Oleh: Muhammad Barir*
Kesetaraan Perlindungan adalah hak
seseorang atau kelompok untuk mendapatkan keamanan dan ketenteraman
dalam kehidupanya serta penjagaan dari tindakan yang tidak manusiawi.
Tiap manusia harus saling menghargai kedamaian. Semua berhak mendapat
ketenteraman baik kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas.
Adanya permasalahan bukan berarti dijadikan ajang bagi pihak
mayoritas untuk sewenang-wenang menghakimi pihak yang minoritas.
Islam sendiri menyatakan sebagai agama pembawa rahmat seluruh alam.
Hal ini dilakukan Islam dengan mengusung metode dakwah yang halus
sebagaimana QS. An-Nah}l
(16): 125:
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk.”
Ayat ini mengajarkan kepada manusia
ketika berdakwah maupun ketika memiliki perbedaan untuk menyelesaikan
semuanya dengan jalan persahabatan dan persaudaraan. Inilah yang juga
mendasari pernyataan Abdurahman Wahid bahwa “berbeda itu tidak
musti bertentangan”, lebih lanjut ia mengungkapkan:
Asal pandangan
yang menganggap Islam sebagai cara hidup memiliki keungulan atas
cara-cara hidup lain, sebenarnya tidak salah. Setiap orang tentu
menganggap sistemnya sendiri yang benar. Karena itu perbedaan cara
hidup adalah sesuatu yang wajar. Ini termasuk dalam apa yang
dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân : “Dan telah Ku buat
kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar kalian saling
mengenal (QS al-Hujurat(49):13). Perbedaan pandangan atau pendapat
adalah sesuatu yang wajar bahkan akan memperkaya kehidupan kolektif
kita, sehingga tidak perlu ditakuti.1
Pemahaman dan kesadaran bahwa tiap
manusia setara dalam perbedaan menjadi kebutuhan manusia saat ini
yang hidup dalam
berbagai permasalahan
di dunia modern. Pergolakan dan tidak adanya perlindungan hanya akan
membuat masyarakat berada pada kegamangan dan keterpurukan. Semua ini
pada akhirnya hanya akan membuat kaum tertindas mencari jalan untuk
dapat melampiaskan semua keresahanya dalam ekspresi-ekspresi ekstrim
seperti terorisme, separatism, dan pemberontakan yang seringkali
terjadi. Munculnya akspresi ekstrim tersebut menjadi buah dari rasa
ketidakamanan sebagai kelompok yang tersisihkan. Machasin dalam
bukunya Islam
Dinamis, Islam Harmonis
menyatakan bahwa agama memang berdaya, tetapi dayanya ada di atas
luapan emosi. Emosi keagamaan menumpang pada luapan amarah yang
disebabkan oleh keirian, kemiskinan, ketimpangan ruang kehidupan, dan
kekecewaan-kekecewaan.2
Asumsi superioritas dan fanatisme
egois suatu kaum mayoritas terhadap kaum minoritas seringkali menjadi
buah diskriminasi. Kaum mayoritas sering kali memilih mendahulukan
kekerasan sebagai jalan dalam merespon perbedaan yang muncul,
sedangkan jalan lain seperti diskusi halus dan ajakan damai sering
hanya menjadi sesuatu yang tidak diperhitungkan dan bahkan tidak
pernah dipikirkan. Dalam beberapa kasus di Indonesia, kekerasan
dengan alasan perbedaan telah merenggut banyak kerugian, baik berupa
fisik, moral, maupun nyawa.
Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta
pada akhir tahun 2012 bertajuk “Agama, Kekerasan, dan Politik
Penodaan” menyatakan bahwa Harmoni
kemajemukan keyakinan di Indonesia akhir-akhir ini sering mengalami
ujian dengan munculnya sikap-sikap intoleran dari kelompok masyarakat
yang merasa mayoritas. Sikap intoleran ini seringkali ditunjukkan
dengan tindak kekerasan yang merenggut korban jiwa. Pemerintah yang
seharusnya berkewajiban memberikan perlindungan kepada mereka malah
cenderung apriori dan tidak adil dalam melihat suatu konflik yang
terjadi. Pemerintah sendiri tidak dapat berbuat banyak ketika
nilai-nilai kemanusiaan dilanggar dengan tumpahnya darah.
Kekerasan antar
kelompok di Indonesia harus diredupkan karena saat ini sudah mulai
bermunculan di permukaan. Zainal Abidin menyampaikan bahwa kekerasan
yang dialami komunitas Syiah di Sampang, Madura, telah terjadi sejak
tahun 1980. Rentetan kekerasan ini terus berlangsung sampai pada
akhirnya memuncak dengan tragedi kekerasan dan penyerangan pada
Agustus 2012 lalu yang memakan korban jiwa dan harta benda. Kekerasan
ini, sedikit atau banyak, termotivasi oleh pernyataan dari
tokoh-tokoh agama dengan bahasa agama. Selain didorong oleh motivasi
persaingan internal keluarga yang berbeda faham antara Rois (Sunni)
dan Tajul Muluk (Syiah), pemicu lainnya adalah fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Surabaya yang menyebutkan bahwa ajaran Syi’ah
sebagai sesat.
