KILAS BALIK TRAGEDI MESUJI
Oleh: Muhammad Barir*
Semua manusia di mata hukum adalah
setara. Keadilan dalam institusi yudisial hukum sering disimbolkan
dengan timbangan yang artinya antara keadilan dan keseimbangan
merupakan dua hal yang saling melengkapi. Sedangkan simbol lain
adalah mata yang ditutup oleh kain yang artinya, dalam tegaknya
keadilan tidaklah melihat siapapun sosok yang diadili. Tanpa
kesetaraan, keadilan tidaklah dapat ditegakan, sehingga posisi
kesetaraan berada pada fondasi yang menyokong tegaknya keadilan.
Siapa pun berhak mendapat keadilan
dengan tidak dibenarkanya praktek apartheid dan diskriminasi dengan
alasan ekonomi maupun politik. Pemerintah wajib memberikan
fasilitas-fasilitas yang setara terhadap mereka yang tidak mampu dan
mereka yang tergolong dalam kelompok-kelompok minoritas. Bagi seorang
hakim maupun pengacara, mengadili menjadi kewajiban mereka
sebagaimana nilai universal dalam QS.
Al-Hujurat (49):9.1
Pengadilan merupakan wadah yang menampung segala permasalahan
masyarakat, namun pada kenyataanya, banyak masyarakat yang enggan
menggunakan wadah itu dan lebih memilih memendam-dalam permasalahan
hidupnya. Hal ini disebabkan di antaranya karena rasa
ketidakpercayaan dan persepsi bahwa pengadilan seringkali identik
dengan seorang
pemodal,
penguasa, dan pendukung mayoritas. Walaupun ada istilah berperkara
tanpa biaya (prodeo/
free of charge)
yang seolah pengadilan merupakan lembaga putih yang pro rakyat kecil,
namun kenyataanya rakyat kecil tak bermodal akan kesulitan jika
bersengketa dengan mereka yang memiliki modal.
Dalam beberapa peristiwa, penegakan
hukum menjadi momok tersendiri bagi rakyat ketika berhadapan dengan
pemodal. Rakyat yang bersengketa dengan pemodal akan kesulitan
mempertaruhkan nasibnya di muka hukum. Jika melihat beberapa kasus
sebagaimana dengan peristiwa sengketa lahan di Mesuji Lampung, yang
hingga tahun 2012 mendapat sorotan dari publik karena menelan banyak
korban jiwa dan diduga ada ketelibatan aparat di dalamnya. Kasus ini
terkait sejumlah pengelolaan lahan di kawasan hutan tanaman industri
Register 45 Way Buaya di Kampung Talang Pelita Jaya, Desa Talang
Batu, Kecamatan Mesuji Timur,
Lampung. Dalam kasus ini, konflik terjadi antara warga dengan sebuah
perusahaan. Catatan laporan khusus yang diterima Komisi III DPR
menjabarkan, kasus Mesuji bermula dari adanya penerbitan ijin Hutan
Produksi Hutan Tanaman Industri (HPHTI) oleh Menteri Kehutanan pada
1998 di Tulang Bawang. Persoalan mulai timbul karena tidak adanya
hubungan baik antara pihak perusahaan dengan masyarakat adat sehingga
di dalam sosialisasi luasan atau batasan areal tidak terselenggara
dengan baik.2
Dalam menyelesaikan persoalan,
perusahaan dituding cenderung menggunakan cara-cara represif, yaitu
diduga dengan melibatkan institusi Polri
sebagaimana
terekam dalam video yang dibawa perwakilan warga Mesuji pada saat
melapor ke Komisi III DPR RI pada tanggal 14 Desember 2011. Dalam
video itu, digambarkan telah terjadi pembantaian warga oleh aparat
keamanan dan perusakan rumah warga. Menurut warga, konflik lahan
tersebut diduga telah menewaskan sekitar 30 orang.3
Kasus yang serupa di Mesuji juga
terjadi di Pulau Padang, Riau. Terkait dengan kasus ini, sekitar 80
warga Pulau Padang, Kecamatan Marbau, Kabupaten Meranti, Riau sudah
hampir satu bulan melakukan aksinya ”berkemah” di depan Gedung
MPR/DPR/DPD di Jakarta. Mereka menyatakan akan tetap melanjutkan
aksinya di depan Gedung Parlemen hingga Kementerian Kehutanan
mencabut ijin operasi hutan tanaman industri (HTI) untuk sebuah
Perusahaan di Pulau Padang. Mereka menuntut penghentian operasional
secara permanen oleh Menteri Kehutanan terhadap PT RAPP dan
pencabutan Surat Keputusan (SK) No. 327 Tahun 2009 terkait dengan
surat ijin operasi untuk PT RAPP. Di dalam SK tersebut ada wilayah
HTI Pulau Padang seluas 41.205 hektar.4
Hal ini mereka lakukan karena mereka menganggap bahwa maju ke bangku
pengadilan merupakan hal yang sia-sia, sebab bagaimana pun pengadilan
tetap akan memenangkan PT karena telah dilindungi SK Menteri
Kehutanan.
