menjadi salah satu negara yang terkorup.4
Petinggi bangsa hanya berusaha membangun kesejahteraan diri
sendiri. Status
Indonesia sebagai salah satu negara dengan sumber daya alam yang
terkaya pun berbanding terbalik dengan kondisi warga negaranya.
2
Hesti Armiwulan Sochmawardiyah, Diskriminasi
Rasial dalam Hukum HAM (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2013). Hlm. 75.
3
Hesti Armiwulan Sochmawardiyah, Diskriminasi
Rasial dalam Hukum HAM (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2013). Hlm. 60.
4
Sebagaimana riset yang dilakukan oleh lembaga
survey Internasional
Political
and
Economic
Risk
Consultance,
Indonesia merupakan negara terkorup di Asia diikuti India dan
Vietnam. Lihat: Nur Cholis Setiawan, Pribumisasi
al-Quran
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012), hlm.158.
No comments:
Post a Comment