Zainal Abidin
menambahkan, secara umum, peristiwa kekerasan selama ini di berbagai
daerah di Indonesia adalah juga disebabkan oleh UU No. 1/PNPS/1965
yang sering dipahami dan ditafsirkan dengan tanpa memperhatikan
secara serius asas kebebasan berkeyakinan dan beragama, sebagaimana
dijamin oleh konstitusi. Kata sakti ”penodaan agama” dalam
undang-undang tersebut, yang juga dirujuk dalam KUHP pasal 156 a,
telah menjadi alat legitimasi untuk mengadili dan memenjarakan
orang-orang yang memiliki keyakinan dan penafsiran yang berbeda
dengan kelompok mainstream.
Akibatnya, menurut Zainal Abidin, batasan atau pengertian antara
perbedaan dengan penodaan menjadi kabur. Orang yang memiliki
perbedaan penafsiran agama dengan kelompok dominan akan dituduh
melakukan penodaan agama.3
Tindakan kekerasan yang
mengatasnamakan kelompok mayoritas atas nama agama seringkali malah
akan menciderai citra agama itu sendiri. Abdurrahman Wahid menyatakan
bahwa “agama
Islam selama ini telah menjadi korban dari sekian banyak anggapan”.
Hal ini dikarenakan tindak kekerasan yang dilakukan kelompok tertentu
sering kali mengatasnamakan agama. Padahal tidak semua pemeluk agama
islam seperti itu, bahkan malah Muslim toleran lebih banyak.
Kelompok garis keras
menurut jajang Jahroni bahkan tidak lebih dari 5% dari orang Islam di
Indonesia,4
namun adanya tindakan kelompok ini secara tidak langsung telah
mengeneralisasi aggapan publik bahwa Islam mengajarkan kekerasan. Hal
ini tentu sangat menodai citra Islam sebagai agama pembawa rahmat
seluruh alam. Islam tidak pernah mengajarkan tindak kekerasan. Bahkan
Islam sendiri ketika di Madinah menjadi agama yang memberi
perlindungan kepada masyarakat Yahudi dan bisa hidup berdampingan
dengan mereka.
Di Indonesia tragedi lainya juga
menggambarkan akan lemahnya perlindungan pemerintah terutama terhadap
kaum minoritas. Ketika terjadi kerusuhan 1998, terjadi pengrusahaan
milik warga tionghoa. Para gadis keturunan Tionghoa diperkosa dan
tokok-toko mereka dirusak. Bagi warga tionghoa, mereka memiliki dua
opsi, pertama adalah meninggalkan negara dan kedua adalah mereka
bersikap seolah pro-reformasi. Mereka yang masih bertahan di
Indonesia mencoreti tokok mereka dengan tulisan pro-reformasi. Saat
itu warga Tionghoa menganggap apa yang terjadi ini merupakan
kejahatan genosida.5
Tragedi lainya adalah tragedy Sambas
pada tahun 1999 yang melibatkan tiga etnis, yakni Melayu dan Dayak
melawan Madura. Dalam tragedi ini, bermula dari seorang warga etnis
Madura yang dianiyaya karena dianggap mencuri, kemudian beberapa hari
berikutnya, 200 orang dari etnis Madura melakukan aksi balas dendam
dengan menyerang etnis Melayu di suatu desa. Beberapa hari kemudian
etnis Melayu dengan dibantu Etnis Dayak membantai etnis Madura hingga
menewaskan 489 orang, 168 luka-luka, ribuan rumah dibakar, hingga
beberapa Masjid juga ikut dirusak. Beberapa orang dari etnis Madura
yang lolos dari pembantaian ini lari kehutan. Dari kasus ini, pada
tahun 2001 terjadi kasus lain, yakni tragedy Sampit. Pada tragedy
Sampit, 100 kepala orang Madura dipenggal. Dari sini, banyak persepsi
bahwa ritual klasik Dayak pembantaian kepala yang disebut ngayau
telah dibangkitkan
kembali.6
Jika dicermati, tragedi di atas
merupakan pengulangan kisah yang menjadi sebab turun QS.
Al-Hujurat (49):9. Dalam sebab turunya, terjadi pertikaian individu
antar pemuda dari dua golongan yang berbeda. Dari pertikaian individu
ini, kemudian karena merasa tidak puas, mereka yang bertengkar
mengerahkan dukungan kelompoknya yang lain hingga timbullah
pertikaian kolektiv. Hal ini menjadi perhatin bahwa jangan sampai
kepentingan individu terbawa dan sampai menciderai kepentingan
kolektif.
3
Zainal Abidin Bagir dkk,
“Politik Penodaan dalam Kasus Syi‘ah Sampang”, diselenggarakan
oleh CRCS Universitas Gadjhah Mada bersama Universitas Islam negeri
Yogyakarta, dalam diskusi publik, di University Club UGM Rabu,
31 Oktober 2012.
4
Abdurrahman Wahid, Islamku
Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The
Wahid Institute, 2006), hlm. 360. Lihat pula Acep Rustandi (ed.),
“Masa Depan Muslim Indonesia”, dalam CD. Wajah-Wajah
Muslim Indonesia, Media Alliansi
, 2004.
5
Hesti Armiwulan Sochmawardiyah, Diskriminasi
Rasial dalam Hukum HAM (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2013), Hlm. 284.
6
Hesti Armiwulan Sochmawardiyah, Diskriminasi
Rasial dalam Hukum HAM (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2013), Hlm. 286.
No comments:
Post a Comment