Beberapa kasus
di atas adalah sedikit dari banyaknya permasalahan yang melibatkan
antara rakyat dengan pemodal. Hal yang perlu disoroti adalah mengenai
oknum penegak hukum seperti aparat yang terlibat dalam permasalahan
antara keduanya dengan memihak salah satunya. Diskriminasi yang
dilakukan aparat ini seolah menjadi alasan bahwa keadilan hanya boleh
dinikmati oleh orang yang bermodal. Perang dalam sebuah permasalahan
hukum sering dijadikan ajang perang modal, saat dimana keadilan bisa
diperjualbelikan dan dilelangkan kepada orang yang berani menawar
dengan harga tertinggi.
Lembaga
Yudisial merupakan lembaga pengayom masyarakat. Seharusnya pengadilan
menjadi pihak pertama yang berada
pada garda depan dalam membantu
masyarakat,
menyelesaikan berbagai hal dengan penuh kebijaksanaan dan musyawarah,
bukan malah masyarakat yang harus meronta-ronta oleh pengadilan yang
apriori. Ketika maju di pangadilan pun bukan berarti masyarakat bisa
bernafas lega. Di dalam pengadilan telah menunggu berbagai intrik dan
manipulasi politik yang bisa setiap saat menjadi alasan
terputar-baliknya fakta. Seseorang yang salah bisa menjadi yang
dibenarkan dan begitu pula sebaliknya.
Hal ini bisa dilihat dari penangkapan sekelas ketua Mahkamah
Konstitusi pada 2013 terkait kasus penyuapan. Jika seorang yang
menjadi ketua hakim saja bisa terjaring kasus seperti itu, lalu
bagaimana dengan hakim-hakim lain yang berada dibawahnya?.
Permasalahan-permasalahan
dalam institusi pengadilan saat ini sudah berlapis, mulai dari
sulitnya menaruh permasalahanya di meja hukum, sampai saat sudah
melalui proses pemutusan hukum inilah yang seringkali memperjauh
sekat antara keadilan dengan orang-orang kecil. Oleh karena itu, bisa
dikatakan bahwa suap sama halnya dengan memakan daging saudaranya
sendiri, padahal tolok ukur tegaknya keadilan suatu bangsa adalah
terletak pada sebuah institusi mahkamah. Suap-menyuap yang telah
membudaya dalam sebuah mahkamah berarti menunjukan runtuhnya martabat
suatu bangsa karena gagal menegakkan keadilan dan karena kebrobokan
mahkamah mempengaruhi harga diri bangsa, maka mahkamah yang brobok
sama halnya dengan keruntuhan pilar-pilar suatu bangsa.
Hukum yang
sudah dibuat adalah untuk dilaksanakan, namun seringkali dalam
pelaksanaanya oknum tertentu sering tebang pilih dalam penerapan
aturan. Jabatan, tingkat ekonomi, atau pangkat militer yang tinggi
sering kali masih menjadi alasan lunturnya ketegasan dari penegakan
hukum. Bagi masyarakat biasa yang melanggar aturan akan langsung
mendapat hukuman atas tindakanya, namun bagi orang yang memiliki
kedudukan tertu, baik politik, militer, maupun kedudukan publik
lainya akan diundur-undur penanganan hukumnya. Padahal salah satu
sebab turunya al-Qur’an telah mengkisahkan tentang pelarangan
tebang pilih dalam penegakan keadilan sebagaimana QS. al-Maidah
(5):42.5
Dalam sebab turun surat ini, digambarkan diskriminasi oleh suatu kaum
yang melakukan ketegasan hukum pada masyarakat kecil dan lemah ketika
menindak kaum yang berderajat tinggi.
Dari kesemuanya, kesetaraan keadilan
di muka hukum harus ditegakan, dengan tanpa melihat perbedaan ras,
suku, perbedaan sosial, maupun pendapatan ekonominya. Bagaimanapun
kesetraan merupakan bagian dari keadilan. Terciptanya kesetaraan pada
aspek hukum sangat berpengaruh terhadap persatuan masyarakat.
Kesadaran terhadap kesatuan manusia diibaratkan sebagai tali yang
mengikat beragam perbedaan, sedangkan Pengelolaan Hukum yang
diskriminatif ibarat pisau yang akan memotong tali tersebut.
1
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى
الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي
حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ
فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
2
Dian Cahyaningrum, “permasalahan hukum konflik
lahan”, dalam P3DI Vol. IV, Januari 2012. Hlm. 2.
3
Dian Cahyaningrum, “permasalahan hukum konflik
lahan”, dalam P3DI Vol. IV, Januari 2012. Hlm. 2.
5
Ayat tersebut dalam sebab
turunya mengkisahkan perihal kaum yang mengganti hukuman pemukanya
yang berbuat zina dengan hukuman coreng muka padahal, di tempat
lain, bagi rakyat jelata yang melakukan zina ia akan dirajam sampai
mati.
No comments:
Post a Comment